“Pohon sarayu? Apa hamba tak salah mendengar? Untuk apa Tuan mencari pohon sarayu?” Lokawigna merasa terheran dengan maksud tuannya itu. “Apa aku salah mencari pohon sarayu? Menurut guruku, hanya serat kayu pohon sarayu yang bisa memaksimalkan ilmuku. Aku akan membuatnya menjadi busur,” ungkap Arya. “Tapi jalan menuju ke sana amatlah sulit, Tuanku. Pohon sarayu hanya tumbuh di tanah yang terus menerus dialiri guguran lava. Namun tingkat panas lavanya harus sesuai. Itu yang menyebabkan pohon sarayu amat sulit ditemukan.” Lokawigna mmeriksa ikan yang ia bakar, lalu meletakkannya di atas daun jati di hadapan Arya. Ia tahu tuannya itu begitu lapar. Ditambah dengan penjelasannya mengenai pohon sarayu, semoga saja tak mengendurkan semangatnya. Arya tersenyum dan mulai melahap ikan yang tertunda. “Lalu apa yang harus aku lakukan agar dapat dengan cepat menemukannya?” tanya Arya lagi di sela-sela makan malamnya. Ia menyodorkan ikan sebagai isyarat bagi Lokawigna untuk ikut makan, namun mak
“Terima kasih!” Sayup-sayup Sakuntala mampu mendengar suara Arya. Kedua kelopak matanya amat sulit untuk digerakkan. Seluruh tubuhnya terasa begitu ngilu, terutama di setiap bagian sendi. Namun ia dapat menyadari tak ada lagi suara gemericik air sungai tempat terakhir ia tersadar. Dengan bersusah payah, Sakuntala berhasil membuka kelopak matanya. Ia terbaring di tanah beralaskan kain. Tak jauh dari sisinya Arya tengah membereskan tenda mereka. Tak ada nyala api unggun, tapi suasana langit di atasnya cukup terang. “Kau sudah sadar, Sakuntala?” sapa Arya tak bergeming dari aktivitasnya. “K-ketua, apa yang terjadi? D-dimana kita?” tanya Sakuntala terbata. Kini ia sudah mampu mengangkat kepalanya. Suasana tempat ini tak asing baginya. “Kita berada di Astagina.” Arya melipat dan mengikat tenda, kemudian mengikatnya di pelana Aswabrama. “Astagina?” Sakuntala segera bangkit meski tubuhnya masih begitu sakit. “Bukankah kita dalam perjalanan ke gunung Anala, Ketua?” Pemuda itu mengusap ke
Sakuntala baru saja sampai di biliknya. Demi tak dicurigai para emban dan abdi, dia sengaja mengenakan jubah tiap kali kembali. Senopati Astagina itu masih belum menemukan hal yang masuk akal dengan kembalinya dia dan Arya ke Astagina dalam waktu singkat. Bahkan Arya sudah berhasil mendapatkan kayu pohon sarayu yang konon begitu langka. Sebenarnya Sakuntala ingin membersihkan diri. Tubuhnya begitu kotor dan beraroma tak sedap. Belum lagi bekas gigitan serangga dan usapan serai yang membuat kulitnya lengket. Tapi rasa sakit di kepala mampu mengurungkan semua niatnya itu. “Sakuntala!” Suara seseorang yang begitu dikenal terdengar cukup keras disertai ketukan di pintu bilik. Sakuntala berdecak, kemana para penjaga? Bagaimana ada orang yang mencarinya sedang ia sudah berpesan jangan mengganggunya hari ini. “Sakuntala! Aku tahu kau di dalam, keluarlah!” Patih tak berambut itu benar-benar tak memberi Sakuntala kesempatan untuk memejamkan mata. Meski sepanjang malam banyak dihabiskan wakt
“Jadi apa sebenarnya yang kalian perbuat pada halaman belakang rumahku?” tanya Ki Bayanaka. Arya dan Jenar menunduk. Meski pria tua itu mengakui kebenaran bahwa Arya adalah cucu dari Prabu Wirajaya, ia tetap akan marah bila Arya berbuat kesalahan. “Kami hanya mencoba busur baru milik Arya, Ayahanda,” bela Jenar. Ia dan Arya kini seperti kanak-kanak yang dimarahi orang tuanya karena memporak-porandakan perabot rumah. “Kalian? Mencoba busur? Bagaimana bisa halaman rumah bisa sedemikian hancur?” cecar Ki Bayanaka. Ia tak mengira kebersamaan sepasang anak muda ini akan berakibat demikian parah. Padahal biasanya tak ada yang terjadi, hanya bibir mereka berdua yang senantiasa basah. “Betul, Ki. Kami sendiri heran dengan daya rusaknya. Padahal kami hanya mencobanya satu kali,” bela Arya. Ki menatap kembali halaman belakang rumahnya yang hancur. Ini bukan Cundhamani, dan mampu menghancurkan dengan sekali tembakan. Pria itu membelai janggut putihnya berulang kali. Pantas saja Prabu Ranajaya
“Agnitama ya? Baiklah,” ucap Arya mantap. Pemuda itu menyandang lagi busur yang telah teruji itu di pundaknya. Ikat rambut dari kain dengan lambang kerajaan Astagina dari logam ia lepaskan dan campakkan begitu saja. Rambut hitamnya kini menjuntai begitu saja ke bahu. Ki Bayanaka memandangnya dengan tak mengerti. “Apa yang akan kau lakukan, Arya?” Ki Bayanaka menatap lambang Astagina itu yang sudah jatuh ke tanah. “Sudah saatnya seorang anak menuntut balas! Aku harus memberinya pelajaran karena memisahkan banyak keluarga!” Arya berpaling, langkahnya begitu tegas seperti saat hendak mencabut anak panah Jenar dan melemparkannya ke arah Patih Waradhana. “Maksudmu, kau akan menemui Patih Waradhana?” Ki Bayanaka susah payah mengekori Arya agar tetap berada di sisinya. Berharap kata-katanya didengar. “Ya, mungkin ini lah akhir hidupnya!” pungkas Arya penuh dendam. Ki Bayanaka seolah menyadari kembali bahwa dendam di hati anak ini begitu besar. Ia pasti akan bertindak gegabah lagi dan ber
“Hentikan, Arya! Kau bisa menghancurkan seluruh tempat ini!” seru Patih Waradhana sambil terus waspada memperhatikan anak panah Arya yang membara. “Aku tidak sudi diperintah olehmu!” timpal Arya. Kini mata panah itu tertuju pada Patih Waradhana. Semua prajurit bereaksi. Junjungannya terancam berarti mereka tak melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya. “Gusti Patih, ijinkan kami menghadapinya!” pinta seorang prajurit. “Kalian bukan tandingannya. Tak bisakah kalian melihat Cundhamani yang dahsyat itu? Apa kalian siap menjadi abu?” hardik Patih Waradhana. Seketika para prajurit mundur menjaga jarak, meski hal itu sama sekali tak berpengaruh terhadap daya lesat dan rusak Cundhamani. “Mundur kalian semua!” Para prajurit saling berpandangan. Meski ragu, mereka tentu tak bisa menolak titah patihnya. Selain tentu saja rasa gentar mendengar nama Cundhamani. Mereka tentu tak akan pernah siap terbakar menjadi abu tanpa dikremasi. Patih Waradhana menelan ludahnya. Ia sadar berkonfrontasi deng
Arya tak pedulikan lagi akan jadi apa para prajurit itu. Ia hanya melepaskan anak panah yang membara ke udara. Anak panah itu menukik seperti bola api berekor siap menghantam bumi dan apa pun yang ada di atasnya. Itu lah terakhir kali ia menghadap ke arah istana Astagina. Selebihnya ia hanya memacu Aswabrama menuju desa Girijajar, menemui ibundanya. Memang benar Arya hanyalah seorang remaja. Patih Waradhana dan Prabu Ranajaya lahir lebih dahulu, jauh darinya. Tapi sebuah muslihat murahan seperti yang dikatakan Patih Astagina itu tentu tak bisa ia percayai begitu saja. Sudah banyak kebijakan dzalim dari penguasa Astagina itu, tak mungkin itu hanya sekadar menjalankan roda pemerintahan saja. Derap langkah Aswabrama terdengar begitu mantap dan teratur. Kuda ini seolah tak mau kalah antusias dari penunggangnya. Jalan terjal menanjak dilahapnya dengan mudah. Dengan kondisi seprima ini tak butuh waktu lama untuk segera tiba. Mungkin beberapa masa setelah matahari tenggelam. “Ah, mengapa a
Gantari berusaha tersenyum di ujung ajalnya. Banyak sekali yang ingin ia utarakan pada putranya, namun napasnya sudah tercekat di tenggorokan. Perempuan itu tak bisa lagi melenguh meski sesungguhnya sedikit guncangan saja membuat sakitnya bertambah berkali-kali. Namun paling tidak kematiannya begitu tenang karena berada di pangkuan Arya. “Ibu ... tidak, Ibu, bertahan lah!” pekik Arya sambil mengguncang wajah ibundanya. Gantari tak mampu berkata apa pun. Ia hanya terus tersenyum meski mulutnya telah dipenuhi oleh darahnya sendiri. Arya tak mampu lagi melihat kondisi ibundanya. Ia rengkuh tubuh perempuan paruh baya itu dengan tangisan kerasnya. Pemuda itu sadar ini lah akhir hidup ibundanya. Putri mendiang Prabu Wirajaya yang terpaksa terbuang karena sebuah pengkhianatan. Tubuh Gantari mengejang sesaat. Ia terus mencoba menahan bola matanya agar tak bergerak ke atas. Perempuan itu tak ingin putranya terus menyaksikan kondisinya yang mengenaskan. Satu tarikan napas yang terhenti menan