“Jadi apa sebenarnya yang kalian perbuat pada halaman belakang rumahku?” tanya Ki Bayanaka. Arya dan Jenar menunduk. Meski pria tua itu mengakui kebenaran bahwa Arya adalah cucu dari Prabu Wirajaya, ia tetap akan marah bila Arya berbuat kesalahan. “Kami hanya mencoba busur baru milik Arya, Ayahanda,” bela Jenar. Ia dan Arya kini seperti kanak-kanak yang dimarahi orang tuanya karena memporak-porandakan perabot rumah. “Kalian? Mencoba busur? Bagaimana bisa halaman rumah bisa sedemikian hancur?” cecar Ki Bayanaka. Ia tak mengira kebersamaan sepasang anak muda ini akan berakibat demikian parah. Padahal biasanya tak ada yang terjadi, hanya bibir mereka berdua yang senantiasa basah. “Betul, Ki. Kami sendiri heran dengan daya rusaknya. Padahal kami hanya mencobanya satu kali,” bela Arya. Ki menatap kembali halaman belakang rumahnya yang hancur. Ini bukan Cundhamani, dan mampu menghancurkan dengan sekali tembakan. Pria itu membelai janggut putihnya berulang kali. Pantas saja Prabu Ranajaya
“Agnitama ya? Baiklah,” ucap Arya mantap. Pemuda itu menyandang lagi busur yang telah teruji itu di pundaknya. Ikat rambut dari kain dengan lambang kerajaan Astagina dari logam ia lepaskan dan campakkan begitu saja. Rambut hitamnya kini menjuntai begitu saja ke bahu. Ki Bayanaka memandangnya dengan tak mengerti. “Apa yang akan kau lakukan, Arya?” Ki Bayanaka menatap lambang Astagina itu yang sudah jatuh ke tanah. “Sudah saatnya seorang anak menuntut balas! Aku harus memberinya pelajaran karena memisahkan banyak keluarga!” Arya berpaling, langkahnya begitu tegas seperti saat hendak mencabut anak panah Jenar dan melemparkannya ke arah Patih Waradhana. “Maksudmu, kau akan menemui Patih Waradhana?” Ki Bayanaka susah payah mengekori Arya agar tetap berada di sisinya. Berharap kata-katanya didengar. “Ya, mungkin ini lah akhir hidupnya!” pungkas Arya penuh dendam. Ki Bayanaka seolah menyadari kembali bahwa dendam di hati anak ini begitu besar. Ia pasti akan bertindak gegabah lagi dan ber
“Hentikan, Arya! Kau bisa menghancurkan seluruh tempat ini!” seru Patih Waradhana sambil terus waspada memperhatikan anak panah Arya yang membara. “Aku tidak sudi diperintah olehmu!” timpal Arya. Kini mata panah itu tertuju pada Patih Waradhana. Semua prajurit bereaksi. Junjungannya terancam berarti mereka tak melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya. “Gusti Patih, ijinkan kami menghadapinya!” pinta seorang prajurit. “Kalian bukan tandingannya. Tak bisakah kalian melihat Cundhamani yang dahsyat itu? Apa kalian siap menjadi abu?” hardik Patih Waradhana. Seketika para prajurit mundur menjaga jarak, meski hal itu sama sekali tak berpengaruh terhadap daya lesat dan rusak Cundhamani. “Mundur kalian semua!” Para prajurit saling berpandangan. Meski ragu, mereka tentu tak bisa menolak titah patihnya. Selain tentu saja rasa gentar mendengar nama Cundhamani. Mereka tentu tak akan pernah siap terbakar menjadi abu tanpa dikremasi. Patih Waradhana menelan ludahnya. Ia sadar berkonfrontasi deng
Arya tak pedulikan lagi akan jadi apa para prajurit itu. Ia hanya melepaskan anak panah yang membara ke udara. Anak panah itu menukik seperti bola api berekor siap menghantam bumi dan apa pun yang ada di atasnya. Itu lah terakhir kali ia menghadap ke arah istana Astagina. Selebihnya ia hanya memacu Aswabrama menuju desa Girijajar, menemui ibundanya. Memang benar Arya hanyalah seorang remaja. Patih Waradhana dan Prabu Ranajaya lahir lebih dahulu, jauh darinya. Tapi sebuah muslihat murahan seperti yang dikatakan Patih Astagina itu tentu tak bisa ia percayai begitu saja. Sudah banyak kebijakan dzalim dari penguasa Astagina itu, tak mungkin itu hanya sekadar menjalankan roda pemerintahan saja. Derap langkah Aswabrama terdengar begitu mantap dan teratur. Kuda ini seolah tak mau kalah antusias dari penunggangnya. Jalan terjal menanjak dilahapnya dengan mudah. Dengan kondisi seprima ini tak butuh waktu lama untuk segera tiba. Mungkin beberapa masa setelah matahari tenggelam. “Ah, mengapa a
Gantari berusaha tersenyum di ujung ajalnya. Banyak sekali yang ingin ia utarakan pada putranya, namun napasnya sudah tercekat di tenggorokan. Perempuan itu tak bisa lagi melenguh meski sesungguhnya sedikit guncangan saja membuat sakitnya bertambah berkali-kali. Namun paling tidak kematiannya begitu tenang karena berada di pangkuan Arya. “Ibu ... tidak, Ibu, bertahan lah!” pekik Arya sambil mengguncang wajah ibundanya. Gantari tak mampu berkata apa pun. Ia hanya terus tersenyum meski mulutnya telah dipenuhi oleh darahnya sendiri. Arya tak mampu lagi melihat kondisi ibundanya. Ia rengkuh tubuh perempuan paruh baya itu dengan tangisan kerasnya. Pemuda itu sadar ini lah akhir hidup ibundanya. Putri mendiang Prabu Wirajaya yang terpaksa terbuang karena sebuah pengkhianatan. Tubuh Gantari mengejang sesaat. Ia terus mencoba menahan bola matanya agar tak bergerak ke atas. Perempuan itu tak ingin putranya terus menyaksikan kondisinya yang mengenaskan. Satu tarikan napas yang terhenti menan
“Baik, aku tak akan memintamu lagi.” Senopati Sakuntala masih terus mengangkat kedua tangannya. Akan sangat fatal bila ia terkena Cundhamani dalam jarak sedekat ini. Tubuhnya ini tak akan bersisa lagi. “Jadi, berhenti lah memerintahku seolah aku ini abdimu!” bentak Arya. Pemuda itu mencoba untuk menerima kenyataan yang terjadi. Kematian ibunda terasa belum cukup sedang maksud dari penyerangan Baka Nirdaya pimpinan ayahandanya belum terjawab. Arya masih menghunuskan panahnya di samping jasad Gantari. Namun tak lagi ia arahkan pada Senopati Sakuntala. “Kalaupun tak mengenai, paling tidak ini jadi tanda bahwa pembalasan akan segera datang!” Arya menarik busurnya maksimal. Meski terkena air hujan, mata panah yang membara itu sama sekali tak berdesis seperti bara api yang tersiram air pada umumnya. Sebentar saja lengan Arya bergetar. Pemuda itu segera melepaskan cengkraman ibu jari tangan kanan pada tali busur dan ekor anak panah. Anak panah logam itu melesat ke langit menembus air dan
Sudah dua kali Gantari menjalani purnama seorang diri. Setelah kehilangan putranya, sekejap saja ia sudah kesepian. Kabar dari suaminya tak jua kunjung datang. Si Jenaka, elang milik suaminya juga tak pernah terlihat dan terdengar kepakan sayapnya. Di desa ini hanya ada perempuan dan anak-anak. Banyak dari mereka yang memilih mengungsi ke desa lain. Perempuan yang masih cantik itu bangkit dari alat tenunnya. Ia melangkah dari beranda rumah ke sebuah bangunan di sisi belakang, tempat suaminya dan terakhir putranya menempa besi. Semua barang-barang di sana terbengkalai. Beberapa besi tampak tergeletak begitu saja. Sebagian besar masih berupa senjata setengah jadi. “Suamiku, apa yang terjadi? Mengapa kau tak kunjung menjemputku? Arya sudah diambil istana, aku tak tahu bagaimana kabarnya kini,” lirih Gantari sambil menengadah menatap rembulan yang sebagian tertutup awan. Angin dingin gunung Payoda menerpa tubuh langsing Gantari. Perempuan itu bergidik dan menaikkan kain tenunannya sendi
Sinar mentari dan aroma jelaga membangunkan Arya. Aswabrama sudah lebih dahulu mencari makanannya sendiri. Pemuda itu menggeliat, tubuhnya terasa pegal-pegal. Belum lagi semalaman terguyur hujan, membuatnya sedikit tak sehat. Namun ia tetap harus bangun, desa ini tak berpenghuni lagi. Tanah pusara ibundanya masih merah dan basah. Arya terpekur lama di samping pusara itu. Ia gagal menyusul ayahandanya karena jalanan terputus akibat Sasra Sayaka-Cundhamani. Arya menyesali, akibat ulahnya sendiri jalan menuju markas ayahandanya menjadi tak bisa dilalui. Masih begitu segar di ingatan Arya bagaimana ibundanya bersikukuh memintanya untuk pergi saat prajurit-prajurit Astagina itu mengambil paksa para pemuda desa. Namun ia begitu keras kepala dan terlalu percaya diri. Hingga akhirnya ibundanya turun tangan dan terpaksa mengeluarkan Suji Pati. “Kalau saja aku turuti Ibu....” Arya menghela napasnya. Semalam pasti ibundanya dikeroyok banyak orang, hingga Suji Pati tak mampu mengimbangi. Penyes