Share

36. Panah Asmara

Penulis: A.R. Ubaidillah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
Sakuntala baru saja sampai di biliknya. Demi tak dicurigai para emban dan abdi, dia sengaja mengenakan jubah tiap kali kembali. Senopati Astagina itu masih belum menemukan hal yang masuk akal dengan kembalinya dia dan Arya ke Astagina dalam waktu singkat. Bahkan Arya sudah berhasil mendapatkan kayu pohon sarayu yang konon begitu langka.

Sebenarnya Sakuntala ingin membersihkan diri. Tubuhnya begitu kotor dan beraroma tak sedap. Belum lagi bekas gigitan serangga dan usapan serai yang membuat kulitnya lengket. Tapi rasa sakit di kepala mampu mengurungkan semua niatnya itu.

“Sakuntala!” Suara seseorang yang begitu dikenal terdengar cukup keras disertai ketukan di pintu bilik. Sakuntala berdecak, kemana para penjaga? Bagaimana ada orang yang mencarinya sedang ia sudah berpesan jangan mengganggunya hari ini.

“Sakuntala! Aku tahu kau di dalam, keluarlah!”

Patih tak berambut itu benar-benar tak memberi Sakuntala kesempatan untuk memejamkan mata. Meski sepanjang malam banyak dihabiskan wakt
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Cundhamani (Panah Api)   37. Busur Agnitama

    “Jadi apa sebenarnya yang kalian perbuat pada halaman belakang rumahku?” tanya Ki Bayanaka. Arya dan Jenar menunduk. Meski pria tua itu mengakui kebenaran bahwa Arya adalah cucu dari Prabu Wirajaya, ia tetap akan marah bila Arya berbuat kesalahan. “Kami hanya mencoba busur baru milik Arya, Ayahanda,” bela Jenar. Ia dan Arya kini seperti kanak-kanak yang dimarahi orang tuanya karena memporak-porandakan perabot rumah. “Kalian? Mencoba busur? Bagaimana bisa halaman rumah bisa sedemikian hancur?” cecar Ki Bayanaka. Ia tak mengira kebersamaan sepasang anak muda ini akan berakibat demikian parah. Padahal biasanya tak ada yang terjadi, hanya bibir mereka berdua yang senantiasa basah. “Betul, Ki. Kami sendiri heran dengan daya rusaknya. Padahal kami hanya mencobanya satu kali,” bela Arya. Ki menatap kembali halaman belakang rumahnya yang hancur. Ini bukan Cundhamani, dan mampu menghancurkan dengan sekali tembakan. Pria itu membelai janggut putihnya berulang kali. Pantas saja Prabu Ranajaya

  • Cundhamani (Panah Api)   38. Dendam

    “Agnitama ya? Baiklah,” ucap Arya mantap. Pemuda itu menyandang lagi busur yang telah teruji itu di pundaknya. Ikat rambut dari kain dengan lambang kerajaan Astagina dari logam ia lepaskan dan campakkan begitu saja. Rambut hitamnya kini menjuntai begitu saja ke bahu. Ki Bayanaka memandangnya dengan tak mengerti. “Apa yang akan kau lakukan, Arya?” Ki Bayanaka menatap lambang Astagina itu yang sudah jatuh ke tanah. “Sudah saatnya seorang anak menuntut balas! Aku harus memberinya pelajaran karena memisahkan banyak keluarga!” Arya berpaling, langkahnya begitu tegas seperti saat hendak mencabut anak panah Jenar dan melemparkannya ke arah Patih Waradhana. “Maksudmu, kau akan menemui Patih Waradhana?” Ki Bayanaka susah payah mengekori Arya agar tetap berada di sisinya. Berharap kata-katanya didengar. “Ya, mungkin ini lah akhir hidupnya!” pungkas Arya penuh dendam. Ki Bayanaka seolah menyadari kembali bahwa dendam di hati anak ini begitu besar. Ia pasti akan bertindak gegabah lagi dan ber

  • Cundhamani (Panah Api)   39. Muslihat Patih Waradhana

    “Hentikan, Arya! Kau bisa menghancurkan seluruh tempat ini!” seru Patih Waradhana sambil terus waspada memperhatikan anak panah Arya yang membara. “Aku tidak sudi diperintah olehmu!” timpal Arya. Kini mata panah itu tertuju pada Patih Waradhana. Semua prajurit bereaksi. Junjungannya terancam berarti mereka tak melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya. “Gusti Patih, ijinkan kami menghadapinya!” pinta seorang prajurit. “Kalian bukan tandingannya. Tak bisakah kalian melihat Cundhamani yang dahsyat itu? Apa kalian siap menjadi abu?” hardik Patih Waradhana. Seketika para prajurit mundur menjaga jarak, meski hal itu sama sekali tak berpengaruh terhadap daya lesat dan rusak Cundhamani. “Mundur kalian semua!” Para prajurit saling berpandangan. Meski ragu, mereka tentu tak bisa menolak titah patihnya. Selain tentu saja rasa gentar mendengar nama Cundhamani. Mereka tentu tak akan pernah siap terbakar menjadi abu tanpa dikremasi. Patih Waradhana menelan ludahnya. Ia sadar berkonfrontasi deng

  • Cundhamani (Panah Api)   40. Pulang

    Arya tak pedulikan lagi akan jadi apa para prajurit itu. Ia hanya melepaskan anak panah yang membara ke udara. Anak panah itu menukik seperti bola api berekor siap menghantam bumi dan apa pun yang ada di atasnya. Itu lah terakhir kali ia menghadap ke arah istana Astagina. Selebihnya ia hanya memacu Aswabrama menuju desa Girijajar, menemui ibundanya. Memang benar Arya hanyalah seorang remaja. Patih Waradhana dan Prabu Ranajaya lahir lebih dahulu, jauh darinya. Tapi sebuah muslihat murahan seperti yang dikatakan Patih Astagina itu tentu tak bisa ia percayai begitu saja. Sudah banyak kebijakan dzalim dari penguasa Astagina itu, tak mungkin itu hanya sekadar menjalankan roda pemerintahan saja. Derap langkah Aswabrama terdengar begitu mantap dan teratur. Kuda ini seolah tak mau kalah antusias dari penunggangnya. Jalan terjal menanjak dilahapnya dengan mudah. Dengan kondisi seprima ini tak butuh waktu lama untuk segera tiba. Mungkin beberapa masa setelah matahari tenggelam. “Ah, mengapa a

  • Cundhamani (Panah Api)   41. Kematian Gantari

    Gantari berusaha tersenyum di ujung ajalnya. Banyak sekali yang ingin ia utarakan pada putranya, namun napasnya sudah tercekat di tenggorokan. Perempuan itu tak bisa lagi melenguh meski sesungguhnya sedikit guncangan saja membuat sakitnya bertambah berkali-kali. Namun paling tidak kematiannya begitu tenang karena berada di pangkuan Arya. “Ibu ... tidak, Ibu, bertahan lah!” pekik Arya sambil mengguncang wajah ibundanya. Gantari tak mampu berkata apa pun. Ia hanya terus tersenyum meski mulutnya telah dipenuhi oleh darahnya sendiri. Arya tak mampu lagi melihat kondisi ibundanya. Ia rengkuh tubuh perempuan paruh baya itu dengan tangisan kerasnya. Pemuda itu sadar ini lah akhir hidup ibundanya. Putri mendiang Prabu Wirajaya yang terpaksa terbuang karena sebuah pengkhianatan. Tubuh Gantari mengejang sesaat. Ia terus mencoba menahan bola matanya agar tak bergerak ke atas. Perempuan itu tak ingin putranya terus menyaksikan kondisinya yang mengenaskan. Satu tarikan napas yang terhenti menan

  • Cundhamani (Panah Api)   42. Menuju Selatan Payoda

    “Baik, aku tak akan memintamu lagi.” Senopati Sakuntala masih terus mengangkat kedua tangannya. Akan sangat fatal bila ia terkena Cundhamani dalam jarak sedekat ini. Tubuhnya ini tak akan bersisa lagi. “Jadi, berhenti lah memerintahku seolah aku ini abdimu!” bentak Arya. Pemuda itu mencoba untuk menerima kenyataan yang terjadi. Kematian ibunda terasa belum cukup sedang maksud dari penyerangan Baka Nirdaya pimpinan ayahandanya belum terjawab. Arya masih menghunuskan panahnya di samping jasad Gantari. Namun tak lagi ia arahkan pada Senopati Sakuntala. “Kalaupun tak mengenai, paling tidak ini jadi tanda bahwa pembalasan akan segera datang!” Arya menarik busurnya maksimal. Meski terkena air hujan, mata panah yang membara itu sama sekali tak berdesis seperti bara api yang tersiram air pada umumnya. Sebentar saja lengan Arya bergetar. Pemuda itu segera melepaskan cengkraman ibu jari tangan kanan pada tali busur dan ekor anak panah. Anak panah logam itu melesat ke langit menembus air dan

  • Cundhamani (Panah Api)   43. Suji Pati

    Sudah dua kali Gantari menjalani purnama seorang diri. Setelah kehilangan putranya, sekejap saja ia sudah kesepian. Kabar dari suaminya tak jua kunjung datang. Si Jenaka, elang milik suaminya juga tak pernah terlihat dan terdengar kepakan sayapnya. Di desa ini hanya ada perempuan dan anak-anak. Banyak dari mereka yang memilih mengungsi ke desa lain. Perempuan yang masih cantik itu bangkit dari alat tenunnya. Ia melangkah dari beranda rumah ke sebuah bangunan di sisi belakang, tempat suaminya dan terakhir putranya menempa besi. Semua barang-barang di sana terbengkalai. Beberapa besi tampak tergeletak begitu saja. Sebagian besar masih berupa senjata setengah jadi. “Suamiku, apa yang terjadi? Mengapa kau tak kunjung menjemputku? Arya sudah diambil istana, aku tak tahu bagaimana kabarnya kini,” lirih Gantari sambil menengadah menatap rembulan yang sebagian tertutup awan. Angin dingin gunung Payoda menerpa tubuh langsing Gantari. Perempuan itu bergidik dan menaikkan kain tenunannya sendi

  • Cundhamani (Panah Api)   44. Tekad

    Sinar mentari dan aroma jelaga membangunkan Arya. Aswabrama sudah lebih dahulu mencari makanannya sendiri. Pemuda itu menggeliat, tubuhnya terasa pegal-pegal. Belum lagi semalaman terguyur hujan, membuatnya sedikit tak sehat. Namun ia tetap harus bangun, desa ini tak berpenghuni lagi. Tanah pusara ibundanya masih merah dan basah. Arya terpekur lama di samping pusara itu. Ia gagal menyusul ayahandanya karena jalanan terputus akibat Sasra Sayaka-Cundhamani. Arya menyesali, akibat ulahnya sendiri jalan menuju markas ayahandanya menjadi tak bisa dilalui. Masih begitu segar di ingatan Arya bagaimana ibundanya bersikukuh memintanya untuk pergi saat prajurit-prajurit Astagina itu mengambil paksa para pemuda desa. Namun ia begitu keras kepala dan terlalu percaya diri. Hingga akhirnya ibundanya turun tangan dan terpaksa mengeluarkan Suji Pati. “Kalau saja aku turuti Ibu....” Arya menghela napasnya. Semalam pasti ibundanya dikeroyok banyak orang, hingga Suji Pati tak mampu mengimbangi. Penyes

Bab terbaru

  • Cundhamani (Panah Api)   228 Penerus

    “Bukan kah prajurit udaramu tadi sudah memeriksa semua kapal ini, Braja?” tanya Ki Bayanaka. “Ya, sepertinya kapal satu ini luput dari pemeriksaan. Atau....” Seorang pria bertubuh kurus dan berkulit cerah tertawa di atas kapal yang separuhnya sudah terbakar. Ia merasa jumawa melihat dua pria tua, seorang perempuan dan seorang pemuda yang sudah tidak berdaya. Dengan senjata berkekuatan besar, ia merasa di atas angin. “Siapa sebenarnya mereka?” tanya Jenar sembari mengernyitkan kening. Belum juga terjawab, bentuk kapal, senjata dan panji asing itu. “Entah lah, Jenar. Tapi orang ini pasti lemah. Merasa kuat karena memiliki senjata yang mampu melontarkan bola-bola api itu,” ucap Ki Bayanaka begitu yakin. “Bagaimana Ayahanda bisa begitu yakin?” tanya Jenar. “Coba lah kau perhatikan gelagatnya. Orang dengan kemampuan tinggi tak mungkin bertingkah seperti itu. Bukan begitu, Braja?” ucap Ki Bayanaka melemparkan kalimat kepada Sanggageni. “Hmm, jadi siapa yang akan memberinya pelajaran?”

  • Cundhamani (Panah Api)   227. Terkurung

    Tak ada yang bisa dilakukan Jenar setelah sampai di pantai selatan kerajaannya. Pagar api setinggi pagar Astagina itu menghalangi apa pun dan siapa pun. Tak mungkin melaluinya dengan selamat. Perempuan itu tampak mulai meneteskan air mata. Bagaimana mungkin suaminya berbuat sedemikian rupa. Hatinya berkecamuk, sungguh ia tak ingin kehilangan Arya secepat ini.“Arya, dasar bodoh! Apa yang kau lakukan?” umpat Jenar dengan kedua tangan mengepal. Ia merasa begitu hina sebagai raja tak mengetahui patih sekaligus suaminya di dalam sana berjuang seorang diri.Raja Astagina itu mulai terisak. Rasa panas mendera wajahnya dari jarak lima tombak ini. Keningnya mengernyit keras. Ia merasa harus berbuat sesuatu. Berdiam diri tak akan berdampak apa pun. Berada di istananya jauh lebih baik.“Pasukan udara milik Kakanda Sanggageni, dimana mereka?” tiba-tiba Jenar teringat akan sepuluh orang prajurit yang direkrut oleh Sanggageni demi mewujudkan idenya memiliki serangan udara.“Gunakan ini!” Danapati

  • Cundhamani (Panah Api)   226. Kepercayaan

    Arya melepaskan sekali lagi Sasra Sayaka-Cundhamani dengan sisa amarahnya. Anak panah logam hitam berlumur darahnya sendiri melesat ke arah ribuan prajurit yang mulai terkikis keberaniannya. Serupa dengan tenaga dan kesadaran Arya. Pemuda itu menjatuhkan busur Agnitama pada mulanya. Disusul dengan tubuh lemah dan compang-campingnya.Arya mendengus berusaha melihat apa yang terjadi dengan serangannya itu. Tubuh-tubuh musuh yang tercerai berai. Terburai anggota tubuhnya. Terbakar api Cundhamani hingga meronta-ronta, berguling di tanah dan masuk ke dalam air laut. Semua berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.“Sisanya aku serahkan padamu, Raden Danapati!” gumam Arya sembari mengubah posisi kepalanya. Menoleh kepada Aswabrama dan memastikan kembali bahwa Danapati benar-benar pergi.Binatang dan tuan itu saling pandang. Tak ada kata dari mereka yang dimengerti. Namun tatapan bola mata itu sudah menjelaskan semuanya. Berjuang bersama-sama. Melewati bahaya, nyaris kehilangan nyawa, dan kini

  • Cundhamani (Panah Api)   225. Mati Di Samping Aswabrama

    “Tapi bagaimana caranya, Braja? Kau lihat sendiri api Cundhamani menghalangi kita?” pungkas Ki Bayanaka. Pria tua itu memang peragu yang luar biasa. Itu sebab dahulu ia menjadi pelatih prajurit alih-alih bergabung bersama Baka Nirdaya memerangi kedzaliman.“Pantai selatan memang sudah menjadi lautan api. Tapi tidak dengan langitnya!” timpal Sanggageni. “Pengawal! Kau pengawal raja, bukan?” tanyanya.Seorang pengawal raja yang sejak tadi bertugas melindungi dua penasihat itu maju selangkah dengan penuh penghormatan. Ia berkata lantang, “Benar, Tuan! Mohon katakan titah Tuan!”“Cari pasukan udaraku! Bawa secepatnya mereka ke sini!” titah Sanggageni lantang. Pria itu berdiri tegak menatap lautan api dengan memegangi lengan kanannya. Tak ada artinya hidup dengan sebelah tangan namun tak mampu menyelamatkan putranya sendiri.“Sendika, Tuan!”Ki Bayanaka bangkit berdiri di sisi Sanggageni. Tak ada yang menyangka Astagina akan berada di ujung tanduk seperti ini. Pria itu menyentuh pundak adi

  • Cundhamani (Panah Api)   224. Asa Ksatria Cundhamani

    Pantai selatan Astagina kini tak ubahnya seperti gerbang api. Tak ada tempat untuk melarikan diri. Bagi bala tentara asing itu, juga bagi Arya. Suara desis api Cundhamani bertemu air laut mengepulkan asap putih buah dari air yang menguap. Arya melepaskan Sasra Sayaka-Cundhamani sekali lagi. Kali ini ke arah deretan kapal-kapal perang yang sebagian telah terbakar.“Kau yakin hal ini, Gusti?” tanya Danapati manakala sudah mengenakan jubah pemberian Arya.“Apa kau meragukanku, Raden?” tanya Arya kembali. Pemuda itu menoleh dan tersenyum. Memperlihatkan deretan giginya yang memerah karena darah. Tak ada yang tahu bahwa Patih Astagina itu sudah melampaui batas ketahanan tubuhnya sendiri.“Gusti, kau....”Tak sempat Danapati berkata lebih banyak, Arya terlanjut menyentak tali kekang Aswabrama. Ia songsong ratusan pasukan berkuda musuh sendirian. Atau hanya berdua saja dengan kudanya. Arya menghunuskan anak panah logamnya. Kali ini dengan posisi tubuh setengah berdiri. Danapati terhenyak, ya

  • Cundhamani (Panah Api)   223. Menebus Dosa

    “Arya? Bagaimana dengan Ayahandamu?” tanya Jenar tak menyangka suaminya akan hadir dan menyela percakapannya dengan Danapati dan pengawal.Arya tak menjawab, menggerakkan sedikit kepalanya memberi isyarat pada Jenar agar melihat sendiri kondisi ayahandanya. Pemuda itu sudah siap dengan busur Agnitama dan puluhan anak panah logam di tempatnya menggantung di punggung.Dari jarak puluhan depa itu Jenar masih mampu melihat Sanggageni dan ayahandanya tengah duduk bersila. Ki Bayanaka masih mengobati kakak ipar sekaligus mertuanya itu dengan tenaga dalam. Sedang Sanggageni sudah mampu duduk sendiri. Ia jauh lebih baik meski lengan kanannya tak akan kembali lagi.“Pergi lah ... Istriku! Tunggu aku kembali membawa kemenangan!” lirih Arya di telinga Jenar sembari melewati tubuh perempuan cantik itu.Jenar terpekur, setelah pertengkaran mereka berdua karena Rara Anjani di desa Girijajar tempo hari, baru kali ini ia melihat tekad di mata Arya. Tekad yang sama saat Arya pamit untuk pergi ke medan

  • Cundhamani (Panah Api)   222. Amarah Jenar

    Panji-panji dengan aksara asing itu berkibar-kibar tinggi. Pasukan berkuda dengan penutup kepala logam dengan beringas membunuh apa pun yang menghadang. Darah Jenar mendidih menyaksikan para prajurit yang baru saja direkut menjadi korban tanpa sempat mempertahankan nyawa. Perempuan itu menghentakkan tungkainya di permukaan batu besar sekaligus menandai radius serangannya.“Beraninya kalian mengobrak-abrik Astagina! Hanya ada satu ganjaran ... Mati!” seru Jenar mengumbar amarah.Kilatan-kilatan terlihat bergerak begitu cepat tanpa bisa diikuti oleh mata. Denting penutup kepala logam dan tusuk konde emas mendahului robohnya pasukan berkuda itu satu demi satu. Tak ada yang paham bahwa perempuan yang menari di atas batu itu lah dalangnya.Pasukan berkuda musuh saling pandang. Menarik tali kekang kuda hingga kuda-kuda perkasa itu meringkik begitu kuat. Mereka mengedarkan pandangan ke sekitar selatan pesisir pantai Astagina. Selama itu pula mereka seolah tinggal menunggu kematian.Danapati

  • Cundhamani (Panah Api)   221. Titah Jenar

    Arya mendarat dengan keras tepat di belakang para prajurit yang melingkar melindungi rajanya. Ia sibak bahu-bahu penuh ketegangan itu demi sampai di tempat ayahandanya diobati. Penjelasan dari pengawal raja tadi belum mampu membuatnya mengerti bagaimana kondisi Sanggageni sebenarnya.Namun seluruh tubuh Arya terasa tak bertulang manakala menyaksikan kondisi ayahandanya yang memprihatinkan. Ia luruh jatuh bersimpuh di tanah tepat di samping Ki Bayanaka, berhadapan dengan Jenar. Pemuda itu tak percaya hal mengerikan seperti ini terjadi pada ayahandanya.“Kau datang juga,” lirih Ki Bayanaka.“A-apa yang terjadi....”“Braja tak akan seperti ini andai saja kalian bisa bersikap bijak dan tak menuruti hawa nafsu!” tegas Ki Bayanaka sekali lagi.“Maksudmu....”“Kakanda Sanggageni terkena bola api itu, Arya! Dan sekarang pasukan berkuda mereka sedang menuju kemari!” ujar Jenar setengah menyeru. Ia tahu bahwa ini pula kesalahannya. Namun diamnya suaminya tentu bukan tindakan yang tepat dilakuka

  • Cundhamani (Panah Api)   220. Menyelamatkan Sanggageni

    Jenar menitikkan air mata. Kata-kata ayahandanya memang begitu menusuk hati. Namun melihat kondisi Sanggageni lah hal yang membuatnya begitu sakit. Ia terlalu lama memadu kasih dengan Arya hingga membuat ayahanda Arya dalam kondisi mengenaskan.“Bertahan lah, Braja! Dasar bedebah!” hardik Ki Bayanaka terus mengerahkan segala kemampuannya untuk menyelamatkan nyawa Sanggageni. Sejauh ini tak ada reaksi apa pun dari pria bergiwang itu.“Kakanda Danapati, bisa kah kau cari keberadaan Arya? Aku merasa dia memiliki hal di luar dari kemampuanku dan Ayahandaku untuk menyelamatkan Kakanda Sanggageni,” pinta Jenar sambil terus terisak.Danapati tak menjawab. Ia segera bangkit dan hendak meninggalkan mereka bertiga manakala empat orang pengawal raja datang. Mereka segera bersimpuh tak berani lebih tinggi dari rajanya.“Tak perlu, Danapati! Biar mereka saja yang mencari Arya. Kau tetap di sini lindungi kami dari apa pun yang menyerang!” titah Ki Bayanaka. Danapati tak berani bereaksi. Ia melihat

DMCA.com Protection Status