Arya tak pedulikan lagi akan jadi apa para prajurit itu. Ia hanya melepaskan anak panah yang membara ke udara. Anak panah itu menukik seperti bola api berekor siap menghantam bumi dan apa pun yang ada di atasnya. Itu lah terakhir kali ia menghadap ke arah istana Astagina. Selebihnya ia hanya memacu Aswabrama menuju desa Girijajar, menemui ibundanya. Memang benar Arya hanyalah seorang remaja. Patih Waradhana dan Prabu Ranajaya lahir lebih dahulu, jauh darinya. Tapi sebuah muslihat murahan seperti yang dikatakan Patih Astagina itu tentu tak bisa ia percayai begitu saja. Sudah banyak kebijakan dzalim dari penguasa Astagina itu, tak mungkin itu hanya sekadar menjalankan roda pemerintahan saja. Derap langkah Aswabrama terdengar begitu mantap dan teratur. Kuda ini seolah tak mau kalah antusias dari penunggangnya. Jalan terjal menanjak dilahapnya dengan mudah. Dengan kondisi seprima ini tak butuh waktu lama untuk segera tiba. Mungkin beberapa masa setelah matahari tenggelam. “Ah, mengapa a
Gantari berusaha tersenyum di ujung ajalnya. Banyak sekali yang ingin ia utarakan pada putranya, namun napasnya sudah tercekat di tenggorokan. Perempuan itu tak bisa lagi melenguh meski sesungguhnya sedikit guncangan saja membuat sakitnya bertambah berkali-kali. Namun paling tidak kematiannya begitu tenang karena berada di pangkuan Arya. “Ibu ... tidak, Ibu, bertahan lah!” pekik Arya sambil mengguncang wajah ibundanya. Gantari tak mampu berkata apa pun. Ia hanya terus tersenyum meski mulutnya telah dipenuhi oleh darahnya sendiri. Arya tak mampu lagi melihat kondisi ibundanya. Ia rengkuh tubuh perempuan paruh baya itu dengan tangisan kerasnya. Pemuda itu sadar ini lah akhir hidup ibundanya. Putri mendiang Prabu Wirajaya yang terpaksa terbuang karena sebuah pengkhianatan. Tubuh Gantari mengejang sesaat. Ia terus mencoba menahan bola matanya agar tak bergerak ke atas. Perempuan itu tak ingin putranya terus menyaksikan kondisinya yang mengenaskan. Satu tarikan napas yang terhenti menan
“Baik, aku tak akan memintamu lagi.” Senopati Sakuntala masih terus mengangkat kedua tangannya. Akan sangat fatal bila ia terkena Cundhamani dalam jarak sedekat ini. Tubuhnya ini tak akan bersisa lagi. “Jadi, berhenti lah memerintahku seolah aku ini abdimu!” bentak Arya. Pemuda itu mencoba untuk menerima kenyataan yang terjadi. Kematian ibunda terasa belum cukup sedang maksud dari penyerangan Baka Nirdaya pimpinan ayahandanya belum terjawab. Arya masih menghunuskan panahnya di samping jasad Gantari. Namun tak lagi ia arahkan pada Senopati Sakuntala. “Kalaupun tak mengenai, paling tidak ini jadi tanda bahwa pembalasan akan segera datang!” Arya menarik busurnya maksimal. Meski terkena air hujan, mata panah yang membara itu sama sekali tak berdesis seperti bara api yang tersiram air pada umumnya. Sebentar saja lengan Arya bergetar. Pemuda itu segera melepaskan cengkraman ibu jari tangan kanan pada tali busur dan ekor anak panah. Anak panah logam itu melesat ke langit menembus air dan
Sudah dua kali Gantari menjalani purnama seorang diri. Setelah kehilangan putranya, sekejap saja ia sudah kesepian. Kabar dari suaminya tak jua kunjung datang. Si Jenaka, elang milik suaminya juga tak pernah terlihat dan terdengar kepakan sayapnya. Di desa ini hanya ada perempuan dan anak-anak. Banyak dari mereka yang memilih mengungsi ke desa lain. Perempuan yang masih cantik itu bangkit dari alat tenunnya. Ia melangkah dari beranda rumah ke sebuah bangunan di sisi belakang, tempat suaminya dan terakhir putranya menempa besi. Semua barang-barang di sana terbengkalai. Beberapa besi tampak tergeletak begitu saja. Sebagian besar masih berupa senjata setengah jadi. “Suamiku, apa yang terjadi? Mengapa kau tak kunjung menjemputku? Arya sudah diambil istana, aku tak tahu bagaimana kabarnya kini,” lirih Gantari sambil menengadah menatap rembulan yang sebagian tertutup awan. Angin dingin gunung Payoda menerpa tubuh langsing Gantari. Perempuan itu bergidik dan menaikkan kain tenunannya sendi
Sinar mentari dan aroma jelaga membangunkan Arya. Aswabrama sudah lebih dahulu mencari makanannya sendiri. Pemuda itu menggeliat, tubuhnya terasa pegal-pegal. Belum lagi semalaman terguyur hujan, membuatnya sedikit tak sehat. Namun ia tetap harus bangun, desa ini tak berpenghuni lagi. Tanah pusara ibundanya masih merah dan basah. Arya terpekur lama di samping pusara itu. Ia gagal menyusul ayahandanya karena jalanan terputus akibat Sasra Sayaka-Cundhamani. Arya menyesali, akibat ulahnya sendiri jalan menuju markas ayahandanya menjadi tak bisa dilalui. Masih begitu segar di ingatan Arya bagaimana ibundanya bersikukuh memintanya untuk pergi saat prajurit-prajurit Astagina itu mengambil paksa para pemuda desa. Namun ia begitu keras kepala dan terlalu percaya diri. Hingga akhirnya ibundanya turun tangan dan terpaksa mengeluarkan Suji Pati. “Kalau saja aku turuti Ibu....” Arya menghela napasnya. Semalam pasti ibundanya dikeroyok banyak orang, hingga Suji Pati tak mampu mengimbangi. Penyes
“Aku bahkan belum bertemu dengan Ibundamu, tapi beliau lebih dulu mangkat,” ujar Jenar sendu. Sang pujaan hati kini berada di hadapannya. Menatap kosong rumpun bambu yang sebagian hancur karena ulah mereka berdua tempo hari. Netranya mengembun, namun tak sampai meneteskan air mata. “Hal itu lah yang menguatkan tekadku untuk pergi berperang, Jenar. Kematian Ibundaku tak boleh sia-sia. Seseorang harus bertanggung jawab!” Dendam di hati Arya sama sekali tak bisa disinggung, langsung tersulut seketika. “Walaupun itu Ayahandamu sendiri?” “Ya! Aku tak punya pilihan lain!” tandas Arya. “Bagaimana bila bukan Baka Nirdaya pelakunya? Aku tak bisa menemukan alasan kuat untuk Ayahandamu menyerang dan menghancurkan desanya sendiri. Sedang yang ia tahu anak dan istrinya masih berada di sana.” Jenar mencoba menganalisa. “Kekuasaan tak mengenal anak dan istri, Jenar! Apa lagi desa.” Kedua telapak tangan Arya mengepal keras. Ia seolah membutuhkan sesuatu yang bisa ia hantam demi melepaskan emosiny
Ki Bayanaka tergesa menaiki anak tangga rumah panggungnya. Setiap ruang ia masuki dan akhirnya mendapatkan putrinya duduk sendiri di belakang rumah. Jenar tetap duduk di sana meski sudah mengetahui ayahandanya pulang, tak seperti biasanya. “Jenar, apakah Arya tadi ke sini?” tanya Ki Bayanaka sambil berjalan mendekat. Jenar mengangguk, lalu gadis itu kembali menatap kosong ke depan. Ki Bayanaka mengamini bahwa pemuda itu sudah lebih dahulu memberi tahu niatnya berperang pada putrinya. Sikap Jenar sudah lebih dari cukup untuk mengkonfirmasinya. “Jadi dia sudah mengatakan padamu akan turun ke medan perang?” tanya Ki Bayanaka lagi. Pria itu lalu duduk di sebelah putrinya berjarak satu lengan. “Ya, Arya menceritakan semuanya, Ayah. Tentang kematian Ibundanya, yang menurutnya dilakukan oleh pasukan Baka Nirdaya,” terang Jenar. “Tunggu! Jadi Gusti Dewi Gantari sudah wafat?” Ki Bayanaka terkejut tak percaya. “Tak mungkin Baka Nirdaya pelakunya! Bagaimana dia bisa yakin pelakunya prajurit
Rombongan pasukan Astagina telah tiba di padang Kalaha, sebush dataran luas yang dikelilingi perbukitan. Tepat di kaki bukit sebelah selatan dibangun tenda-tenda kecil mengelilingi sebuah tenda besar dengan simbol Astagina besar. Entah kapan tenda itu dibangun, pasti memerlukan waktu yang cukup lama demi menaungi sepuluh ribu prajurit. Panji-panji Astagina berkibar dimana-mana. Derap langkah kaki kuda bercampur dengan langkah prajurit dengan kaki-kaki lelah terdengar di telinga. Hembusan angin di area terbuka ini tak bisa membiaskan suara keterpaksaan dan ketakutan banyak pemuda kasta terendah. Nasib mereka akan segera ditentukan besok. “Mari, Raden Arya Nandika ikut bersamaku,” ajak Senopati Sakuntala. Arya dibawa ke sebuah tenda yang cukup besar tepat di sisi tenda paling besar. “Untuk apa kita berada di tenda ini?” tanya Arya. “Perang baru akan terjadi besok. Kau tak perlu tegang, istirahat lah dulu,” ujar Senopati Sakuntala dengan santainya. Ia sama sekali tak mengerti pergolak
“Bukan kah prajurit udaramu tadi sudah memeriksa semua kapal ini, Braja?” tanya Ki Bayanaka. “Ya, sepertinya kapal satu ini luput dari pemeriksaan. Atau....” Seorang pria bertubuh kurus dan berkulit cerah tertawa di atas kapal yang separuhnya sudah terbakar. Ia merasa jumawa melihat dua pria tua, seorang perempuan dan seorang pemuda yang sudah tidak berdaya. Dengan senjata berkekuatan besar, ia merasa di atas angin. “Siapa sebenarnya mereka?” tanya Jenar sembari mengernyitkan kening. Belum juga terjawab, bentuk kapal, senjata dan panji asing itu. “Entah lah, Jenar. Tapi orang ini pasti lemah. Merasa kuat karena memiliki senjata yang mampu melontarkan bola-bola api itu,” ucap Ki Bayanaka begitu yakin. “Bagaimana Ayahanda bisa begitu yakin?” tanya Jenar. “Coba lah kau perhatikan gelagatnya. Orang dengan kemampuan tinggi tak mungkin bertingkah seperti itu. Bukan begitu, Braja?” ucap Ki Bayanaka melemparkan kalimat kepada Sanggageni. “Hmm, jadi siapa yang akan memberinya pelajaran?”
Tak ada yang bisa dilakukan Jenar setelah sampai di pantai selatan kerajaannya. Pagar api setinggi pagar Astagina itu menghalangi apa pun dan siapa pun. Tak mungkin melaluinya dengan selamat. Perempuan itu tampak mulai meneteskan air mata. Bagaimana mungkin suaminya berbuat sedemikian rupa. Hatinya berkecamuk, sungguh ia tak ingin kehilangan Arya secepat ini.“Arya, dasar bodoh! Apa yang kau lakukan?” umpat Jenar dengan kedua tangan mengepal. Ia merasa begitu hina sebagai raja tak mengetahui patih sekaligus suaminya di dalam sana berjuang seorang diri.Raja Astagina itu mulai terisak. Rasa panas mendera wajahnya dari jarak lima tombak ini. Keningnya mengernyit keras. Ia merasa harus berbuat sesuatu. Berdiam diri tak akan berdampak apa pun. Berada di istananya jauh lebih baik.“Pasukan udara milik Kakanda Sanggageni, dimana mereka?” tiba-tiba Jenar teringat akan sepuluh orang prajurit yang direkrut oleh Sanggageni demi mewujudkan idenya memiliki serangan udara.“Gunakan ini!” Danapati
Arya melepaskan sekali lagi Sasra Sayaka-Cundhamani dengan sisa amarahnya. Anak panah logam hitam berlumur darahnya sendiri melesat ke arah ribuan prajurit yang mulai terkikis keberaniannya. Serupa dengan tenaga dan kesadaran Arya. Pemuda itu menjatuhkan busur Agnitama pada mulanya. Disusul dengan tubuh lemah dan compang-campingnya.Arya mendengus berusaha melihat apa yang terjadi dengan serangannya itu. Tubuh-tubuh musuh yang tercerai berai. Terburai anggota tubuhnya. Terbakar api Cundhamani hingga meronta-ronta, berguling di tanah dan masuk ke dalam air laut. Semua berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.“Sisanya aku serahkan padamu, Raden Danapati!” gumam Arya sembari mengubah posisi kepalanya. Menoleh kepada Aswabrama dan memastikan kembali bahwa Danapati benar-benar pergi.Binatang dan tuan itu saling pandang. Tak ada kata dari mereka yang dimengerti. Namun tatapan bola mata itu sudah menjelaskan semuanya. Berjuang bersama-sama. Melewati bahaya, nyaris kehilangan nyawa, dan kini
“Tapi bagaimana caranya, Braja? Kau lihat sendiri api Cundhamani menghalangi kita?” pungkas Ki Bayanaka. Pria tua itu memang peragu yang luar biasa. Itu sebab dahulu ia menjadi pelatih prajurit alih-alih bergabung bersama Baka Nirdaya memerangi kedzaliman.“Pantai selatan memang sudah menjadi lautan api. Tapi tidak dengan langitnya!” timpal Sanggageni. “Pengawal! Kau pengawal raja, bukan?” tanyanya.Seorang pengawal raja yang sejak tadi bertugas melindungi dua penasihat itu maju selangkah dengan penuh penghormatan. Ia berkata lantang, “Benar, Tuan! Mohon katakan titah Tuan!”“Cari pasukan udaraku! Bawa secepatnya mereka ke sini!” titah Sanggageni lantang. Pria itu berdiri tegak menatap lautan api dengan memegangi lengan kanannya. Tak ada artinya hidup dengan sebelah tangan namun tak mampu menyelamatkan putranya sendiri.“Sendika, Tuan!”Ki Bayanaka bangkit berdiri di sisi Sanggageni. Tak ada yang menyangka Astagina akan berada di ujung tanduk seperti ini. Pria itu menyentuh pundak adi
Pantai selatan Astagina kini tak ubahnya seperti gerbang api. Tak ada tempat untuk melarikan diri. Bagi bala tentara asing itu, juga bagi Arya. Suara desis api Cundhamani bertemu air laut mengepulkan asap putih buah dari air yang menguap. Arya melepaskan Sasra Sayaka-Cundhamani sekali lagi. Kali ini ke arah deretan kapal-kapal perang yang sebagian telah terbakar.“Kau yakin hal ini, Gusti?” tanya Danapati manakala sudah mengenakan jubah pemberian Arya.“Apa kau meragukanku, Raden?” tanya Arya kembali. Pemuda itu menoleh dan tersenyum. Memperlihatkan deretan giginya yang memerah karena darah. Tak ada yang tahu bahwa Patih Astagina itu sudah melampaui batas ketahanan tubuhnya sendiri.“Gusti, kau....”Tak sempat Danapati berkata lebih banyak, Arya terlanjut menyentak tali kekang Aswabrama. Ia songsong ratusan pasukan berkuda musuh sendirian. Atau hanya berdua saja dengan kudanya. Arya menghunuskan anak panah logamnya. Kali ini dengan posisi tubuh setengah berdiri. Danapati terhenyak, ya
“Arya? Bagaimana dengan Ayahandamu?” tanya Jenar tak menyangka suaminya akan hadir dan menyela percakapannya dengan Danapati dan pengawal.Arya tak menjawab, menggerakkan sedikit kepalanya memberi isyarat pada Jenar agar melihat sendiri kondisi ayahandanya. Pemuda itu sudah siap dengan busur Agnitama dan puluhan anak panah logam di tempatnya menggantung di punggung.Dari jarak puluhan depa itu Jenar masih mampu melihat Sanggageni dan ayahandanya tengah duduk bersila. Ki Bayanaka masih mengobati kakak ipar sekaligus mertuanya itu dengan tenaga dalam. Sedang Sanggageni sudah mampu duduk sendiri. Ia jauh lebih baik meski lengan kanannya tak akan kembali lagi.“Pergi lah ... Istriku! Tunggu aku kembali membawa kemenangan!” lirih Arya di telinga Jenar sembari melewati tubuh perempuan cantik itu.Jenar terpekur, setelah pertengkaran mereka berdua karena Rara Anjani di desa Girijajar tempo hari, baru kali ini ia melihat tekad di mata Arya. Tekad yang sama saat Arya pamit untuk pergi ke medan
Panji-panji dengan aksara asing itu berkibar-kibar tinggi. Pasukan berkuda dengan penutup kepala logam dengan beringas membunuh apa pun yang menghadang. Darah Jenar mendidih menyaksikan para prajurit yang baru saja direkut menjadi korban tanpa sempat mempertahankan nyawa. Perempuan itu menghentakkan tungkainya di permukaan batu besar sekaligus menandai radius serangannya.“Beraninya kalian mengobrak-abrik Astagina! Hanya ada satu ganjaran ... Mati!” seru Jenar mengumbar amarah.Kilatan-kilatan terlihat bergerak begitu cepat tanpa bisa diikuti oleh mata. Denting penutup kepala logam dan tusuk konde emas mendahului robohnya pasukan berkuda itu satu demi satu. Tak ada yang paham bahwa perempuan yang menari di atas batu itu lah dalangnya.Pasukan berkuda musuh saling pandang. Menarik tali kekang kuda hingga kuda-kuda perkasa itu meringkik begitu kuat. Mereka mengedarkan pandangan ke sekitar selatan pesisir pantai Astagina. Selama itu pula mereka seolah tinggal menunggu kematian.Danapati
Arya mendarat dengan keras tepat di belakang para prajurit yang melingkar melindungi rajanya. Ia sibak bahu-bahu penuh ketegangan itu demi sampai di tempat ayahandanya diobati. Penjelasan dari pengawal raja tadi belum mampu membuatnya mengerti bagaimana kondisi Sanggageni sebenarnya.Namun seluruh tubuh Arya terasa tak bertulang manakala menyaksikan kondisi ayahandanya yang memprihatinkan. Ia luruh jatuh bersimpuh di tanah tepat di samping Ki Bayanaka, berhadapan dengan Jenar. Pemuda itu tak percaya hal mengerikan seperti ini terjadi pada ayahandanya.“Kau datang juga,” lirih Ki Bayanaka.“A-apa yang terjadi....”“Braja tak akan seperti ini andai saja kalian bisa bersikap bijak dan tak menuruti hawa nafsu!” tegas Ki Bayanaka sekali lagi.“Maksudmu....”“Kakanda Sanggageni terkena bola api itu, Arya! Dan sekarang pasukan berkuda mereka sedang menuju kemari!” ujar Jenar setengah menyeru. Ia tahu bahwa ini pula kesalahannya. Namun diamnya suaminya tentu bukan tindakan yang tepat dilakuka
Jenar menitikkan air mata. Kata-kata ayahandanya memang begitu menusuk hati. Namun melihat kondisi Sanggageni lah hal yang membuatnya begitu sakit. Ia terlalu lama memadu kasih dengan Arya hingga membuat ayahanda Arya dalam kondisi mengenaskan.“Bertahan lah, Braja! Dasar bedebah!” hardik Ki Bayanaka terus mengerahkan segala kemampuannya untuk menyelamatkan nyawa Sanggageni. Sejauh ini tak ada reaksi apa pun dari pria bergiwang itu.“Kakanda Danapati, bisa kah kau cari keberadaan Arya? Aku merasa dia memiliki hal di luar dari kemampuanku dan Ayahandaku untuk menyelamatkan Kakanda Sanggageni,” pinta Jenar sambil terus terisak.Danapati tak menjawab. Ia segera bangkit dan hendak meninggalkan mereka bertiga manakala empat orang pengawal raja datang. Mereka segera bersimpuh tak berani lebih tinggi dari rajanya.“Tak perlu, Danapati! Biar mereka saja yang mencari Arya. Kau tetap di sini lindungi kami dari apa pun yang menyerang!” titah Ki Bayanaka. Danapati tak berani bereaksi. Ia melihat