“Aku bahkan belum bertemu dengan Ibundamu, tapi beliau lebih dulu mangkat,” ujar Jenar sendu. Sang pujaan hati kini berada di hadapannya. Menatap kosong rumpun bambu yang sebagian hancur karena ulah mereka berdua tempo hari. Netranya mengembun, namun tak sampai meneteskan air mata. “Hal itu lah yang menguatkan tekadku untuk pergi berperang, Jenar. Kematian Ibundaku tak boleh sia-sia. Seseorang harus bertanggung jawab!” Dendam di hati Arya sama sekali tak bisa disinggung, langsung tersulut seketika. “Walaupun itu Ayahandamu sendiri?” “Ya! Aku tak punya pilihan lain!” tandas Arya. “Bagaimana bila bukan Baka Nirdaya pelakunya? Aku tak bisa menemukan alasan kuat untuk Ayahandamu menyerang dan menghancurkan desanya sendiri. Sedang yang ia tahu anak dan istrinya masih berada di sana.” Jenar mencoba menganalisa. “Kekuasaan tak mengenal anak dan istri, Jenar! Apa lagi desa.” Kedua telapak tangan Arya mengepal keras. Ia seolah membutuhkan sesuatu yang bisa ia hantam demi melepaskan emosiny
Ki Bayanaka tergesa menaiki anak tangga rumah panggungnya. Setiap ruang ia masuki dan akhirnya mendapatkan putrinya duduk sendiri di belakang rumah. Jenar tetap duduk di sana meski sudah mengetahui ayahandanya pulang, tak seperti biasanya. “Jenar, apakah Arya tadi ke sini?” tanya Ki Bayanaka sambil berjalan mendekat. Jenar mengangguk, lalu gadis itu kembali menatap kosong ke depan. Ki Bayanaka mengamini bahwa pemuda itu sudah lebih dahulu memberi tahu niatnya berperang pada putrinya. Sikap Jenar sudah lebih dari cukup untuk mengkonfirmasinya. “Jadi dia sudah mengatakan padamu akan turun ke medan perang?” tanya Ki Bayanaka lagi. Pria itu lalu duduk di sebelah putrinya berjarak satu lengan. “Ya, Arya menceritakan semuanya, Ayah. Tentang kematian Ibundanya, yang menurutnya dilakukan oleh pasukan Baka Nirdaya,” terang Jenar. “Tunggu! Jadi Gusti Dewi Gantari sudah wafat?” Ki Bayanaka terkejut tak percaya. “Tak mungkin Baka Nirdaya pelakunya! Bagaimana dia bisa yakin pelakunya prajurit
Rombongan pasukan Astagina telah tiba di padang Kalaha, sebush dataran luas yang dikelilingi perbukitan. Tepat di kaki bukit sebelah selatan dibangun tenda-tenda kecil mengelilingi sebuah tenda besar dengan simbol Astagina besar. Entah kapan tenda itu dibangun, pasti memerlukan waktu yang cukup lama demi menaungi sepuluh ribu prajurit. Panji-panji Astagina berkibar dimana-mana. Derap langkah kaki kuda bercampur dengan langkah prajurit dengan kaki-kaki lelah terdengar di telinga. Hembusan angin di area terbuka ini tak bisa membiaskan suara keterpaksaan dan ketakutan banyak pemuda kasta terendah. Nasib mereka akan segera ditentukan besok. “Mari, Raden Arya Nandika ikut bersamaku,” ajak Senopati Sakuntala. Arya dibawa ke sebuah tenda yang cukup besar tepat di sisi tenda paling besar. “Untuk apa kita berada di tenda ini?” tanya Arya. “Perang baru akan terjadi besok. Kau tak perlu tegang, istirahat lah dulu,” ujar Senopati Sakuntala dengan santainya. Ia sama sekali tak mengerti pergolak
“Ayahandaku pemilik asli Ajian Dasa Daraka?” “Tentu bukan, Sanggageni pasti belajar pada orang yang lebih dahulu menguasainya. Bisa kau lihat sendiri betapa merepotkannya mereka!” umpat Patih Waradhana di akhir kalimatnya. Arya terperangah di balik teropong. Pemandangan mengerikan mau tak mau ia tatap dengan seksama secara langsung. Baginya tak ada lagi kata mundur. Ia harus maju demi membalaskan kematian ibundanya. Persetan dengan urusan Astagina dan Baka Nirdaya. Pemuda itu segera mencabut anak panah logamnya. Namun Patih Waradhana mencegahnya. “Tunggu, Arya. Kita tetap harus menjalankan strategi meski Cundhamanimu itu bisa diandalkan!” ucap Patih Waradhana sambil mengulurkan tangan di depan Arya. “Lalu? Apa yang kita tunggu? Kau memerintahkan Duwana untuk maju lebih dulu. Bukan kah itu sama dengan mengorbankan mereka?” cecar Arya. Ia merasa terganggu karena tak berbuat apa-apa sedang banyak pemuda desanya bergabung dalam pasukan Duwana. “Korban dalam perang tak bisa dihindarkan
Seluruh pasukan Baka Nirdaya seketika menatap ke atas. Mereka ingin mengetahui hal apa yang membuat medan perang menjadi terang selain matahari. Sejenak mereka mengabaikan lawan yang akan membunuh dan ia bunuh. Arena luas baku hantam itu mendadak hening. Hanya ada suara desis anak panah api membelah udara. Sanggageni dan Pranawa saling pandang. Setelah mencapai puncak, anak panah itu segera menukik tajam menuju ribuan pasukan Baka Nirdaya. Dan segera anak panah itu bertambah menjadi ratusan bahkan mungkin ribuan. “Apa itu, Pranawa?” “Aku sendiri baru pertama kali ini melihatnya, Kakanda.” Pranawa masih menatap ribuan anak panah api itu yang terus menukik seperti migrasi kawanan burung menjelang pergantian musim. “Apakah ini Cundhamani? Panah api legenda itu tapi tidak menggandakan diri,” ujar Sanggageni ragu. Pemimpin Baka Nirdaya itu belum menyadari bahwa pasukannya terancam bahaya yang luar biasa. Pasukan Baka Nirdaya dikenal dengan pasukan tanpa perisai. Mereka turun ke medan p
Kegelapan yang menyelimuti medan perang tiba-tiba tersibak. Sebuah titik cahaya jingga muncul membuat siapa pun di Padang Kalaha ini segera menoleh padanya. Pranawa segera memacu kudanya mengekati Sanggageni yang memandang cahaya itu dengan terpaku. “Kakanda! Ayo naik!” seru Pranawa. Sanggageni segera naik di belakang Pranawa. Keduanya berniat untuk kembali lagi ke ketinggian agar situasi musuh dapat terlihat dengan lebih jelas. Mungkin saja cahaya jingga itu adalah sumber dari api yang membakar pasukan Baka Nirdaya tadi. Meski beberapa prajurit sudah mulai bangkit kembali dengan cukup sulit sekarang. “Apa aku tak salah lihat, Kakanda! Itu Arya!” pekik Pranawa terperangah. Titik cahaya jingga itu berasal dari mata panah yang dihunuskan kemenakannya dari atas seekor kuda. “Apa? Arya? Bagaimana bisa anak itu punya....” Kata-kata Sanggageni terhenti. Ia memastikan sekali lagi apa yang ia lihat dari kejauhan ini. “Itu Cundhamani, Pranawa! Sejak kapan Arya menguasainya?” Anak panah den
“Arya pasti dilindungi, Kakanda!” Pranawa berusaha mencegah Sanggageni untuk mendekat ke baris terdepan. Sedang Arya sendiri berada di garis belakang pasukan Astagina. Akan amat riskan dan berisiko bila pria bergiwang itu nekad mendekati putranya dan mencoba menghentikannya. “Maka perintahkan lah pasukan panahmu untuk menyerang Arya! Jika memang dia dilindungi, dia tak akan mati!” seru Sanggageni sambil merangsek menembus pasukan Andanu dan Duwana. “Sial! Mengapa jadinya seperti ini!” rutuk Pranawa sambil mendekat dan mengkoordinasikan pasukan panah untuk menyerang ke arah cahaya jingga bila muncul kembali. Dengan majunya Sanggageni, maka terdapat celah yang digalang pasukan Duwana Astagina. Gelombang api dari Candrasa Agni miliknya membelah barisan pasukan itu seperti angin yang menerbangkan debu. Tak ada usaha dari prajurit-prajurit itu untuk menangkal bahkan mengimbangi Sanggageni. Pengendalian kekuatan apinya begitu presisi dan kuat. “Kau lihat sendiri Ayahandamu, ia mengamuk s
Ratusan jasad prajurit Astagina dikumpulkan di sisi kiri Padang Kalaha. Sedang korban dari pihak Baka Nirdaya yang hanya belasan di urus oleh rekan-rekannya secara layak. Perbedaan jumlah korban yang mencolok memang selalu terjadi di tiga perang terakhir. Itu semua karena Ajian Dasa Daraka. Senopati Sakuntala memimpin prosesi kremasi para korban perang Astagina. Ratusan jasad itu dibakar di tumpukan kayu yang telah dibasahi minyak. Suara perut yang meletus, kulit meletus dan aroma tak sedap segera memenuhi Padang Kalaha. Bagi orang yang pertama mengalami dijamin tak akan lagi mampu menyantap makanan. Rasa mual yang hebat pasti mendera. “Kau boleh kembali ke tendamu jika tak kuat lagi,” ujar Senopati Sakuntala pada Arya yang terlihat pucat dan mulai menutup indra penciumnya. “Tidak, aku tak apa.” Arya segera menyingkirkan tangannya yang menutupi hidung. “Tapi wajahmu begitu pucat, Arya!” “Aku hanya lelah, melepaskan sepuluh Sasra Sayaka – Cundhamani ternyata menguras tenagaku. Aku