“Ayahandaku pemilik asli Ajian Dasa Daraka?” “Tentu bukan, Sanggageni pasti belajar pada orang yang lebih dahulu menguasainya. Bisa kau lihat sendiri betapa merepotkannya mereka!” umpat Patih Waradhana di akhir kalimatnya. Arya terperangah di balik teropong. Pemandangan mengerikan mau tak mau ia tatap dengan seksama secara langsung. Baginya tak ada lagi kata mundur. Ia harus maju demi membalaskan kematian ibundanya. Persetan dengan urusan Astagina dan Baka Nirdaya. Pemuda itu segera mencabut anak panah logamnya. Namun Patih Waradhana mencegahnya. “Tunggu, Arya. Kita tetap harus menjalankan strategi meski Cundhamanimu itu bisa diandalkan!” ucap Patih Waradhana sambil mengulurkan tangan di depan Arya. “Lalu? Apa yang kita tunggu? Kau memerintahkan Duwana untuk maju lebih dulu. Bukan kah itu sama dengan mengorbankan mereka?” cecar Arya. Ia merasa terganggu karena tak berbuat apa-apa sedang banyak pemuda desanya bergabung dalam pasukan Duwana. “Korban dalam perang tak bisa dihindarkan
Seluruh pasukan Baka Nirdaya seketika menatap ke atas. Mereka ingin mengetahui hal apa yang membuat medan perang menjadi terang selain matahari. Sejenak mereka mengabaikan lawan yang akan membunuh dan ia bunuh. Arena luas baku hantam itu mendadak hening. Hanya ada suara desis anak panah api membelah udara. Sanggageni dan Pranawa saling pandang. Setelah mencapai puncak, anak panah itu segera menukik tajam menuju ribuan pasukan Baka Nirdaya. Dan segera anak panah itu bertambah menjadi ratusan bahkan mungkin ribuan. “Apa itu, Pranawa?” “Aku sendiri baru pertama kali ini melihatnya, Kakanda.” Pranawa masih menatap ribuan anak panah api itu yang terus menukik seperti migrasi kawanan burung menjelang pergantian musim. “Apakah ini Cundhamani? Panah api legenda itu tapi tidak menggandakan diri,” ujar Sanggageni ragu. Pemimpin Baka Nirdaya itu belum menyadari bahwa pasukannya terancam bahaya yang luar biasa. Pasukan Baka Nirdaya dikenal dengan pasukan tanpa perisai. Mereka turun ke medan p
Kegelapan yang menyelimuti medan perang tiba-tiba tersibak. Sebuah titik cahaya jingga muncul membuat siapa pun di Padang Kalaha ini segera menoleh padanya. Pranawa segera memacu kudanya mengekati Sanggageni yang memandang cahaya itu dengan terpaku. “Kakanda! Ayo naik!” seru Pranawa. Sanggageni segera naik di belakang Pranawa. Keduanya berniat untuk kembali lagi ke ketinggian agar situasi musuh dapat terlihat dengan lebih jelas. Mungkin saja cahaya jingga itu adalah sumber dari api yang membakar pasukan Baka Nirdaya tadi. Meski beberapa prajurit sudah mulai bangkit kembali dengan cukup sulit sekarang. “Apa aku tak salah lihat, Kakanda! Itu Arya!” pekik Pranawa terperangah. Titik cahaya jingga itu berasal dari mata panah yang dihunuskan kemenakannya dari atas seekor kuda. “Apa? Arya? Bagaimana bisa anak itu punya....” Kata-kata Sanggageni terhenti. Ia memastikan sekali lagi apa yang ia lihat dari kejauhan ini. “Itu Cundhamani, Pranawa! Sejak kapan Arya menguasainya?” Anak panah den
“Arya pasti dilindungi, Kakanda!” Pranawa berusaha mencegah Sanggageni untuk mendekat ke baris terdepan. Sedang Arya sendiri berada di garis belakang pasukan Astagina. Akan amat riskan dan berisiko bila pria bergiwang itu nekad mendekati putranya dan mencoba menghentikannya. “Maka perintahkan lah pasukan panahmu untuk menyerang Arya! Jika memang dia dilindungi, dia tak akan mati!” seru Sanggageni sambil merangsek menembus pasukan Andanu dan Duwana. “Sial! Mengapa jadinya seperti ini!” rutuk Pranawa sambil mendekat dan mengkoordinasikan pasukan panah untuk menyerang ke arah cahaya jingga bila muncul kembali. Dengan majunya Sanggageni, maka terdapat celah yang digalang pasukan Duwana Astagina. Gelombang api dari Candrasa Agni miliknya membelah barisan pasukan itu seperti angin yang menerbangkan debu. Tak ada usaha dari prajurit-prajurit itu untuk menangkal bahkan mengimbangi Sanggageni. Pengendalian kekuatan apinya begitu presisi dan kuat. “Kau lihat sendiri Ayahandamu, ia mengamuk s
Ratusan jasad prajurit Astagina dikumpulkan di sisi kiri Padang Kalaha. Sedang korban dari pihak Baka Nirdaya yang hanya belasan di urus oleh rekan-rekannya secara layak. Perbedaan jumlah korban yang mencolok memang selalu terjadi di tiga perang terakhir. Itu semua karena Ajian Dasa Daraka. Senopati Sakuntala memimpin prosesi kremasi para korban perang Astagina. Ratusan jasad itu dibakar di tumpukan kayu yang telah dibasahi minyak. Suara perut yang meletus, kulit meletus dan aroma tak sedap segera memenuhi Padang Kalaha. Bagi orang yang pertama mengalami dijamin tak akan lagi mampu menyantap makanan. Rasa mual yang hebat pasti mendera. “Kau boleh kembali ke tendamu jika tak kuat lagi,” ujar Senopati Sakuntala pada Arya yang terlihat pucat dan mulai menutup indra penciumnya. “Tidak, aku tak apa.” Arya segera menyingkirkan tangannya yang menutupi hidung. “Tapi wajahmu begitu pucat, Arya!” “Aku hanya lelah, melepaskan sepuluh Sasra Sayaka – Cundhamani ternyata menguras tenagaku. Aku
Suara beberapa ekor kuda disertai teriakan penunggannya membuat Sanggageni menghentikan kegiatannya mencari kayu terbaik untuk tangkai senjata. Lelaki itu mengulurkan lehernya untuk mencoba melihat apa yang terjadi sampai burung-burung terbang dari sarangnya. Namun yang ia lihat adalah seorang gadis cantik dengan banyak perhiasan di tubuhnya, lari bersama seorang perempuan paruh baya. Mereka berdua terlihat begitu ketakutan. Sesekali mereka menoleh ke belakang, tak kurang lima penunggang kuda mengejar keduanya. Berbagai senjata melesat di udara. Anak panah dan tombak terlihat paling banyak. Namun tak ada satu pun yang berhasil mengenai targetnya. “Astaga, apa yang terjadi? Dua perempuan dikejar banyak pria berkuda,” gumam Sanggageni. Ia masih tak menampakkan dirinya dan memilih tetap diam di dalam semak Wana Payoda. Namun semua yang tengah terjadi dapat ia saksikan, karena persembunyiannya berada di ketinggian. Gadis cantik berkulit cerah itu segera berteriak saat anak panah nyaris
“Kau utusan Gantari? “Bukan, Gusti. Hamba hanya diminta Gusti Dewi Gantari untuk melindungi Gusti Arya Nandika saat beliau diambil paksa untuk berperang,” terang lelaki itu. Sanggageni dan Pranawa mengangguk sambil mengusap dagu mereka. Sesekali mereka saling pandang. Benar apa yang dikatakan Ki Bayanaka lewat suratnya. Itu lah awal mula Arya bisa berada di lingkungan istana Astagina. “Ceritakan lah, Ki Sanak. Oh iya, siapa namamu?” Sanggageni mendekat dan duduk di tanah berhadapan dengan lelaki itu. “Hamba Patria, Gusti. Sebelumnya ampuni hamba bila tak sepenuhnya mampu mengawasi Raden Arya. Hari pertama di istana, Raden Arya sudah membuat istana gembar karena melempar Patih Waradhana dengan panah api,” lanjut Patria. “Melempar? Panah Api?” tanya Sanggageni dan Pranawa hampir bersamaan. “Benar, Gusti. Panah Apinya berhasil menghanguskan pedang bermata dua andalan Gusti Patih. Lalu Raden Arya diserang Patih hingga terluka parah. Selebihnya hamba tak mengetahui karena beliau diraw
“Seharian Arya hanya mampu melepaskan sepuluh Sasra Sayaka-Cundhamani, Gusti. Apa yang akan kita lakukan? Pasalnya Sanggageni mampu mengimbanginya?” tanya seorang Senopati yang bertugas di divisi pasukan berkuda. “Selama Sanggageni mengetahui lokasi Arya, kita tak akan mampu menguasai medan perang. Masalahnya mata panah Arya selalu memancarkan cahaya jingga tiap kali terhunus,” tambah Senopati Sakuntala sambil memegangi keningnya. Setelah prosesi kremasi, mau tak mau ia harus kembali ke tenda utama untuk membicarakan strategi. “Sakuntala, apa sepuluh pendekar itu bisa dipercaya?” tanya Patih Waradhana. “Tentu saja bisa, Gusti. Meski memang semua mereka lakukan demi uang, tapi kesaktian mereka tak diragukan lagi,” jamin Senopati Sakuntala. “Baik, sekarang tinggal kita pikirkan pergerakan Arya. Dengan Sanggageni yang terus menangkal Cundhamani-nya, mau tak mau Arya harus selalu bergerak. Dan sepuluh pendekar itu ikut bergerak bersamanya.” Para pembesar Astagina mengangguk-angguk dan