“Seharian Arya hanya mampu melepaskan sepuluh Sasra Sayaka-Cundhamani, Gusti. Apa yang akan kita lakukan? Pasalnya Sanggageni mampu mengimbanginya?” tanya seorang Senopati yang bertugas di divisi pasukan berkuda. “Selama Sanggageni mengetahui lokasi Arya, kita tak akan mampu menguasai medan perang. Masalahnya mata panah Arya selalu memancarkan cahaya jingga tiap kali terhunus,” tambah Senopati Sakuntala sambil memegangi keningnya. Setelah prosesi kremasi, mau tak mau ia harus kembali ke tenda utama untuk membicarakan strategi. “Sakuntala, apa sepuluh pendekar itu bisa dipercaya?” tanya Patih Waradhana. “Tentu saja bisa, Gusti. Meski memang semua mereka lakukan demi uang, tapi kesaktian mereka tak diragukan lagi,” jamin Senopati Sakuntala. “Baik, sekarang tinggal kita pikirkan pergerakan Arya. Dengan Sanggageni yang terus menangkal Cundhamani-nya, mau tak mau Arya harus selalu bergerak. Dan sepuluh pendekar itu ikut bergerak bersamanya.” Para pembesar Astagina mengangguk-angguk dan
“Tunggu lah sebentar!” teriak Arya pada Senopati Sakuntala. “Apa ada masalah?” Senopati Sakuntala segera menghampiri Arya dengan kudanya. Wajahnya begitu cemas. Pasukan Baka Nirdaya sudah merangsek hingga memaksa barisan terakhir Duwana dan Andanu mundur demi mempertahankan posisi. “Aku belum siap,” ucap Arya sambil menyeka busur Agnitama-nya. “Apa kau tak melihat kondisi pasukan Duwana? Sudah banyak korban berjatuhan, Arya! Dan kau masih terus menyeka busurmu itu!” hardik Senopati Sakuntala. Seketika Arya berhenti. Manik matanya terhunus pada pemuda penuh kepalsuan yang semalam berbincang dengannya tentang strategi kolaborasi dengan pasukan Andanu. Napas Arya tiba-tiba menjadi berat, buah dari emosinya yang meninggi. “Apa? Serendah itu kah pasukan Astagina hanya berpangku padaku? Apa kalian tak punya cukup keberanian untuk menghadapi musuh? Hah?” bentak Arya. “Tapi kita sudah terdesak, Arya!” “Berhenti mengaturku! Apa lagi dengan bentakanmu itu, Tuan Senopati! Aku tak menyangka
“Kau mencariku, Ayahanda!” “Arya!” seru Sanggageni. Pria itu sempat mematung di tempatnya beberapa masa. Putra yang ia rindukan kini berada di hadapannya, duduk gagah di atas kuda dengan pakaian perang Astagina. “Kau kah itu, Arya?” “Oh, Paman Pranawa. Apa kabar, Paman?” tanya Arya begitu dingin. Ia menggenggam busur Agnitama yang sudah banyak terdapat ukiran di bilahnya. “Arya, apa yang kau lakukan? Mari ikut bersama kami, tak seharusnya kau di situ!” seru Pranawa. “Tak seharusnya di sini? Kalian yang seharusnya tak membunuh Ibunda! Apa yang Ayahanda dan Paman pikirkan saat memerintahkan Baka Nirdaya menghancurkan desa? Hah?” rutuk Arya. Emosinya mulai memuncak, genggaman busur Agnitama di tangan kirinya mengeras. Kini busur itu yang terlihat mulai membara. “Arya....” Sanggageni menahan Pranawa untuk mendebat putranya. Pria itu sudah menyadari ada hal yang terjadi dengan putranya dan busur di tangannya itu. Arya masih remaja, emosinya yang tak terkendali akan berdampak sama den
Sanggageni perlahan menjatuhkan kedua lututnya ke bumi. Anak panah api menancap di dadanya. Ia ia meringis dengan mulut penuh dengan cairan merah. Tangan kanannya hendak mencabut pedang andalannya, namun rasa sakit dan panas yang mendera membuat tangannya amat sulit digerakkan. “Kakanda!” Pranawa berbalik dan hendak menyangga tubuh Sanggageni yang mulai limbung. “Jangan, Pranawa! Ini Cundhamani, pergi lah! Atau kau akan ikut terbakar!” lirih Sanggageni dengan mata tertutup. “Tapi, Kakanda!” “Cepat, Pranawa! Jangan khawatirkan aku, aku pasti akan hidup lagi!” bentak Sanggageni. Ia memaksakan tangannya untuk mencabut pedang dan mengayunkannya. Gelombang api kembali muncul dan menghempaskan puluhan musuh dengan radius yang cukup untuk membantu Pranawa menyelamatkan diri. Pranawa sudah paham dengan hal itu. Ia bergegas pergi dengan menunggang kuda tak bertuan milik prajurit Astagina yang telah gugur. Sesekali ia menoleh ke belakang. Sanggageni kini bersimpuh dan bertumpu pada pedangn
Tubuh hangus Sanggageni mulai runtuh ke tanah bagian demi bagiannya. Kini hanya pedang miliknya yang tertancap di tanah dengan pegangan yang juga terbakar. Namun Cundhamani tak mampu membakar bilahnya. Arya masih mengunuskan anak panahnya pada Patih Waradhana sambil menahan tangis. Hati pemuda itu bergemuruh. Ayahandanya tak berbentuk lagi. Musnah oleh kekuatan yang begitu ia banggakan. Secara harfiah dendamnya sudah tersalurkan. Pasukan Baka Nirdaya bahkan beberapa kali ia bunuh dengan Sasra Sayaka-Cundhamani. Tersisa pamannya yang kini menghilang, namun kalimat ayahandanya menjelang ajal begitu mengganggu hatinya. “Kau mau menangis, Arya? Menangis lah bocah!” Patih Waradhana tertawa panjang. Ujung mata panah yang membara sama sekali tak membuat keberaniannya menyusut. Arya yang semula membidik, kini mengendurkan tali busur. Ia tak mengerti apa maksud dari tawa pria sombong di hadapannya. “Apa maksudmu, Waradhana?” “Terima kasih, Arya. Berkat kau pimpinan pemberontak Baka Nirdaya
Arya tersenyum memandang dua pria yang amat dia cintai hadir di hadapannya. Belasan prajurit di sekitarnya yang tadi hendak menghajarnya sudah terkapar. Prajurit lainnya terlihat ragu untuk menyerang dua pimpinan Baka Nirdaya itu. Sanggageni sudah berdiri di atas kakinya lagi dengan pedang andalan di tangan kanannya. “Aku senang melihat kalian berdua. Tapi maaf aku tak peduli dengan perang ini. Silahkan Ayahanda dan Paman selesaikan!” ujar Arya dingin. Ia letakkan busur Agnitama di punggungnya. “Ya, kau memang seharusnya tak perlu ke medan perang, Arya!” sahut Pranawa. Pria itu sudah kembali duduk di atas kudanya. “Menepi lah, setelah ini kita akan pulang ke Girijajar!” seru Sanggageni. Dengan menarik dirinya Arya dalam keberpihakannya dengan Astagina, Baka Nirdaya bisa fokus untuk memukul mundur lawannya. Akan lebih baik bila Patih Waradhana dan para pembesar bisa ditumpas. Seiring dengan perginya Arya Nandika, pasukan Baka Nirdaya yang sempat tak berdaya karena Cundhamani telah k
Dengan sebuah gerakan memaksa namun penuh energi Sanggageni berupaya membelokkan arah gelombang tapi yang telah ia lepaskan. Tentu ia tak ingin membunuh putranya sendiri meski Arya sudah melakukan itu padanya. Akan menjadi penyesalan besar bila api dari pedangnya menyentuh kulit Arya. “Baik, Tuan Sanggageni. Turunkan senjatamu!” titah Senopati Sakuntala sambil terus menghunuskan pedang di leher Arya. “Jangan Ayahanda! Mereka akan membunuhmu!” cegah Arya. Pemuda itu meringis, karena teriakannya tadi bilah pedang Senopati Sakuntala menggores kulit lehernya. Sanggageni masih terengah-engah. Belum pernah ia lakukan sebelumnya membelokkan gelombang api. Kini ia dihadapkan pada situasi yang gamang dan sulit. Membiarkan putranya terbunuh dan memenangkan perang, atau menyerahkan diri dan putranya selamat. Perlahan Sanggageni menurunkan pedangnya. Pijar di bilah pedang itu pun padam. “Bagus! Sudah ku duga kau begitu menyayangi putramu yang tak tahu diri ini!” seru Senopati Sakuntala sinis.
“Pranawa!” Arya menoleh, suara itu begitu keras memecah riuhnya perang. Seketika aliran udara terasa berhenti dan di telinganya hanya ada teriakan ayahandanya menyebut nama pamannya. Jantung pemuda itu mendadak berdegup tak normal. Desir darahnya seperti melambat dan berat untuk mengalir ke seluruh tubuh. Ia percaya ayahanda dan pamannya sedang tidak baik-baik saja. Aswabrama segera berhenti meski tuannya sama sekali tak menarik kekangnya. Kuda itu diam tak bergerak untuk beberapa masa. Ia seperti merasakan hal yang kini tengah dialami Arya. “Kau merasakan sesuatu, Aswabrama?” bisik Arya. “Jika kau ingin kembali ke sana, kembali lah!” Arya menunjuk ke tempat dimana segala jerit luka dan kematian menjadi satu. Sanggageni membelalakkan matanya. Ia tak percaya atas apa yang ia lihat. Di tengah seluruh usahanya menangkis senjata apa pun yang mengarah padanya, ia masih bisa melihat kepala Pranawa terhempas ke tanah dan bergerak ke arahnya di antara kaki-kaki prajurit Astagina. Ia mengge