Tubuh hangus Sanggageni mulai runtuh ke tanah bagian demi bagiannya. Kini hanya pedang miliknya yang tertancap di tanah dengan pegangan yang juga terbakar. Namun Cundhamani tak mampu membakar bilahnya. Arya masih mengunuskan anak panahnya pada Patih Waradhana sambil menahan tangis. Hati pemuda itu bergemuruh. Ayahandanya tak berbentuk lagi. Musnah oleh kekuatan yang begitu ia banggakan. Secara harfiah dendamnya sudah tersalurkan. Pasukan Baka Nirdaya bahkan beberapa kali ia bunuh dengan Sasra Sayaka-Cundhamani. Tersisa pamannya yang kini menghilang, namun kalimat ayahandanya menjelang ajal begitu mengganggu hatinya. “Kau mau menangis, Arya? Menangis lah bocah!” Patih Waradhana tertawa panjang. Ujung mata panah yang membara sama sekali tak membuat keberaniannya menyusut. Arya yang semula membidik, kini mengendurkan tali busur. Ia tak mengerti apa maksud dari tawa pria sombong di hadapannya. “Apa maksudmu, Waradhana?” “Terima kasih, Arya. Berkat kau pimpinan pemberontak Baka Nirdaya
Arya tersenyum memandang dua pria yang amat dia cintai hadir di hadapannya. Belasan prajurit di sekitarnya yang tadi hendak menghajarnya sudah terkapar. Prajurit lainnya terlihat ragu untuk menyerang dua pimpinan Baka Nirdaya itu. Sanggageni sudah berdiri di atas kakinya lagi dengan pedang andalan di tangan kanannya. “Aku senang melihat kalian berdua. Tapi maaf aku tak peduli dengan perang ini. Silahkan Ayahanda dan Paman selesaikan!” ujar Arya dingin. Ia letakkan busur Agnitama di punggungnya. “Ya, kau memang seharusnya tak perlu ke medan perang, Arya!” sahut Pranawa. Pria itu sudah kembali duduk di atas kudanya. “Menepi lah, setelah ini kita akan pulang ke Girijajar!” seru Sanggageni. Dengan menarik dirinya Arya dalam keberpihakannya dengan Astagina, Baka Nirdaya bisa fokus untuk memukul mundur lawannya. Akan lebih baik bila Patih Waradhana dan para pembesar bisa ditumpas. Seiring dengan perginya Arya Nandika, pasukan Baka Nirdaya yang sempat tak berdaya karena Cundhamani telah k
Dengan sebuah gerakan memaksa namun penuh energi Sanggageni berupaya membelokkan arah gelombang tapi yang telah ia lepaskan. Tentu ia tak ingin membunuh putranya sendiri meski Arya sudah melakukan itu padanya. Akan menjadi penyesalan besar bila api dari pedangnya menyentuh kulit Arya. “Baik, Tuan Sanggageni. Turunkan senjatamu!” titah Senopati Sakuntala sambil terus menghunuskan pedang di leher Arya. “Jangan Ayahanda! Mereka akan membunuhmu!” cegah Arya. Pemuda itu meringis, karena teriakannya tadi bilah pedang Senopati Sakuntala menggores kulit lehernya. Sanggageni masih terengah-engah. Belum pernah ia lakukan sebelumnya membelokkan gelombang api. Kini ia dihadapkan pada situasi yang gamang dan sulit. Membiarkan putranya terbunuh dan memenangkan perang, atau menyerahkan diri dan putranya selamat. Perlahan Sanggageni menurunkan pedangnya. Pijar di bilah pedang itu pun padam. “Bagus! Sudah ku duga kau begitu menyayangi putramu yang tak tahu diri ini!” seru Senopati Sakuntala sinis.
“Pranawa!” Arya menoleh, suara itu begitu keras memecah riuhnya perang. Seketika aliran udara terasa berhenti dan di telinganya hanya ada teriakan ayahandanya menyebut nama pamannya. Jantung pemuda itu mendadak berdegup tak normal. Desir darahnya seperti melambat dan berat untuk mengalir ke seluruh tubuh. Ia percaya ayahanda dan pamannya sedang tidak baik-baik saja. Aswabrama segera berhenti meski tuannya sama sekali tak menarik kekangnya. Kuda itu diam tak bergerak untuk beberapa masa. Ia seperti merasakan hal yang kini tengah dialami Arya. “Kau merasakan sesuatu, Aswabrama?” bisik Arya. “Jika kau ingin kembali ke sana, kembali lah!” Arya menunjuk ke tempat dimana segala jerit luka dan kematian menjadi satu. Sanggageni membelalakkan matanya. Ia tak percaya atas apa yang ia lihat. Di tengah seluruh usahanya menangkis senjata apa pun yang mengarah padanya, ia masih bisa melihat kepala Pranawa terhempas ke tanah dan bergerak ke arahnya di antara kaki-kaki prajurit Astagina. Ia mengge
Patih Waradhana dan para pembesar Astagina segera mengangkat perisainya. Mereka membentuk sebuah benteng dari perisai hingga menutupi seluruh tubuh. Sasra Sayaka-Cundhamani Arya memang mampu menembus perisai biasa, namun tidak dengan perisai khusus yang sepenuhnya terbuat dari logam. Anak-anak panah api itu memang menancap di perisai, namun daya rambat apinya menjadi lambat. Arya segera melompat dari punggung Aswabrama dan meraih tubuh ayahandanya yang tak berdaya. Beruntung tombak itu tak menembus tubuh dan juga tak mengenai organ vitalnya. Namun Sanggageni sudah hampir tak sadarkan diri akibat tenaganya yang terkuras. “Ayahanda, bertahan lah!” seru Arya. Ia lalu mencabut tombak yang tertancap di punggung Sanggageni. “Apa yang terjadi dengan Paman Pranawa?” Sanggageni tak menjawab, ia hanya menggerakkan jari telunjuknya. Menunjuk ke arah dimana kepala Pranawa tadi dilemparkan oleh Patih Waradhana. Arya tertegun dan membelalakkan matanya. Pemuda itu memang tak mampu melihat dengan j
Dengan sekali gerakan Arya sudah berada di sisi Sanggageni. Ia sendiri belum mampu memahami mengapa ia bisa bergerak secepat itu. Pemuda itu seperti tiba-tiba terbawa sendiri ke tempat yang ingin ia tuju. “Ayahanda, aku pikir kita bisa pergi dari sini dengan kecepatan gerakanku,” ucap Arya sembari membantu Sanggageni untuk duduk. Napas ayah dan anak itu sama-sama tersengal. “Ayah tak menyangka pedang itu bereaksi dengan sangat baik terhadapmu. Kecepatan gerakanmu mengingatkan Ayah pada kecepatan Suji Pati milik Ibundamu.” Sanggageni tersenyum. Ada rasa bangga yang tak bisa ia ungkapkan pada putra tunggalnya itu. Napasnya mulai tercekat di tenggorokan. “Tapi sepertinya aku harus membuat selubung api lagi. Kita pasti butuh perisai,” ucap Arya. Ia senang karena mulai mengerti cara kerja pedang andalan ayahandanya ini. Pem”uda itu kemudian mengayunkan pedang mengitari dirinya dan ayahandanya. Selubung api itu muncul kembali mengitari mereka. Namun tak bertahan lama. “Apa kita akan mati
Nyala api pada susunan ranting kayu itu terefleksi ke dinding batu. Udara terasa lembab, gerakan sekecil apa pun menciptakan suara yang menggema. Perlahan-lahan kedua mata Arya terbuka. Sejauh yang ia lihat hanya batu. Di beberapa bagian mengerucut ke bawah dan meneteskan air. “Kau sudah bangun, Arya?” Suara tanya seorang perempuan membuat Arya sadar bahwa ia tak sendiri di tempat ini. Pemuda itu mengusap kedua matanya. “Jenar?” Arya menegakkan kepalanya. Tampak olehnya gadis cantik dengan mata basah terburu-buru mendatanginya. Di belakangnya ada Ki Bayanaka yang sedang mengobati ayahandanya. “Apa kau baik-baik saja? Apa yang kau rasakan?” cecar Jenar. Gadis itu terlihat begitu khawatir. Tampak dari perilakunya menyentuh beberapa bagian tubuh kekasihnya. Arya tampak canggung, karena gadis itu begitu marah saat terakhir kali berjumpa. “Aku tidak apa-apa, Jenar. Kita dimana sekarang? Bagaimana kau dan Ayahandamu bisa bersama kami?” Arya bangkit dan segera duduk. Ia memeriksa tubuhnya
“Tak apa, Arya! Ini hanya Aswabrama!” jerit Jenar. Ia sengaja sedikit mengeraskan suara karena tak ingin konsentrasi ayahandanya terganggu. Arya menghela napasnya. Hampir saja ia menghambur dan menggagalkan pengobatan ayahandanya. Sejurus kemudian ia tersenyum. Kuda itu memang luar biasa, bisa menemukan dimana tuannya. Aswabrama pasti terkena kabut dari Ghanaswara milik Ki Bayanaka. Jika ia sudah berada di sini, berarti orang-orang Astagina tengah mencarinya sekarang. Sebenarnya Arya ingin sekali menghampiri Aswabrama dan memberinya pujian. Tapi kini kondisi ayahandanya lebih penting. Ki Bayanaka seperti sudah menemukan inti dari masalah di tubuh Sanggageni. Pria tua itu sudah fokus pada satu titik di punggung suami mendiang Gantari itu. Ia tak lagi menggunakan telapak tangan, hanya telunjuk dan jari tengah yang terus menekan satu bagian punggung. Sanggageni terbatuk-batuk dengan napas yang tiba-tiba tersengal. Gumpalan darah ia keluarkan dari dalam tubuhnya. Sekujur badan lelaki it