Dengan sekali gerakan Arya sudah berada di sisi Sanggageni. Ia sendiri belum mampu memahami mengapa ia bisa bergerak secepat itu. Pemuda itu seperti tiba-tiba terbawa sendiri ke tempat yang ingin ia tuju. “Ayahanda, aku pikir kita bisa pergi dari sini dengan kecepatan gerakanku,” ucap Arya sembari membantu Sanggageni untuk duduk. Napas ayah dan anak itu sama-sama tersengal. “Ayah tak menyangka pedang itu bereaksi dengan sangat baik terhadapmu. Kecepatan gerakanmu mengingatkan Ayah pada kecepatan Suji Pati milik Ibundamu.” Sanggageni tersenyum. Ada rasa bangga yang tak bisa ia ungkapkan pada putra tunggalnya itu. Napasnya mulai tercekat di tenggorokan. “Tapi sepertinya aku harus membuat selubung api lagi. Kita pasti butuh perisai,” ucap Arya. Ia senang karena mulai mengerti cara kerja pedang andalan ayahandanya ini. Pem”uda itu kemudian mengayunkan pedang mengitari dirinya dan ayahandanya. Selubung api itu muncul kembali mengitari mereka. Namun tak bertahan lama. “Apa kita akan mati
Nyala api pada susunan ranting kayu itu terefleksi ke dinding batu. Udara terasa lembab, gerakan sekecil apa pun menciptakan suara yang menggema. Perlahan-lahan kedua mata Arya terbuka. Sejauh yang ia lihat hanya batu. Di beberapa bagian mengerucut ke bawah dan meneteskan air. “Kau sudah bangun, Arya?” Suara tanya seorang perempuan membuat Arya sadar bahwa ia tak sendiri di tempat ini. Pemuda itu mengusap kedua matanya. “Jenar?” Arya menegakkan kepalanya. Tampak olehnya gadis cantik dengan mata basah terburu-buru mendatanginya. Di belakangnya ada Ki Bayanaka yang sedang mengobati ayahandanya. “Apa kau baik-baik saja? Apa yang kau rasakan?” cecar Jenar. Gadis itu terlihat begitu khawatir. Tampak dari perilakunya menyentuh beberapa bagian tubuh kekasihnya. Arya tampak canggung, karena gadis itu begitu marah saat terakhir kali berjumpa. “Aku tidak apa-apa, Jenar. Kita dimana sekarang? Bagaimana kau dan Ayahandamu bisa bersama kami?” Arya bangkit dan segera duduk. Ia memeriksa tubuhnya
“Tak apa, Arya! Ini hanya Aswabrama!” jerit Jenar. Ia sengaja sedikit mengeraskan suara karena tak ingin konsentrasi ayahandanya terganggu. Arya menghela napasnya. Hampir saja ia menghambur dan menggagalkan pengobatan ayahandanya. Sejurus kemudian ia tersenyum. Kuda itu memang luar biasa, bisa menemukan dimana tuannya. Aswabrama pasti terkena kabut dari Ghanaswara milik Ki Bayanaka. Jika ia sudah berada di sini, berarti orang-orang Astagina tengah mencarinya sekarang. Sebenarnya Arya ingin sekali menghampiri Aswabrama dan memberinya pujian. Tapi kini kondisi ayahandanya lebih penting. Ki Bayanaka seperti sudah menemukan inti dari masalah di tubuh Sanggageni. Pria tua itu sudah fokus pada satu titik di punggung suami mendiang Gantari itu. Ia tak lagi menggunakan telapak tangan, hanya telunjuk dan jari tengah yang terus menekan satu bagian punggung. Sanggageni terbatuk-batuk dengan napas yang tiba-tiba tersengal. Gumpalan darah ia keluarkan dari dalam tubuhnya. Sekujur badan lelaki it
Prabu Ranajaya murka. Seluruh Senopati dan Tumenggung jadi sasaran kemarahannya. Ia bahkan menghancurkan sandaran singgasananya sendiri. Sebuah pertanda bahwa sebentar lagi kedudukannya akan terancam. Laporan menunjukkan bahwa korban tewas begitu banyak, lebih dari tiga perempat dari total seluruh prajurit. Jika tiba-tiba istana di serang, maka bisa dipastikan Astagina akan jatuh ke tangan musuh. “Dimana Waradhana?” seru Prabu Ranajaya. Ia ingin patihnya itu bertanggung jawab atas situasi yang terjadi. Pria itu yang begitu yakin Arya akan menjadi senjata andalan Astagina. Namun nyatanya banyak korban dari pihak Astagina justru karena kombinasi Arya dan Sanggageni. “Ampun, Gusti. Patih Waradhana tewas di tangan Arya Nandika,” ucap Senopati Sakuntala tegas. “Apa? Kau yakin, Sakuntala?” “Hamba yakin, Gusti. Hamba melihat Arya memenggal kepala Gusti Patih dengan pedang milik Ayahandanya. Sedang tubuh dan kepala yang terpisah itu terbakar habis,” terang Senopati Sakuntala. “Sial kau, W
Prabu Ranajaya masuk ke dalam biliknya dengan wajah masam. Sang Permaisuri dengan lembut membelai tubuh suaminya dan mengajaknya untuk duduk. Namun pria bertubuh kekar itu menampiknya. Ia tak ingin kedatangannya ke bilik disalah artikan oleh permaisurinya, karena ini bukan giliran perempuan cantik itu. Demi memuaskan hasratnya, Prabu Ranajaya memiliki jadwal khusus untuk bersenggama bersama permaisuri dan selir-selirnya secara bergantian. Di waktu-waktu tertentu bahkan ia tidur dengan beberapa selir sekaligus. Permaisurinya sudah tak bisa berkata apa-apa lagi. Tentu karena perempuan itu tak ingin kehilangan kemewahan dan kedudukan sebagai permaisuri. “Ada apa, Kakanda Prabu? Mengapa wajahmu begitu murung? Lagi pula ini bukan waktunya kau tidur bersamaku, bukan?” cecar Permaisuri membuat Prabu Ranajaya menatapnya penuh amarah. “Kau masih saja banyak tanya!” ketus Prabu Ranajaya. “Aku hanya peduli padamu, Kakanda Prabu. Itu sebab aku terus bertanya tentang keadaanmu,” sahut Permaisur
Semua orang di goa itu terdiam. Jenar memandang Rara Anjani dengan penuh keibaan. Perempuan di hadapannya itu pasti mengalami hal menyedihkan hingga memiliki dendam sedemikian besar terhadap Prabu Ranajaya. Meski tak dapat ditampik, orang-orang seperti Rara Anjani memang terus bermunculan seiring pemerintahan yang sewenang-wenang. “Sabar lah, Anjani. Paman tak memintamu ke sini untuk menjelaskan masalah pribadimu dengan Prabu Ranajaya. Sekarang, ceritakan pada kami bagaimana kondisi istana!” titah Legawa. Rara Anjani mengangkat wajahnya yang sempat ia tundukkan. “Ranajaya marah besar. Lebih dari sepertiga pasukannya jadi korban perang. Dia tengah mengirim pasukan khusus untuk mencarimu, Ki Bayanaka.” Tatapan mata Rara Anjani menghunus ke arah Ki Bayanaka yang sudah mengira hal ini akan terjadi. Seseorang dengan analisa yang baik pun pasti akan mengarahkan pelaku kabut di padang Kalaha adalah dirinya, karena ia tak bisa ditemukan lagi di istana. “Bagaimana Gusti Prabu bisa tahu, Aya
“Apa maksudmu, Ayahanda?” sahut Arya. Ia sama sekali tak mengerti mengapa ayahandanya memanggilnya dengan gelar patih. Pemuda itu tahu Sanggageni hanya berkelakar, tapi menurutnya sama sekali tidak lucu. Jenar, Ki Bayanaka dan Legawa turut serta menertawai Arya seperti yang Sanggageni lakukan. Pemuda dengan ilmu yang luar biasa itu hendak merajuk pada ayahandanya, namun urung ia lakukan karena malu kepada Jenar. Justru kondisi canggung ini lah yang membuat wajah Arya begitu mudah untuk ditertawakan. “Bukan bermaksud apa pun, Arya. Ayah pikir ini kesempatanmu juga.” Sanggageni bergerak mendekati putranya. Pria itu terlihat amat sehat. Tak tampak bahwa beberapa masa lalu ia masih tergeletak lemah dan tak berdaya. Pun juga ia hampir saja mati karena luka dalam dan kehabisan tenaga. Pimpinan Baka Nirdaya ini sudah lama tak mengurus kepentingan pribadinya sendiri. “Kesempatan apa yang Ayahanda maksud?” sahut Arya tak mengerti. Ia tatap wajah Sanggageni yang tersenyum tipis padanya. Tent
“Aku tak ingin menjadi raja!” “Arya ... Kau ini....” “Kita bicarakan ini nanti. Menurut Rara Anjani besok akan dilakukan pemilihan Patih yang baru. Aku takut jika Arya tak berangkat sekarang maka kesempatannya akan hilang,” potong Sanggageni. “Betul, Kakanda. Aku siap jika harus berangkat sekarang. Orang-orang Baka Nirdaya yang bersamaku sudah aku minta untuk berjaga di luar goa. Mereka lah yang akan menyusup bersama dengan kedatangan Arya,” ucap Legawa. Arya menghela napasnya. Sebuah tantangan baru akan segera ia lalui. Pilihannya hanya ada dua. Datang secara terbuka, atau menyusup bersama orang-orang Baka Nirdaya. Ia genggam busur Agnitama dan segera disandangnya di punggung. Hanya itu benda berharga yang ia punya selain Aswabrama yang setia menunggu di bibir goa. “Bawa lah ini, Nak.” Sanggageni menyerahkan sebuah jubah yang sempat ia pinjamkan pada Pranawa di medan perang. “Apa ini, Ayahanda?” “Ini hanya jubah. Tapi jubah ini tahan api. Gunakan hanya saat terdesak. Kau kini m