Semua orang di goa itu terdiam. Jenar memandang Rara Anjani dengan penuh keibaan. Perempuan di hadapannya itu pasti mengalami hal menyedihkan hingga memiliki dendam sedemikian besar terhadap Prabu Ranajaya. Meski tak dapat ditampik, orang-orang seperti Rara Anjani memang terus bermunculan seiring pemerintahan yang sewenang-wenang. “Sabar lah, Anjani. Paman tak memintamu ke sini untuk menjelaskan masalah pribadimu dengan Prabu Ranajaya. Sekarang, ceritakan pada kami bagaimana kondisi istana!” titah Legawa. Rara Anjani mengangkat wajahnya yang sempat ia tundukkan. “Ranajaya marah besar. Lebih dari sepertiga pasukannya jadi korban perang. Dia tengah mengirim pasukan khusus untuk mencarimu, Ki Bayanaka.” Tatapan mata Rara Anjani menghunus ke arah Ki Bayanaka yang sudah mengira hal ini akan terjadi. Seseorang dengan analisa yang baik pun pasti akan mengarahkan pelaku kabut di padang Kalaha adalah dirinya, karena ia tak bisa ditemukan lagi di istana. “Bagaimana Gusti Prabu bisa tahu, Aya
“Apa maksudmu, Ayahanda?” sahut Arya. Ia sama sekali tak mengerti mengapa ayahandanya memanggilnya dengan gelar patih. Pemuda itu tahu Sanggageni hanya berkelakar, tapi menurutnya sama sekali tidak lucu. Jenar, Ki Bayanaka dan Legawa turut serta menertawai Arya seperti yang Sanggageni lakukan. Pemuda dengan ilmu yang luar biasa itu hendak merajuk pada ayahandanya, namun urung ia lakukan karena malu kepada Jenar. Justru kondisi canggung ini lah yang membuat wajah Arya begitu mudah untuk ditertawakan. “Bukan bermaksud apa pun, Arya. Ayah pikir ini kesempatanmu juga.” Sanggageni bergerak mendekati putranya. Pria itu terlihat amat sehat. Tak tampak bahwa beberapa masa lalu ia masih tergeletak lemah dan tak berdaya. Pun juga ia hampir saja mati karena luka dalam dan kehabisan tenaga. Pimpinan Baka Nirdaya ini sudah lama tak mengurus kepentingan pribadinya sendiri. “Kesempatan apa yang Ayahanda maksud?” sahut Arya tak mengerti. Ia tatap wajah Sanggageni yang tersenyum tipis padanya. Tent
“Aku tak ingin menjadi raja!” “Arya ... Kau ini....” “Kita bicarakan ini nanti. Menurut Rara Anjani besok akan dilakukan pemilihan Patih yang baru. Aku takut jika Arya tak berangkat sekarang maka kesempatannya akan hilang,” potong Sanggageni. “Betul, Kakanda. Aku siap jika harus berangkat sekarang. Orang-orang Baka Nirdaya yang bersamaku sudah aku minta untuk berjaga di luar goa. Mereka lah yang akan menyusup bersama dengan kedatangan Arya,” ucap Legawa. Arya menghela napasnya. Sebuah tantangan baru akan segera ia lalui. Pilihannya hanya ada dua. Datang secara terbuka, atau menyusup bersama orang-orang Baka Nirdaya. Ia genggam busur Agnitama dan segera disandangnya di punggung. Hanya itu benda berharga yang ia punya selain Aswabrama yang setia menunggu di bibir goa. “Bawa lah ini, Nak.” Sanggageni menyerahkan sebuah jubah yang sempat ia pinjamkan pada Pranawa di medan perang. “Apa ini, Ayahanda?” “Ini hanya jubah. Tapi jubah ini tahan api. Gunakan hanya saat terdesak. Kau kini m
“Terlalu dini untuk menyebut ini Suji Pati. Jenar masih harus menyesuaikan diri. Tapi sejauh ini terlihat bagus,” puji Sanggageni. Kedua pria itu masih terus memperhatikan tiap gerakan Jenar buah dari kekuatan tusuk konde keemasan milik Gantari. Meski gerakan Jenar terlihat kaku dan terpaksa, namun perlahan-lahan gadis itu mulai menemukan iramanya. Panik di wajahnya sudah jauh berkurang. Namun masih begitu banyak tanya yang tak belum dapat ia temukan jawabannya. “Apa kau benar-benar bermaksud menjadikan Arya raja Astagina selanjutnya, Braja?” tanya Ki Bayanaka. Ia amat penasaran mengapa Sanggageni memberikan tusuk konde itu pada Jenar. “Aku sendiri tak tahu, Kakanda. Jika takdir menuntun Arya untuk menjadi raja Astagina, tentu aku tak akan menolak. Bagaimana pun putraku itu satu-satunya keturunan Prabu Wirajaya yang tersisa. Tak ada yang lebih pantas dari dia, bukan?” Ki Bayanaka mengangguk setuju. Meski masih sangat muda, Arya memiliki kecakapan yang cukup menjadi pemimpin. Keingi
“Braja, apa yang harus kita lakukan?” Ki Bayanaka menjadi tak tenang ketika keempat orang prajurit itu tampak marah setelah melihat rekannya tumbang. “Kita akan membantu hanya jika Jenar terdesak,” sahut Sanggageni penuh percaya diri. “Lima orang itu terlalu sedikit, Kakanda. Tenang saja dan percaya lah pada putrimu!” Jenar segera melakukan gerakan serupa penari saat keempat prajurit maju bersamaan. Otot-otot lengan kuat seketika lunglai dan menjatuhkan senjata yang telah lama terhunus. Gadis itu telah menandai batas tak kasat mata ilmu yang baru saja ia kuasai. Siapa pun yang melewati batas itu, maka tak akan bisa lolos dari tusukan kematian. Ki Bayanaka menganga tak percaya. Bergantian empat prajurit tingkat menengah itu jatuh ke tanah. Yang terlihat hanya lah kilatan-kilatan keemasan yang tak mampu diikuti dengan mata. Tusuk konde emas seolah tak pernah lepas dari genggaman Jenar. Namun dapat membuat lubang di kening empat prajurit dalam waktu singkat. “Luar biasa....” desis Ki
Empat puluh tombak dari gerbang istana, Arya memisahkan diri dengan tiga orang Baka Nirdaya termasuk Legawa. Mereka akan masuk secara sembunyi-sembunyi. Arya akan masuk berpura-pura menyerahkan diri sekaligus mengalihkan perhatian para penjaga. Dua orang prajurit penjaga gerbang utama tampak panik ketika mengetahui Arya dan Aswabrama mendekat. Hampir saja mereka membunyikan kentongan tanda bahaya jika Arya tak buru-buru mengangkat kedua tangannya. Ia bahkan turun dan menuntun kudanya hingga ke depan gerbang istana. “Berhenti!” hardik prajurit penjaga. “Tenang, Prajurit. Aku datang dengan damai. Sampaikan pada Prabu Ranajaya, Arya Nandika menyerahkan diri!” ucap Arya lantang. Kedua prajurit itu saling pandang, lalu keduanya sama-sama mengangkat bahu. Satu prajurit berbalik dan segera masuk ke dalam. Satu orang lagi menjaga Arya dengan ketakutan yang luar biasa. Beruntung empat orang segera muncul dan berjaga-jaga demi potensi bahaya yang mungkin terjadi. “Santai saja, aku tak akan
Ikatan di tangan Arya sudah dilepaskan. Baru saja dua orang prajurit mengunci jeruji dari logam itu dengan rantai dan gembok yang besar. Ruang ini begitu lembab, gelap dan sempit. Lantai dan dinding dari batu terasa dingin menyentuh kulit dan telapak kaki. Hanya ada dua lubang seukuran kepalan tangan di langit-langit sekaligus sumber cahaya dan udara. Dua sosok di sudut ruang bergerak karena kedatangan Arya. Duo orang pria dengan tampang lusuh dan bekas luka di sekujur tubuh mulai mendekat. Rambut dan janggut panjang tak terurus membuat Arya bergidik dan menyudutkan dirinya sendiri ke jeruji besi. “Apa kesalahanmu, Anak Muda? Sampai kau dijebloskan ke penjara penjahat perang ini?” lirih seorang pria sebelah kanan. Ia memandang rekannya sesaat lalu keduanya menatap tajam Arya. “Jadi ini penjara khusus tahanan perang, Ki Sanak?” Arya balik bertanya. “Ya, tak mungkin kau hanya melakukan kesalahan kecil hingga dimasukkan dalam penjara bawah tanah yang mencekam ini,” terang pria di sebe
Ada senggurat ragu dan takut di wajah dua prajurit yang akan membawa Arya menghadap Prabu Ranajaya. Masing-masing prajurit menggamit kedua lengan Arya. Mereka menyusuri sebuah lorong panjang menuju sebuah tangga di ujung lorong. Satu-satunya akses menuju permukaan. Arya kembali memperhitungkan jarak tempatnya berada dengan ujung lorong. Tak begitu jauh, dan mungkin saja di permukaan sudah ada banyak prajurit yang menunggu. Pemuda itu merasa akan melumpuhkan dua prajurit ini nanti. Ia tak ingin membuat masalah sebelum mengetahui apa yang akan disampaikan Prabu Ranajaya dan rencananya untuk merebut posisi patih. Benar saja, di permukaan sudah banyak prajurit yang menunggu. Karena Prabu Ranajaya sudah berada tak jauh dari sana. Berdiri di tepi kolam ikan hias menunggunya datang. “Ampun, Gusti Prabu, Arya Nandika datang menghadap!” ucap seorang prajurit lantang. Ia bersimpuh dengan satu lututnya, begitu juga dengan rekannya. Prabu Ranajaya berbalik. Tak ada sepatah kata pun yang ia uca