Ada senggurat ragu dan takut di wajah dua prajurit yang akan membawa Arya menghadap Prabu Ranajaya. Masing-masing prajurit menggamit kedua lengan Arya. Mereka menyusuri sebuah lorong panjang menuju sebuah tangga di ujung lorong. Satu-satunya akses menuju permukaan. Arya kembali memperhitungkan jarak tempatnya berada dengan ujung lorong. Tak begitu jauh, dan mungkin saja di permukaan sudah ada banyak prajurit yang menunggu. Pemuda itu merasa akan melumpuhkan dua prajurit ini nanti. Ia tak ingin membuat masalah sebelum mengetahui apa yang akan disampaikan Prabu Ranajaya dan rencananya untuk merebut posisi patih. Benar saja, di permukaan sudah banyak prajurit yang menunggu. Karena Prabu Ranajaya sudah berada tak jauh dari sana. Berdiri di tepi kolam ikan hias menunggunya datang. “Ampun, Gusti Prabu, Arya Nandika datang menghadap!” ucap seorang prajurit lantang. Ia bersimpuh dengan satu lututnya, begitu juga dengan rekannya. Prabu Ranajaya berbalik. Tak ada sepatah kata pun yang ia uca
Aroma tubuh terbakar segera menyeruak ruang sempit bawah tanah yang dibagi menjadi beberapa bagian. Setelah memastikan kedua prajurit itu tewas, Arya segera menarik dua tubuh itu ke dalam sel dan menutupinya dengan jerami. Dibantu dengan prajurit Baka Nirdaya yang menyamar, ia lalu mengeluarkan dua orang Baka Nirdaya dan orang-orang lain yang dipenjara di sana. Arya segera keluar bersama prajurit penjaga yang menyamar dan meminta penjaga di atas untuk mengantarkan ke biliknya. Sedang para tahanan dibawa ke tempat aman untuk selanjutnya diselundupkan keluar istana. Semua berkat informasi dari Rara Anjani dan pengalaman usang dua penyusup yang tertangkap itu. “Jadi begini bilik istana,” gumam Arya begitu masuk ke dalam bilik yang disiapkan untuknya. Langkahnya berhenti di tengah ruangan. Matanya berkeliling mengagumi kemewahan yang seharusnya ia dapatkan sejak lahir. “Permisi, Gusti. Kami ditugaskan untuk melayani Gusti,” ujar seorang emban dengan membawa nampan berisi makanan. Dua or
Perempuan paruh baya itu terkejut dan menutup mulutnya dengan telapak tangan. Air matanya semakin meluap seiring dengan haru yang memuncak hingga menyesakkan napas. Ia tak menyangka setelah belasan tahun kudeta berlalu, keturunan Prabu Wirajaya masih saja menjadi sasaran pembunuhan. “Siapa namamu, Nyai?” tanya Arya sambil menatap wajah haru perempuan itu. “Hamba Larasati, Gusti.” “Baik, Nyai Larasati, terima kasih sudah membawakanku makanan dan mengenalkan dirimu. Percaya lah padaku, kematian Ibundaku tak akan sia-sia. Kekejaman Prabu Ranajaya cepat atau lambat akan aku akhiri!” ucap Arya dengan lantang dan penuh emosi. Larasati tersenyum di sela-sela tangisnya. Ia terus menerus menyeka air matanya dengan telapak tangan. Masih jelas memori masa lalu yang ia jalani bersama dengan Dewi Gantari. Hingga kudeta Patih Ranajaya yang memaksa biyungnya turut serta dalam pelarian putri Prabu Ranajaya itu. Hingga kini biyungnya tak pernah kembali. “Ampun, Gusti. Apakah Gusti mengenal seorang
Napas Jenar naik turun dengan cepat. Selain gugup menggunakan ilmu baru yang begitu dahsyat, gadis itu juga lelah karena dituntut terus bergerak. Setelah berhasil mengalahkan belasan prajurit, kini mereka bertiga masih harus menghadapi belasan prajurit lain dengan ilmu kanuragan yang lebih mumpuni. Mereka bertiga kini sudah bertarung dengan jarak dekat. Sepertinya prajurit yang datang kemudian ini mengerti kelemahan Suji Pati. Serangan mereka terus menyasar Jenar, satu-satunya perempuan dengan penggunaan ilmu jarak jauhnya. Meski hebat, Suji Pati tak ada gunanya bila musuh begitu dekat. “Kau tak apa, Jenar?” tanya Ki Bayanaka. Diam-diam ia khawatir akan efek yang ditimbulkan buah dari penggunaan Suji Pati terlalu dini. “Tak apa, Ayahanda. Tapi sepertinya ilmu itu tak bisa diandalkan dalam jarak sedekat ini. Apa yang harus kita lakukan?” tanya Jenar setengah panik. “Sebenarnya Suji Pati masih bisa dilakukan dalam jarak dekat, Jenar. Sayangnya bahkan istriku pun tak mampu menguasainy
Lenguhan suara berat dari prajurit-prajurit itu menyadarkan Ki Bayanaka dan Sanggageni bahwa hidupnya terselamatkan. Samar-samar mereka melihat kilatan-kilatan keemasan yang membuat lubang seukuran jari di dahi prajurit-prajurit itu. Mereka semua roboh hampir bersamaan. Satu orang yang hendak roboh menimpa tubuh mereka segera dihempaskan Sanggageni ke arah berlawanan dengan kakinya. “Apa yang terjadi, Braja?” Sanggageni tak menjawab. Matanya menatap Jenar yang tengah melakukan gerakan dengan tombak demi mengamankan tusuk konde yang berada di ujungnya. Beberapa gerakan terakhir dan gadis itu berhasil menangkap tusuk konde keemasan itu dengan tangan kirinya. Hentakan hulu tombak di tanah mengakhiri Suji Pati dalam jarak dekat. “Dia melakukannya, Braja?” Ki Bayanaka terperangah di samping adik seperguruannya itu. “Ya, sesuatu yang tak mampu dicapai pendahulunya. Sama seperti Arya yang berhasil mengembangkan Sasra Dasa milik Pamannya dan menggabungkannya dengan Cundhamani! Anak-ana
Tidur beralaskan kasur yang empuk membuat Arya sulit untuk memejamkan mata. Apa lagi di tempat asing dan seorang diri. Ia lebih banyak teringat akan mendiang Ibundanya. Seorang perempuan yang tak pernah ia sangka adalah putri raja Astagina meski lahir dari rahim seorang selir. Ada rasa tak percaya kini ia dapat sedikit menikamati manisnya kehidupan istana. Semua dilayani dengan penuh penghormatan. Di puja-puja banyak manusia. Memiliki gelar yang indah didengar dan disebutkan oleh lisan. Dan yang sering jadi dambaan adalah kekuasaan yang melebihi kemampuan manusia biasa. Pagi ini tak ada suara ayam jantan bersahut-sahutan. Hanya ada suara burung-burung mencari makan dan bertengger pada sudut-sudut atap istana. Sesungguhnya Arya masih ingin berlama-lama tergolek di balik selimut sutranya. Namun ia teringat Jenar dan ayahandanya yang mungkin masih tidur di goa beralaskan selembar kain. Atau dua pria yang ia temui di penjara bawah tanah, bagaimana keadaan mereka kini? Suara ketukan pint
Arya segera menutup daun jendela dan menggeser tirainya. Tak ia pedulikan lagi Legawa yang belum selesai menyampaikan pesannya. Pria itu pasti paham, dalam kondisi terdesak hal tak pantas pun layak dilakukan. Apa lagi yang datang adalah penguasa yang kejatuhannya amat dinanti-nanti. Pintu bilik berdaun ganda itu terbuka. Empat prajurit berdiri sejajar di ambang pintu menyongsong junjungannya datang. Mereka seolah tak peduli dengan kondisi Arya yang baru saja sampai di depan tempat tidurnya. Prabu Ranajaya masuk dengan kedua tangan saling berkait di belakang tubuh. “Gusti Prabu,” sapa Arya sambil menunduk memberi hormat. Bagaimana pun pria di hadapannya adalah Raja Astagina. Meski ia tak sudi mengabdi dan menjadikannya sasaran utama untuk digulingkan. “Selamat pagi, Arya! Bagaimana tidurmu? Nyenyak?” tanya Prabu Ranajaya berbasa-basi. Ia memandang Arya yang masih mengenakan pakaian tidurnya di balik meja berisi makanan. “Terima kasih, Gusti Prabu. Aku dilayani dengan baik dan diberi
Arya terdiam di ambang pintu biliknya. Dari kejauhan ia melihat banyak orang berpakaian seperti dirinya menuju ke pendopo istana. Mereka saling menyapa satu sama lain dengan ramah, lalu berbincang dengan bahasa tubuh yang sedap dipandang. Arya kembali teringat dengan ibundanya. Perempuan itu memang memiliki bahasa tubuh dan tutur kata serupa dengan orang-orang di istana ini. “Ibunda, apa yang harus aku lakukan? Ayahanda memang menugaskan aku untuk mengambil jabatan itu. Tapi aku lebih suka untuk menghancurkannya bersama dengan istana ini. Biar lah Astagina hancur agar tak ada lagi yang bisa diperebutkan,” batin Arya. Sebagai remaja yang mulai berpikir besar, Arya turut pula mengalami pergolakan pikirannya sendiri tentang apa yang dialami. Kadang ia tak mengerti mengapa orang-orang generasi ayahandanya dan Prabu Ranajaya begitu gemar akan kekuasaan. Meski Sanggageni tampak tak begitu peduli, namun keinginannya agar Arya masuk istana, sudah menunjukkan hal serupa. Sedang menurut Arya