Arya terdiam di ambang pintu biliknya. Dari kejauhan ia melihat banyak orang berpakaian seperti dirinya menuju ke pendopo istana. Mereka saling menyapa satu sama lain dengan ramah, lalu berbincang dengan bahasa tubuh yang sedap dipandang. Arya kembali teringat dengan ibundanya. Perempuan itu memang memiliki bahasa tubuh dan tutur kata serupa dengan orang-orang di istana ini. “Ibunda, apa yang harus aku lakukan? Ayahanda memang menugaskan aku untuk mengambil jabatan itu. Tapi aku lebih suka untuk menghancurkannya bersama dengan istana ini. Biar lah Astagina hancur agar tak ada lagi yang bisa diperebutkan,” batin Arya. Sebagai remaja yang mulai berpikir besar, Arya turut pula mengalami pergolakan pikirannya sendiri tentang apa yang dialami. Kadang ia tak mengerti mengapa orang-orang generasi ayahandanya dan Prabu Ranajaya begitu gemar akan kekuasaan. Meski Sanggageni tampak tak begitu peduli, namun keinginannya agar Arya masuk istana, sudah menunjukkan hal serupa. Sedang menurut Arya
“Sebelumnya aku hanya lah gadis biasa, Arya. Ayahandaku seorang Adipati di Kadipaten Astakencana. Entah dari mana Ranajaya tahu keberadaanku. Ia lalu mengirim utusan untuk memintaku menjadi selirnya.” Rara Anjani menatap kosong dedaunan yang bergerak di sela-sela lubang angin daun pintu. “Maksudmu Astakencana yang masih perpanjangan kekuasaan Astagina itu?” tanya Arya. Ia pernah diceritakan oleh Pranawa, ada seorang gadis yang sakti dan termasyur kecantikannya di Astakencana. Apakah itu Rara Anjani? “Ya, kerajaan milik Ayahandaku itu terletak jauh di sebelah timur Gunung Anala,” terang Rara Anjani. “Pamanku pernah bercerita padaku tentang seorang gadis yang sakti dan cantik dari Astakencana. Apakah itu kau? Kau cukup tersohor, apa kau tak tahu?” puji Arya. Rara Anjani tampak berusaha menyembunyikan wajahnya yang menghangat. “Lupakan soal itu. Ranajaya rupanya tak menginginkan penolakan. Lima hari setelah utusannya kembali, dia datang bersama ribuan pasukannya hendak menghancurkan A
Prabu Ranajaya sudah duduk dengan gagah di singgasana megahnya. Ini hari yang penting dan istimewa. Seluruh punggawa Astagina mengenakan pakaian serba putih duduk berjajar rapi di hadapan sang Prabu. Hadir pula para Tumenggung dan Adipati dari beberapa kerajaan kekuasaan Astagina. Dalam situasi darurat seperti ini apa pun bisa terjadi. Karena di medan perang terakhir baik pihak Astagina dan Baka Nirdaya sama-sama mundur. Astagina karena kehilangan Patih, sedang Baka Nirdaya kehilangan pemimpinnya. “Para Pejuang dan Pejabat Astagina, sengaja kalian semua aku undang kemari karena adanya perihal yang mendesak. Jika di antara kalian ada yang belum mengetahui, Patih Waradhana telah gugur di medan perang.” Kata-kata Prabu Ranajaya terhenti. Sekaligus ingin menyaksikan siapa yang tidak mengetahui kabar penting ini dari reaksi mereka menerima kabar tewasnya Patih Waradhana. Beberapa di antara pejabat dan punggawa saling pandang. Beberapa tampak terkejut, terutama para Tumenggung dan Adipati
“Berhenti!” Teriakan Prabu Ranajaya seketika membuat para punggawa yang akan menyerbu Arya terhenti. Mereka masih tak ingin melihat Rajanya marah dari pada menuntaskan dendam kematian Patihnya. Wajah pemimpin Astagina itu merah padam. Ia bahkan sudah bangkit dari singgasananya. “Ampun, Gusti Prabu. Ijinkan hamba membalas kematian Patih Waradhana!” seru seorang Senopati dengan lantangnya. Ia masih menghunuskan sebilah belati yang mulanya terselip di pinggang. Beberapa punggawa segera mendukung aksi senopati itu. “Aku yang mengundang Arya kemari! Kembali ke tempat kalian!” titah Prabu Ranajaya. Ia sudah memprediksi hal ini akan terjadi. Namun ia cukup percaya diri mampu mengendalikan situasi. Senopati itu tertunduk tak puas. Tentu saja dendam dan amarah yang tak terlampiaskan amat membuatnya kalut. Namun hal itu tak sebanding dengan rasa malunya. Ia dan punggawa lain tak mengerti mengapa Prabu Ranajaya membiarkan bahkan mengundang pemberontak itu ke acara sepenting ini. “Arya Nandik
“Aku pikir ada benarnya seorang Patih harus lah kerabat dari Raja. Bahkan banyak orang menyebut Patih sebagai Raja Kecil, karena dia lah pangkat tertinggi di bawah Raja. Jadi aku akan memilih patih dari keluarga raja!” Senopati Sakuntala terperangah. Ia tak percaya posisi impian yang sudah hampir menjadi miliknya akan terenggut begitu saja. Pemuda itu menatap Arya di barisan sebelah kiri. Kini ia mengerti maksud tersembunyi dari penyerahan diri Arya ke Astagina. “Sendika, Gusti Prabu. Tentu hamba dan kami semua tak ada yang berani menentang keputusan Gusti,” tutur penasihat bijak. Pria berusia lanjut itu lebih menyerupai penjilat dari pada penasihat. “Baik, jadi aku ingin memberikan pertimbangan. Seorang Patih niscaya harus melakukan tugas yang amat bersinggungan dengan Raja. Dan aku ingin untuk selanjutnya, Patih adalah orang berikutnya yang akan menjadi raja!” seru Prabu Ranajaya yang segera membuat para punggawanya bertanya-tanya. “Ampun, Gusti Prabu. Setahu hamba Gusti tak memi
“Aku putuskan Arya Nandika akan menjadi Patih Astagina yang baru!” seru Prabu Ranajaya begitu yakin. Semua yang hadir di tempat itu terdiam beberapa masa, termasuk Arya. Ia tak melakukan apa pun, tatapannya kosong. Bahkan ia tak mempedulikan Raja Astagina yang tengah menatapnya penuh kebanggaan. Sebuah tepuk tangan dari Adipati Kertajaya memecah kesunyian pendopo istana Astagina. Ia bahkan berdiri seorang diri demi memberikan penghargaan pada Patih Astagina yang baru. Seseorang yang dikatakan putrinya mampu merubah keadaan. Pemuda yang memberi harapan pada hampir tiga puluh kerajaan kecil yang terpaksa menginduk pada Astagina. Kemudian baru tepuk tangan para punggawa Astagina lainnya mengekor. Hingga seluruh udara pendopo itu dipenuhi suara tepuk tangan yang membahana. Dua pria di sisi Arya segera menyalami dan mempersilahkan pemuda itu untuk maju ke hadapan Prabu Ranajaya dengan ramah. Entah itu keramahan murni atau bukan. “Penasihat! Segera siapkan prosesi pengukuhannya!” “Sendik
Tak ada lagi bisa Senopati Sakuntala rasakan selain dongkol dan malu. Prabu Ranajaya merasa begitu bangga dengan pembunuh Patih Waradhana yang baru saja diangkat menjadi Patih. Jabatan yang bertahun-tahun ia incar kini sudah pupus dan entah kapan lagi bisa ia raih. Arya lebih muda darinya, masih panjang waktu untuknya memangku jabatan itu. Apa lagi kalau kelak menjadi raja, kecil kemungkinan ia akan memilihnya menjadi Patih. Seluruh pejabat yang hadir segera mendatangi Arya dan Prabu Ranajaya demi mengucapkan selamat. Beberapa hanya seremoni saja, sisanya memang ingin sekali mengenal lebih dekat Patih Astagina yang baru. Apa lagi Arya memang baru menampakkan diri kali ini. Adipati Kertajaya kini sampai di hadapan Arya. Ia memberikan hormat dan segera memeluk pemuda itu meski Arya sudah mengulurkan tangannya hendak menjabat tangan. Arya tertegun dan tak mengerti mengapa pria paruh baya ini tampak begitu gembira akan kehadirannya. “Gusti Arya Nandika, aku titipkan harapan Astakencana
“Ampun, Gusti Patih, Gusti Prabu meminta Anda untuk datang ke Dirgagiri sekarang!” ujar seorang prajurit pengawal sambil bersimpuh. “Dirgagiri?” Arya mengernyitkan keningnya. Dalam hati ia sungguh tak tahu tempat apa itu. Namun tentu ia tak akan bertanya pada prajurit itu. Lebih baik ia bertanya saja pada pengawalnya. “Baik, aku akan segera datang. Terima kasih, Prajurit!” “Sendika, Gusti!” Prajurit pengawal yang membawa pesan itu tak segera bangkit. Ia terdiam dalam simpuhnya. Baru kali ini ada pejabat istana yang mengucapkan terima kasih pada prajurit rendah macam dirinya. Arya tersenyum memandang prajurit yang mungkin baru kali ini mendapatkan kata-kata penghargaan meski hanya melakukan tugasnya. Prajurit itu tampak rikuh dan berusaha mengendalikan emosinya. Ia pun mundur dan terus menunduk dan berbalik dengan kesan mendalam. “Prajurit, bisa antarkan aku ke Davana Raja?” pinta Arya pada seorang prajurit yang berjaga di depan biliknya. “Sendika, Gusti!” Prajurit itu menunduk dem
“Bukan kah prajurit udaramu tadi sudah memeriksa semua kapal ini, Braja?” tanya Ki Bayanaka. “Ya, sepertinya kapal satu ini luput dari pemeriksaan. Atau....” Seorang pria bertubuh kurus dan berkulit cerah tertawa di atas kapal yang separuhnya sudah terbakar. Ia merasa jumawa melihat dua pria tua, seorang perempuan dan seorang pemuda yang sudah tidak berdaya. Dengan senjata berkekuatan besar, ia merasa di atas angin. “Siapa sebenarnya mereka?” tanya Jenar sembari mengernyitkan kening. Belum juga terjawab, bentuk kapal, senjata dan panji asing itu. “Entah lah, Jenar. Tapi orang ini pasti lemah. Merasa kuat karena memiliki senjata yang mampu melontarkan bola-bola api itu,” ucap Ki Bayanaka begitu yakin. “Bagaimana Ayahanda bisa begitu yakin?” tanya Jenar. “Coba lah kau perhatikan gelagatnya. Orang dengan kemampuan tinggi tak mungkin bertingkah seperti itu. Bukan begitu, Braja?” ucap Ki Bayanaka melemparkan kalimat kepada Sanggageni. “Hmm, jadi siapa yang akan memberinya pelajaran?”
Tak ada yang bisa dilakukan Jenar setelah sampai di pantai selatan kerajaannya. Pagar api setinggi pagar Astagina itu menghalangi apa pun dan siapa pun. Tak mungkin melaluinya dengan selamat. Perempuan itu tampak mulai meneteskan air mata. Bagaimana mungkin suaminya berbuat sedemikian rupa. Hatinya berkecamuk, sungguh ia tak ingin kehilangan Arya secepat ini.“Arya, dasar bodoh! Apa yang kau lakukan?” umpat Jenar dengan kedua tangan mengepal. Ia merasa begitu hina sebagai raja tak mengetahui patih sekaligus suaminya di dalam sana berjuang seorang diri.Raja Astagina itu mulai terisak. Rasa panas mendera wajahnya dari jarak lima tombak ini. Keningnya mengernyit keras. Ia merasa harus berbuat sesuatu. Berdiam diri tak akan berdampak apa pun. Berada di istananya jauh lebih baik.“Pasukan udara milik Kakanda Sanggageni, dimana mereka?” tiba-tiba Jenar teringat akan sepuluh orang prajurit yang direkrut oleh Sanggageni demi mewujudkan idenya memiliki serangan udara.“Gunakan ini!” Danapati
Arya melepaskan sekali lagi Sasra Sayaka-Cundhamani dengan sisa amarahnya. Anak panah logam hitam berlumur darahnya sendiri melesat ke arah ribuan prajurit yang mulai terkikis keberaniannya. Serupa dengan tenaga dan kesadaran Arya. Pemuda itu menjatuhkan busur Agnitama pada mulanya. Disusul dengan tubuh lemah dan compang-campingnya.Arya mendengus berusaha melihat apa yang terjadi dengan serangannya itu. Tubuh-tubuh musuh yang tercerai berai. Terburai anggota tubuhnya. Terbakar api Cundhamani hingga meronta-ronta, berguling di tanah dan masuk ke dalam air laut. Semua berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.“Sisanya aku serahkan padamu, Raden Danapati!” gumam Arya sembari mengubah posisi kepalanya. Menoleh kepada Aswabrama dan memastikan kembali bahwa Danapati benar-benar pergi.Binatang dan tuan itu saling pandang. Tak ada kata dari mereka yang dimengerti. Namun tatapan bola mata itu sudah menjelaskan semuanya. Berjuang bersama-sama. Melewati bahaya, nyaris kehilangan nyawa, dan kini
“Tapi bagaimana caranya, Braja? Kau lihat sendiri api Cundhamani menghalangi kita?” pungkas Ki Bayanaka. Pria tua itu memang peragu yang luar biasa. Itu sebab dahulu ia menjadi pelatih prajurit alih-alih bergabung bersama Baka Nirdaya memerangi kedzaliman.“Pantai selatan memang sudah menjadi lautan api. Tapi tidak dengan langitnya!” timpal Sanggageni. “Pengawal! Kau pengawal raja, bukan?” tanyanya.Seorang pengawal raja yang sejak tadi bertugas melindungi dua penasihat itu maju selangkah dengan penuh penghormatan. Ia berkata lantang, “Benar, Tuan! Mohon katakan titah Tuan!”“Cari pasukan udaraku! Bawa secepatnya mereka ke sini!” titah Sanggageni lantang. Pria itu berdiri tegak menatap lautan api dengan memegangi lengan kanannya. Tak ada artinya hidup dengan sebelah tangan namun tak mampu menyelamatkan putranya sendiri.“Sendika, Tuan!”Ki Bayanaka bangkit berdiri di sisi Sanggageni. Tak ada yang menyangka Astagina akan berada di ujung tanduk seperti ini. Pria itu menyentuh pundak adi
Pantai selatan Astagina kini tak ubahnya seperti gerbang api. Tak ada tempat untuk melarikan diri. Bagi bala tentara asing itu, juga bagi Arya. Suara desis api Cundhamani bertemu air laut mengepulkan asap putih buah dari air yang menguap. Arya melepaskan Sasra Sayaka-Cundhamani sekali lagi. Kali ini ke arah deretan kapal-kapal perang yang sebagian telah terbakar.“Kau yakin hal ini, Gusti?” tanya Danapati manakala sudah mengenakan jubah pemberian Arya.“Apa kau meragukanku, Raden?” tanya Arya kembali. Pemuda itu menoleh dan tersenyum. Memperlihatkan deretan giginya yang memerah karena darah. Tak ada yang tahu bahwa Patih Astagina itu sudah melampaui batas ketahanan tubuhnya sendiri.“Gusti, kau....”Tak sempat Danapati berkata lebih banyak, Arya terlanjut menyentak tali kekang Aswabrama. Ia songsong ratusan pasukan berkuda musuh sendirian. Atau hanya berdua saja dengan kudanya. Arya menghunuskan anak panah logamnya. Kali ini dengan posisi tubuh setengah berdiri. Danapati terhenyak, ya
“Arya? Bagaimana dengan Ayahandamu?” tanya Jenar tak menyangka suaminya akan hadir dan menyela percakapannya dengan Danapati dan pengawal.Arya tak menjawab, menggerakkan sedikit kepalanya memberi isyarat pada Jenar agar melihat sendiri kondisi ayahandanya. Pemuda itu sudah siap dengan busur Agnitama dan puluhan anak panah logam di tempatnya menggantung di punggung.Dari jarak puluhan depa itu Jenar masih mampu melihat Sanggageni dan ayahandanya tengah duduk bersila. Ki Bayanaka masih mengobati kakak ipar sekaligus mertuanya itu dengan tenaga dalam. Sedang Sanggageni sudah mampu duduk sendiri. Ia jauh lebih baik meski lengan kanannya tak akan kembali lagi.“Pergi lah ... Istriku! Tunggu aku kembali membawa kemenangan!” lirih Arya di telinga Jenar sembari melewati tubuh perempuan cantik itu.Jenar terpekur, setelah pertengkaran mereka berdua karena Rara Anjani di desa Girijajar tempo hari, baru kali ini ia melihat tekad di mata Arya. Tekad yang sama saat Arya pamit untuk pergi ke medan
Panji-panji dengan aksara asing itu berkibar-kibar tinggi. Pasukan berkuda dengan penutup kepala logam dengan beringas membunuh apa pun yang menghadang. Darah Jenar mendidih menyaksikan para prajurit yang baru saja direkut menjadi korban tanpa sempat mempertahankan nyawa. Perempuan itu menghentakkan tungkainya di permukaan batu besar sekaligus menandai radius serangannya.“Beraninya kalian mengobrak-abrik Astagina! Hanya ada satu ganjaran ... Mati!” seru Jenar mengumbar amarah.Kilatan-kilatan terlihat bergerak begitu cepat tanpa bisa diikuti oleh mata. Denting penutup kepala logam dan tusuk konde emas mendahului robohnya pasukan berkuda itu satu demi satu. Tak ada yang paham bahwa perempuan yang menari di atas batu itu lah dalangnya.Pasukan berkuda musuh saling pandang. Menarik tali kekang kuda hingga kuda-kuda perkasa itu meringkik begitu kuat. Mereka mengedarkan pandangan ke sekitar selatan pesisir pantai Astagina. Selama itu pula mereka seolah tinggal menunggu kematian.Danapati
Arya mendarat dengan keras tepat di belakang para prajurit yang melingkar melindungi rajanya. Ia sibak bahu-bahu penuh ketegangan itu demi sampai di tempat ayahandanya diobati. Penjelasan dari pengawal raja tadi belum mampu membuatnya mengerti bagaimana kondisi Sanggageni sebenarnya.Namun seluruh tubuh Arya terasa tak bertulang manakala menyaksikan kondisi ayahandanya yang memprihatinkan. Ia luruh jatuh bersimpuh di tanah tepat di samping Ki Bayanaka, berhadapan dengan Jenar. Pemuda itu tak percaya hal mengerikan seperti ini terjadi pada ayahandanya.“Kau datang juga,” lirih Ki Bayanaka.“A-apa yang terjadi....”“Braja tak akan seperti ini andai saja kalian bisa bersikap bijak dan tak menuruti hawa nafsu!” tegas Ki Bayanaka sekali lagi.“Maksudmu....”“Kakanda Sanggageni terkena bola api itu, Arya! Dan sekarang pasukan berkuda mereka sedang menuju kemari!” ujar Jenar setengah menyeru. Ia tahu bahwa ini pula kesalahannya. Namun diamnya suaminya tentu bukan tindakan yang tepat dilakuka
Jenar menitikkan air mata. Kata-kata ayahandanya memang begitu menusuk hati. Namun melihat kondisi Sanggageni lah hal yang membuatnya begitu sakit. Ia terlalu lama memadu kasih dengan Arya hingga membuat ayahanda Arya dalam kondisi mengenaskan.“Bertahan lah, Braja! Dasar bedebah!” hardik Ki Bayanaka terus mengerahkan segala kemampuannya untuk menyelamatkan nyawa Sanggageni. Sejauh ini tak ada reaksi apa pun dari pria bergiwang itu.“Kakanda Danapati, bisa kah kau cari keberadaan Arya? Aku merasa dia memiliki hal di luar dari kemampuanku dan Ayahandaku untuk menyelamatkan Kakanda Sanggageni,” pinta Jenar sambil terus terisak.Danapati tak menjawab. Ia segera bangkit dan hendak meninggalkan mereka bertiga manakala empat orang pengawal raja datang. Mereka segera bersimpuh tak berani lebih tinggi dari rajanya.“Tak perlu, Danapati! Biar mereka saja yang mencari Arya. Kau tetap di sini lindungi kami dari apa pun yang menyerang!” titah Ki Bayanaka. Danapati tak berani bereaksi. Ia melihat