Napas Jenar naik turun dengan cepat. Selain gugup menggunakan ilmu baru yang begitu dahsyat, gadis itu juga lelah karena dituntut terus bergerak. Setelah berhasil mengalahkan belasan prajurit, kini mereka bertiga masih harus menghadapi belasan prajurit lain dengan ilmu kanuragan yang lebih mumpuni. Mereka bertiga kini sudah bertarung dengan jarak dekat. Sepertinya prajurit yang datang kemudian ini mengerti kelemahan Suji Pati. Serangan mereka terus menyasar Jenar, satu-satunya perempuan dengan penggunaan ilmu jarak jauhnya. Meski hebat, Suji Pati tak ada gunanya bila musuh begitu dekat. “Kau tak apa, Jenar?” tanya Ki Bayanaka. Diam-diam ia khawatir akan efek yang ditimbulkan buah dari penggunaan Suji Pati terlalu dini. “Tak apa, Ayahanda. Tapi sepertinya ilmu itu tak bisa diandalkan dalam jarak sedekat ini. Apa yang harus kita lakukan?” tanya Jenar setengah panik. “Sebenarnya Suji Pati masih bisa dilakukan dalam jarak dekat, Jenar. Sayangnya bahkan istriku pun tak mampu menguasainy
Lenguhan suara berat dari prajurit-prajurit itu menyadarkan Ki Bayanaka dan Sanggageni bahwa hidupnya terselamatkan. Samar-samar mereka melihat kilatan-kilatan keemasan yang membuat lubang seukuran jari di dahi prajurit-prajurit itu. Mereka semua roboh hampir bersamaan. Satu orang yang hendak roboh menimpa tubuh mereka segera dihempaskan Sanggageni ke arah berlawanan dengan kakinya. “Apa yang terjadi, Braja?” Sanggageni tak menjawab. Matanya menatap Jenar yang tengah melakukan gerakan dengan tombak demi mengamankan tusuk konde yang berada di ujungnya. Beberapa gerakan terakhir dan gadis itu berhasil menangkap tusuk konde keemasan itu dengan tangan kirinya. Hentakan hulu tombak di tanah mengakhiri Suji Pati dalam jarak dekat. “Dia melakukannya, Braja?” Ki Bayanaka terperangah di samping adik seperguruannya itu. “Ya, sesuatu yang tak mampu dicapai pendahulunya. Sama seperti Arya yang berhasil mengembangkan Sasra Dasa milik Pamannya dan menggabungkannya dengan Cundhamani! Anak-ana
Tidur beralaskan kasur yang empuk membuat Arya sulit untuk memejamkan mata. Apa lagi di tempat asing dan seorang diri. Ia lebih banyak teringat akan mendiang Ibundanya. Seorang perempuan yang tak pernah ia sangka adalah putri raja Astagina meski lahir dari rahim seorang selir. Ada rasa tak percaya kini ia dapat sedikit menikamati manisnya kehidupan istana. Semua dilayani dengan penuh penghormatan. Di puja-puja banyak manusia. Memiliki gelar yang indah didengar dan disebutkan oleh lisan. Dan yang sering jadi dambaan adalah kekuasaan yang melebihi kemampuan manusia biasa. Pagi ini tak ada suara ayam jantan bersahut-sahutan. Hanya ada suara burung-burung mencari makan dan bertengger pada sudut-sudut atap istana. Sesungguhnya Arya masih ingin berlama-lama tergolek di balik selimut sutranya. Namun ia teringat Jenar dan ayahandanya yang mungkin masih tidur di goa beralaskan selembar kain. Atau dua pria yang ia temui di penjara bawah tanah, bagaimana keadaan mereka kini? Suara ketukan pint
Arya segera menutup daun jendela dan menggeser tirainya. Tak ia pedulikan lagi Legawa yang belum selesai menyampaikan pesannya. Pria itu pasti paham, dalam kondisi terdesak hal tak pantas pun layak dilakukan. Apa lagi yang datang adalah penguasa yang kejatuhannya amat dinanti-nanti. Pintu bilik berdaun ganda itu terbuka. Empat prajurit berdiri sejajar di ambang pintu menyongsong junjungannya datang. Mereka seolah tak peduli dengan kondisi Arya yang baru saja sampai di depan tempat tidurnya. Prabu Ranajaya masuk dengan kedua tangan saling berkait di belakang tubuh. “Gusti Prabu,” sapa Arya sambil menunduk memberi hormat. Bagaimana pun pria di hadapannya adalah Raja Astagina. Meski ia tak sudi mengabdi dan menjadikannya sasaran utama untuk digulingkan. “Selamat pagi, Arya! Bagaimana tidurmu? Nyenyak?” tanya Prabu Ranajaya berbasa-basi. Ia memandang Arya yang masih mengenakan pakaian tidurnya di balik meja berisi makanan. “Terima kasih, Gusti Prabu. Aku dilayani dengan baik dan diberi
Arya terdiam di ambang pintu biliknya. Dari kejauhan ia melihat banyak orang berpakaian seperti dirinya menuju ke pendopo istana. Mereka saling menyapa satu sama lain dengan ramah, lalu berbincang dengan bahasa tubuh yang sedap dipandang. Arya kembali teringat dengan ibundanya. Perempuan itu memang memiliki bahasa tubuh dan tutur kata serupa dengan orang-orang di istana ini. “Ibunda, apa yang harus aku lakukan? Ayahanda memang menugaskan aku untuk mengambil jabatan itu. Tapi aku lebih suka untuk menghancurkannya bersama dengan istana ini. Biar lah Astagina hancur agar tak ada lagi yang bisa diperebutkan,” batin Arya. Sebagai remaja yang mulai berpikir besar, Arya turut pula mengalami pergolakan pikirannya sendiri tentang apa yang dialami. Kadang ia tak mengerti mengapa orang-orang generasi ayahandanya dan Prabu Ranajaya begitu gemar akan kekuasaan. Meski Sanggageni tampak tak begitu peduli, namun keinginannya agar Arya masuk istana, sudah menunjukkan hal serupa. Sedang menurut Arya
“Sebelumnya aku hanya lah gadis biasa, Arya. Ayahandaku seorang Adipati di Kadipaten Astakencana. Entah dari mana Ranajaya tahu keberadaanku. Ia lalu mengirim utusan untuk memintaku menjadi selirnya.” Rara Anjani menatap kosong dedaunan yang bergerak di sela-sela lubang angin daun pintu. “Maksudmu Astakencana yang masih perpanjangan kekuasaan Astagina itu?” tanya Arya. Ia pernah diceritakan oleh Pranawa, ada seorang gadis yang sakti dan termasyur kecantikannya di Astakencana. Apakah itu Rara Anjani? “Ya, kerajaan milik Ayahandaku itu terletak jauh di sebelah timur Gunung Anala,” terang Rara Anjani. “Pamanku pernah bercerita padaku tentang seorang gadis yang sakti dan cantik dari Astakencana. Apakah itu kau? Kau cukup tersohor, apa kau tak tahu?” puji Arya. Rara Anjani tampak berusaha menyembunyikan wajahnya yang menghangat. “Lupakan soal itu. Ranajaya rupanya tak menginginkan penolakan. Lima hari setelah utusannya kembali, dia datang bersama ribuan pasukannya hendak menghancurkan A
Prabu Ranajaya sudah duduk dengan gagah di singgasana megahnya. Ini hari yang penting dan istimewa. Seluruh punggawa Astagina mengenakan pakaian serba putih duduk berjajar rapi di hadapan sang Prabu. Hadir pula para Tumenggung dan Adipati dari beberapa kerajaan kekuasaan Astagina. Dalam situasi darurat seperti ini apa pun bisa terjadi. Karena di medan perang terakhir baik pihak Astagina dan Baka Nirdaya sama-sama mundur. Astagina karena kehilangan Patih, sedang Baka Nirdaya kehilangan pemimpinnya. “Para Pejuang dan Pejabat Astagina, sengaja kalian semua aku undang kemari karena adanya perihal yang mendesak. Jika di antara kalian ada yang belum mengetahui, Patih Waradhana telah gugur di medan perang.” Kata-kata Prabu Ranajaya terhenti. Sekaligus ingin menyaksikan siapa yang tidak mengetahui kabar penting ini dari reaksi mereka menerima kabar tewasnya Patih Waradhana. Beberapa di antara pejabat dan punggawa saling pandang. Beberapa tampak terkejut, terutama para Tumenggung dan Adipati
“Berhenti!” Teriakan Prabu Ranajaya seketika membuat para punggawa yang akan menyerbu Arya terhenti. Mereka masih tak ingin melihat Rajanya marah dari pada menuntaskan dendam kematian Patihnya. Wajah pemimpin Astagina itu merah padam. Ia bahkan sudah bangkit dari singgasananya. “Ampun, Gusti Prabu. Ijinkan hamba membalas kematian Patih Waradhana!” seru seorang Senopati dengan lantangnya. Ia masih menghunuskan sebilah belati yang mulanya terselip di pinggang. Beberapa punggawa segera mendukung aksi senopati itu. “Aku yang mengundang Arya kemari! Kembali ke tempat kalian!” titah Prabu Ranajaya. Ia sudah memprediksi hal ini akan terjadi. Namun ia cukup percaya diri mampu mengendalikan situasi. Senopati itu tertunduk tak puas. Tentu saja dendam dan amarah yang tak terlampiaskan amat membuatnya kalut. Namun hal itu tak sebanding dengan rasa malunya. Ia dan punggawa lain tak mengerti mengapa Prabu Ranajaya membiarkan bahkan mengundang pemberontak itu ke acara sepenting ini. “Arya Nandik