Beranda / Fantasi / Cundhamani (Panah Api) / 74. Menyerahkan Diri

Share

74. Menyerahkan Diri

Penulis: A.R. Ubaidillah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
Empat puluh tombak dari gerbang istana, Arya memisahkan diri dengan tiga orang Baka Nirdaya termasuk Legawa. Mereka akan masuk secara sembunyi-sembunyi. Arya akan masuk berpura-pura menyerahkan diri sekaligus mengalihkan perhatian para penjaga.

Dua orang prajurit penjaga gerbang utama tampak panik ketika mengetahui Arya dan Aswabrama mendekat. Hampir saja mereka membunyikan kentongan tanda bahaya jika Arya tak buru-buru mengangkat kedua tangannya. Ia bahkan turun dan menuntun kudanya hingga ke depan gerbang istana.

“Berhenti!” hardik prajurit penjaga.

“Tenang, Prajurit. Aku datang dengan damai. Sampaikan pada Prabu Ranajaya, Arya Nandika menyerahkan diri!” ucap Arya lantang.

Kedua prajurit itu saling pandang, lalu keduanya sama-sama mengangkat bahu. Satu prajurit berbalik dan segera masuk ke dalam. Satu orang lagi menjaga Arya dengan ketakutan yang luar biasa. Beruntung empat orang segera muncul dan berjaga-jaga demi potensi bahaya yang mungkin terjadi.

“Santai saja, aku tak akan
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Cundhamani (Panah Api)   75. Rencana Arya

    Ikatan di tangan Arya sudah dilepaskan. Baru saja dua orang prajurit mengunci jeruji dari logam itu dengan rantai dan gembok yang besar. Ruang ini begitu lembab, gelap dan sempit. Lantai dan dinding dari batu terasa dingin menyentuh kulit dan telapak kaki. Hanya ada dua lubang seukuran kepalan tangan di langit-langit sekaligus sumber cahaya dan udara. Dua sosok di sudut ruang bergerak karena kedatangan Arya. Duo orang pria dengan tampang lusuh dan bekas luka di sekujur tubuh mulai mendekat. Rambut dan janggut panjang tak terurus membuat Arya bergidik dan menyudutkan dirinya sendiri ke jeruji besi. “Apa kesalahanmu, Anak Muda? Sampai kau dijebloskan ke penjara penjahat perang ini?” lirih seorang pria sebelah kanan. Ia memandang rekannya sesaat lalu keduanya menatap tajam Arya. “Jadi ini penjara khusus tahanan perang, Ki Sanak?” Arya balik bertanya. “Ya, tak mungkin kau hanya melakukan kesalahan kecil hingga dimasukkan dalam penjara bawah tanah yang mencekam ini,” terang pria di sebe

  • Cundhamani (Panah Api)   76. Ampunan

    Ada senggurat ragu dan takut di wajah dua prajurit yang akan membawa Arya menghadap Prabu Ranajaya. Masing-masing prajurit menggamit kedua lengan Arya. Mereka menyusuri sebuah lorong panjang menuju sebuah tangga di ujung lorong. Satu-satunya akses menuju permukaan. Arya kembali memperhitungkan jarak tempatnya berada dengan ujung lorong. Tak begitu jauh, dan mungkin saja di permukaan sudah ada banyak prajurit yang menunggu. Pemuda itu merasa akan melumpuhkan dua prajurit ini nanti. Ia tak ingin membuat masalah sebelum mengetahui apa yang akan disampaikan Prabu Ranajaya dan rencananya untuk merebut posisi patih. Benar saja, di permukaan sudah banyak prajurit yang menunggu. Karena Prabu Ranajaya sudah berada tak jauh dari sana. Berdiri di tepi kolam ikan hias menunggunya datang. “Ampun, Gusti Prabu, Arya Nandika datang menghadap!” ucap seorang prajurit lantang. Ia bersimpuh dengan satu lututnya, begitu juga dengan rekannya. Prabu Ranajaya berbalik. Tak ada sepatah kata pun yang ia uca

  • Cundhamani (Panah Api)   77. Teman Lama

    Aroma tubuh terbakar segera menyeruak ruang sempit bawah tanah yang dibagi menjadi beberapa bagian. Setelah memastikan kedua prajurit itu tewas, Arya segera menarik dua tubuh itu ke dalam sel dan menutupinya dengan jerami. Dibantu dengan prajurit Baka Nirdaya yang menyamar, ia lalu mengeluarkan dua orang Baka Nirdaya dan orang-orang lain yang dipenjara di sana. Arya segera keluar bersama prajurit penjaga yang menyamar dan meminta penjaga di atas untuk mengantarkan ke biliknya. Sedang para tahanan dibawa ke tempat aman untuk selanjutnya diselundupkan keluar istana. Semua berkat informasi dari Rara Anjani dan pengalaman usang dua penyusup yang tertangkap itu. “Jadi begini bilik istana,” gumam Arya begitu masuk ke dalam bilik yang disiapkan untuknya. Langkahnya berhenti di tengah ruangan. Matanya berkeliling mengagumi kemewahan yang seharusnya ia dapatkan sejak lahir. “Permisi, Gusti. Kami ditugaskan untuk melayani Gusti,” ujar seorang emban dengan membawa nampan berisi makanan. Dua or

  • Cundhamani (Panah Api)   78. Tugas Dari Sakuntala

    Perempuan paruh baya itu terkejut dan menutup mulutnya dengan telapak tangan. Air matanya semakin meluap seiring dengan haru yang memuncak hingga menyesakkan napas. Ia tak menyangka setelah belasan tahun kudeta berlalu, keturunan Prabu Wirajaya masih saja menjadi sasaran pembunuhan. “Siapa namamu, Nyai?” tanya Arya sambil menatap wajah haru perempuan itu. “Hamba Larasati, Gusti.” “Baik, Nyai Larasati, terima kasih sudah membawakanku makanan dan mengenalkan dirimu. Percaya lah padaku, kematian Ibundaku tak akan sia-sia. Kekejaman Prabu Ranajaya cepat atau lambat akan aku akhiri!” ucap Arya dengan lantang dan penuh emosi. Larasati tersenyum di sela-sela tangisnya. Ia terus menerus menyeka air matanya dengan telapak tangan. Masih jelas memori masa lalu yang ia jalani bersama dengan Dewi Gantari. Hingga kudeta Patih Ranajaya yang memaksa biyungnya turut serta dalam pelarian putri Prabu Ranajaya itu. Hingga kini biyungnya tak pernah kembali. “Ampun, Gusti. Apakah Gusti mengenal seorang

  • Cundhamani (Panah Api)   79. Cakara Suci

    Napas Jenar naik turun dengan cepat. Selain gugup menggunakan ilmu baru yang begitu dahsyat, gadis itu juga lelah karena dituntut terus bergerak. Setelah berhasil mengalahkan belasan prajurit, kini mereka bertiga masih harus menghadapi belasan prajurit lain dengan ilmu kanuragan yang lebih mumpuni. Mereka bertiga kini sudah bertarung dengan jarak dekat. Sepertinya prajurit yang datang kemudian ini mengerti kelemahan Suji Pati. Serangan mereka terus menyasar Jenar, satu-satunya perempuan dengan penggunaan ilmu jarak jauhnya. Meski hebat, Suji Pati tak ada gunanya bila musuh begitu dekat. “Kau tak apa, Jenar?” tanya Ki Bayanaka. Diam-diam ia khawatir akan efek yang ditimbulkan buah dari penggunaan Suji Pati terlalu dini. “Tak apa, Ayahanda. Tapi sepertinya ilmu itu tak bisa diandalkan dalam jarak sedekat ini. Apa yang harus kita lakukan?” tanya Jenar setengah panik. “Sebenarnya Suji Pati masih bisa dilakukan dalam jarak dekat, Jenar. Sayangnya bahkan istriku pun tak mampu menguasainy

  • Cundhamani (Panah Api)   80. Satu Darah

    Lenguhan suara berat dari prajurit-prajurit itu menyadarkan Ki Bayanaka dan Sanggageni bahwa hidupnya terselamatkan. Samar-samar mereka melihat kilatan-kilatan keemasan yang membuat lubang seukuran jari di dahi prajurit-prajurit itu. Mereka semua roboh hampir bersamaan. Satu orang yang hendak roboh menimpa tubuh mereka segera dihempaskan Sanggageni ke arah berlawanan dengan kakinya. “Apa yang terjadi, Braja?” Sanggageni tak menjawab. Matanya menatap Jenar yang tengah melakukan gerakan dengan tombak demi mengamankan tusuk konde yang berada di ujungnya. Beberapa gerakan terakhir dan gadis itu berhasil menangkap tusuk konde keemasan itu dengan tangan kirinya. Hentakan hulu tombak di tanah mengakhiri Suji Pati dalam jarak dekat. “Dia melakukannya, Braja?” Ki Bayanaka terperangah di samping adik seperguruannya itu. “Ya, sesuatu yang tak mampu dicapai pendahulunya. Sama seperti Arya yang berhasil mengembangkan Sasra Dasa milik Pamannya dan menggabungkannya dengan Cundhamani! Anak-ana

  • Cundhamani (Panah Api)   81. Pesan Menjelang Pemilihan

    Tidur beralaskan kasur yang empuk membuat Arya sulit untuk memejamkan mata. Apa lagi di tempat asing dan seorang diri. Ia lebih banyak teringat akan mendiang Ibundanya. Seorang perempuan yang tak pernah ia sangka adalah putri raja Astagina meski lahir dari rahim seorang selir. Ada rasa tak percaya kini ia dapat sedikit menikamati manisnya kehidupan istana. Semua dilayani dengan penuh penghormatan. Di puja-puja banyak manusia. Memiliki gelar yang indah didengar dan disebutkan oleh lisan. Dan yang sering jadi dambaan adalah kekuasaan yang melebihi kemampuan manusia biasa. Pagi ini tak ada suara ayam jantan bersahut-sahutan. Hanya ada suara burung-burung mencari makan dan bertengger pada sudut-sudut atap istana. Sesungguhnya Arya masih ingin berlama-lama tergolek di balik selimut sutranya. Namun ia teringat Jenar dan ayahandanya yang mungkin masih tidur di goa beralaskan selembar kain. Atau dua pria yang ia temui di penjara bawah tanah, bagaimana keadaan mereka kini? Suara ketukan pint

  • Cundhamani (Panah Api)   82. Titah Prabu Ranajaya

    Arya segera menutup daun jendela dan menggeser tirainya. Tak ia pedulikan lagi Legawa yang belum selesai menyampaikan pesannya. Pria itu pasti paham, dalam kondisi terdesak hal tak pantas pun layak dilakukan. Apa lagi yang datang adalah penguasa yang kejatuhannya amat dinanti-nanti. Pintu bilik berdaun ganda itu terbuka. Empat prajurit berdiri sejajar di ambang pintu menyongsong junjungannya datang. Mereka seolah tak peduli dengan kondisi Arya yang baru saja sampai di depan tempat tidurnya. Prabu Ranajaya masuk dengan kedua tangan saling berkait di belakang tubuh. “Gusti Prabu,” sapa Arya sambil menunduk memberi hormat. Bagaimana pun pria di hadapannya adalah Raja Astagina. Meski ia tak sudi mengabdi dan menjadikannya sasaran utama untuk digulingkan. “Selamat pagi, Arya! Bagaimana tidurmu? Nyenyak?” tanya Prabu Ranajaya berbasa-basi. Ia memandang Arya yang masih mengenakan pakaian tidurnya di balik meja berisi makanan. “Terima kasih, Gusti Prabu. Aku dilayani dengan baik dan diberi

Bab terbaru

  • Cundhamani (Panah Api)   228 Penerus

    “Bukan kah prajurit udaramu tadi sudah memeriksa semua kapal ini, Braja?” tanya Ki Bayanaka. “Ya, sepertinya kapal satu ini luput dari pemeriksaan. Atau....” Seorang pria bertubuh kurus dan berkulit cerah tertawa di atas kapal yang separuhnya sudah terbakar. Ia merasa jumawa melihat dua pria tua, seorang perempuan dan seorang pemuda yang sudah tidak berdaya. Dengan senjata berkekuatan besar, ia merasa di atas angin. “Siapa sebenarnya mereka?” tanya Jenar sembari mengernyitkan kening. Belum juga terjawab, bentuk kapal, senjata dan panji asing itu. “Entah lah, Jenar. Tapi orang ini pasti lemah. Merasa kuat karena memiliki senjata yang mampu melontarkan bola-bola api itu,” ucap Ki Bayanaka begitu yakin. “Bagaimana Ayahanda bisa begitu yakin?” tanya Jenar. “Coba lah kau perhatikan gelagatnya. Orang dengan kemampuan tinggi tak mungkin bertingkah seperti itu. Bukan begitu, Braja?” ucap Ki Bayanaka melemparkan kalimat kepada Sanggageni. “Hmm, jadi siapa yang akan memberinya pelajaran?”

  • Cundhamani (Panah Api)   227. Terkurung

    Tak ada yang bisa dilakukan Jenar setelah sampai di pantai selatan kerajaannya. Pagar api setinggi pagar Astagina itu menghalangi apa pun dan siapa pun. Tak mungkin melaluinya dengan selamat. Perempuan itu tampak mulai meneteskan air mata. Bagaimana mungkin suaminya berbuat sedemikian rupa. Hatinya berkecamuk, sungguh ia tak ingin kehilangan Arya secepat ini.“Arya, dasar bodoh! Apa yang kau lakukan?” umpat Jenar dengan kedua tangan mengepal. Ia merasa begitu hina sebagai raja tak mengetahui patih sekaligus suaminya di dalam sana berjuang seorang diri.Raja Astagina itu mulai terisak. Rasa panas mendera wajahnya dari jarak lima tombak ini. Keningnya mengernyit keras. Ia merasa harus berbuat sesuatu. Berdiam diri tak akan berdampak apa pun. Berada di istananya jauh lebih baik.“Pasukan udara milik Kakanda Sanggageni, dimana mereka?” tiba-tiba Jenar teringat akan sepuluh orang prajurit yang direkrut oleh Sanggageni demi mewujudkan idenya memiliki serangan udara.“Gunakan ini!” Danapati

  • Cundhamani (Panah Api)   226. Kepercayaan

    Arya melepaskan sekali lagi Sasra Sayaka-Cundhamani dengan sisa amarahnya. Anak panah logam hitam berlumur darahnya sendiri melesat ke arah ribuan prajurit yang mulai terkikis keberaniannya. Serupa dengan tenaga dan kesadaran Arya. Pemuda itu menjatuhkan busur Agnitama pada mulanya. Disusul dengan tubuh lemah dan compang-campingnya.Arya mendengus berusaha melihat apa yang terjadi dengan serangannya itu. Tubuh-tubuh musuh yang tercerai berai. Terburai anggota tubuhnya. Terbakar api Cundhamani hingga meronta-ronta, berguling di tanah dan masuk ke dalam air laut. Semua berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.“Sisanya aku serahkan padamu, Raden Danapati!” gumam Arya sembari mengubah posisi kepalanya. Menoleh kepada Aswabrama dan memastikan kembali bahwa Danapati benar-benar pergi.Binatang dan tuan itu saling pandang. Tak ada kata dari mereka yang dimengerti. Namun tatapan bola mata itu sudah menjelaskan semuanya. Berjuang bersama-sama. Melewati bahaya, nyaris kehilangan nyawa, dan kini

  • Cundhamani (Panah Api)   225. Mati Di Samping Aswabrama

    “Tapi bagaimana caranya, Braja? Kau lihat sendiri api Cundhamani menghalangi kita?” pungkas Ki Bayanaka. Pria tua itu memang peragu yang luar biasa. Itu sebab dahulu ia menjadi pelatih prajurit alih-alih bergabung bersama Baka Nirdaya memerangi kedzaliman.“Pantai selatan memang sudah menjadi lautan api. Tapi tidak dengan langitnya!” timpal Sanggageni. “Pengawal! Kau pengawal raja, bukan?” tanyanya.Seorang pengawal raja yang sejak tadi bertugas melindungi dua penasihat itu maju selangkah dengan penuh penghormatan. Ia berkata lantang, “Benar, Tuan! Mohon katakan titah Tuan!”“Cari pasukan udaraku! Bawa secepatnya mereka ke sini!” titah Sanggageni lantang. Pria itu berdiri tegak menatap lautan api dengan memegangi lengan kanannya. Tak ada artinya hidup dengan sebelah tangan namun tak mampu menyelamatkan putranya sendiri.“Sendika, Tuan!”Ki Bayanaka bangkit berdiri di sisi Sanggageni. Tak ada yang menyangka Astagina akan berada di ujung tanduk seperti ini. Pria itu menyentuh pundak adi

  • Cundhamani (Panah Api)   224. Asa Ksatria Cundhamani

    Pantai selatan Astagina kini tak ubahnya seperti gerbang api. Tak ada tempat untuk melarikan diri. Bagi bala tentara asing itu, juga bagi Arya. Suara desis api Cundhamani bertemu air laut mengepulkan asap putih buah dari air yang menguap. Arya melepaskan Sasra Sayaka-Cundhamani sekali lagi. Kali ini ke arah deretan kapal-kapal perang yang sebagian telah terbakar.“Kau yakin hal ini, Gusti?” tanya Danapati manakala sudah mengenakan jubah pemberian Arya.“Apa kau meragukanku, Raden?” tanya Arya kembali. Pemuda itu menoleh dan tersenyum. Memperlihatkan deretan giginya yang memerah karena darah. Tak ada yang tahu bahwa Patih Astagina itu sudah melampaui batas ketahanan tubuhnya sendiri.“Gusti, kau....”Tak sempat Danapati berkata lebih banyak, Arya terlanjut menyentak tali kekang Aswabrama. Ia songsong ratusan pasukan berkuda musuh sendirian. Atau hanya berdua saja dengan kudanya. Arya menghunuskan anak panah logamnya. Kali ini dengan posisi tubuh setengah berdiri. Danapati terhenyak, ya

  • Cundhamani (Panah Api)   223. Menebus Dosa

    “Arya? Bagaimana dengan Ayahandamu?” tanya Jenar tak menyangka suaminya akan hadir dan menyela percakapannya dengan Danapati dan pengawal.Arya tak menjawab, menggerakkan sedikit kepalanya memberi isyarat pada Jenar agar melihat sendiri kondisi ayahandanya. Pemuda itu sudah siap dengan busur Agnitama dan puluhan anak panah logam di tempatnya menggantung di punggung.Dari jarak puluhan depa itu Jenar masih mampu melihat Sanggageni dan ayahandanya tengah duduk bersila. Ki Bayanaka masih mengobati kakak ipar sekaligus mertuanya itu dengan tenaga dalam. Sedang Sanggageni sudah mampu duduk sendiri. Ia jauh lebih baik meski lengan kanannya tak akan kembali lagi.“Pergi lah ... Istriku! Tunggu aku kembali membawa kemenangan!” lirih Arya di telinga Jenar sembari melewati tubuh perempuan cantik itu.Jenar terpekur, setelah pertengkaran mereka berdua karena Rara Anjani di desa Girijajar tempo hari, baru kali ini ia melihat tekad di mata Arya. Tekad yang sama saat Arya pamit untuk pergi ke medan

  • Cundhamani (Panah Api)   222. Amarah Jenar

    Panji-panji dengan aksara asing itu berkibar-kibar tinggi. Pasukan berkuda dengan penutup kepala logam dengan beringas membunuh apa pun yang menghadang. Darah Jenar mendidih menyaksikan para prajurit yang baru saja direkut menjadi korban tanpa sempat mempertahankan nyawa. Perempuan itu menghentakkan tungkainya di permukaan batu besar sekaligus menandai radius serangannya.“Beraninya kalian mengobrak-abrik Astagina! Hanya ada satu ganjaran ... Mati!” seru Jenar mengumbar amarah.Kilatan-kilatan terlihat bergerak begitu cepat tanpa bisa diikuti oleh mata. Denting penutup kepala logam dan tusuk konde emas mendahului robohnya pasukan berkuda itu satu demi satu. Tak ada yang paham bahwa perempuan yang menari di atas batu itu lah dalangnya.Pasukan berkuda musuh saling pandang. Menarik tali kekang kuda hingga kuda-kuda perkasa itu meringkik begitu kuat. Mereka mengedarkan pandangan ke sekitar selatan pesisir pantai Astagina. Selama itu pula mereka seolah tinggal menunggu kematian.Danapati

  • Cundhamani (Panah Api)   221. Titah Jenar

    Arya mendarat dengan keras tepat di belakang para prajurit yang melingkar melindungi rajanya. Ia sibak bahu-bahu penuh ketegangan itu demi sampai di tempat ayahandanya diobati. Penjelasan dari pengawal raja tadi belum mampu membuatnya mengerti bagaimana kondisi Sanggageni sebenarnya.Namun seluruh tubuh Arya terasa tak bertulang manakala menyaksikan kondisi ayahandanya yang memprihatinkan. Ia luruh jatuh bersimpuh di tanah tepat di samping Ki Bayanaka, berhadapan dengan Jenar. Pemuda itu tak percaya hal mengerikan seperti ini terjadi pada ayahandanya.“Kau datang juga,” lirih Ki Bayanaka.“A-apa yang terjadi....”“Braja tak akan seperti ini andai saja kalian bisa bersikap bijak dan tak menuruti hawa nafsu!” tegas Ki Bayanaka sekali lagi.“Maksudmu....”“Kakanda Sanggageni terkena bola api itu, Arya! Dan sekarang pasukan berkuda mereka sedang menuju kemari!” ujar Jenar setengah menyeru. Ia tahu bahwa ini pula kesalahannya. Namun diamnya suaminya tentu bukan tindakan yang tepat dilakuka

  • Cundhamani (Panah Api)   220. Menyelamatkan Sanggageni

    Jenar menitikkan air mata. Kata-kata ayahandanya memang begitu menusuk hati. Namun melihat kondisi Sanggageni lah hal yang membuatnya begitu sakit. Ia terlalu lama memadu kasih dengan Arya hingga membuat ayahanda Arya dalam kondisi mengenaskan.“Bertahan lah, Braja! Dasar bedebah!” hardik Ki Bayanaka terus mengerahkan segala kemampuannya untuk menyelamatkan nyawa Sanggageni. Sejauh ini tak ada reaksi apa pun dari pria bergiwang itu.“Kakanda Danapati, bisa kah kau cari keberadaan Arya? Aku merasa dia memiliki hal di luar dari kemampuanku dan Ayahandaku untuk menyelamatkan Kakanda Sanggageni,” pinta Jenar sambil terus terisak.Danapati tak menjawab. Ia segera bangkit dan hendak meninggalkan mereka bertiga manakala empat orang pengawal raja datang. Mereka segera bersimpuh tak berani lebih tinggi dari rajanya.“Tak perlu, Danapati! Biar mereka saja yang mencari Arya. Kau tetap di sini lindungi kami dari apa pun yang menyerang!” titah Ki Bayanaka. Danapati tak berani bereaksi. Ia melihat

DMCA.com Protection Status