“Braja, apa yang harus kita lakukan?” Ki Bayanaka menjadi tak tenang ketika keempat orang prajurit itu tampak marah setelah melihat rekannya tumbang. “Kita akan membantu hanya jika Jenar terdesak,” sahut Sanggageni penuh percaya diri. “Lima orang itu terlalu sedikit, Kakanda. Tenang saja dan percaya lah pada putrimu!” Jenar segera melakukan gerakan serupa penari saat keempat prajurit maju bersamaan. Otot-otot lengan kuat seketika lunglai dan menjatuhkan senjata yang telah lama terhunus. Gadis itu telah menandai batas tak kasat mata ilmu yang baru saja ia kuasai. Siapa pun yang melewati batas itu, maka tak akan bisa lolos dari tusukan kematian. Ki Bayanaka menganga tak percaya. Bergantian empat prajurit tingkat menengah itu jatuh ke tanah. Yang terlihat hanya lah kilatan-kilatan keemasan yang tak mampu diikuti dengan mata. Tusuk konde emas seolah tak pernah lepas dari genggaman Jenar. Namun dapat membuat lubang di kening empat prajurit dalam waktu singkat. “Luar biasa....” desis Ki
Empat puluh tombak dari gerbang istana, Arya memisahkan diri dengan tiga orang Baka Nirdaya termasuk Legawa. Mereka akan masuk secara sembunyi-sembunyi. Arya akan masuk berpura-pura menyerahkan diri sekaligus mengalihkan perhatian para penjaga. Dua orang prajurit penjaga gerbang utama tampak panik ketika mengetahui Arya dan Aswabrama mendekat. Hampir saja mereka membunyikan kentongan tanda bahaya jika Arya tak buru-buru mengangkat kedua tangannya. Ia bahkan turun dan menuntun kudanya hingga ke depan gerbang istana. “Berhenti!” hardik prajurit penjaga. “Tenang, Prajurit. Aku datang dengan damai. Sampaikan pada Prabu Ranajaya, Arya Nandika menyerahkan diri!” ucap Arya lantang. Kedua prajurit itu saling pandang, lalu keduanya sama-sama mengangkat bahu. Satu prajurit berbalik dan segera masuk ke dalam. Satu orang lagi menjaga Arya dengan ketakutan yang luar biasa. Beruntung empat orang segera muncul dan berjaga-jaga demi potensi bahaya yang mungkin terjadi. “Santai saja, aku tak akan
Ikatan di tangan Arya sudah dilepaskan. Baru saja dua orang prajurit mengunci jeruji dari logam itu dengan rantai dan gembok yang besar. Ruang ini begitu lembab, gelap dan sempit. Lantai dan dinding dari batu terasa dingin menyentuh kulit dan telapak kaki. Hanya ada dua lubang seukuran kepalan tangan di langit-langit sekaligus sumber cahaya dan udara. Dua sosok di sudut ruang bergerak karena kedatangan Arya. Duo orang pria dengan tampang lusuh dan bekas luka di sekujur tubuh mulai mendekat. Rambut dan janggut panjang tak terurus membuat Arya bergidik dan menyudutkan dirinya sendiri ke jeruji besi. “Apa kesalahanmu, Anak Muda? Sampai kau dijebloskan ke penjara penjahat perang ini?” lirih seorang pria sebelah kanan. Ia memandang rekannya sesaat lalu keduanya menatap tajam Arya. “Jadi ini penjara khusus tahanan perang, Ki Sanak?” Arya balik bertanya. “Ya, tak mungkin kau hanya melakukan kesalahan kecil hingga dimasukkan dalam penjara bawah tanah yang mencekam ini,” terang pria di sebe
Ada senggurat ragu dan takut di wajah dua prajurit yang akan membawa Arya menghadap Prabu Ranajaya. Masing-masing prajurit menggamit kedua lengan Arya. Mereka menyusuri sebuah lorong panjang menuju sebuah tangga di ujung lorong. Satu-satunya akses menuju permukaan. Arya kembali memperhitungkan jarak tempatnya berada dengan ujung lorong. Tak begitu jauh, dan mungkin saja di permukaan sudah ada banyak prajurit yang menunggu. Pemuda itu merasa akan melumpuhkan dua prajurit ini nanti. Ia tak ingin membuat masalah sebelum mengetahui apa yang akan disampaikan Prabu Ranajaya dan rencananya untuk merebut posisi patih. Benar saja, di permukaan sudah banyak prajurit yang menunggu. Karena Prabu Ranajaya sudah berada tak jauh dari sana. Berdiri di tepi kolam ikan hias menunggunya datang. “Ampun, Gusti Prabu, Arya Nandika datang menghadap!” ucap seorang prajurit lantang. Ia bersimpuh dengan satu lututnya, begitu juga dengan rekannya. Prabu Ranajaya berbalik. Tak ada sepatah kata pun yang ia uca
Aroma tubuh terbakar segera menyeruak ruang sempit bawah tanah yang dibagi menjadi beberapa bagian. Setelah memastikan kedua prajurit itu tewas, Arya segera menarik dua tubuh itu ke dalam sel dan menutupinya dengan jerami. Dibantu dengan prajurit Baka Nirdaya yang menyamar, ia lalu mengeluarkan dua orang Baka Nirdaya dan orang-orang lain yang dipenjara di sana. Arya segera keluar bersama prajurit penjaga yang menyamar dan meminta penjaga di atas untuk mengantarkan ke biliknya. Sedang para tahanan dibawa ke tempat aman untuk selanjutnya diselundupkan keluar istana. Semua berkat informasi dari Rara Anjani dan pengalaman usang dua penyusup yang tertangkap itu. “Jadi begini bilik istana,” gumam Arya begitu masuk ke dalam bilik yang disiapkan untuknya. Langkahnya berhenti di tengah ruangan. Matanya berkeliling mengagumi kemewahan yang seharusnya ia dapatkan sejak lahir. “Permisi, Gusti. Kami ditugaskan untuk melayani Gusti,” ujar seorang emban dengan membawa nampan berisi makanan. Dua or
Perempuan paruh baya itu terkejut dan menutup mulutnya dengan telapak tangan. Air matanya semakin meluap seiring dengan haru yang memuncak hingga menyesakkan napas. Ia tak menyangka setelah belasan tahun kudeta berlalu, keturunan Prabu Wirajaya masih saja menjadi sasaran pembunuhan. “Siapa namamu, Nyai?” tanya Arya sambil menatap wajah haru perempuan itu. “Hamba Larasati, Gusti.” “Baik, Nyai Larasati, terima kasih sudah membawakanku makanan dan mengenalkan dirimu. Percaya lah padaku, kematian Ibundaku tak akan sia-sia. Kekejaman Prabu Ranajaya cepat atau lambat akan aku akhiri!” ucap Arya dengan lantang dan penuh emosi. Larasati tersenyum di sela-sela tangisnya. Ia terus menerus menyeka air matanya dengan telapak tangan. Masih jelas memori masa lalu yang ia jalani bersama dengan Dewi Gantari. Hingga kudeta Patih Ranajaya yang memaksa biyungnya turut serta dalam pelarian putri Prabu Ranajaya itu. Hingga kini biyungnya tak pernah kembali. “Ampun, Gusti. Apakah Gusti mengenal seorang
Napas Jenar naik turun dengan cepat. Selain gugup menggunakan ilmu baru yang begitu dahsyat, gadis itu juga lelah karena dituntut terus bergerak. Setelah berhasil mengalahkan belasan prajurit, kini mereka bertiga masih harus menghadapi belasan prajurit lain dengan ilmu kanuragan yang lebih mumpuni. Mereka bertiga kini sudah bertarung dengan jarak dekat. Sepertinya prajurit yang datang kemudian ini mengerti kelemahan Suji Pati. Serangan mereka terus menyasar Jenar, satu-satunya perempuan dengan penggunaan ilmu jarak jauhnya. Meski hebat, Suji Pati tak ada gunanya bila musuh begitu dekat. “Kau tak apa, Jenar?” tanya Ki Bayanaka. Diam-diam ia khawatir akan efek yang ditimbulkan buah dari penggunaan Suji Pati terlalu dini. “Tak apa, Ayahanda. Tapi sepertinya ilmu itu tak bisa diandalkan dalam jarak sedekat ini. Apa yang harus kita lakukan?” tanya Jenar setengah panik. “Sebenarnya Suji Pati masih bisa dilakukan dalam jarak dekat, Jenar. Sayangnya bahkan istriku pun tak mampu menguasainy
Lenguhan suara berat dari prajurit-prajurit itu menyadarkan Ki Bayanaka dan Sanggageni bahwa hidupnya terselamatkan. Samar-samar mereka melihat kilatan-kilatan keemasan yang membuat lubang seukuran jari di dahi prajurit-prajurit itu. Mereka semua roboh hampir bersamaan. Satu orang yang hendak roboh menimpa tubuh mereka segera dihempaskan Sanggageni ke arah berlawanan dengan kakinya. “Apa yang terjadi, Braja?” Sanggageni tak menjawab. Matanya menatap Jenar yang tengah melakukan gerakan dengan tombak demi mengamankan tusuk konde yang berada di ujungnya. Beberapa gerakan terakhir dan gadis itu berhasil menangkap tusuk konde keemasan itu dengan tangan kirinya. Hentakan hulu tombak di tanah mengakhiri Suji Pati dalam jarak dekat. “Dia melakukannya, Braja?” Ki Bayanaka terperangah di samping adik seperguruannya itu. “Ya, sesuatu yang tak mampu dicapai pendahulunya. Sama seperti Arya yang berhasil mengembangkan Sasra Dasa milik Pamannya dan menggabungkannya dengan Cundhamani! Anak-ana