Gantari berusaha tersenyum di ujung ajalnya. Banyak sekali yang ingin ia utarakan pada putranya, namun napasnya sudah tercekat di tenggorokan. Perempuan itu tak bisa lagi melenguh meski sesungguhnya sedikit guncangan saja membuat sakitnya bertambah berkali-kali. Namun paling tidak kematiannya begitu tenang karena berada di pangkuan Arya. “Ibu ... tidak, Ibu, bertahan lah!” pekik Arya sambil mengguncang wajah ibundanya. Gantari tak mampu berkata apa pun. Ia hanya terus tersenyum meski mulutnya telah dipenuhi oleh darahnya sendiri. Arya tak mampu lagi melihat kondisi ibundanya. Ia rengkuh tubuh perempuan paruh baya itu dengan tangisan kerasnya. Pemuda itu sadar ini lah akhir hidup ibundanya. Putri mendiang Prabu Wirajaya yang terpaksa terbuang karena sebuah pengkhianatan. Tubuh Gantari mengejang sesaat. Ia terus mencoba menahan bola matanya agar tak bergerak ke atas. Perempuan itu tak ingin putranya terus menyaksikan kondisinya yang mengenaskan. Satu tarikan napas yang terhenti menan
“Baik, aku tak akan memintamu lagi.” Senopati Sakuntala masih terus mengangkat kedua tangannya. Akan sangat fatal bila ia terkena Cundhamani dalam jarak sedekat ini. Tubuhnya ini tak akan bersisa lagi. “Jadi, berhenti lah memerintahku seolah aku ini abdimu!” bentak Arya. Pemuda itu mencoba untuk menerima kenyataan yang terjadi. Kematian ibunda terasa belum cukup sedang maksud dari penyerangan Baka Nirdaya pimpinan ayahandanya belum terjawab. Arya masih menghunuskan panahnya di samping jasad Gantari. Namun tak lagi ia arahkan pada Senopati Sakuntala. “Kalaupun tak mengenai, paling tidak ini jadi tanda bahwa pembalasan akan segera datang!” Arya menarik busurnya maksimal. Meski terkena air hujan, mata panah yang membara itu sama sekali tak berdesis seperti bara api yang tersiram air pada umumnya. Sebentar saja lengan Arya bergetar. Pemuda itu segera melepaskan cengkraman ibu jari tangan kanan pada tali busur dan ekor anak panah. Anak panah logam itu melesat ke langit menembus air dan
Sudah dua kali Gantari menjalani purnama seorang diri. Setelah kehilangan putranya, sekejap saja ia sudah kesepian. Kabar dari suaminya tak jua kunjung datang. Si Jenaka, elang milik suaminya juga tak pernah terlihat dan terdengar kepakan sayapnya. Di desa ini hanya ada perempuan dan anak-anak. Banyak dari mereka yang memilih mengungsi ke desa lain. Perempuan yang masih cantik itu bangkit dari alat tenunnya. Ia melangkah dari beranda rumah ke sebuah bangunan di sisi belakang, tempat suaminya dan terakhir putranya menempa besi. Semua barang-barang di sana terbengkalai. Beberapa besi tampak tergeletak begitu saja. Sebagian besar masih berupa senjata setengah jadi. “Suamiku, apa yang terjadi? Mengapa kau tak kunjung menjemputku? Arya sudah diambil istana, aku tak tahu bagaimana kabarnya kini,” lirih Gantari sambil menengadah menatap rembulan yang sebagian tertutup awan. Angin dingin gunung Payoda menerpa tubuh langsing Gantari. Perempuan itu bergidik dan menaikkan kain tenunannya sendi
Sinar mentari dan aroma jelaga membangunkan Arya. Aswabrama sudah lebih dahulu mencari makanannya sendiri. Pemuda itu menggeliat, tubuhnya terasa pegal-pegal. Belum lagi semalaman terguyur hujan, membuatnya sedikit tak sehat. Namun ia tetap harus bangun, desa ini tak berpenghuni lagi. Tanah pusara ibundanya masih merah dan basah. Arya terpekur lama di samping pusara itu. Ia gagal menyusul ayahandanya karena jalanan terputus akibat Sasra Sayaka-Cundhamani. Arya menyesali, akibat ulahnya sendiri jalan menuju markas ayahandanya menjadi tak bisa dilalui. Masih begitu segar di ingatan Arya bagaimana ibundanya bersikukuh memintanya untuk pergi saat prajurit-prajurit Astagina itu mengambil paksa para pemuda desa. Namun ia begitu keras kepala dan terlalu percaya diri. Hingga akhirnya ibundanya turun tangan dan terpaksa mengeluarkan Suji Pati. “Kalau saja aku turuti Ibu....” Arya menghela napasnya. Semalam pasti ibundanya dikeroyok banyak orang, hingga Suji Pati tak mampu mengimbangi. Penyes
“Aku bahkan belum bertemu dengan Ibundamu, tapi beliau lebih dulu mangkat,” ujar Jenar sendu. Sang pujaan hati kini berada di hadapannya. Menatap kosong rumpun bambu yang sebagian hancur karena ulah mereka berdua tempo hari. Netranya mengembun, namun tak sampai meneteskan air mata. “Hal itu lah yang menguatkan tekadku untuk pergi berperang, Jenar. Kematian Ibundaku tak boleh sia-sia. Seseorang harus bertanggung jawab!” Dendam di hati Arya sama sekali tak bisa disinggung, langsung tersulut seketika. “Walaupun itu Ayahandamu sendiri?” “Ya! Aku tak punya pilihan lain!” tandas Arya. “Bagaimana bila bukan Baka Nirdaya pelakunya? Aku tak bisa menemukan alasan kuat untuk Ayahandamu menyerang dan menghancurkan desanya sendiri. Sedang yang ia tahu anak dan istrinya masih berada di sana.” Jenar mencoba menganalisa. “Kekuasaan tak mengenal anak dan istri, Jenar! Apa lagi desa.” Kedua telapak tangan Arya mengepal keras. Ia seolah membutuhkan sesuatu yang bisa ia hantam demi melepaskan emosiny
Ki Bayanaka tergesa menaiki anak tangga rumah panggungnya. Setiap ruang ia masuki dan akhirnya mendapatkan putrinya duduk sendiri di belakang rumah. Jenar tetap duduk di sana meski sudah mengetahui ayahandanya pulang, tak seperti biasanya. “Jenar, apakah Arya tadi ke sini?” tanya Ki Bayanaka sambil berjalan mendekat. Jenar mengangguk, lalu gadis itu kembali menatap kosong ke depan. Ki Bayanaka mengamini bahwa pemuda itu sudah lebih dahulu memberi tahu niatnya berperang pada putrinya. Sikap Jenar sudah lebih dari cukup untuk mengkonfirmasinya. “Jadi dia sudah mengatakan padamu akan turun ke medan perang?” tanya Ki Bayanaka lagi. Pria itu lalu duduk di sebelah putrinya berjarak satu lengan. “Ya, Arya menceritakan semuanya, Ayah. Tentang kematian Ibundanya, yang menurutnya dilakukan oleh pasukan Baka Nirdaya,” terang Jenar. “Tunggu! Jadi Gusti Dewi Gantari sudah wafat?” Ki Bayanaka terkejut tak percaya. “Tak mungkin Baka Nirdaya pelakunya! Bagaimana dia bisa yakin pelakunya prajurit
Rombongan pasukan Astagina telah tiba di padang Kalaha, sebush dataran luas yang dikelilingi perbukitan. Tepat di kaki bukit sebelah selatan dibangun tenda-tenda kecil mengelilingi sebuah tenda besar dengan simbol Astagina besar. Entah kapan tenda itu dibangun, pasti memerlukan waktu yang cukup lama demi menaungi sepuluh ribu prajurit. Panji-panji Astagina berkibar dimana-mana. Derap langkah kaki kuda bercampur dengan langkah prajurit dengan kaki-kaki lelah terdengar di telinga. Hembusan angin di area terbuka ini tak bisa membiaskan suara keterpaksaan dan ketakutan banyak pemuda kasta terendah. Nasib mereka akan segera ditentukan besok. “Mari, Raden Arya Nandika ikut bersamaku,” ajak Senopati Sakuntala. Arya dibawa ke sebuah tenda yang cukup besar tepat di sisi tenda paling besar. “Untuk apa kita berada di tenda ini?” tanya Arya. “Perang baru akan terjadi besok. Kau tak perlu tegang, istirahat lah dulu,” ujar Senopati Sakuntala dengan santainya. Ia sama sekali tak mengerti pergolak
“Ayahandaku pemilik asli Ajian Dasa Daraka?” “Tentu bukan, Sanggageni pasti belajar pada orang yang lebih dahulu menguasainya. Bisa kau lihat sendiri betapa merepotkannya mereka!” umpat Patih Waradhana di akhir kalimatnya. Arya terperangah di balik teropong. Pemandangan mengerikan mau tak mau ia tatap dengan seksama secara langsung. Baginya tak ada lagi kata mundur. Ia harus maju demi membalaskan kematian ibundanya. Persetan dengan urusan Astagina dan Baka Nirdaya. Pemuda itu segera mencabut anak panah logamnya. Namun Patih Waradhana mencegahnya. “Tunggu, Arya. Kita tetap harus menjalankan strategi meski Cundhamanimu itu bisa diandalkan!” ucap Patih Waradhana sambil mengulurkan tangan di depan Arya. “Lalu? Apa yang kita tunggu? Kau memerintahkan Duwana untuk maju lebih dulu. Bukan kah itu sama dengan mengorbankan mereka?” cecar Arya. Ia merasa terganggu karena tak berbuat apa-apa sedang banyak pemuda desanya bergabung dalam pasukan Duwana. “Korban dalam perang tak bisa dihindarkan