“Tak usah banyak bicara! Akan kukirim kau ke alam baka!” bentak makhluk itu. Ia lalu berteriak dengan garang. Suaranya begitu kuat hingga memecahkan keheningan hutan ini. Burung-burung beterbangan, binatang-binatang lain segera lari menyelamatkan diri. Makhluk itu menghujamkan tinjunya ke arah Arya. Arya segera menghindar dengan melompat ke belakang. Hempasan tinju itu seketika membuat lubang menganga di tanah. Pemuda dengan busur di tangan kiri itu terpental meski hanya terpapar angin. Ia jatuh terduduk, terhempas di semak-semak. “Kekuatan yang luar biasa. Terlambat sedikit saja, tubuhku pasti sudah hancur!” gumam Arya. Pemuda itu segera bangkit dan bersiap akan serangan lanjutan. Makhluk tinggi besar di hadapannya pasti belum puas sampai melihatnya meregang nyawa. “Aaargh!” Makhluk itu kembali berteriak. Ia bersiap melompat dan berniat menimpa tubuh kecil Arya Nandika. Pemuda itu segera melompat sekuat tenaga untuk menghindar. “Tunggu! Kau bilang tadi ini hutan larangan?” seru Ar
“Sudah aku katakan, aku tak tahu. Kalau tahu ini hutan larangan aku tak akan berani memasukinya. Tapi kau sama sekali tak mendengarkanku! Sekarang, rasakan panah ini!” Arya mendengus dan melepaskan anak panah dengan cepat. Entah mengapa ia ingin sekali membidik kepala makhluk itu, bukan bagian lainnya yang lebih dekat dan lebih besar. Anak panah itu melesat dan membara di ujungnya yang runcing, mengenai tanduk kiri makhluk besar itu yang terus bergerak. “Aargh!” Makhluk itu menggeram. Rasa sakit ada di beberapa bagian tubuhnya. Namun tanduk yang mulai terbakar itu seolah meleleh dengan cepat. Panas yang luar biasa, padahal ia cukup terbiasa dengan api sebagaimana asal-usulnya. “Luar biasa, Ketua!” seru Sakuntala dari arah semak. Ia melompat turun dan berlari mendekati Arya yang terengah-engah bertumpu pada busurnya. “Dari mana saja kau, Sakuntala?” Sakuntala tersentak, baru kali ini ia melihat Arya tak seperti biasanya. Tatapan mata pemuda ini begitu tajam, wajahnya merah padam pe
“Hormat hamba, Gusti Prabu. Gusti memanggil hamba?” Patih Waradhana bersimpuh dengan sebelah lututnya. Di hadapannya duduk dengan gagahnya Prabu Ranajaya, duduk di singgasana emas dengan ukiran naga berkepala dua. Binatang mitologi yang juga menjadi simbol Astagina. “Bangkitlah, Waradhana! Aku dengar Sakuntala tengah menyamar menjadi prajurit pendamping anak yang menghancurkan pedangmu. Benar begitu? Apa kau yang menyuruhnya?” tanya Prabu Ranajaya. Lelaki itu begitu gagah dan berwibawa dengan mahkota dan banyak perhiasan di leher dan lengannya. “Benar, Gusti Prabu. Sakuntala memang menyamar, tapi itu kehendaknya sendiri. Hamba tak pernah menyuruhnya demikian,” jawab Patih Waradhana setelah bangkit dan berdiri dengan pakaian kebesarannya. “Hmm, apa yang dia inginkan?” “Ceritanya panjang, Gusti. Hamba tak mungkin menceritakan hal penting ini di depan orang lain,” ujar Patih Waradhana sekaligus permintaan tersembunyi agar mereka berbincang empat mata saja. Prabu Ranajaya mengelus jan
“Ah, percuma saja! Tak mungkin kau orang jahat kalau tak menghidar.” Arya mengurungkan tebasan pedangnya dan menyarungkan kembali bilah besi tajam itu. Sebuah tindakan yang sekaligus melegakan Sakuntala. “Huft, hampir saja.” Sakuntala mengelus dadanya. Tindakan tanpa perhitungan dan tanpa sengaja itu berhasil membuat Arya percaya. Meski mungkin memang kemampuan interogasi Arya yang tak mumpuni. “Maafkan aku, Sakuntala. Ayo kita pulang sekarang. Tapi mulai besok kau tak perlu lagi jadi pendampingku. Aku lebih nyaman sendiri. Akan aku bicarakan hal ini dengan Ki Bayanaka.” Arya segera mengarahkan Aswabrama meninggalkan hutan larangan dan semua hasil buruan mereka. Sakuntala tersenyum, ketuanya ini benar-benar polos. Hampir setiap ketua pasukan atau divisi prajurit tertentu memang memiliki pendamping. Namun dia sendiri lah yang memilih pendampingnya. Jika memang tak berkenan dan merasa tak perlu, seorang ketua tak harus memiliki pendamping. Namun mendengar Arya akan membicarakan hal i
Arya turun dari kudanya. Baru kali ini melihat pendopo istana yang begitu megah. Prajurit jaga segera menanyakan maksud kedatangannya. Setelah mengetahui dia diundang Prabu Ranajaya untuk bertemu, dua prajurit itu segera memberikan hormat. Seorang membantu mengikat tali kekang Aswabrama, satu lagi mengantarkan Arya masuk. Dinding berukir menutupi semua sisi pendopo. Ornamen-ornamen cantik keemasan menghias setiap sudut ruangan. Lantai marmer terasa begitu dingin mengenai telapak kaki. Puncak singgasana Prabu Ranajaya sudah tampak. Prajurit yang mengantarnya segera bersimpuh setelah menaiki empat anak tangga. “Hormat hamba, Gusti Prabu. Arya Nandika mohon ijin bertemu!” seru prajurit itu. Dengan jarak yang hampir tujuh tombak, wajar bila prajurit itu setengah berteriak pada junjungannya. “Kemarilah, Arya!” Suara Prabu Ranajaya begitu bijak dan berat. Di ujung sana pria itu duduk dengan gagahnya di singgasana emas. Dua dayang senantiasa menjaga udara selalu sejuk di sisi Raja Astagina
Arya tak mengerti dengan apa yang terjadi dengan Prabu Ranajaya. Setelah dia menyebutkan nama ayahandanya, Raja Astagina itu segera menyudahi pembicaraan dan pertemuan. Ia langsung meminta Arya untuk kembali ke hanggar pemanah. Tak ada satu pun kata terucap, Prabu Ranajaya hanya terus mengelus janggutnya. “Ah, lebih baik aku temui Ki Bayanaka. Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan,” gumam Arya begitu duduk di punggung Aswabrama. Sentakan lembut membuat Aswabrama segera berlari kecil menuju arah yang ditunjukkan tuannya. Beberapa pembesar yang tadi berada di pendopo melihat kepergian Arya dengan tatapan penuh tanya. Mungkin kegundahan di wajah rajanya sudah mereka ketahui. Arya tak peduli, ia tak merasa melakukan kesalahan. Ujung-ujung atap kediaman Ki Bayanaka sudah tampak. Hati Arya berdesir menahan rindu yang tiba-tiba saja membuncah mendesak keluar dari hati. Ia tak sabar bertemu dengan pujaan hati. Itu lah sebenarnya yang ingin ia cari. Menanyakan beberapa hal pada gurunya past
“Gunung Anala? “Ya. Mahaguruku dulu pernah berkawan dengan pemilik Cundhamani. Orang itu menggunakan busur yang terbuat dari serat kayu pohon Sarayu dan anak panah logam murni. Pohon Sarayu hanya ditemukan di Gunung Anala,” terang Ki Bayanaka. Ia tak hiraukan Arya yang begitu lekat menatapnya. “Apa tak ada cara lain, Ki?” ujar Arya. Ia mempertimbangkan dari pada pergi jauh-jauh ke Gunung Anala, ia akan lebih memilih untuk mengunjungi ibundanya di Desa Girijajar. “Kalau kau ingin menguasai Cundhamani secara penuh, apa lagi untuk turun ke medan perang, maka saranku hanya itu. Carilah pohon Sarayu! Tapi semua terserah padamu. Aku hanya mengingatkan, perjalanan ke Gunung Anala tak akan mudah. Anala adalah gunung api yang sangat aktif.” Arya menunduk, lalu sejurus kemudian mengerling pada kekasihnya. Jenar terlihat mengernyitkan kening. Ia sungguh tak rela kekasihnya sudah harus menempuh bahaya padahal baru saja akan dipersiapkan untuk turun ke medan perang. “Baik, aku akan pergi ke Gu
Sang Senopati yang menyamar itu menghampiri Arya. Sesekali ia pastikan lagi apakah perhiasan di kepala, leher dan lengannya sudah ia tanggalkan. Juga simbol Astagina di pengikat rambut yang memang berbeda dengan yang digunakan oleh prajurit biasa. Tentu saja ia tak mengetahui bahwa Arya sudah mengetahui jati dirinya. Arya sebisa mungkin bersikap biasa. Lagi pula ini adalah hal langka, seorang Senopati Astagina bersedia ia minta untuk menemani perjalanan ke Gunung Anala. Belum lagi selama penyamaran Sakuntala harus rela merendahkan dirinya. Arya sudah merencanakan untuk memanfaatkan kondisi ini. “Ketua!” sapa Sakuntala. Di pundaknya sudah tergantung perbekalan untuk perjalanan ini dalam buntalan kain besar. “Apa kau sudah siap, Sakuntala?” tanya Arya sambil mengikatkan perbekalan di pelana Aswabrama. “Aku selalu siap, Ketua. Aku tinggal ikatkan perbekalan ini di kudaku,” jawab Sakuntala. “Maaf ini mendadak, tapi aku tak punya pilihan selain mempercepat penguasaanku pada Cundhamani.