Beranda / Fantasi / Cundhamani (Panah Api) / 18. Pembuktian Ki Bayanaka

Share

18. Pembuktian Ki Bayanaka

Penulis: A.R. Ubaidillah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
“Aku tetap tak percaya dengan teorimu, Ki. Aku hanya Arya Nandika dari Desa Girijajar, seorang pandai besi anak Sanggageni dan Gantari. Aku dan keluargaku tak ada hubungan apa pun dengan Astagina!” bantah Arya.

Pemuda itu membuang pandangannya ke pelataran rumah Ki Bayanaka. Ia tak sudi untuk terus membahas hal ini dengan orang tua kekasihnya. Kalau pun memang ibundanya adalah putri raja, lalu mengapa sampai mereka terpinggirkan ke Girijajar? Bahkan ia dan ayahandanya terpaksa menjadi prajurit dengan ancaman.

“Hamba tahu ini sulit dipercaya, Raden. Bahkan kalau benar-benar ibundamu adalah satu-satunya keturunan Gusti Prabu Wirajaya yang masih hidup, kau ini sebenarnya Pangeran. Meski bukan dari garis Permaisuri, bisa jadi kau lah Putra Mahkota yang sah!”

“Cukup, Ki Bayanaka! Aku rasa kau sudah terlalu lelah melatih ribuan prajurit itu setiap hari!” Bentakan Arya seketika membuat Ki Bayanaka menunduk hormat dan mundur dua langkah. Mungkin benar, ia sudah memberikan beban terlalu bera
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Cundhamani (Panah Api)   19. Putra Mahkota

    Ki Bayanaka tak bergeming. Ia melompat menyusul Arya yang sudah berdiri di pelataran rumah yang basah. Wajah pemuda itu dipenuhi tanda tanya. Ia tak mengerti apa yang dilakukan oleh gurunya. Kalau saja dia tak sempat menangkis mungkin nasibnya akan sama dengan saat dihajar Patih Wardhana tempo hari. “Apa maksudmu, Ki?” tanya Arya. “Aku akan menghilangkan semua keraguan di hatimu, Arya!” Ki Bayanaka kembali menyerang. Kali ini tinjunya hampir saja mengenai wajah Arya. Pemuda itu berkelit dan terus menghidari serangan berikutnya. Ia tak akan membalas kalau belum mengerti untuk apa Ki Bayanaka menyerangnya. Semakin banyak menghindar, rupanya Arya semakin terpojok. Beberapa kali lengan mereka berdua saling beradu. Arya yakin Ki Bayanaka masih menahan diri. Tak mungkin ia bisa mengimbangi guru dari orang-orang besar ini. Sebuah tendangan meluncur deras ke arah dada Arya. Pemuda itu menangkis dengan sekuat tenaga. Tendangan yang dialiri tenaga dalam itu terasa begitu berat hingga Arya te

  • Cundhamani (Panah Api)   20. Berburu Bersama Sakuntala

    Titik embun baru saja membias dan menyebarkan hawa dingin menusuk tulang. Arya bertolak dari kediaman Ki Bayanaka setelah perbincangan panjang semalam. Sebuah kenyataan pahit yang akan tetap ia simpan. Meski memupuk dendam untuk penguasa Astagina sekarang. Sentuhan lembut di bahhu disusul dengan pelukan kekasih dari belakang membuat Arya menghentikan langkahnya. Sungguh pagi yang berat, apa lagi dengan kerinduan yang belum tuntas. Semakin Arya ingin melangkah, maka pelukan Jenar semakin erat. Seperti seorang istri yang enggan melepas suaminya pergi ke medan perang. “Berjanjilah kau akan segera kembali,” ucap Jenar di punggung kekasihnya. Wajahya masih bersandar di sana. Arya tersenyum sambil mengusap lembut jemari gadis itu. “Jika diijinkan kembali, aku justru ingin membawamu mengunjungi ibundaku. Apa kau bersedia?” Wajah Jenar menghangat. Kebahagiaan segera terpancar dari senyumannya. Senyum penutup kegundahan karena harus berpisah lagi dengan kekasih hati. Ia merasa tak kuasa har

  • Cundhamani (Panah Api)   21. Hutan Larangan

    “Sakuntala! Rusa jantan itu lari! Panah dia!” “Hah?” Sakuntala terkejut, ia tak tahu rusa mana yang dimaksud oleh Arya. Setelah sepuluh anak panah mengenai sasarannya masing-masing, ada beberapa rusa yang lari. Namun Sakuntala tak mengerti, karena ia begitu takjub dengan Sasra Dasa milik Arya. “Ah, mengapa kau diam?” pekik Arya. Ia mencabut lagi satu anak panahnya. Beberapa masa ia membidik, lalu melepaskannya hingga anak panah itu dan mengenai sasaran. Seekor rusa besar dengan tanduk lebar bercabang-cabang menggelepar di tanah. Lehernya tertembus anak panah setelah yang pertama menancap di kaki belakangnya. Arya tersenyum lebar. Sasra Dasa yang diajarkan pamannya dapat ia gunakan sebagaimana biasa. Meski belum mahir, Arya sering mengeluarkannya saat berburu bersama pamannya itu. Pemuda itu menyibak semak di hadapannya. Lalu melompat menghampiri rusa-rusa itu. “Ayo, Sakuntala! Apa cara berburumu hanya berdiri diam saja di situ?” ledek Arya. Ia mencabut pedang di pinggangnya sambil

  • Cundhamani (Panah Api)   22. Hutan Larangan II

    “Tak usah banyak bicara! Akan kukirim kau ke alam baka!” bentak makhluk itu. Ia lalu berteriak dengan garang. Suaranya begitu kuat hingga memecahkan keheningan hutan ini. Burung-burung beterbangan, binatang-binatang lain segera lari menyelamatkan diri. Makhluk itu menghujamkan tinjunya ke arah Arya. Arya segera menghindar dengan melompat ke belakang. Hempasan tinju itu seketika membuat lubang menganga di tanah. Pemuda dengan busur di tangan kiri itu terpental meski hanya terpapar angin. Ia jatuh terduduk, terhempas di semak-semak. “Kekuatan yang luar biasa. Terlambat sedikit saja, tubuhku pasti sudah hancur!” gumam Arya. Pemuda itu segera bangkit dan bersiap akan serangan lanjutan. Makhluk tinggi besar di hadapannya pasti belum puas sampai melihatnya meregang nyawa. “Aaargh!” Makhluk itu kembali berteriak. Ia bersiap melompat dan berniat menimpa tubuh kecil Arya Nandika. Pemuda itu segera melompat sekuat tenaga untuk menghindar. “Tunggu! Kau bilang tadi ini hutan larangan?” seru Ar

  • Cundhamani (Panah Api)   23. Lokawigna

    “Sudah aku katakan, aku tak tahu. Kalau tahu ini hutan larangan aku tak akan berani memasukinya. Tapi kau sama sekali tak mendengarkanku! Sekarang, rasakan panah ini!” Arya mendengus dan melepaskan anak panah dengan cepat. Entah mengapa ia ingin sekali membidik kepala makhluk itu, bukan bagian lainnya yang lebih dekat dan lebih besar. Anak panah itu melesat dan membara di ujungnya yang runcing, mengenai tanduk kiri makhluk besar itu yang terus bergerak. “Aargh!” Makhluk itu menggeram. Rasa sakit ada di beberapa bagian tubuhnya. Namun tanduk yang mulai terbakar itu seolah meleleh dengan cepat. Panas yang luar biasa, padahal ia cukup terbiasa dengan api sebagaimana asal-usulnya. “Luar biasa, Ketua!” seru Sakuntala dari arah semak. Ia melompat turun dan berlari mendekati Arya yang terengah-engah bertumpu pada busurnya. “Dari mana saja kau, Sakuntala?” Sakuntala tersentak, baru kali ini ia melihat Arya tak seperti biasanya. Tatapan mata pemuda ini begitu tajam, wajahnya merah padam pe

  • Cundhamani (Panah Api)   24. Siapa Sakuntala?

    “Hormat hamba, Gusti Prabu. Gusti memanggil hamba?” Patih Waradhana bersimpuh dengan sebelah lututnya. Di hadapannya duduk dengan gagahnya Prabu Ranajaya, duduk di singgasana emas dengan ukiran naga berkepala dua. Binatang mitologi yang juga menjadi simbol Astagina. “Bangkitlah, Waradhana! Aku dengar Sakuntala tengah menyamar menjadi prajurit pendamping anak yang menghancurkan pedangmu. Benar begitu? Apa kau yang menyuruhnya?” tanya Prabu Ranajaya. Lelaki itu begitu gagah dan berwibawa dengan mahkota dan banyak perhiasan di leher dan lengannya. “Benar, Gusti Prabu. Sakuntala memang menyamar, tapi itu kehendaknya sendiri. Hamba tak pernah menyuruhnya demikian,” jawab Patih Waradhana setelah bangkit dan berdiri dengan pakaian kebesarannya. “Hmm, apa yang dia inginkan?” “Ceritanya panjang, Gusti. Hamba tak mungkin menceritakan hal penting ini di depan orang lain,” ujar Patih Waradhana sekaligus permintaan tersembunyi agar mereka berbincang empat mata saja. Prabu Ranajaya mengelus jan

  • Cundhamani (Panah Api)   25. Utusan Ayahanda

    “Ah, percuma saja! Tak mungkin kau orang jahat kalau tak menghidar.” Arya mengurungkan tebasan pedangnya dan menyarungkan kembali bilah besi tajam itu. Sebuah tindakan yang sekaligus melegakan Sakuntala. “Huft, hampir saja.” Sakuntala mengelus dadanya. Tindakan tanpa perhitungan dan tanpa sengaja itu berhasil membuat Arya percaya. Meski mungkin memang kemampuan interogasi Arya yang tak mumpuni. “Maafkan aku, Sakuntala. Ayo kita pulang sekarang. Tapi mulai besok kau tak perlu lagi jadi pendampingku. Aku lebih nyaman sendiri. Akan aku bicarakan hal ini dengan Ki Bayanaka.” Arya segera mengarahkan Aswabrama meninggalkan hutan larangan dan semua hasil buruan mereka. Sakuntala tersenyum, ketuanya ini benar-benar polos. Hampir setiap ketua pasukan atau divisi prajurit tertentu memang memiliki pendamping. Namun dia sendiri lah yang memilih pendampingnya. Jika memang tak berkenan dan merasa tak perlu, seorang ketua tak harus memiliki pendamping. Namun mendengar Arya akan membicarakan hal i

  • Cundhamani (Panah Api)   26. Menghadap Sang Prabu

    Arya turun dari kudanya. Baru kali ini melihat pendopo istana yang begitu megah. Prajurit jaga segera menanyakan maksud kedatangannya. Setelah mengetahui dia diundang Prabu Ranajaya untuk bertemu, dua prajurit itu segera memberikan hormat. Seorang membantu mengikat tali kekang Aswabrama, satu lagi mengantarkan Arya masuk. Dinding berukir menutupi semua sisi pendopo. Ornamen-ornamen cantik keemasan menghias setiap sudut ruangan. Lantai marmer terasa begitu dingin mengenai telapak kaki. Puncak singgasana Prabu Ranajaya sudah tampak. Prajurit yang mengantarnya segera bersimpuh setelah menaiki empat anak tangga. “Hormat hamba, Gusti Prabu. Arya Nandika mohon ijin bertemu!” seru prajurit itu. Dengan jarak yang hampir tujuh tombak, wajar bila prajurit itu setengah berteriak pada junjungannya. “Kemarilah, Arya!” Suara Prabu Ranajaya begitu bijak dan berat. Di ujung sana pria itu duduk dengan gagahnya di singgasana emas. Dua dayang senantiasa menjaga udara selalu sejuk di sisi Raja Astagina

Bab terbaru

  • Cundhamani (Panah Api)   228 Penerus

    “Bukan kah prajurit udaramu tadi sudah memeriksa semua kapal ini, Braja?” tanya Ki Bayanaka. “Ya, sepertinya kapal satu ini luput dari pemeriksaan. Atau....” Seorang pria bertubuh kurus dan berkulit cerah tertawa di atas kapal yang separuhnya sudah terbakar. Ia merasa jumawa melihat dua pria tua, seorang perempuan dan seorang pemuda yang sudah tidak berdaya. Dengan senjata berkekuatan besar, ia merasa di atas angin. “Siapa sebenarnya mereka?” tanya Jenar sembari mengernyitkan kening. Belum juga terjawab, bentuk kapal, senjata dan panji asing itu. “Entah lah, Jenar. Tapi orang ini pasti lemah. Merasa kuat karena memiliki senjata yang mampu melontarkan bola-bola api itu,” ucap Ki Bayanaka begitu yakin. “Bagaimana Ayahanda bisa begitu yakin?” tanya Jenar. “Coba lah kau perhatikan gelagatnya. Orang dengan kemampuan tinggi tak mungkin bertingkah seperti itu. Bukan begitu, Braja?” ucap Ki Bayanaka melemparkan kalimat kepada Sanggageni. “Hmm, jadi siapa yang akan memberinya pelajaran?”

  • Cundhamani (Panah Api)   227. Terkurung

    Tak ada yang bisa dilakukan Jenar setelah sampai di pantai selatan kerajaannya. Pagar api setinggi pagar Astagina itu menghalangi apa pun dan siapa pun. Tak mungkin melaluinya dengan selamat. Perempuan itu tampak mulai meneteskan air mata. Bagaimana mungkin suaminya berbuat sedemikian rupa. Hatinya berkecamuk, sungguh ia tak ingin kehilangan Arya secepat ini.“Arya, dasar bodoh! Apa yang kau lakukan?” umpat Jenar dengan kedua tangan mengepal. Ia merasa begitu hina sebagai raja tak mengetahui patih sekaligus suaminya di dalam sana berjuang seorang diri.Raja Astagina itu mulai terisak. Rasa panas mendera wajahnya dari jarak lima tombak ini. Keningnya mengernyit keras. Ia merasa harus berbuat sesuatu. Berdiam diri tak akan berdampak apa pun. Berada di istananya jauh lebih baik.“Pasukan udara milik Kakanda Sanggageni, dimana mereka?” tiba-tiba Jenar teringat akan sepuluh orang prajurit yang direkrut oleh Sanggageni demi mewujudkan idenya memiliki serangan udara.“Gunakan ini!” Danapati

  • Cundhamani (Panah Api)   226. Kepercayaan

    Arya melepaskan sekali lagi Sasra Sayaka-Cundhamani dengan sisa amarahnya. Anak panah logam hitam berlumur darahnya sendiri melesat ke arah ribuan prajurit yang mulai terkikis keberaniannya. Serupa dengan tenaga dan kesadaran Arya. Pemuda itu menjatuhkan busur Agnitama pada mulanya. Disusul dengan tubuh lemah dan compang-campingnya.Arya mendengus berusaha melihat apa yang terjadi dengan serangannya itu. Tubuh-tubuh musuh yang tercerai berai. Terburai anggota tubuhnya. Terbakar api Cundhamani hingga meronta-ronta, berguling di tanah dan masuk ke dalam air laut. Semua berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.“Sisanya aku serahkan padamu, Raden Danapati!” gumam Arya sembari mengubah posisi kepalanya. Menoleh kepada Aswabrama dan memastikan kembali bahwa Danapati benar-benar pergi.Binatang dan tuan itu saling pandang. Tak ada kata dari mereka yang dimengerti. Namun tatapan bola mata itu sudah menjelaskan semuanya. Berjuang bersama-sama. Melewati bahaya, nyaris kehilangan nyawa, dan kini

  • Cundhamani (Panah Api)   225. Mati Di Samping Aswabrama

    “Tapi bagaimana caranya, Braja? Kau lihat sendiri api Cundhamani menghalangi kita?” pungkas Ki Bayanaka. Pria tua itu memang peragu yang luar biasa. Itu sebab dahulu ia menjadi pelatih prajurit alih-alih bergabung bersama Baka Nirdaya memerangi kedzaliman.“Pantai selatan memang sudah menjadi lautan api. Tapi tidak dengan langitnya!” timpal Sanggageni. “Pengawal! Kau pengawal raja, bukan?” tanyanya.Seorang pengawal raja yang sejak tadi bertugas melindungi dua penasihat itu maju selangkah dengan penuh penghormatan. Ia berkata lantang, “Benar, Tuan! Mohon katakan titah Tuan!”“Cari pasukan udaraku! Bawa secepatnya mereka ke sini!” titah Sanggageni lantang. Pria itu berdiri tegak menatap lautan api dengan memegangi lengan kanannya. Tak ada artinya hidup dengan sebelah tangan namun tak mampu menyelamatkan putranya sendiri.“Sendika, Tuan!”Ki Bayanaka bangkit berdiri di sisi Sanggageni. Tak ada yang menyangka Astagina akan berada di ujung tanduk seperti ini. Pria itu menyentuh pundak adi

  • Cundhamani (Panah Api)   224. Asa Ksatria Cundhamani

    Pantai selatan Astagina kini tak ubahnya seperti gerbang api. Tak ada tempat untuk melarikan diri. Bagi bala tentara asing itu, juga bagi Arya. Suara desis api Cundhamani bertemu air laut mengepulkan asap putih buah dari air yang menguap. Arya melepaskan Sasra Sayaka-Cundhamani sekali lagi. Kali ini ke arah deretan kapal-kapal perang yang sebagian telah terbakar.“Kau yakin hal ini, Gusti?” tanya Danapati manakala sudah mengenakan jubah pemberian Arya.“Apa kau meragukanku, Raden?” tanya Arya kembali. Pemuda itu menoleh dan tersenyum. Memperlihatkan deretan giginya yang memerah karena darah. Tak ada yang tahu bahwa Patih Astagina itu sudah melampaui batas ketahanan tubuhnya sendiri.“Gusti, kau....”Tak sempat Danapati berkata lebih banyak, Arya terlanjut menyentak tali kekang Aswabrama. Ia songsong ratusan pasukan berkuda musuh sendirian. Atau hanya berdua saja dengan kudanya. Arya menghunuskan anak panah logamnya. Kali ini dengan posisi tubuh setengah berdiri. Danapati terhenyak, ya

  • Cundhamani (Panah Api)   223. Menebus Dosa

    “Arya? Bagaimana dengan Ayahandamu?” tanya Jenar tak menyangka suaminya akan hadir dan menyela percakapannya dengan Danapati dan pengawal.Arya tak menjawab, menggerakkan sedikit kepalanya memberi isyarat pada Jenar agar melihat sendiri kondisi ayahandanya. Pemuda itu sudah siap dengan busur Agnitama dan puluhan anak panah logam di tempatnya menggantung di punggung.Dari jarak puluhan depa itu Jenar masih mampu melihat Sanggageni dan ayahandanya tengah duduk bersila. Ki Bayanaka masih mengobati kakak ipar sekaligus mertuanya itu dengan tenaga dalam. Sedang Sanggageni sudah mampu duduk sendiri. Ia jauh lebih baik meski lengan kanannya tak akan kembali lagi.“Pergi lah ... Istriku! Tunggu aku kembali membawa kemenangan!” lirih Arya di telinga Jenar sembari melewati tubuh perempuan cantik itu.Jenar terpekur, setelah pertengkaran mereka berdua karena Rara Anjani di desa Girijajar tempo hari, baru kali ini ia melihat tekad di mata Arya. Tekad yang sama saat Arya pamit untuk pergi ke medan

  • Cundhamani (Panah Api)   222. Amarah Jenar

    Panji-panji dengan aksara asing itu berkibar-kibar tinggi. Pasukan berkuda dengan penutup kepala logam dengan beringas membunuh apa pun yang menghadang. Darah Jenar mendidih menyaksikan para prajurit yang baru saja direkut menjadi korban tanpa sempat mempertahankan nyawa. Perempuan itu menghentakkan tungkainya di permukaan batu besar sekaligus menandai radius serangannya.“Beraninya kalian mengobrak-abrik Astagina! Hanya ada satu ganjaran ... Mati!” seru Jenar mengumbar amarah.Kilatan-kilatan terlihat bergerak begitu cepat tanpa bisa diikuti oleh mata. Denting penutup kepala logam dan tusuk konde emas mendahului robohnya pasukan berkuda itu satu demi satu. Tak ada yang paham bahwa perempuan yang menari di atas batu itu lah dalangnya.Pasukan berkuda musuh saling pandang. Menarik tali kekang kuda hingga kuda-kuda perkasa itu meringkik begitu kuat. Mereka mengedarkan pandangan ke sekitar selatan pesisir pantai Astagina. Selama itu pula mereka seolah tinggal menunggu kematian.Danapati

  • Cundhamani (Panah Api)   221. Titah Jenar

    Arya mendarat dengan keras tepat di belakang para prajurit yang melingkar melindungi rajanya. Ia sibak bahu-bahu penuh ketegangan itu demi sampai di tempat ayahandanya diobati. Penjelasan dari pengawal raja tadi belum mampu membuatnya mengerti bagaimana kondisi Sanggageni sebenarnya.Namun seluruh tubuh Arya terasa tak bertulang manakala menyaksikan kondisi ayahandanya yang memprihatinkan. Ia luruh jatuh bersimpuh di tanah tepat di samping Ki Bayanaka, berhadapan dengan Jenar. Pemuda itu tak percaya hal mengerikan seperti ini terjadi pada ayahandanya.“Kau datang juga,” lirih Ki Bayanaka.“A-apa yang terjadi....”“Braja tak akan seperti ini andai saja kalian bisa bersikap bijak dan tak menuruti hawa nafsu!” tegas Ki Bayanaka sekali lagi.“Maksudmu....”“Kakanda Sanggageni terkena bola api itu, Arya! Dan sekarang pasukan berkuda mereka sedang menuju kemari!” ujar Jenar setengah menyeru. Ia tahu bahwa ini pula kesalahannya. Namun diamnya suaminya tentu bukan tindakan yang tepat dilakuka

  • Cundhamani (Panah Api)   220. Menyelamatkan Sanggageni

    Jenar menitikkan air mata. Kata-kata ayahandanya memang begitu menusuk hati. Namun melihat kondisi Sanggageni lah hal yang membuatnya begitu sakit. Ia terlalu lama memadu kasih dengan Arya hingga membuat ayahanda Arya dalam kondisi mengenaskan.“Bertahan lah, Braja! Dasar bedebah!” hardik Ki Bayanaka terus mengerahkan segala kemampuannya untuk menyelamatkan nyawa Sanggageni. Sejauh ini tak ada reaksi apa pun dari pria bergiwang itu.“Kakanda Danapati, bisa kah kau cari keberadaan Arya? Aku merasa dia memiliki hal di luar dari kemampuanku dan Ayahandaku untuk menyelamatkan Kakanda Sanggageni,” pinta Jenar sambil terus terisak.Danapati tak menjawab. Ia segera bangkit dan hendak meninggalkan mereka bertiga manakala empat orang pengawal raja datang. Mereka segera bersimpuh tak berani lebih tinggi dari rajanya.“Tak perlu, Danapati! Biar mereka saja yang mencari Arya. Kau tetap di sini lindungi kami dari apa pun yang menyerang!” titah Ki Bayanaka. Danapati tak berani bereaksi. Ia melihat

DMCA.com Protection Status