“Aku tetap tak percaya dengan teorimu, Ki. Aku hanya Arya Nandika dari Desa Girijajar, seorang pandai besi anak Sanggageni dan Gantari. Aku dan keluargaku tak ada hubungan apa pun dengan Astagina!” bantah Arya. Pemuda itu membuang pandangannya ke pelataran rumah Ki Bayanaka. Ia tak sudi untuk terus membahas hal ini dengan orang tua kekasihnya. Kalau pun memang ibundanya adalah putri raja, lalu mengapa sampai mereka terpinggirkan ke Girijajar? Bahkan ia dan ayahandanya terpaksa menjadi prajurit dengan ancaman. “Hamba tahu ini sulit dipercaya, Raden. Bahkan kalau benar-benar ibundamu adalah satu-satunya keturunan Gusti Prabu Wirajaya yang masih hidup, kau ini sebenarnya Pangeran. Meski bukan dari garis Permaisuri, bisa jadi kau lah Putra Mahkota yang sah!” “Cukup, Ki Bayanaka! Aku rasa kau sudah terlalu lelah melatih ribuan prajurit itu setiap hari!” Bentakan Arya seketika membuat Ki Bayanaka menunduk hormat dan mundur dua langkah. Mungkin benar, ia sudah memberikan beban terlalu bera
Ki Bayanaka tak bergeming. Ia melompat menyusul Arya yang sudah berdiri di pelataran rumah yang basah. Wajah pemuda itu dipenuhi tanda tanya. Ia tak mengerti apa yang dilakukan oleh gurunya. Kalau saja dia tak sempat menangkis mungkin nasibnya akan sama dengan saat dihajar Patih Wardhana tempo hari. “Apa maksudmu, Ki?” tanya Arya. “Aku akan menghilangkan semua keraguan di hatimu, Arya!” Ki Bayanaka kembali menyerang. Kali ini tinjunya hampir saja mengenai wajah Arya. Pemuda itu berkelit dan terus menghidari serangan berikutnya. Ia tak akan membalas kalau belum mengerti untuk apa Ki Bayanaka menyerangnya. Semakin banyak menghindar, rupanya Arya semakin terpojok. Beberapa kali lengan mereka berdua saling beradu. Arya yakin Ki Bayanaka masih menahan diri. Tak mungkin ia bisa mengimbangi guru dari orang-orang besar ini. Sebuah tendangan meluncur deras ke arah dada Arya. Pemuda itu menangkis dengan sekuat tenaga. Tendangan yang dialiri tenaga dalam itu terasa begitu berat hingga Arya te
Titik embun baru saja membias dan menyebarkan hawa dingin menusuk tulang. Arya bertolak dari kediaman Ki Bayanaka setelah perbincangan panjang semalam. Sebuah kenyataan pahit yang akan tetap ia simpan. Meski memupuk dendam untuk penguasa Astagina sekarang. Sentuhan lembut di bahhu disusul dengan pelukan kekasih dari belakang membuat Arya menghentikan langkahnya. Sungguh pagi yang berat, apa lagi dengan kerinduan yang belum tuntas. Semakin Arya ingin melangkah, maka pelukan Jenar semakin erat. Seperti seorang istri yang enggan melepas suaminya pergi ke medan perang. “Berjanjilah kau akan segera kembali,” ucap Jenar di punggung kekasihnya. Wajahya masih bersandar di sana. Arya tersenyum sambil mengusap lembut jemari gadis itu. “Jika diijinkan kembali, aku justru ingin membawamu mengunjungi ibundaku. Apa kau bersedia?” Wajah Jenar menghangat. Kebahagiaan segera terpancar dari senyumannya. Senyum penutup kegundahan karena harus berpisah lagi dengan kekasih hati. Ia merasa tak kuasa har
“Sakuntala! Rusa jantan itu lari! Panah dia!” “Hah?” Sakuntala terkejut, ia tak tahu rusa mana yang dimaksud oleh Arya. Setelah sepuluh anak panah mengenai sasarannya masing-masing, ada beberapa rusa yang lari. Namun Sakuntala tak mengerti, karena ia begitu takjub dengan Sasra Dasa milik Arya. “Ah, mengapa kau diam?” pekik Arya. Ia mencabut lagi satu anak panahnya. Beberapa masa ia membidik, lalu melepaskannya hingga anak panah itu dan mengenai sasaran. Seekor rusa besar dengan tanduk lebar bercabang-cabang menggelepar di tanah. Lehernya tertembus anak panah setelah yang pertama menancap di kaki belakangnya. Arya tersenyum lebar. Sasra Dasa yang diajarkan pamannya dapat ia gunakan sebagaimana biasa. Meski belum mahir, Arya sering mengeluarkannya saat berburu bersama pamannya itu. Pemuda itu menyibak semak di hadapannya. Lalu melompat menghampiri rusa-rusa itu. “Ayo, Sakuntala! Apa cara berburumu hanya berdiri diam saja di situ?” ledek Arya. Ia mencabut pedang di pinggangnya sambil
“Tak usah banyak bicara! Akan kukirim kau ke alam baka!” bentak makhluk itu. Ia lalu berteriak dengan garang. Suaranya begitu kuat hingga memecahkan keheningan hutan ini. Burung-burung beterbangan, binatang-binatang lain segera lari menyelamatkan diri. Makhluk itu menghujamkan tinjunya ke arah Arya. Arya segera menghindar dengan melompat ke belakang. Hempasan tinju itu seketika membuat lubang menganga di tanah. Pemuda dengan busur di tangan kiri itu terpental meski hanya terpapar angin. Ia jatuh terduduk, terhempas di semak-semak. “Kekuatan yang luar biasa. Terlambat sedikit saja, tubuhku pasti sudah hancur!” gumam Arya. Pemuda itu segera bangkit dan bersiap akan serangan lanjutan. Makhluk tinggi besar di hadapannya pasti belum puas sampai melihatnya meregang nyawa. “Aaargh!” Makhluk itu kembali berteriak. Ia bersiap melompat dan berniat menimpa tubuh kecil Arya Nandika. Pemuda itu segera melompat sekuat tenaga untuk menghindar. “Tunggu! Kau bilang tadi ini hutan larangan?” seru Ar
“Sudah aku katakan, aku tak tahu. Kalau tahu ini hutan larangan aku tak akan berani memasukinya. Tapi kau sama sekali tak mendengarkanku! Sekarang, rasakan panah ini!” Arya mendengus dan melepaskan anak panah dengan cepat. Entah mengapa ia ingin sekali membidik kepala makhluk itu, bukan bagian lainnya yang lebih dekat dan lebih besar. Anak panah itu melesat dan membara di ujungnya yang runcing, mengenai tanduk kiri makhluk besar itu yang terus bergerak. “Aargh!” Makhluk itu menggeram. Rasa sakit ada di beberapa bagian tubuhnya. Namun tanduk yang mulai terbakar itu seolah meleleh dengan cepat. Panas yang luar biasa, padahal ia cukup terbiasa dengan api sebagaimana asal-usulnya. “Luar biasa, Ketua!” seru Sakuntala dari arah semak. Ia melompat turun dan berlari mendekati Arya yang terengah-engah bertumpu pada busurnya. “Dari mana saja kau, Sakuntala?” Sakuntala tersentak, baru kali ini ia melihat Arya tak seperti biasanya. Tatapan mata pemuda ini begitu tajam, wajahnya merah padam pe
“Hormat hamba, Gusti Prabu. Gusti memanggil hamba?” Patih Waradhana bersimpuh dengan sebelah lututnya. Di hadapannya duduk dengan gagahnya Prabu Ranajaya, duduk di singgasana emas dengan ukiran naga berkepala dua. Binatang mitologi yang juga menjadi simbol Astagina. “Bangkitlah, Waradhana! Aku dengar Sakuntala tengah menyamar menjadi prajurit pendamping anak yang menghancurkan pedangmu. Benar begitu? Apa kau yang menyuruhnya?” tanya Prabu Ranajaya. Lelaki itu begitu gagah dan berwibawa dengan mahkota dan banyak perhiasan di leher dan lengannya. “Benar, Gusti Prabu. Sakuntala memang menyamar, tapi itu kehendaknya sendiri. Hamba tak pernah menyuruhnya demikian,” jawab Patih Waradhana setelah bangkit dan berdiri dengan pakaian kebesarannya. “Hmm, apa yang dia inginkan?” “Ceritanya panjang, Gusti. Hamba tak mungkin menceritakan hal penting ini di depan orang lain,” ujar Patih Waradhana sekaligus permintaan tersembunyi agar mereka berbincang empat mata saja. Prabu Ranajaya mengelus jan
“Ah, percuma saja! Tak mungkin kau orang jahat kalau tak menghidar.” Arya mengurungkan tebasan pedangnya dan menyarungkan kembali bilah besi tajam itu. Sebuah tindakan yang sekaligus melegakan Sakuntala. “Huft, hampir saja.” Sakuntala mengelus dadanya. Tindakan tanpa perhitungan dan tanpa sengaja itu berhasil membuat Arya percaya. Meski mungkin memang kemampuan interogasi Arya yang tak mumpuni. “Maafkan aku, Sakuntala. Ayo kita pulang sekarang. Tapi mulai besok kau tak perlu lagi jadi pendampingku. Aku lebih nyaman sendiri. Akan aku bicarakan hal ini dengan Ki Bayanaka.” Arya segera mengarahkan Aswabrama meninggalkan hutan larangan dan semua hasil buruan mereka. Sakuntala tersenyum, ketuanya ini benar-benar polos. Hampir setiap ketua pasukan atau divisi prajurit tertentu memang memiliki pendamping. Namun dia sendiri lah yang memilih pendampingnya. Jika memang tak berkenan dan merasa tak perlu, seorang ketua tak harus memiliki pendamping. Namun mendengar Arya akan membicarakan hal i