Titik embun baru saja membias dan menyebarkan hawa dingin menusuk tulang. Arya bertolak dari kediaman Ki Bayanaka setelah perbincangan panjang semalam. Sebuah kenyataan pahit yang akan tetap ia simpan. Meski memupuk dendam untuk penguasa Astagina sekarang. Sentuhan lembut di bahhu disusul dengan pelukan kekasih dari belakang membuat Arya menghentikan langkahnya. Sungguh pagi yang berat, apa lagi dengan kerinduan yang belum tuntas. Semakin Arya ingin melangkah, maka pelukan Jenar semakin erat. Seperti seorang istri yang enggan melepas suaminya pergi ke medan perang. “Berjanjilah kau akan segera kembali,” ucap Jenar di punggung kekasihnya. Wajahya masih bersandar di sana. Arya tersenyum sambil mengusap lembut jemari gadis itu. “Jika diijinkan kembali, aku justru ingin membawamu mengunjungi ibundaku. Apa kau bersedia?” Wajah Jenar menghangat. Kebahagiaan segera terpancar dari senyumannya. Senyum penutup kegundahan karena harus berpisah lagi dengan kekasih hati. Ia merasa tak kuasa har
“Sakuntala! Rusa jantan itu lari! Panah dia!” “Hah?” Sakuntala terkejut, ia tak tahu rusa mana yang dimaksud oleh Arya. Setelah sepuluh anak panah mengenai sasarannya masing-masing, ada beberapa rusa yang lari. Namun Sakuntala tak mengerti, karena ia begitu takjub dengan Sasra Dasa milik Arya. “Ah, mengapa kau diam?” pekik Arya. Ia mencabut lagi satu anak panahnya. Beberapa masa ia membidik, lalu melepaskannya hingga anak panah itu dan mengenai sasaran. Seekor rusa besar dengan tanduk lebar bercabang-cabang menggelepar di tanah. Lehernya tertembus anak panah setelah yang pertama menancap di kaki belakangnya. Arya tersenyum lebar. Sasra Dasa yang diajarkan pamannya dapat ia gunakan sebagaimana biasa. Meski belum mahir, Arya sering mengeluarkannya saat berburu bersama pamannya itu. Pemuda itu menyibak semak di hadapannya. Lalu melompat menghampiri rusa-rusa itu. “Ayo, Sakuntala! Apa cara berburumu hanya berdiri diam saja di situ?” ledek Arya. Ia mencabut pedang di pinggangnya sambil
“Tak usah banyak bicara! Akan kukirim kau ke alam baka!” bentak makhluk itu. Ia lalu berteriak dengan garang. Suaranya begitu kuat hingga memecahkan keheningan hutan ini. Burung-burung beterbangan, binatang-binatang lain segera lari menyelamatkan diri. Makhluk itu menghujamkan tinjunya ke arah Arya. Arya segera menghindar dengan melompat ke belakang. Hempasan tinju itu seketika membuat lubang menganga di tanah. Pemuda dengan busur di tangan kiri itu terpental meski hanya terpapar angin. Ia jatuh terduduk, terhempas di semak-semak. “Kekuatan yang luar biasa. Terlambat sedikit saja, tubuhku pasti sudah hancur!” gumam Arya. Pemuda itu segera bangkit dan bersiap akan serangan lanjutan. Makhluk tinggi besar di hadapannya pasti belum puas sampai melihatnya meregang nyawa. “Aaargh!” Makhluk itu kembali berteriak. Ia bersiap melompat dan berniat menimpa tubuh kecil Arya Nandika. Pemuda itu segera melompat sekuat tenaga untuk menghindar. “Tunggu! Kau bilang tadi ini hutan larangan?” seru Ar
“Sudah aku katakan, aku tak tahu. Kalau tahu ini hutan larangan aku tak akan berani memasukinya. Tapi kau sama sekali tak mendengarkanku! Sekarang, rasakan panah ini!” Arya mendengus dan melepaskan anak panah dengan cepat. Entah mengapa ia ingin sekali membidik kepala makhluk itu, bukan bagian lainnya yang lebih dekat dan lebih besar. Anak panah itu melesat dan membara di ujungnya yang runcing, mengenai tanduk kiri makhluk besar itu yang terus bergerak. “Aargh!” Makhluk itu menggeram. Rasa sakit ada di beberapa bagian tubuhnya. Namun tanduk yang mulai terbakar itu seolah meleleh dengan cepat. Panas yang luar biasa, padahal ia cukup terbiasa dengan api sebagaimana asal-usulnya. “Luar biasa, Ketua!” seru Sakuntala dari arah semak. Ia melompat turun dan berlari mendekati Arya yang terengah-engah bertumpu pada busurnya. “Dari mana saja kau, Sakuntala?” Sakuntala tersentak, baru kali ini ia melihat Arya tak seperti biasanya. Tatapan mata pemuda ini begitu tajam, wajahnya merah padam pe
“Hormat hamba, Gusti Prabu. Gusti memanggil hamba?” Patih Waradhana bersimpuh dengan sebelah lututnya. Di hadapannya duduk dengan gagahnya Prabu Ranajaya, duduk di singgasana emas dengan ukiran naga berkepala dua. Binatang mitologi yang juga menjadi simbol Astagina. “Bangkitlah, Waradhana! Aku dengar Sakuntala tengah menyamar menjadi prajurit pendamping anak yang menghancurkan pedangmu. Benar begitu? Apa kau yang menyuruhnya?” tanya Prabu Ranajaya. Lelaki itu begitu gagah dan berwibawa dengan mahkota dan banyak perhiasan di leher dan lengannya. “Benar, Gusti Prabu. Sakuntala memang menyamar, tapi itu kehendaknya sendiri. Hamba tak pernah menyuruhnya demikian,” jawab Patih Waradhana setelah bangkit dan berdiri dengan pakaian kebesarannya. “Hmm, apa yang dia inginkan?” “Ceritanya panjang, Gusti. Hamba tak mungkin menceritakan hal penting ini di depan orang lain,” ujar Patih Waradhana sekaligus permintaan tersembunyi agar mereka berbincang empat mata saja. Prabu Ranajaya mengelus jan
“Ah, percuma saja! Tak mungkin kau orang jahat kalau tak menghidar.” Arya mengurungkan tebasan pedangnya dan menyarungkan kembali bilah besi tajam itu. Sebuah tindakan yang sekaligus melegakan Sakuntala. “Huft, hampir saja.” Sakuntala mengelus dadanya. Tindakan tanpa perhitungan dan tanpa sengaja itu berhasil membuat Arya percaya. Meski mungkin memang kemampuan interogasi Arya yang tak mumpuni. “Maafkan aku, Sakuntala. Ayo kita pulang sekarang. Tapi mulai besok kau tak perlu lagi jadi pendampingku. Aku lebih nyaman sendiri. Akan aku bicarakan hal ini dengan Ki Bayanaka.” Arya segera mengarahkan Aswabrama meninggalkan hutan larangan dan semua hasil buruan mereka. Sakuntala tersenyum, ketuanya ini benar-benar polos. Hampir setiap ketua pasukan atau divisi prajurit tertentu memang memiliki pendamping. Namun dia sendiri lah yang memilih pendampingnya. Jika memang tak berkenan dan merasa tak perlu, seorang ketua tak harus memiliki pendamping. Namun mendengar Arya akan membicarakan hal i
Arya turun dari kudanya. Baru kali ini melihat pendopo istana yang begitu megah. Prajurit jaga segera menanyakan maksud kedatangannya. Setelah mengetahui dia diundang Prabu Ranajaya untuk bertemu, dua prajurit itu segera memberikan hormat. Seorang membantu mengikat tali kekang Aswabrama, satu lagi mengantarkan Arya masuk. Dinding berukir menutupi semua sisi pendopo. Ornamen-ornamen cantik keemasan menghias setiap sudut ruangan. Lantai marmer terasa begitu dingin mengenai telapak kaki. Puncak singgasana Prabu Ranajaya sudah tampak. Prajurit yang mengantarnya segera bersimpuh setelah menaiki empat anak tangga. “Hormat hamba, Gusti Prabu. Arya Nandika mohon ijin bertemu!” seru prajurit itu. Dengan jarak yang hampir tujuh tombak, wajar bila prajurit itu setengah berteriak pada junjungannya. “Kemarilah, Arya!” Suara Prabu Ranajaya begitu bijak dan berat. Di ujung sana pria itu duduk dengan gagahnya di singgasana emas. Dua dayang senantiasa menjaga udara selalu sejuk di sisi Raja Astagina
Arya tak mengerti dengan apa yang terjadi dengan Prabu Ranajaya. Setelah dia menyebutkan nama ayahandanya, Raja Astagina itu segera menyudahi pembicaraan dan pertemuan. Ia langsung meminta Arya untuk kembali ke hanggar pemanah. Tak ada satu pun kata terucap, Prabu Ranajaya hanya terus mengelus janggutnya. “Ah, lebih baik aku temui Ki Bayanaka. Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan,” gumam Arya begitu duduk di punggung Aswabrama. Sentakan lembut membuat Aswabrama segera berlari kecil menuju arah yang ditunjukkan tuannya. Beberapa pembesar yang tadi berada di pendopo melihat kepergian Arya dengan tatapan penuh tanya. Mungkin kegundahan di wajah rajanya sudah mereka ketahui. Arya tak peduli, ia tak merasa melakukan kesalahan. Ujung-ujung atap kediaman Ki Bayanaka sudah tampak. Hati Arya berdesir menahan rindu yang tiba-tiba saja membuncah mendesak keluar dari hati. Ia tak sabar bertemu dengan pujaan hati. Itu lah sebenarnya yang ingin ia cari. Menanyakan beberapa hal pada gurunya past