“Jenar!” pekik Ki Bayanaka. “Kemana perginya luka di dada anak ini?”
“Hah!”
Jenar dan Ki Bayanaka saling tatap. Luka yang tadi masih basah dan membiru di tepiannya kini telah hilang, sembuh seperti tak pernah terjadi apa-apa. Wajah pemuda itu juga terlihat tenang seperti hanya tertidur.
“Apa yang terjadi, Ayahanda?” Mata Jenar terbelalak. Ia tak menyangka ada hal yang begitu istimewa dari pemuda ini.
“Ayah rasa anak ini punya keistimewaan. Tapi harus dipastikannya terlebih dahulu,” ucap Ki Bayanaka semakin membuat rasa penasaran di hati Jenar tumbuh subur.
Ki Bayanaka meletakkan mangkuk berisi ramuan di sisi Arya Nandika. Ia raih pergelangan tangan pemuda itu. Sejenak ia memejamkan mata merasakan denyut nadi. Tak puas, pria berambut putih itu menyentuh nadi utama Arya di area leher dengan jarinya.
“Bagaimana, Ayahanda?” tanya Jenar penasaran.
Ki Bayanaka tak menjawab. Ia hanya mengangkat telapak tangannya, kode pada Jenar untuk bersabar. Pria itu lalu menempelkan telinganya di dada Arya. Sontak Ki Bayanaka terperangah. Tatapannya kosong ke depan seperti menyadari hal besar.
“Ayahanda! Apa yang terjadi?” Kali ini Jenar mengguncangkan bahu ayahnya.
“Denyut nadinya sedikit berbeda dengan orang biasa. Ayah masih bisa terima itu karena dia baru saja sembuh. Tapi amat jarang ada orang yang berbeda denyut di nadi dan jantungnya,” ucap Ki Bayanaka hati-hati.
“Lalu apa artinya?”
“Darahnya berbeda dengan manusia biasa. Bisa jadi lebih berat. Penyebabnya Ayah belum tahu pasti. Setelah dia sadar mungkin baru bisa ketahui asal usulnya.” Ki Bayanaka membelai janggut panjangnya beberapa kali.
Ki Bayanaka teringat dengan adik seperguruannya di Padepokan Rakajiwa dulu, Braja namanya. Braja memiliki denyut jantung dan nadi yang sama dengan anak ini. Ia memiliki keistimewaan untuk mengolah api menjadi senjata karena ada unsur tertentu dalam darahnya yang mendukung. Meski jantungnya jadi bekerja berat, tapi ia menjadi tahan api.
“Astaga, Jenar! Bukankah tadi dia melemparkan anak panahmu dan menjadi panah api?” tanya Ki Bayanaka dengan wajah penuh takjub.
“Betul, Ayahanda. Aku sendiri sampai heran bagaimana cara dia melakukan itu,” tambah Jenar.
“Tak salah lagi! Dia orang terpilih itu!” seru Ki Bayanaka.
“Orang terpilih? Apa lagi yang Ayahanda bicarakan? Aku sama sekali tak mengerti!” gerutu Jenar.
“Kita memang masih harus menanyakan padanya saat dia siuman. Tapi Ayah begitu yakin karena tanda-tandanya sudah jelas,” ucap Ki Bayanaka masih dengan tatapan mata tak percaya.
Tak banyak yang tahu, bahkan para leluhur dan guru-guru terdahulu. Bahwa di dunia ini ada manusia yang memiliki sedikit unsur pembentuk api di dalam darahnya. Gurunya dulu di Padepokan Rakajiwa pernah mengatakan hal ini hampir terjadi tiap satu abad sekali.
Jika benar pemuda ini masih ada hubungannya dengan Braja, maka hal ini sekaligus mematahkan teori satu abad itu. Lalu apa yang menyebabkan tak perlu menunggu satu abad hingga muncul pemuda ini? Sedangkan Braja berusia tak lebih dari 40 tahun.
“Jenar, jaga dia baik-baik. Segera beritahu Ayah jika dia sudah sadar!” titah Ki Bayanaka sembari bangkit dan bersiap kembali ke pelatihan Prajurit.
“Baik, Ayahanda,” sahut Jenar.
Ki Bayanaka meninggalkan rumahnya dengan perasaan tak menentu. Ia ingin sekali mendampingi pemuda yang tengah dijaga oleh putrinya itu hingga sadar. Informasi asal-usul pemuda itu amat ia nantikan. Namun ia juga tak bisa begitu saja meninggalkan tugas dari Prabu Ranajaya untuk melatih calon prajurit Astagina.
Jenar meletakkan punggung tangannya lagi di dahi pemuda yang terbaring di hadapannya. Tak ada lagi demam. Belum selesai takjubnya atas kemampuan Arya melemparkan anak panah berapi, ia telah dihadapkan pada kejadian aneh lain. Kesembuhan tiba-tiba atas luka dalam itu sangat mustahil sembuh dalam waktu sekejap.
Arya Nandika bergerak. Jenar cepat memperhatikan pemuda itu, berharap penglihatannya salah. Ia sungguh tak ingin orang ini sadar saat tak ada ayahandanya di rumah. Belum lagi risiko yang akan gadis itu hadapi karena seseorang tersadar di tempat asing.
Tiba-tiba Arya membuka matanya. Ia terbelalak, mundur dengan bertumpu pada kedua tangannya hingga tubuh kurus itu menyandar dinding. Napasnya kembali memburu. Entah apa yang dirasakannya kini. Peristiwa sebelum ia kehilangan kesadaran tampaknya begitu membekas.
Jenar tentu kaget, namun ia berusaha untuk tetap tenang. Apa lagi dia adalah putri dari pelatih calon prajurit. Akan sangat tak elok bila ia menunjukkan ketakutannya.
“Kau sudah sadar?” tanya Jenar dengan ketenangan yang dipaksakan.
“Dimana aku? Bukankah kau yang memanah kantung itu? Astaga, apa yang terjadi padaku? Apakah aku berhasil membunuh patih bermata satu itu?” seru Arya Nandika.
“Tak bisakah kau sedikit tenang? Pertanyaan yang mana yang harus aku jawab terlebih dahulu?” tanya Jenar dingin. Tangannya melipat di depan dada, ia harus tetap bersikap tenang dengan ekspresi congkak dan bermartabat.
“Maaf, dimana ini? Mengapa aku bisa bersama denganmu?” tanya Arya lagi.
“Nah, begitu lebih baik.” Jenar bangkit dari pembaringan. Ia menghadap ke arah Arya dengan masih melipat tangan di dada. “Kau di rumahku, kau terluka parah dan ayahandaku menyelamatkanmu,” terang Jenar.
“Ah, baik, jadi aku berhasil membunuh patih bermata satu itu meski akhirnya harus terluka parah,” ujar Arya dengan senyum sinis di ujung bibir.
Jenar tak menjawab, ia berbalik dan hendak keluar dari bilik itu. Arya menatapnya dengan penuh tanda tanya. Ia tak mengerti mengapa gadis itu meninggalkannya di tengah perbincangan.
“Hei! Kau mau kemana?” seru Arya. Jenar menghentikan langkahnya.
“Tentu saja pergi. Kelihatannya kau masih belum sadar,” ucap Jenar tanpa menoleh.
“Tapi aku sudah sadar!” ujar Arya.
“Tak mungkin, kau masih saja bermimpi!” tandas Jenar. Ia meneruskan langkahnya keluar dari bilik itu.
Jenar mengenakan tempat menyimpan anak panah dari kulit di pinggangnya. Ia raih busur kesayangannya yang terpasang rapi di tempat khusus. Menyusul ayahandanya di tempat latihan sepertinya lebih penting dari pada bersama dengan orang yang terlalu percaya diri itu.
“Hei, kau mau kemana?” cegah Arya.
“Bukan urusanmu.” Jenar meneruskan langkahnya menuju tempat latihan calon prajurit.
“Bisakah kau katakan padaku apakah patih bermata satu itu terkena panahku?” desak Arya.
Jenar kembali menghentikan langkahku. Pemuda ini selalu menyebut Patih Waradhana sebagai Patih Bermata Satu. Pasti ada hal buruk yang terjadi antara mereka berdua.
“Aku tidak tahu, aku hanya tahu kau terluka parah, tak sadarkan diri, lalu ayahandaku membawamu ke sini. Lagipula itu panahku, bukan milikmu!” ketus Jenar mulai kesal.
“Baik, paling tidak bisakah kau beritahu aku dimana bajuku?” tanya Arya mengiba.
Untuk seorang pemuda desa, orang ini begitu pandai berbahasa. Jenar merasa seperti berbincang dengan teman sesama penghuni istana. Nanti akan ia cari tahu apakah dia bisa juga baca dan tulis.
“Sudah kubuang,” jawab Jenar singkat.
“Apa?”
“Kau bisa pakai baju Ayahandaku. Beliau pasti tak keberatan,” seru Jenar.
“Kau yakin?”
“Di rumah ini cuma ada aku dan Ayahandaku. Jika kau keberatan memakai bajunya, apa kau mau pakai bajuku?” hardik Jenar.
“Kau tak keberatan?”
Rumah ini terasa begitu sepi tanpa putranya yang terlalu percaya diri itu. Andai Arya menurut padanya, mungkin mereka berdua masih berkumpul. Sepeninggal Sanggageni karena hal yang sama, Gantari dan Arya Nandika hanya hidup berdua. Arya meneruskan profesi ayahandanya menjadi pandai besi. Sedang ibundanya rutin menjual hasil tenunnya. Nama Sanggageni sendiri merupakan julukan. Penduduk desa mengaitkan kemampuan pria 39 tahun itu menempa besi dengan api hingga tersebutlah nama itu. Sangga yang artinya menyangga, geni berarti api. Namun sebelum ia bermukim di Desa Girijajar, julukan itu sudah melekat padanya. Satu hal yang tidak Arya ketahui, Sanggageni masih hidup dan selalu mengirimkan kabar pada istrinya melalui pedagang yang memesan senjata. Kadang juga lewat Jenaka, seekor elang yang sejak kecil dipelihara Sanggageni dan tidak ada sama sekali lucunya. Sanggageni sengaja melarang Gantari mengatakan kebaradaannya pada Arya, karena pemuda itu pasti tak akan terima. “Nyai Gantari! Ped
Arya merasa tak nyaman mengenakan pakaian milik Ki Bayanaka. Ia tampak seperti seorang anak yang memaksa memakai baju ayahnya, kebesaran. Ujung lengan dan celana ia gulung beberapa kali. Sabuk kain tebal yang dikenakan juga terasa menutupi tak cuma pinggang, tapi juga perut. “Aku berikan baju itu padamu, Anak Muda. Nanti Jenar akan membelikan baju yang lebih baik untukmu,” ujar Ki Bayanaka seraya meletakkan toyanya. “Terima kasih, Ki,” jawab Arya sambil terus membenahi pakaiannya. “Siapa namamu, Anak Muda? Dan dari mana kau berasal?” tanya Ki Bayanaka. Ia meminta Arya untuk duduk di balai-balai belakang rumah. “Namaku Arya Nandika, Ki. Aku dari Desa Girijajar di sebelah selatan kaki Gunung Payoda,” ucap Arya. Ia masih merasa rikuh dengan perlakuan pria tua ini padanya. Menurut Jenar, karena lukanya parah maka Arya dibawa untuk diobati oleh Ki Bayanaka. Tapi setelah sembuh, ia tak kunjung dikembalikan lagi bersama rekan-rekan sesama calon prajurit. Arya merasa spesial, juga ingin t
Tempat latihan memanah ini tampak sepi. Arya ditugaskan oleh sang guru yang sore tadi berlutut padanya untuk berlatih memanah bersama Jenar. Raden Arya Nandika, pria itu menyebutnya, gelar yang tak buruk. Tapi terasa tak berguna. Sia-sia jika seorang Raden harus hidup dengan menempa besi setiap hari. Gadis cantik di depan Arya masih saja bersikap dingin. Ia berjalan cepat mendahului Arya dengan angkuhnya. Beruntung Ki Bayanaka segera memberinya pakaian baru yang sesuai. Arya sama sekali tak merasa nyaman dengan pakaian orang tua itu. “Nah, kita sudah sampai.” Jenar menghentikan langkahnya. Mereka kini berada di tengah-tengah tanah lapang dikelilingi pagar bambu. Banyak sekali bantalan target panah berbahan jerami yang terpasang di pagar itu. “Apa harus malam-malam?” keluh Arya sambil menerima busur dari Jenar. Gadis itu tampak malas mendengar keluhan Arya. “Kalau bukan karena Ayahanda yang meminta, aku juga tak sudi berlatih memanah di malam hari. Berdua dengan orang menyebalkan ma
Ki Bayanaka hanya tertawa mendengar cerita Jenar yang begitu kesal padanya. Habis sudah lengannya dicubit dan dipukul oleh putri kesayangannya itu. Ada senggurat malu namun juga suka, tampak dari wajah Jenar yang memerah dan disertai senyum. “Ayahanda mengapa menjerumuskan aku? Mengapa kau suruh aku melatih Arya, sedang Ayahanda tahu dia itu pemanah ulung?” rajuk Jenar. “Bukankah kau sendiri yang bilang dan menemukan tanda-tanda kalau dia pemanah ulung? Tapi mengapa kau justru memamerkan keahlian memanahmu yang tak seberapa itu?” Ki Bayanaka melanjutkan tertawanya. Ia tak menyangka putrinya dan Arya akan akrab secepat ini. Jenar hanya mencebik. Wajahnya memerah menahan malu. Entah sudah berapa kali kedua kaki ia hentakkan ke bumi. Rasa malunya benar-benar tak tertahankan lagi. Rasanya ia tak ingin lagi bertemu dengan Arya, namun itu tak mungkin karena pemuda itu masih tinggal bersamanya dan hari ini mereka berdua akan berlatih memanah di hutan, membidik target bergerak. “Ayolah, Je
“Jangan berbalik, jangan!” desis Arya. “Kau tak boleh lari sekarang!” Jenar mulai melangkah mundur. Langkah kakinya seirama dengan delapan pasang kaki binatang di depannya. Anak panahnya masih terhunus. Namun akan sulit jika keempat singa itu menyerang bersama-sama. Sampai detik ini ia hanya mengandalkan insting untuk berhadapan dengan kawanan singa ini. Sorot mata singa betina yang tadi melumpuhkan rusa membuat Jenar bergidik. Apa lagi taringnya yang masih basah oleh darah rusa. Ia bisa membayangkan bagaimana rasanya benda sebesar itu mengoyak batang lehernya. “Bagus, kau tidak berbalik. Pertahankan posisi mereka,” gumam Arya. Pemuda itu mencabut anak panah dari tempatnya. Segera ia tarik tali busur yang biasa digunakan untuk prajurit berlatih. Rasanya lebih ringan dari busur pemberian Paman Pranawa. Arya mulai membidik. Seekor singa muda mulai bergerak menjauh dari kawanan. Insting berburu dalam kelompok membuatnya seolah memecah perhatian Jenar. Disusul oleh seekor singa lagi. K
Sepasang kekasih duduk berhimpitan di sebuah batu besar di tepi sungai. Di belakangnya dua ekor kuda tak peduli dengan kemesraan tuannya yang baru saja menjalin cinta. Jenar dengan manjanya bersandar pada dada Arya. Mendengarkan syahdu gemericik air sungai di bawah bayang-bayang ranting pohon akasia. “Ceritakan padaku seperti apa Desa Girijajar, Arya!” bisik Jenar di bawah dagu kekasihnya. “Mengapa kau ingin tahu? Apa kau ingin aku bawa pulang menemui Ibu?” goda Arya dengan seuntai senyum terpampang di bibirnya. “Suatu saat aku pasti akan kau bawa kan? Ibumu seperti apa? Ah, mendengar kata ‘ibu’ aku jadi teringat mendiang Ibuku,” rengek Jenar begitu manja. Ia sama sekali berbeda dengan Jenar tadi malam dan beberapa masa yang lalu. “Pertanyaan mana yang harus aku jawab lebih dulu? Hmm?” Arya menjentik ujung hidung Jenar dengan gemas. Perilaku Jenar yang selalu menanyakan banyak hal seperti awal mereka jumpa rupanya memang tabiat asli gadis ini. “Mengapa kau selalu menyebalkan, Arya
“Ya, Arya. Sudah kuputuskan dan sudah disetujui. Kau sekarang bertugas sebagai Ketua Prajurit Pemanah,” ucap Ki Bayanaka mantap. Seluruh prajurit pemanah bertepuk tangan meski sebelumnya saling pandang. Arya Nandika hanya mampu menelan ludah. Ia tatap sekelilingnya, dipenuhi oleh senyum dan sorai yang dipaksakan. Beberapa prajurit di belakang saling berbisik. Sebentar lagi pasti ada yang akan mencemooh. Mungkin menunggu Ki Bayanaka meninggalkan tempat ini. “Baik, silahkan lanjutkan latihan kalian,” seru Ki Bayanaka disusul dengan langkah para prajurit meninggalkan mereka berdua. “Raden, mohon ikuti hamba. Raden sudah resmi menjadi prajurit Astagina. Akan hamba jelaskan tugas dan tanggung jawab Raden. Pakaian Raden juga harus diganti,” bisik Ki Astagina. “Apa yang kau rencanakan, Ki?” Arya masih tak bisa menerima penobatan dirinya. Pasti akan banyak pertentangan antara prajurit senior. “Ampuni hamba, Raden. Hamba sama sekali tak punya niat buruk. Ini semua demi kebaikan dan keselama
“Kau! Silahkan pilih dari sekarang, kau ingin bangkaimu dibakar atau ditanam?” bentak Arya sambil menghunus anak panahnya ke arah pria yang kini segera menghentikan tawanya. Seluruh prajurit panah seketika terdiam. Beberapa di antara mereka saling pandang. Pria yang mengolok-olok ibu dari Arya tadi sempat terdiam, namun ia melanjutkan lagi tawanya. Di susul rekan-rekan yang berada di dekatnya. “Lihatlah, dia merajuk! Aku tak ingin dibakar atau di tanam, aku hanya ingin tidur di samping Ibumu!” Tawa pria itu semakin keras. Begitupun prajurit lainnya. Hanya ada beberapa prajurit yang menyadari bahwa ketua baru mereka sudah tersulut amarah. Arya tak kuasa lagi menahan energi yang muncul dari dalam tubuhnya. Energi besar yang hadir seiring dengan memuncaknya amarah itu kini tanpa disadari sudah terkumpul di tangan kanannya. Tarikan tali busur itu menjadi begitu mantap dan bertenaga. Tak ada getaran yang biasa terjadi di lengan kiri. Sesaat sebelum dilepaskan, ujung runcing anak panah i