“Kurang ajar kau, Bocah! Beraninya kau menyerang Patih Astagina!” hardik Patih Waradhana marah.
Ia lemparkan pedang bermata duanya yang sebagian sudah menjadi abu. Dengan sekali kuda-kuda, Patih Waradhana melompat di udara dan mendaratkan kaki berisi tenaga dalam di dada Arya Nandika.
Pemuda itu terhempas dan terseret beberapa tombak ke belakang. Tubuhnya berhenti setelah terhempas di pohon randu yang besar. Kapuk berguguran terkena hempasan tubuh Arya Nandika. Beriring dengan mulut pemuda itu yang menyemburkan darah segar.
Arya Nandika tak sadarkan diri. Dadanya hangus seukuran tapak kaki Patih Waradhana. Panglima perang Astagina itu tak puas. Ia melompat lagi mendekati Arya Nandika dan bersiap memberikan pukulan pamungkas. Namun Ki Bayanaka mencegahnya dengan memegang pergelangan tangan Patih Waradhana.
“Ampun, Gusti. Sudah cukup, dia sudah tak berdaya,” pinta Ki Bayanaka.
“Lepaskan, Bayanaka! Biar aku habisi bocah ingusan ini!” bentak Patih Waradhana. Ia meronta, namun tenaga dalam yang disalurkan Ki Bayanaka terasa begitu kuat mengimbangi aliran tenaga dalam miliknya.
“Ampun, Gusti. Bukankah Gusti Patih lihat sendiri kemampuan anak ini, dia hanya melemparkannya dengan tangan kosong. Hamba yakin dia bisa berguna di medan perang,” bujuk Ki Bayanaka.
Seketika tinju Patih Waradhana mengendur. Ia pun berkata, “Benar juga, kemampuannya bisa berguna untuk melawan Baka Nirdaya.”
Ki Bayanaka melepaskan genggaman tangannya. Ia mundur dua langkah dan menundukkan kepala menunjukkan rasa hormat. Upayanya untuk menyelamatkan pemuda malang itu sepertinya akan membuahkan hasil.
“Aku ingin kau sendiri yang melatihnya. Jadikan dia senjata ampuh untuk Astagina!” seru Patih Waradhana.
“Sendika, Gusti.”
“Tapi jika ia tak bisa dikendalikan, jangan pinta aku untuk mengampuninya lagi!” ancam Patih Waradhana.
“Gusti Patih bisa pegang kata-kata Hamba. Hamba yang jadi jaminannya,” ujar Ki Bayanaka meyakinkan.
Patih Waradhana tak menjawab. Ia pandang tubuh kurus bersandar di pohon randu dengan luka parah di dada. Ia tak menyangka anak ini bisa melepaskan anak panah sebegitu hebat tanpa busur. Bahkan menghancurkan senjata andalannya. Pasti ada kemampuan tersembunyi dari anak ini.
“Jenar! Suruh beberapa orang membawa anak ini ke rumah!” titah Ki Bayanaka.
“Baik, Ayahanda!” seru Jenar.
Gadis itu segera meminta empat orang pemuda untuk membaringkan Arya. Seorang prajurit datang dengan membawa tandu. Tubuh pemuda itu dibawa masuk ke dalam pagar istana.
***
Arya dibaringkan di sebuah tempat tidur empuk. Napasnya terlihat sesak. Ia belum juga menemui kesadaran meski Jenar Candrakanti sudah memberikan pertolongan pertama pada luka dalamnya. Ilmu pengobatan yang diajarkan ayahandanya memang baru bisa ia kuasai untuk pertolongan pertama saja.
“Siapa kau sebenarnya? Bagaimana bisa panah yang kau lemparkan menjadi membara?” gumam Jenar. “Lagi pula dendam apa yang kau simpan untuk Patih Waradhana sampai kau berbuat demikian berani?”
Jenar meletakkan punggung tangannya di dahi Arya. Pemuda ini demam. Ditandai dengan warna bibir yang memucat dan kering serta dahinya yang terus mengeluarkan keringat. Gadis itu membalikkan telapak tangannya. Ia terpejam sesaat dan seketika telapak tangannya mengeluarkan aura biru yang sejuk.
“Dimana Ayahanda? Kalau begini terus aku akan segera kehabisan tenaga,” gerutu Jenar.
Jenar kembali teringat saat pemuda ini mengambil anah panah dari punggungnya. Ia belum sempat berkata apa-apa saat melihat pemuda ini melemparkan anak panah itu dan segera membara sebelum ditangkis oleh Patih Waradhana. Ia tak habis pikir. Pasti pemuda tampan ini menyembunyikan hal besar dalam dirinya.
Perlahan area dada Arya Nandika membiru. Bekas hantaman tenaga dalam itu pasti memberikan luka dalam yang amat parah. Ini lah yang membuat suhu tubuh pemuda ini naik. Jika tidak diberi pertolongan Jenar mungkin bisa terjadi kerusakan fatal di otak dan organ dalam lainnya.
“Jenar, bagaimana keadaannya?” tanya Ki Bayanaka terburu.
“Aku sudah memberikan pertolongan pertama agar cederanya tak menyebar, Ayahanda. Tapi sepertinya luka dalam ini cukup parah. Ilmuku belum sampai untuk menanganinya,” terang Jenar.
“Baik, terima kasih, Nak. Mulai sekarang biar Ayahanda yang mengobatinya.” Ki Bayanaka mulai mengamati kondisi fisik Arya Nandika. “Tolong dudukkan dia,” pintanya.
Jenar menyambut dorongan tubuh Arya yang dilakukan ayahandanya. Tangannya melingkar di leher pemuda itu. Separuh tubuh Arya bersandar pada Jenar.
“Kau cukup tampan, tapi kau sangat bodoh,” bisik Jenar di telinga Arya.
“Apa yang kau katakan, Jenar?” tanya Ki Bayanaka.
“Mmm ... Ah, tidak....”
“Jangan main-main, kita harus cepat! Atau nyawanya tak akan tertolong!” ujar Ki Bayanaka.
Pria tua itu lalu memejamkan mata mengolah pernapasan di dalam tubuhnya. Tenaga dalam ia salurkan dan pusatkan di kedua telapak tangan. Telapak tangan itu kemudian ia sentuhkan perlahan di punggung Arya. Bergerak seolah mencari sesuatu. Lalu menghentak, memukul berlawanan dengan terjangan Patih Waradhana tadi.
Tubuh Arya dan Jenar Candrakanti ikut tersentak. Mulut pemuda itu memuntahkan gumpalan darah yang menghitam. Jumlahnya cukup banyak, beberapa bagian mengenai pundak Jenar yang beralas kain sutera putih.
“Baringkan dia, aku akan membuatkan ramuan untuk luka luarnya,” titah Ki Bayanaka.
Perlahan Jenar membaringkan tubuh kurus Arya di pembaringan. Napas pemuda itu sudah tak lagi sesak. Suhu tubuhnya juga berangsur stabil. Hanya luka seperti terbakar yang masih basah dikelilingi kulit yang membiru.
“Kalau kau tak tampan dan bukan karena Ayahandaku, aku tak akan sudi mengurusmu seperti ini,” gerutu Jenar.
Tubuh Arya memang kurus. Namun urat-urat di tangannya menonjol tanda ia sering melakukan pekerjaan kasar. Kulitnya cerah, rambut hitam lurus sebahu menampakkan diri sebagai seorang pendekar pemula. Apa lagi dengan ikat kepala biru tua yang terlepas saat dihajar Patih Waradhana tadi.
Jenar membenarkan letak tangan kanan Arya yang tertimpa tubuhnya sendiri. Ia sentuh jemari pemuda itu. Ada hal yang menarik perhatiannya di sana. Gadis itu memeriksa satu persatu jemari tangan Arya.
“Ayahanda!” pekik Jenar.
Ki Bayanaka yang memang sudah menuju tempat pembaringan Arya, segera mempercepat langkahnya. Ia khawatir suatu hal yang buruk terjadi penyebab putrinya berteriak memanggilnya.
“Ada apa, Jenar?” tanya Ki Bayanaka.
“Cobalah Ayahanda lihat. Jemari pemuda ini, seperti jemari pemanah ulung!” sorak Jenar. Ia bahagia karena menemukan seorang yang sama dengannya.
“Bagaimana kau tahu?” tanya Ki Bayanaka sambil mengaduk ramuan dalam mangkuk porselen.
“Bagian dalam jari telunjuk dan tengah tangan kanannya mengeras. Lalu punggung ibu jari tangan kirinya banyak terdapat bekas luka, karena di situ lah landasan anak panah melesat!” terang Jenar gembira.
“Lalu apa bedanya denganmu? Jarimu juga demikian. Apakah engkau pemanah ulung?” ledek Ki Bayanaka. Jenar mencebik manja pada ayahandanya.
“Bukan hanya itu, Ayahanda, perhatikan ini!” Jenar memperlihatkan bagian dalam ibu jari tangan kanan Arya. “Hanya pemanah ulung yang menarik tali busur menggunakan ibu jari!”
“Benarkah?” Ki Bayanaka turut memperhatikan ibu jari yang mengeras itu. Benar juga, ia pernah melihat adik seperguruannya dulu yang ahli memanah memang menarik tali busur menggunakan ibu jari.
“Jenar!” pekik Ki Bayanaka. “Kemana perginya luka di dada anak ini?”
“Jenar!” pekik Ki Bayanaka. “Kemana perginya luka di dada anak ini?” “Hah!” Jenar dan Ki Bayanaka saling tatap. Luka yang tadi masih basah dan membiru di tepiannya kini telah hilang, sembuh seperti tak pernah terjadi apa-apa. Wajah pemuda itu juga terlihat tenang seperti hanya tertidur. “Apa yang terjadi, Ayahanda?” Mata Jenar terbelalak. Ia tak menyangka ada hal yang begitu istimewa dari pemuda ini. “Ayah rasa anak ini punya keistimewaan. Tapi harus dipastikannya terlebih dahulu,” ucap Ki Bayanaka semakin membuat rasa penasaran di hati Jenar tumbuh subur. Ki Bayanaka meletakkan mangkuk berisi ramuan di sisi Arya Nandika. Ia raih pergelangan tangan pemuda itu. Sejenak ia memejamkan mata merasakan denyut nadi. Tak puas, pria berambut putih itu menyentuh nadi utama Arya di area leher dengan jarinya. “Bagaimana, Ayahanda?” tanya Jenar penasaran. Ki Bayanaka tak menjawab. Ia hanya mengangkat telapak tangannya, kode pada Jenar untuk bersabar. Pria itu lalu menempelkan telinganya di d
Rumah ini terasa begitu sepi tanpa putranya yang terlalu percaya diri itu. Andai Arya menurut padanya, mungkin mereka berdua masih berkumpul. Sepeninggal Sanggageni karena hal yang sama, Gantari dan Arya Nandika hanya hidup berdua. Arya meneruskan profesi ayahandanya menjadi pandai besi. Sedang ibundanya rutin menjual hasil tenunnya. Nama Sanggageni sendiri merupakan julukan. Penduduk desa mengaitkan kemampuan pria 39 tahun itu menempa besi dengan api hingga tersebutlah nama itu. Sangga yang artinya menyangga, geni berarti api. Namun sebelum ia bermukim di Desa Girijajar, julukan itu sudah melekat padanya. Satu hal yang tidak Arya ketahui, Sanggageni masih hidup dan selalu mengirimkan kabar pada istrinya melalui pedagang yang memesan senjata. Kadang juga lewat Jenaka, seekor elang yang sejak kecil dipelihara Sanggageni dan tidak ada sama sekali lucunya. Sanggageni sengaja melarang Gantari mengatakan kebaradaannya pada Arya, karena pemuda itu pasti tak akan terima. “Nyai Gantari! Ped
Arya merasa tak nyaman mengenakan pakaian milik Ki Bayanaka. Ia tampak seperti seorang anak yang memaksa memakai baju ayahnya, kebesaran. Ujung lengan dan celana ia gulung beberapa kali. Sabuk kain tebal yang dikenakan juga terasa menutupi tak cuma pinggang, tapi juga perut. “Aku berikan baju itu padamu, Anak Muda. Nanti Jenar akan membelikan baju yang lebih baik untukmu,” ujar Ki Bayanaka seraya meletakkan toyanya. “Terima kasih, Ki,” jawab Arya sambil terus membenahi pakaiannya. “Siapa namamu, Anak Muda? Dan dari mana kau berasal?” tanya Ki Bayanaka. Ia meminta Arya untuk duduk di balai-balai belakang rumah. “Namaku Arya Nandika, Ki. Aku dari Desa Girijajar di sebelah selatan kaki Gunung Payoda,” ucap Arya. Ia masih merasa rikuh dengan perlakuan pria tua ini padanya. Menurut Jenar, karena lukanya parah maka Arya dibawa untuk diobati oleh Ki Bayanaka. Tapi setelah sembuh, ia tak kunjung dikembalikan lagi bersama rekan-rekan sesama calon prajurit. Arya merasa spesial, juga ingin t
Tempat latihan memanah ini tampak sepi. Arya ditugaskan oleh sang guru yang sore tadi berlutut padanya untuk berlatih memanah bersama Jenar. Raden Arya Nandika, pria itu menyebutnya, gelar yang tak buruk. Tapi terasa tak berguna. Sia-sia jika seorang Raden harus hidup dengan menempa besi setiap hari. Gadis cantik di depan Arya masih saja bersikap dingin. Ia berjalan cepat mendahului Arya dengan angkuhnya. Beruntung Ki Bayanaka segera memberinya pakaian baru yang sesuai. Arya sama sekali tak merasa nyaman dengan pakaian orang tua itu. “Nah, kita sudah sampai.” Jenar menghentikan langkahnya. Mereka kini berada di tengah-tengah tanah lapang dikelilingi pagar bambu. Banyak sekali bantalan target panah berbahan jerami yang terpasang di pagar itu. “Apa harus malam-malam?” keluh Arya sambil menerima busur dari Jenar. Gadis itu tampak malas mendengar keluhan Arya. “Kalau bukan karena Ayahanda yang meminta, aku juga tak sudi berlatih memanah di malam hari. Berdua dengan orang menyebalkan ma
Ki Bayanaka hanya tertawa mendengar cerita Jenar yang begitu kesal padanya. Habis sudah lengannya dicubit dan dipukul oleh putri kesayangannya itu. Ada senggurat malu namun juga suka, tampak dari wajah Jenar yang memerah dan disertai senyum. “Ayahanda mengapa menjerumuskan aku? Mengapa kau suruh aku melatih Arya, sedang Ayahanda tahu dia itu pemanah ulung?” rajuk Jenar. “Bukankah kau sendiri yang bilang dan menemukan tanda-tanda kalau dia pemanah ulung? Tapi mengapa kau justru memamerkan keahlian memanahmu yang tak seberapa itu?” Ki Bayanaka melanjutkan tertawanya. Ia tak menyangka putrinya dan Arya akan akrab secepat ini. Jenar hanya mencebik. Wajahnya memerah menahan malu. Entah sudah berapa kali kedua kaki ia hentakkan ke bumi. Rasa malunya benar-benar tak tertahankan lagi. Rasanya ia tak ingin lagi bertemu dengan Arya, namun itu tak mungkin karena pemuda itu masih tinggal bersamanya dan hari ini mereka berdua akan berlatih memanah di hutan, membidik target bergerak. “Ayolah, Je
“Jangan berbalik, jangan!” desis Arya. “Kau tak boleh lari sekarang!” Jenar mulai melangkah mundur. Langkah kakinya seirama dengan delapan pasang kaki binatang di depannya. Anak panahnya masih terhunus. Namun akan sulit jika keempat singa itu menyerang bersama-sama. Sampai detik ini ia hanya mengandalkan insting untuk berhadapan dengan kawanan singa ini. Sorot mata singa betina yang tadi melumpuhkan rusa membuat Jenar bergidik. Apa lagi taringnya yang masih basah oleh darah rusa. Ia bisa membayangkan bagaimana rasanya benda sebesar itu mengoyak batang lehernya. “Bagus, kau tidak berbalik. Pertahankan posisi mereka,” gumam Arya. Pemuda itu mencabut anak panah dari tempatnya. Segera ia tarik tali busur yang biasa digunakan untuk prajurit berlatih. Rasanya lebih ringan dari busur pemberian Paman Pranawa. Arya mulai membidik. Seekor singa muda mulai bergerak menjauh dari kawanan. Insting berburu dalam kelompok membuatnya seolah memecah perhatian Jenar. Disusul oleh seekor singa lagi. K
Sepasang kekasih duduk berhimpitan di sebuah batu besar di tepi sungai. Di belakangnya dua ekor kuda tak peduli dengan kemesraan tuannya yang baru saja menjalin cinta. Jenar dengan manjanya bersandar pada dada Arya. Mendengarkan syahdu gemericik air sungai di bawah bayang-bayang ranting pohon akasia. “Ceritakan padaku seperti apa Desa Girijajar, Arya!” bisik Jenar di bawah dagu kekasihnya. “Mengapa kau ingin tahu? Apa kau ingin aku bawa pulang menemui Ibu?” goda Arya dengan seuntai senyum terpampang di bibirnya. “Suatu saat aku pasti akan kau bawa kan? Ibumu seperti apa? Ah, mendengar kata ‘ibu’ aku jadi teringat mendiang Ibuku,” rengek Jenar begitu manja. Ia sama sekali berbeda dengan Jenar tadi malam dan beberapa masa yang lalu. “Pertanyaan mana yang harus aku jawab lebih dulu? Hmm?” Arya menjentik ujung hidung Jenar dengan gemas. Perilaku Jenar yang selalu menanyakan banyak hal seperti awal mereka jumpa rupanya memang tabiat asli gadis ini. “Mengapa kau selalu menyebalkan, Arya
“Ya, Arya. Sudah kuputuskan dan sudah disetujui. Kau sekarang bertugas sebagai Ketua Prajurit Pemanah,” ucap Ki Bayanaka mantap. Seluruh prajurit pemanah bertepuk tangan meski sebelumnya saling pandang. Arya Nandika hanya mampu menelan ludah. Ia tatap sekelilingnya, dipenuhi oleh senyum dan sorai yang dipaksakan. Beberapa prajurit di belakang saling berbisik. Sebentar lagi pasti ada yang akan mencemooh. Mungkin menunggu Ki Bayanaka meninggalkan tempat ini. “Baik, silahkan lanjutkan latihan kalian,” seru Ki Bayanaka disusul dengan langkah para prajurit meninggalkan mereka berdua. “Raden, mohon ikuti hamba. Raden sudah resmi menjadi prajurit Astagina. Akan hamba jelaskan tugas dan tanggung jawab Raden. Pakaian Raden juga harus diganti,” bisik Ki Astagina. “Apa yang kau rencanakan, Ki?” Arya masih tak bisa menerima penobatan dirinya. Pasti akan banyak pertentangan antara prajurit senior. “Ampuni hamba, Raden. Hamba sama sekali tak punya niat buruk. Ini semua demi kebaikan dan keselama