Orang-orang yang terkena cairan penanda itu mulanya takut. Namun tak ada yang terjadi saat cairan hitam itu mengenai kulit mereka. Hanya saja bekas cairan itu tak bisa hilang meski sudah beberapa kali diseka dengan kuat.
“Tak perlu takut, cairan itu hanya tinta. Bagi yang tidak terkena silahkan berdiri di sebelah kanan saya. Sisanya di kiri!” seru Ki Bayanaka.
Lebih dari setengah pemuda dari dua desa berkumpul di sisi kiri Ki Bayanaka. Semuanya tampak sebaya dengan Arya Nandika, beberapa bahkan lebih muda. Mereka masih menanti dengan terus mencoba menghapus tanda hitam di bagian tubuh mereka.
“Apakah Ayahanda dulu kena cairan penanda ini sama sepertiku?” tanya Arya dalam hati.
Para pemuda yang tak terkena cairan penanda meninggalkan tempat itu dipandu seorang prajurit. Ki Bayanaka mendekat ke arah pemuda di sebelah kirinya didampingi Jenar. Gadis itu tampak begitu gagah sekaligus anggun dengan busur berukir menggantung di punggungnya.
“Anak-anak muda, mulai hari ini aku lah guru kalian! Kalian akan menjadi garda terdepan di bawah panji agung Astagina!” seru Ki Bayanaka setelah para pemuda berjajar melingkarinya.
Mata teduh Ki Bayanaka memperhatikan satu persatu pemuda yang melingkarinya. Bisa jadi mungkin ini kali pertama dan terakhir pria berjanggut putih ini melihat pemuda-pemuda itu. Ki Bayanaka menghela napasnya. Sungguh tugas yang berat mengantarkan anak-anak muda pada takdir gelapnya.
“Sekarang aku ingin melihat sejauh mana ilmu kanuragan kalian. Kau!” Ki Bayanaka menunjuk seorang pemuda di sisi kanannya. “Mendekatlah!”
Pemuda itu melangkah dengan penuh ragu mendekati guru barunya. Jari jemarinya saling mengait di depan tubuh. Hampir separuh seluruh bagian tubuhnya ternoda cairan penanda tadi.
“Kau!” Ki Bayanaka menunjuk Arya Nandika. Pemuda itu hanya menunduk tak berani menatap gurunya. “Ya, kau yang punya bekas luka bakar di lengan kiri! Kemari!” titah Ki Bayanaka.
Arya Nandika melangkah gontai mendekati gurunya. Kalau pun akan ada latih tanding, ia akan memilih untuk mengalah saja. Ia sama sekali tak berselera berprestasi di tempat ini.
“Kalian berdua mendapatkan cairan penanda paling banyak. Aku hanya ingin membuktikan apa benar kalian seburuk itu. Kalian akan melakukan latih tanding tangan kosong. Orang pertama yang jatuh, dia kalah!” terang Ki Bayanaka.
Pemuda lawan Arya Nandika tampak memasang kuda-kuda. Kedua tinjunya menegang dan siap untuk menyerang. Sorot matanya tajam menusuk lawannya yang sama sekali tak bersemangat. Arya tak mempersiapkan dirinya untuk menangkis sekali pun.
Pemuda yang sebagian tubuhnya hitam itu segera malayangkan tinjunya pada Arya Nandika. Pukulan penuh tenaga itu hanya mengenai angin karena targetnya sudah menghindar. Pemuda itu mengayunkan kakinya dan berhasil mengenai dada Arya Nandika dengan telak.
Arya Nandika terpental ke belakang beberapa langkah. Tepat berhenti di sisi Jenar, gadis cantik yang mahir memanah. Jenar memandangnya dengan tatapan sendu. Lalu gadis itu mengangkat kedua alisnya. Sebuah gestur bagi Arya untuk menunjukkan kemampuan yang sebenarnya.
Arya Nandika memasang kuda-kuda. Kakinya ia buka selebar bahu, ujung kaki lurus ke depan dengan lutut setengah bengkok. Telapak tangan kirinya membentuk tapak berada lebih jauh dari tangan kanan yang mengepal hampir menyentuh dada.
Ki Bayanaka dan Jenar segera saling tatap. Pria itu tampak antusias melihat Arya Nandika. Ia penasaran, apakah ada padepokan selain Rakajiwa yang memiliki bentuk kuda-kuda serupa? Bisa jadi pemuda ini keturunan dari saudara seperguruannya dulu.
Pemuda yang tadi sempat membuat Arya Nandika terpojok merasa di atas angin. Ia menghambur dan menyerang Arya dengan membabi buta. Rupanya ia berusaha segera mengakhiri latih tanding ini dengan menjatuhkan lawannya.
“Mengapa aku seperti melihat Ayahanda bertarung,” bisik Jenar di telinga ayahnya.
“Ya, lepas ini akan Ayah tanyakan dari mana dia berasal,” sahut Ki Bayanaka mantap. Ia kembali membelai janggut panjangnya.
Kata-kata Jenar memang ada benarnya. Cara pemuda itu menghindar dan menangkis lawannya amat serupa dengan apa yang ia pelajari di Padepokan Rakajiwa puluhan tahun silam. Hingga kini pun gerakan dasar itu masih ia gunakan. Ki Bayanaka tak sabar menyaksikan serangan pemuda itu.
Arya Nandika terus menghidari serangan lawannya. Ia memang tak secakap ayah dan pamannya, namun dengan lawan seperti ini ia merasa mampu mengalahkan. Gerakan dasar yang diajarkan ayahnya untuk membela diri ia gunakan dengan rinci sekarang.
“Kurang ajar! Ayo serang aku!” seru pemuda itu. Ia merasa diremehkan karena Arya Nandika terus saja mengelak tanpa mencoba membalas serangannya.
“Ayolah, Kawan, seranganmu begitu lemah, aku tak tega untuk membalasmu,” ledek Arya Nandika disambut tawa pemuda-pemuda lain di sekitar mereka bertarung.
“Sial, akan kutunjukkan padamu....”
Belum sempat pemuda itu menyelesaikan kalimatnya, tinju kanan Arya Nandika sudah mendarat di mulutnya. Pemuda itu sampai mendongak ke atas dan mundur dua langkah. Ia kemudian menunduk memegangi wajahnya. Darah segar mengalir dari mulut pemuda itu.
Sebuah hempasan kaki kanan Arya Nandika berhasil mengenai leher bagian belakang, membuat pemuda itu semakin menunduk. Ia tampak marah dan ingin bangkit membalas. Namun hempasan kaki berikutnya di kepala didahului lompatan kecil membuatnya jatuh bersimpuh.
Pemuda itu membuang darah yang memenuhi rongga mulutnya. Ia merasakan lagi tendangan di bagian dada, membuatnya terhempas ke belakang dengan keras. Arya Nandika melompat dan mendarat menduduki dadanya. Tangan kanannya siap melakukan serangan pamungkas.
“Cukup!” teriak Ki Bayanaka. “Aku hanya memerintahkan kalian untuk berlatih tanding, bukan membunuh!”
Arya Nandika membatalkan pukulannya. Ia menyingkir dari atas tubuh pemuda lawannya tadi. Pemuda itu tampak tak berdaya memegangi dadanya.
“Bukankah itu Patih Waradhana?” seru seorang pemuda menunjuk ke suatu arah.
Sontak semua orang termasuk Ki Bayanaka menoleh. Seorang pria berbadan kekar dengan baju kebesaran yang mewah tampak tengah memperhatikan latihan mereka. Mata kirinya ia tutup dengan kain hitam yang melilit melingkari kepalanya yang tak ditumbuhi rambut. Ia tampak begitu berbahaya dan menakutkan.
Arya Nandika segera bangkit. Ia berjinjit demi untuk melihat dengan jelas orang yang sudah membawa ayahnya empat tahun silam. Darahnya seketika mendidih. Orang itu dengan leluasa bertolak pinggang tanpa ada rasa berdosa telah merenggut kebahagiaan banyak keluarga.
Dua langkah di hadapannya berdiri Jenar Candrakanti dengan belasan anak panah di tempatnya melingkar di pinggang. Arya Nandika sudah dikuasai dendam. Langkahnya begitu tegas penuh amarah. Ia lewati Jenar sambil meraih sebuah anak panah miliknya.
Ia genggam anak panah itu erat-erat. Sudah tak ia pedulkan larangan pemiliknya dan gurunya sendiri. Setengah berlari ia mendekat ke arah Patih Waradhana dan bersiap melemparkan anak panah milik Jenar itu.
“Patih biadab! Kembalikan ayahandaku, dasar pecundang!” teriak Arya Nandika.
Pemuda itu melemparkan anak panah sekuat tenaga. Ia tak pedulikan lagi keselamatannya, hanya dendam yang ada di kepala. Anak panah melesat seolah terlepas dari busurnya. Sesaat setelah melayang di udara, anak panah itu membara mengeluarkan api yang berkobar-kobar.
Tak ada yang tahu sejak kapan Arya Nandika menyulut api di anak panah yang ia lemparkan. Patih Waradhana seketika mencabut pedang bermata dua andalannya. Dengan satu gerakan ia mampu menangkis anak panah berapi itu. Anehnya meski sudah ditangkis, anak panah itu terus menempel di pedangnya dan mulai membakar.
“Kurang ajar kau, Bocah! Beraninya kau menyerang Patih Astagina!” hardik Patih Waradhana marah.
“Kurang ajar kau, Bocah! Beraninya kau menyerang Patih Astagina!” hardik Patih Waradhana marah. Ia lemparkan pedang bermata duanya yang sebagian sudah menjadi abu. Dengan sekali kuda-kuda, Patih Waradhana melompat di udara dan mendaratkan kaki berisi tenaga dalam di dada Arya Nandika. Pemuda itu terhempas dan terseret beberapa tombak ke belakang. Tubuhnya berhenti setelah terhempas di pohon randu yang besar. Kapuk berguguran terkena hempasan tubuh Arya Nandika. Beriring dengan mulut pemuda itu yang menyemburkan darah segar. Arya Nandika tak sadarkan diri. Dadanya hangus seukuran tapak kaki Patih Waradhana. Panglima perang Astagina itu tak puas. Ia melompat lagi mendekati Arya Nandika dan bersiap memberikan pukulan pamungkas. Namun Ki Bayanaka mencegahnya dengan memegang pergelangan tangan Patih Waradhana. “Ampun, Gusti. Sudah cukup, dia sudah tak berdaya,” pinta Ki Bayanaka. “Lepaskan, Bayanaka! Biar aku habisi bocah ingusan ini!” bentak Patih Waradhana. Ia meronta, namun tenaga d
“Jenar!” pekik Ki Bayanaka. “Kemana perginya luka di dada anak ini?” “Hah!” Jenar dan Ki Bayanaka saling tatap. Luka yang tadi masih basah dan membiru di tepiannya kini telah hilang, sembuh seperti tak pernah terjadi apa-apa. Wajah pemuda itu juga terlihat tenang seperti hanya tertidur. “Apa yang terjadi, Ayahanda?” Mata Jenar terbelalak. Ia tak menyangka ada hal yang begitu istimewa dari pemuda ini. “Ayah rasa anak ini punya keistimewaan. Tapi harus dipastikannya terlebih dahulu,” ucap Ki Bayanaka semakin membuat rasa penasaran di hati Jenar tumbuh subur. Ki Bayanaka meletakkan mangkuk berisi ramuan di sisi Arya Nandika. Ia raih pergelangan tangan pemuda itu. Sejenak ia memejamkan mata merasakan denyut nadi. Tak puas, pria berambut putih itu menyentuh nadi utama Arya di area leher dengan jarinya. “Bagaimana, Ayahanda?” tanya Jenar penasaran. Ki Bayanaka tak menjawab. Ia hanya mengangkat telapak tangannya, kode pada Jenar untuk bersabar. Pria itu lalu menempelkan telinganya di d
Rumah ini terasa begitu sepi tanpa putranya yang terlalu percaya diri itu. Andai Arya menurut padanya, mungkin mereka berdua masih berkumpul. Sepeninggal Sanggageni karena hal yang sama, Gantari dan Arya Nandika hanya hidup berdua. Arya meneruskan profesi ayahandanya menjadi pandai besi. Sedang ibundanya rutin menjual hasil tenunnya. Nama Sanggageni sendiri merupakan julukan. Penduduk desa mengaitkan kemampuan pria 39 tahun itu menempa besi dengan api hingga tersebutlah nama itu. Sangga yang artinya menyangga, geni berarti api. Namun sebelum ia bermukim di Desa Girijajar, julukan itu sudah melekat padanya. Satu hal yang tidak Arya ketahui, Sanggageni masih hidup dan selalu mengirimkan kabar pada istrinya melalui pedagang yang memesan senjata. Kadang juga lewat Jenaka, seekor elang yang sejak kecil dipelihara Sanggageni dan tidak ada sama sekali lucunya. Sanggageni sengaja melarang Gantari mengatakan kebaradaannya pada Arya, karena pemuda itu pasti tak akan terima. “Nyai Gantari! Ped
Arya merasa tak nyaman mengenakan pakaian milik Ki Bayanaka. Ia tampak seperti seorang anak yang memaksa memakai baju ayahnya, kebesaran. Ujung lengan dan celana ia gulung beberapa kali. Sabuk kain tebal yang dikenakan juga terasa menutupi tak cuma pinggang, tapi juga perut. “Aku berikan baju itu padamu, Anak Muda. Nanti Jenar akan membelikan baju yang lebih baik untukmu,” ujar Ki Bayanaka seraya meletakkan toyanya. “Terima kasih, Ki,” jawab Arya sambil terus membenahi pakaiannya. “Siapa namamu, Anak Muda? Dan dari mana kau berasal?” tanya Ki Bayanaka. Ia meminta Arya untuk duduk di balai-balai belakang rumah. “Namaku Arya Nandika, Ki. Aku dari Desa Girijajar di sebelah selatan kaki Gunung Payoda,” ucap Arya. Ia masih merasa rikuh dengan perlakuan pria tua ini padanya. Menurut Jenar, karena lukanya parah maka Arya dibawa untuk diobati oleh Ki Bayanaka. Tapi setelah sembuh, ia tak kunjung dikembalikan lagi bersama rekan-rekan sesama calon prajurit. Arya merasa spesial, juga ingin t
Tempat latihan memanah ini tampak sepi. Arya ditugaskan oleh sang guru yang sore tadi berlutut padanya untuk berlatih memanah bersama Jenar. Raden Arya Nandika, pria itu menyebutnya, gelar yang tak buruk. Tapi terasa tak berguna. Sia-sia jika seorang Raden harus hidup dengan menempa besi setiap hari. Gadis cantik di depan Arya masih saja bersikap dingin. Ia berjalan cepat mendahului Arya dengan angkuhnya. Beruntung Ki Bayanaka segera memberinya pakaian baru yang sesuai. Arya sama sekali tak merasa nyaman dengan pakaian orang tua itu. “Nah, kita sudah sampai.” Jenar menghentikan langkahnya. Mereka kini berada di tengah-tengah tanah lapang dikelilingi pagar bambu. Banyak sekali bantalan target panah berbahan jerami yang terpasang di pagar itu. “Apa harus malam-malam?” keluh Arya sambil menerima busur dari Jenar. Gadis itu tampak malas mendengar keluhan Arya. “Kalau bukan karena Ayahanda yang meminta, aku juga tak sudi berlatih memanah di malam hari. Berdua dengan orang menyebalkan ma
Ki Bayanaka hanya tertawa mendengar cerita Jenar yang begitu kesal padanya. Habis sudah lengannya dicubit dan dipukul oleh putri kesayangannya itu. Ada senggurat malu namun juga suka, tampak dari wajah Jenar yang memerah dan disertai senyum. “Ayahanda mengapa menjerumuskan aku? Mengapa kau suruh aku melatih Arya, sedang Ayahanda tahu dia itu pemanah ulung?” rajuk Jenar. “Bukankah kau sendiri yang bilang dan menemukan tanda-tanda kalau dia pemanah ulung? Tapi mengapa kau justru memamerkan keahlian memanahmu yang tak seberapa itu?” Ki Bayanaka melanjutkan tertawanya. Ia tak menyangka putrinya dan Arya akan akrab secepat ini. Jenar hanya mencebik. Wajahnya memerah menahan malu. Entah sudah berapa kali kedua kaki ia hentakkan ke bumi. Rasa malunya benar-benar tak tertahankan lagi. Rasanya ia tak ingin lagi bertemu dengan Arya, namun itu tak mungkin karena pemuda itu masih tinggal bersamanya dan hari ini mereka berdua akan berlatih memanah di hutan, membidik target bergerak. “Ayolah, Je
“Jangan berbalik, jangan!” desis Arya. “Kau tak boleh lari sekarang!” Jenar mulai melangkah mundur. Langkah kakinya seirama dengan delapan pasang kaki binatang di depannya. Anak panahnya masih terhunus. Namun akan sulit jika keempat singa itu menyerang bersama-sama. Sampai detik ini ia hanya mengandalkan insting untuk berhadapan dengan kawanan singa ini. Sorot mata singa betina yang tadi melumpuhkan rusa membuat Jenar bergidik. Apa lagi taringnya yang masih basah oleh darah rusa. Ia bisa membayangkan bagaimana rasanya benda sebesar itu mengoyak batang lehernya. “Bagus, kau tidak berbalik. Pertahankan posisi mereka,” gumam Arya. Pemuda itu mencabut anak panah dari tempatnya. Segera ia tarik tali busur yang biasa digunakan untuk prajurit berlatih. Rasanya lebih ringan dari busur pemberian Paman Pranawa. Arya mulai membidik. Seekor singa muda mulai bergerak menjauh dari kawanan. Insting berburu dalam kelompok membuatnya seolah memecah perhatian Jenar. Disusul oleh seekor singa lagi. K
Sepasang kekasih duduk berhimpitan di sebuah batu besar di tepi sungai. Di belakangnya dua ekor kuda tak peduli dengan kemesraan tuannya yang baru saja menjalin cinta. Jenar dengan manjanya bersandar pada dada Arya. Mendengarkan syahdu gemericik air sungai di bawah bayang-bayang ranting pohon akasia. “Ceritakan padaku seperti apa Desa Girijajar, Arya!” bisik Jenar di bawah dagu kekasihnya. “Mengapa kau ingin tahu? Apa kau ingin aku bawa pulang menemui Ibu?” goda Arya dengan seuntai senyum terpampang di bibirnya. “Suatu saat aku pasti akan kau bawa kan? Ibumu seperti apa? Ah, mendengar kata ‘ibu’ aku jadi teringat mendiang Ibuku,” rengek Jenar begitu manja. Ia sama sekali berbeda dengan Jenar tadi malam dan beberapa masa yang lalu. “Pertanyaan mana yang harus aku jawab lebih dulu? Hmm?” Arya menjentik ujung hidung Jenar dengan gemas. Perilaku Jenar yang selalu menanyakan banyak hal seperti awal mereka jumpa rupanya memang tabiat asli gadis ini. “Mengapa kau selalu menyebalkan, Arya