Share

Pertemuan

last update Last Updated: 2021-12-01 11:03:33

Venus tiba-tiba merasa sangat kotor meskipun ia baru saja selesai mandi dengan sabun berbusa banyak. Terlebih lagi, sisa sarapan yang sempat dihabiskannya nyaris naik ke kerongkongan hingga membuat anak itu mabuk luar biasa.

Seperti yang dikatakan Ildara: vingsai dapat berteleportasi, baik sendiri maupun dengan orang lain. Masalah terbesarnya adalah: yang dibawa vingsai itu bukan kaumnya sendiri, melainkan manusia volt yang sehat tanpa belatung di wajah mereka.

Jika menjaga jarak saja aromanya sudah sangat buruk, Venus benar-benar membayangkan apa jadinya jika ia bersisian dengan vingsai. Berimpitan.

Venus awalnya menolak berada di salah satu sisi vingsai itu, tapi Ildara berkata bahwa itulah caranya agar mereka bisa ikut diteleportasi.

“Aku akan memegang lenganmu saja, Ildara!” sentak Venus di antara napasnya.

Si vingsai mengangkat kepala dan menggeram rendah, seakan ingin mengatakan bahwa cuma itu caranya. Dan Venus harus mau kalau tidak ingin terlambat. Makhluk itu mengguncang lengan kanannya secara sambil lalu. Venus bergidik. Ia menoleh sebentar untuk mengambil napas banyak-banyak menggunakan mulut. Hal itu membuat langit-langit mulutnya jadi kering.

“Kuharap teleportasi ini berlangsung cepat,” geram Venus pada si vingsai maupun Ildara.

Venus mencengkeram lengan kanan si vingsai yang untungnya terbalut lengan jubah. Namun tak urung gadis itu terperanjat juga. Ia memperlonggar cengkeramannya. Daging di balik lengan jubah itu terasa sangat lunak. Ia tak paham bagaimana makhluk seperti ini bisa hidup.

Belum selesai Venus mengumpat dalam hati, kegelapan menyedotnya secara tiba-tiba; membuat si gadis berdengap kaget.

Venus mengerjap-ngerjap karena ia benar-benar tak bisa melihat apa-apa. Anak itu hanya bisa merasakan lengan jubah si vingsai. Ia sempat bertanya-tanya apakah Kaisar atau Druiksa akan muncul juga di sini. Namun ternyata tidak.

Mendadak mereka tersedot lagi. Venus limbung sesaat, dan perutnya bergejolak lagi. Ia menunduk sebentar seraya menahan napas untuk yang kesekian kali. Dilihatnya tanah yang telah dipijak oleh kedua kakinya di bawah.

Venus mundur agak sempoyongan, melangkah menjauhi si vingsai. Akhirnya ia tak bisa menahan-nahan lagi.

Gadis itu muntah di tepi semak belukar. Sarapan nasi telurnya terdesak keluar semua hingga cairan pahit memenuhi rongga mulut Venus. Ildara memijit leher belakang gadis itu dengan pelan.

“Sialan,” gerutu Venus, masih terbungkuk-bungkuk. Ia muntah lagi.

“Jangan khawatir,” kata Ildara santai. “Pertama kali aku bertemu dengan vingsai, semua darah yang kutelan keluar semua. Rasanya sia-sia saja aku memangsa dua bayi sebelumnya.”

Venus meludahkan cairan terakhir, lalu berdiri. Ia meraih tisu yang Ildara berikan dan menatap wanita dewasa itu sekilas.

“Dua bayi,” dengus Venus seraya mengelap bibirnya. “Kenapa harus bayi?”

“Karena lebih segar dan nikmat,” kekeh Ildara.

Venus meludahkan cairan pahit sekali lagi. “Bagaimana darah-darah itu bisa ada di perutmu? Bukankah bentuk kuyang-mu cuma sebatas kepala dan usus yang terburai?”

Ildara menyeringai, lalu tertawa. “Biarkan itu jadi rahasia semesta, Venus.”

Venus mendengus lagi, mulutnya terasa sangat tidak enak. Ia terpicing-picing sambil memutar badan, lantas kepalanya mendongak.

“Kita cuma berteleportasi kira-kira tak sampai lima detik,” gumam Venus terheran-heran. “Bagaimana mungkin langit sudah semalam ini?”

Ildara berjalan beberapa langkah ke depan. Cahaya bulan menerpa rambut pendeknya yang tersibak pelan dtiup angin malam.

“Teleportasi mempercepat waktu hingga kurang lebih sebanyak dua belas jam.” Ildara memaparkan. “Itulah mengapa aku datang di pagi hari seperti tadi.”

“Jadi kau mulai berteleportasi kemarin … sore?” Venus menyimpulkan ragu-ragu.

Ildara mengangguk. Venus mengikuti langkah Ildara, sementara si vingsai berada di belakang keduanya dalam jarak lebih dari tiga meter. Meskipun itu masih terbilang dekat bagi Venus, tapi ia diam saja. Itu lebih baik daripada harus saling mengaitkan lengan.

Tatapan Venus mengawasi pemandangan akbar yang kini berdiri di depan mereka. Dua tebing curam nan tinggi terlihat keabuan di bawah sinar rembulan nan lembayung. Kedua tebing itu mengapit jalan sempit nan gelap di bawahnya.

Pemandangan itu mengingatkan Venus akan mahakarya Tolkien dengan trilogi “Lord of The Ring”-nya. Venus samar-samar mengingat adegan ini, tapi ia sedikit lupa. Anak itu belum lagi menyelesaikan ketiga bukunya yang sangat tebal, meski ia sudah menonton film-filmnya.

Namun, itu dulu. Saat ia masih berada di Bumi Pertama.

Venus menghela napas perlahan. Gadis itu menoleh memandang Ildara yang juga tengah menatap dirinya.

“Kita masuk ke sana? Itukah Ngarai Hiren yang kau maksud?” Venus bertanya tanpa nada. Udara dingin nan menusuk dari celah tebing-tebing itu mengusik ketenangannya.

Ildara merogoh sesuatu dari mantel gelapnya yang panjang. Tangannya memegang dua benda serupa kacamata hitam. Ia memakainya satu, lalu memberikan yang lain pada Venus.

Venus menerimanya. “Apa ini?”

“Kacamata Malam,” jawab Ildara. “Aku tak ingin kau membuat penerangan menggunakan Bakat. Mereka lebih suka gelap, dan pasti akan merasa terganggu.”

“Mereka,” ulang Venus datar.

Venus memakai kacamata itu dan penglihatannya jadi lebih baik, meski visinya jadi agak kebiruan.

Ildara berjalan lagi. “Ayo, mereka sudah lama menunggu.”

Venus mengikutinya dari belakang. Langkah-langkah mereka terukur: tidak terlalu cepat ataupun terlalu lambat.

Begitu Venus memasuki celah pintu nan gelap itu, tubuhnya sejenak mengejang. Ia mengambil napas dalam dan pelan; tahu ia harus memberanikan diri karena itulah yang seharusnya ia lakukan.

Itu, atau tidak sama sekali.

(Ada banyak sekali roh di sini.) Tiba-tiba Mustaka menyeletuk di kepala Venus.

Venus menatap dinding-dinding tebing nan tajam dan berpola yang pasti akan terlihat cantik di siang hari itu.

(Apa mereka termasuk pasukan yang akan kupimpin?) Venus menanggapi Mustaka.

(Ya.)

Cuma satu kata, tetapi mampu membuat Venus bingung sendiri.

“Bagaimana caraku berkomunikasi dengan mereka?” Tak sengaja Venus mengucapkan itu keras-keras.

Ildara dan si vingsai berhenti. Venus menatap Ildara yang tampak heran memandangnya.

(Tidak apa-apa, Venus.) Suara Mustaka seakan berdengung di kepala Venus. (Berbohong saja. Meski Ildara adalah tangan kanan Kaisar, tapi Kaisar tidak memberitahunya tentang kita.)

“Ada apa?” Ildara bertanya curiga. “Kau bicara dengan siapa?”

Venus baru saja akan menjawab Ildara, saat suara telepati Kaisar menggelegar di benaknya.

(Kau tidak boleh buka suara tentang keberadaan Mustaka, Bizura.) Kaisar Azafer berdendang; Venus sesaat terpaku. (Kau tidak boleh.)

Venus berdeham-deham. Kebohongan dengan cepat terbentuk di kepalanya.

“Aku bisa mendengar roh-roh di sini saling berbicara.” Akhirnya Venus berkata pada Ildara. “Mereka bilang, Kaisar memerintahkan mereka juga untuk membantuku.”

Wajah Ildara kembali santai, kecurigaan telah hilang dari matanya. “Oh, roh-roh jahat dari Bumi Keempat pilihan Kaisar itu.”

Mereka kembali berjalan.

“Tapi bagaimana bisa kau mendengar perkataan mereka?” Ildara tiba-tiba melanjutkan. “Kau tahu, bukan? Hanya orang mati yang bisa ….”

Ildara mengangkat bahu seraya mengerling Venus.

“Entahlah.” Venus langsung berbohong lagi. “Mungkin kekuatan bawaan Bizura dan semacamnya.”

Ildara mengangguk. “Bisa kupahami. Amerta juga begitu. Sering berbicara sendiri. Saat kutanya, dia bilang dia sedang mengobrol dengan para roh. Lalu, dia mengusirku.”

Jari-jari Venus saling terkait di depan perutnya. “Yah, kalau begitu tidak aneh. Aku nyaris mengira ini sedikit aneh.”

Ildara mengangkat bahu sekali lagi. Venus diam-diam membuang napas lega.

(Kaisar?) Venus memanggil, meski tahu ia belum pernah berhasil menelepati Kaisar terlebih dahulu. Berbeda dengan Mustaka.

(Kaisar mungkin saja masih mengawasi Anda.) Justru Mustaka yang menjawab. (Tapi saya kira dia tidak akan menjawab Anda kalau dirasa itu tidak perlu.)

Venus diam-diam mendengus. Hebat sekali. Disebut-sebut sebagai anak kesayangan Kaisar, tapi sendirinya ia tidak terlalu diperhatikan. Venus harus mengingat-ingat lagi bahwa yang menyebutnya begitu cuma Ildara, dan Kaisar dengan jelas hanya berkata "tertarik". Tidak lebih.

(Kenapa aku harus menyembunyikan tentang kau pada Ildara?) Venus bertanya lagi. (Dan Amerta … ia juga punya teman roh seperti aku dan kau?)

(Tidak tahu.)

Venus lagi-lagi lupa betapa tidak bergunanya Mustaka jika mulai memasuki tahap-tahap pengetahuan berbasis kerahasiaan.

Tiba-tiba Venus menghentikan langkahnya. Ildara ikut berhenti. Lagi-lagi wanita itu menanyakan ada apa pada Venus. Yang ditanya hanya menggeleng. Ia bergumam tak jelas dan melanjutkan langkah lagi. Ildara mengikutinya dengan tatapan heran.

(Bau ini berbeda sekali dengan bau vingsai.) Benak Venus bergumam pada Mustaka.

Mustaka mengirimkan dengusan ke otak Venus. (Karena memang bukan berasal dari vingsai.)

(Bagaimana kau bisa tahu?) Venus mencercanya. (Kau membuatku bingung. Kadang tahu banyak hal, kadang malah bodoh sama sekali padahal aku membutuhkan informasinya.)

(Yah, saya memang hanya tahu beberapa.) Mustaka menyahut dengan nada ringan. (Termasuk yang ini.)

(Memangnya ini bau apa?) Venus berkata datar.

(Ebu Gogo.) Mustaka menjawab. (Makhluk rakus nan pendek dengan mata dan mulut besar. Mereka sangat berbulu. Saya harap Anda tidak dekat-dekat dengan mereka, Venus.)

(Meskipun bau, mereka juga akan jadi sekutuku!) Venus menukas tajam. (Kenapa juga aku harus memusuhi mereka?)

(Bukan memusuhi, hanya … menjauhlah sedikit.)

Venus geram. (Kenapa?)

(Mereka suka daging manusia.)

Related chapters

  • Cucu Kegelapan   Sekutu

    Venus melihat mereka melalui kacamata malam yang dia kenakan, ketika akhirnya dia dan Ildara tiba di sebuah lubang yang hampir melingkar dengan tebing-tebing tinggi yang mengelilingi mereka. Berada di sisi tebing, sekelompok orang "kecil" berbisik ketika mereka menyaksikan kedatangan Venus dan Ildara.“Orang-orang” ini, yang Mustaka panggil Ebu Gogo, tingginya hanya sekitar satu meter, wajah mereka ditutupi bulu lebat seperti primata non-manusia. Perut mereka membuncit seperti pot, dengan telinga mencuat seolah-olah telinga mereka telah menggunakan beban yang tidak terlihat selama sisa hidup mereka.Venus terus berjalan ke tengah lapangan kecil yang terbuka dengan langkah lambat sambil mengamati makhluk lain. Namun, tiba-tiba salah satu Ebu Gogo dengan bulu coklat muda di wajahnya mendekati Venus dengan cara berjalan kikuk. Meski begitu, ekspresinya terlihat seperti sedang marah.Ven

    Last Updated : 2021-12-01
  • Cucu Kegelapan   Kebaikan Palsu

    “Dia benar-benar sedang keluar, kan?” Venus bergumam sendiri.Gadis itu tinggal di Koba, Bangka Tengah, di mana semua hal terasa begitu dekat jaraknya. Ia baru saja pulang dari sekolah, berganti pakaian, dan langsung menuju dapur. Hari ini acaranya cuma kerja bakti, dan para penjual di kantin memutuskan untuk libur berjamaah. Hanya ada satu, dan penjual keliling itu sama sekali tidak menyediakan makanan berat seperti nasi. Untung saja kerja bakti ini tak sampai tengah hari.Meski begitu, entah mengapa Venus berpendapat makan di rumah lebih baik, daripada makan di sebuah kedai dan membuang-buang uang saku. Selain itu, dia juga yakin bahwa ibu tirinya sedang keluar. Salah satu teman Venus mengaku melihat ibu tiri Venus menumpang mobil teman arisannya. Apapun itu, Venus tetap waswas. Ia memutuskan untuk menyerah saja, meski tidak terlalu yakin.Tentu saja, menyerah itu pertanda buruk.“Ah, Sayang. Apa yang kau lakukan?”Suara i

    Last Updated : 2021-09-03
  • Cucu Kegelapan   Kekuatannya

    Selang beberapa menit kemudian, setelah acara makan sendiri yang semuram awan kelabu, Venus sudah berada di Pantai Tanjung, tak jauh dari tempatnya semula. Anak perempuan itu duduk di salah satu batang pohon yang sudah tumbang. Di sebelahnya tumbuh beberapa pohon yang ia tak tahu persis apa namanya. Semilir angin membawa serta aroma asin air laut, membuai pikiran siapa saja yang menghirupnya. Samar-samar tercium bau amis dari air laut di bibir pantai yang berwarna kecokelatan itu.Venus menoleh dan melihat beberapa orang sedang berlutut di tepi pantai agak jauh darinya. Tiga anak kecil tampak berkejar-kejaran. Tawa gembira mereka terbawa serta oleh angin, bahkan ketika mereka menceburkan diri ke air yang agak keruh itu. Mereka yang berlutut tampaknya sedang mengorek-orek pasir, dan sesekali memasukkan sesuatu ke dalam wadah berupa kantong plastik atau stoples. Venus menebak mereka sedang mencari remis. Salah satu dari mereka menoleh memandang Venus. Wanita itu sepertinya meny

    Last Updated : 2021-09-03
  • Cucu Kegelapan   Kebenaran Menyakitkan

    Suara berisik tiba-tiba membangunkan Venus. Gadis itu bersusah-payah membuka matanya dan berkedip-kedip memandang jam dinding. Pukul delapan malam.Venus mengeluh dan merutuk dalam hati sambil memeluk kembali bantal gulingnya. Sedetik kemudian ia duduk terkaget saat pintu kamarnya digedor dari luar.“VENUS!”Venus mengeluh lagi. Itu suara ayahnya. Dalam dan besar.Gadis itu tersaruk-saruk menuju pintu untuk membukanya.“Apa-apaan kau ini?!” bentak sang ayah begitu melihat Venus.Venus mengucek mata sambil mencoba merapikan rambutnya menggunakan tangan. Gadis itu merengut sebal pada sosok tegap nan galak di depannya.“Yang apa-apaan itu Ayah,” gerutu Venus. “Kenapa, sih, membangunkan aku malam-malam begini?”“Rapikan dirimu, ganti baju dan sandalmu, lalu pergi ke kamar Ayah.”Ekspresi datar sang ayah mengganggu Venus. Apa ia akan dihukum karena sudah membentak Se

    Last Updated : 2021-09-03
  • Cucu Kegelapan   Bumi Kedua

    Venus tersentak bangun kala tubuhnya meluncur keluar dari sesuatu yang terasa seperti seluncur tabung. Atau setidaknya ia pikir begitu. Venus menginjak permukaan tanah dengan goyah, dan pasti akan tersungkur seandainya tak ada tangan-tangan yang menolongnya. Venus menatap tanah yang ia pijak dengan wajah semringah.“Wah, aku nggak jadi mati, nih!” cetus Venus senang sambil tersenyum lebar, menyederhanakan perasaan bahagia yang sebenarnya.Venus menatap lingkaran putih tempat ia keluar. Lingkaran bercahaya itu kini suram. Venus mendongak ke atas dan hanya mendapati kegelapan. Penglihatannya beralih pada dua orang yang menolongnya. Seorang pria dengan ekspresi galak dan seorang wanita berwajah ramah. Wanita itu tersenyum. Venus tak pernah melihat mereka sebelumnya.“Apa ini?” Venus bertanya ragu-ragu, “Teknologi baru yang bisa dipesan siapa saja atau bagaimana?”Si Pria Galak menyahut dengan agak dongkol, “Aku tak t

    Last Updated : 2021-09-03
  • Cucu Kegelapan   Volta Juana

    Beberapa menit kemudian mereka tiba di depan pintu gerbang hitam yang terbuka. Pintu itu terlalu kecil jika dibandingkan temboknya, tetapi juga lebih besar dari pintu gerbang pada umumnya. Di depan pintu tersebut berdiri seorang cowok pendek dengan wajah seperti bayi.“Hei, mana Penjaga Portal yang seharusnya mengantarmu?” tanya Lan khawatir.Cowok itu menyusupkan tangan di saku celananya.“Temannya yang sedang menjaga portal agak kesulitan, jadi dia menyuruhku untuk menunggu di sini dan ikut penjaga lain jika ada yang lewat,” jelas si cowok dengan telinga agak memerah.“Dasar orang tak bertanggung jawab,” dengus Meres sebal, “bisa-bisanya main titip-titipan.”Lan memukul lengan Meres pelan.“Kadang kita juga melakukan hal yang sama, kan?” tegurnya sambil tertawa. “Misalnya, saat aku harus pergi ke toilet karena keadaan benar-benar mendesak?”Lan mengedipkan sebel

    Last Updated : 2021-09-03
  • Cucu Kegelapan   Teman-teman Baru

    Venus pikir mereka juga akan diantarkan ke dalam bangunan itu setelah Meres membuka pintu. Namun, ternyata ada seseorang yang sudah menunggu di balik pintu untuk menyambut, atau lebih tepat, mencoba mengintimidasi mereka. Orang itu adalah seorang lelaki paruh baya berbadan besar dan kekar. Tatapannya begitu dingin dengan bibir yang senantiasa merengut. Di mata Venus, Meres bahkan tampak lebih ramah dibandingkan orang ini.“Sudah selesai?” Pria itu bertanya pada Meres dengan suara berat.Meres cuma mengangguk, lalu ia keluar bersama Lan tanpa berkata apapun. Dan, dengan berani Venus mengganggu pria seram berpakaian serba putih di depannya itu. Tentu saja dengan perasaan agak keder.“Siapa Anda?” Suara Venus terdengar kecil, tapi ia tak peduli.Lelaki itu memandangnya, seketika menguarkan hawa dingin yang menakutkan. Gawat, Venus bakal ditelannya bulat-bulat!“Rokuga.”Venus membuang napas lega tanpa kentara

    Last Updated : 2021-09-03
  • Cucu Kegelapan   Sedikit Kekhawatiran

    “Ehem!”Dengan kaget Venus menoleh dan melihat seorang cowok berbadan kekar sedang berdiri di samping Virzash. Wajah pendatang itu lumayan kekanak-kanakan, tapi Venus sama sekali tidak menganggapnya seperti bayi. Kulitnya sedikit gelap. Rambutnya yang berwarna agak cokelat itu dipotong sedemikian rupa, dengan belahan tengah dan poni. Seingat Venus, itu gaya idol-idol Korea di Bumi Pertama. Ada noda merah mencurigakan di bagian depan kausnya yang putih polos.Intinya, cowok itu sudah terlihat keren tanpa harus berusaha. Seandainya Virzash si cowok bayi merasa iri, Venus tak akan merasa kaget.“Aku duduk di sini, ya?” Si pendatang bertanya. Suaranya terdengar jail.“Berdiri pun kami tidak peduli,” sahut Lou ketus.Cowok tadi tertawa dan duduk di satu-satunya kursi yang tersedia.“Kalian berani, ya, duduk di sini,” ujar si cowok itu seraya nyengir pada kedua juniornya yang baru.&l

    Last Updated : 2021-09-03

Latest chapter

  • Cucu Kegelapan   Sekutu

    Venus melihat mereka melalui kacamata malam yang dia kenakan, ketika akhirnya dia dan Ildara tiba di sebuah lubang yang hampir melingkar dengan tebing-tebing tinggi yang mengelilingi mereka. Berada di sisi tebing, sekelompok orang "kecil" berbisik ketika mereka menyaksikan kedatangan Venus dan Ildara.“Orang-orang” ini, yang Mustaka panggil Ebu Gogo, tingginya hanya sekitar satu meter, wajah mereka ditutupi bulu lebat seperti primata non-manusia. Perut mereka membuncit seperti pot, dengan telinga mencuat seolah-olah telinga mereka telah menggunakan beban yang tidak terlihat selama sisa hidup mereka.Venus terus berjalan ke tengah lapangan kecil yang terbuka dengan langkah lambat sambil mengamati makhluk lain. Namun, tiba-tiba salah satu Ebu Gogo dengan bulu coklat muda di wajahnya mendekati Venus dengan cara berjalan kikuk. Meski begitu, ekspresinya terlihat seperti sedang marah.Ven

  • Cucu Kegelapan   Pertemuan

    Venus tiba-tiba merasa sangat kotor meskipun ia baru saja selesai mandi dengan sabun berbusa banyak. Terlebih lagi, sisa sarapan yang sempat dihabiskannya nyaris naik ke kerongkongan hingga membuat anak itu mabuk luar biasa.Seperti yang dikatakan Ildara: vingsai dapat berteleportasi, baik sendiri maupun dengan orang lain. Masalah terbesarnya adalah: yang dibawa vingsai itu bukan kaumnya sendiri, melainkan manusia volt yang sehat tanpa belatung di wajah mereka.Jika menjaga jarak saja aromanya sudah sangat buruk, Venus benar-benar membayangkan apa jadinya jika ia bersisian dengan vingsai. Berimpitan.Venus awalnya menolak berada di salah satu sisi vingsai itu, tapi Ildara berkata bahwa itulah caranya agar mereka bisa ikut diteleportasi.“Aku akan memegang lenganmu saja, Ildara!” sentak Venus di antara napasnya.Si vingsai mengangkat kepala dan menggeram rendah, seakan ingin mengatakan bahwa cuma itu caranya. Dan Venus harus mau kalau ti

  • Cucu Kegelapan   Rencana

    Malam itu Venus hanya tidur selama beberapa jam saja. Entah kenapa ia akhir-akhir ini punya masalah dengan pola tidurnya. Rasanya seperti ia lelah jika harus tidur lama-lama. Padahal tidurnya selalu kurang dari delapan jam.Setelah melempar tubuh lelaki yang ia bunuh tadi malam keluar gerbang kompleks, Venus segera pergi tidur saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.Namun pada jam tiga pagi, ia terbangun dan tak bisa lagi memejamkan mata. Venus menghabiskan dini hari itu dengan menjelajahi ruang bawah tanah yang berdebu dan membaca beberapa buku fiksi koleksi Ildara di sana.Mustaka sama sekali tak menyahut saat gadis itu memanggilnya dengan telepati. Sedangkan Kaisar … sepertinya memang Venus tak bisa berbicara dengannya secara sembarangan. Kecuali Kaisar sendiri yang memulai.Pada jam lima, mata Venus berkedip-kedip lelah. Ia setengah mendesah lega, karena akhirnya mengantuk lagi. Namun gadis itu terpaksa berteriak sebal sendiri di kamarn

  • Cucu Kegelapan   Pembunuhan

    Besok adalah hari keempat belas sejak kepergian Ildara. Untuk yang kesekian kalinya dalam beberapa hari ini, Venus merasakan kemarahan yang berlebih akibat Ildara yang sama sekali tak memberi kabar padanya. Venus bahkan sempat berpikir, kenapa waktu itu dia tidak memberikan masa tenggat lebih cepat dari ini pada Ildara. Ketidaksabaran membuat anak itu menjadi gerah terus-terusan berada di rumah besar ini. Meskipun punya teman tak kasatmata seperti Mustaka atau Kaisar—meski yang satu ini jarang sekali bertelepati dengannya—tapi Venus tetap merasakan kesepian. Benda yang disebut dengan televisi … Venus hanya menyalakan itu saat ia butuh melihat berita tentangnya lagi. Lagipula, Venus tiba-tiba menjadi benci dengan segala film yang ada di dimensi bumi ini. Semua film menceritakan tentang kebaikan akan selalu menang; bahwa kejahatan pasti akan hancur. Sesuatu yang menjadikan diri Venus lebih sinis dari seharusnya. Takdir nyata tak seindah dalam halusinasi film semata, pikir Venus saat

  • Cucu Kegelapan   Mereka Datang

    Malam itu Venus tak bisa tidur. Ia pergi ke halaman belakang rumah Ildara yang megah. Halaman itu tersambung dengan hutan lebat yang gelap dan tampak menakutkan.Venus melatih dan mengerahkan Bakat-nya dengan kegilaan yang tak kunjung mereda. Sekali Ildara pernah menegur Venus karena terlalu berlebih-lebihan dalam mengerahkan Bakat Petir, sehingga menciptakan guntur dan petir di mana-mana.Beberapa pohon di dalam hutan tampak terbakar. Namun, dalam ketidaksadaran, ia juga menurunkan hujan lebat di atasnya, sehingga api cepat padam.Venus membentak liar pada Ildara dan mengusirnya dengan percikan-percikan listrik. Setelah itu si kuyang tak lagi muncul untuk menegurnya.Venus membentak ke udara saat beberapa pohon di tepi hutan tercerabut dan terlempar satu-dua meter jauhnya.Belasan banaspati tiba-tiba melesat dan melemparkan api ke arah Venus. Namun, makhluk-makhluk itu tak mendapatkan ketakutan Venus, sehingga ukuran dan kekuatan mereka tak lebih

  • Cucu Kegelapan   Kemarahan

    “Kau sekarang termasuk atasanku, Venus.”Venus menoleh menatap Ildara. Sudah seminggu sejak ia berada di kamar serupa rumah sakit itu, dan kini Venus sedang menikmati masa-masa kewarasannya kembali.Kekuatannya sudah lebih baik. Meski telinganya masih suka berdenging menyakitkan di waktu-waktu tertentu.Venus bersandar pada sofa yang didudukinya dengan perasaan tanpa beban.“Apa Kaisar yang menyuruhmu?” tanya anak itu perlahan.Ildara mengangguk. Ia menyesap teh di cangkirnya dengan gerakan anggun.Venus menoleh lagi. Pandangannya menyapu ruangan serupa ruang keluarga yang dipenuhi perabot dan hiasan serba emas itu. Ada foto-foto berpigura yang diletakkan di atas meja, beberapa digantung ke dinding.Sebuah monitor besar menempel di salah satu bagian dinding. Benda itu seakan menyatu dengan dinding itu sendiri. Venus mengawasi jalanan dan beberapa perumahan yang tampak kosong dari monitor itu.Ildara ting

  • Cucu Kegelapan   Keinginan yang Kuat

    Venus pernah berpikir bahwa hidupnya akan jadi mengesankan, jika ia melakukan kebaikan seperti seorang pahlawan super. Namun, pemikiran itu datang jauh sebelum ia berubah jadi berani.Pernah suatu kali di Bumi Pertama, saat ia baru saja masuk sekolah kanak-kanak, saat pertama kali Bima—ayah angkat Venus—membentaknya.Saat itu Venus mencoba berkenalan dengan seorang anak yang sedang menangis. Ia pikir ia bisa menghentikan tangis anak itu.Tangis anak itu berhenti, tapi Venus mengacaukan segalanya.Saat jam sekolah selesai, ada seekor nyamuk yang hinggap di pipi teman barunya itu. Secara spontan Venus menampar serangga itu; dengan tak sengaja melakukannya terlalu keras.Ibu anak yang pipinya kena tepuk oleh Venus marah karena anaknya kembali menangis; bahkan lebih keras dari sebelumnya. Venus meminta maaf, tapi ibu si anak masih terlihat marah.Bima nyaris menyeret Venus saat mereka pulang hari itu. Begitu tiba di rumah, Bima langs

  • Cucu Kegelapan   Terlahir Kembali

    Napas Venus tersentak keluar. Ia membuka mata kaget, segera setelahnya berkedip-kedip saat cahaya membutakannya.Venus menghela tubuhnya, tetapi langsung terhempas kembali. Erangan tersiksa keluar dari bibirnya.Kepala Venus serasa akan pecah; perutnya mual luar biasa. Cairan pahit berkali-kali naik ke tenggorokannya, tapi Venus selalu menelannya lagi dan lagi.(Anda menjijikkan sekali, Venus.) Tiba-tiba Mustaka bertelepati. Nadanya terdengar jijik.(Diam.) Pikir Venus padanya.Venus mengaduh pelan saat kakinya tiba-tiba berdenyut nyeri. Ia menunduk dan mendapati belitan perban di pahanya yang sempat terluka.Kenangan membanjiri pikiran Venus tiba-tiba. Ia mencengkeram kepalanya saat ingatan itu datang bertubi-tubi seraya membawa rasa sakit tak masuk akal di sana.Seakan belum cukup, telinganya berdenging luar biasa.Venus berteriak; teriakan anak itu serak, dan itu menyakiti tenggorokannya.Benda tajam serasa menusuk-nu

  • Cucu Kegelapan   Ungkap Kebenaran

    Dua cahaya kemerahan yang menyala-nyala dari ujung berbeda saling mendekat di tengah desir kegelapan. Siluet manusia yang terbentuk dari bayangan asap berdiri di antara cahaya-cahaya itu.Satu siluet berwarna hitam, yang lain berwarna merah gelap; nyaris menyatu dengan cahaya yang mengikutinya. Cahaya itu lantas membaur saat kedua siluet itu berdekatan.Sebuah kesadaran lain mengawasi mereka dengan perasaan waswas dan ingin tahu.Venus.Kesadaran anak itu … ia merasa seolah tidak memiliki raga. Jiwanya seakan mengambang. Venus mencoba bertelepati dengan Mustaka, tapi pikirannya seperti terbelenggu oleh sesuatu; ada hal lain yang menahannya. Entah apa.Siluet berasap di hadapan anak itu tampak memutar ke arahnya. Venus tiba-tiba menggigil. Namun ia tak bisa bergerak … tak bisa apa-apa.Yang bisa dilakukan Venus hanya mengawasi dengan perasaan dicekam ketakutan.“Lihatlah, Druiksa.” Venus menoleh ke arah siluet

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status