Share

Pembunuhan

last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-01 11:02:18

Besok adalah hari keempat belas sejak kepergian Ildara. Untuk yang kesekian kalinya dalam beberapa hari ini, Venus merasakan kemarahan yang berlebih akibat Ildara yang sama sekali tak memberi kabar padanya.

Venus bahkan sempat berpikir, kenapa waktu itu dia tidak memberikan masa tenggat lebih cepat dari ini pada Ildara. Ketidaksabaran membuat anak itu menjadi gerah terus-terusan berada di rumah besar ini.

Meskipun punya teman tak kasatmata seperti Mustaka atau Kaisar—meski yang satu ini jarang sekali bertelepati dengannya—tapi Venus tetap merasakan kesepian.

Benda yang disebut dengan televisi … Venus hanya menyalakan itu saat ia butuh melihat berita tentangnya lagi. Lagipula, Venus tiba-tiba menjadi benci dengan segala film yang ada di dimensi bumi ini.

Semua film menceritakan tentang kebaikan akan selalu menang; bahwa kejahatan pasti akan hancur. Sesuatu yang menjadikan diri Venus lebih sinis dari seharusnya.

Takdir nyata tak seindah dalam halusinasi film semata, pikir Venus saat itu. Andai mereka tahu bagaimana kisahku yang sebenarnya. Andai mereka tahu.

Dasar orang-orang tolol.

Venus mematikan televisi setelah melihat tak ada perkembangan yang menyenangkan tentang dirinya: dalam artian buruk bagi orang-orang lain.

Anak itu mendengus. Ia mengambil jaket tebal dari gantungan di kamarnya, lalu beranjak keluar dari rumah itu.

Langkahnya bergema saat ia turun dari anak-anak tangga dengan cekatan. Gema yang dihasilkan membuat hati Venus semakin buruk. Ia tak suka sendirian.

(Mustaka?)

Namun tak ada jawaban. Venus berdecak sebal sembari membuka mega-pintu di depannya, lalu menghempaskan benda itu hingga berdebam.

“Aku tak tahu apa fungsi rumah ini bagi Ildara.” Venus menggerutu sendiri seraya menapakkan kaki menuju jalan di depan sana. “Buat apa bermegah-megah kalau tak ada yang datang berkunjung?”

(Teman-teman sebangsanya sering berkunjung, kalau-kalau Anda penasaran.)

Venus nyaris tersentak. Ia mengumpat keras-keras di jalanan yang sepi itu.

“Ke mana kau tadi?” Venus menyurukkan kedua tangannya ke saku jaket dengan jengkel.

(Maaf, ada urusan pribadi dengan Kaisar,) kata Mustaka sok penting.

“Hah.” Hanya itu balasan Venus.

Venus terus melangkah mengikuti jalan beraspal itu sambil mendongak ke atas. Langit cerah, ditambah bulan separuh yang memantulkan cahayanya yang redup ke bawahnya. Sinar lembayung itu membuat wajah Venus tampak sepucat mayat.

“Hm.” Venus bergumam tak jelas saat matanya menangkap papan jalan bertuliskan Perpustakaan Elka.

Masih dengan santai, Venus berjalan ke arah bangunan putih yang kini tampak kotor itu. Bangunan itu tidak besar, tapi pasti bakal jauh lebih baik seandainya masih ada orang yang mau merawatnya.

Langit-langit bekas perpustakaan itu tampak rusak di mana-mana karena termakan waktu. Bagian atap terasnya bocor dan di bawahnya terdapat air yang menggenang kotor.

Venus melewati bagian lantai yang tidak basah dengan hati-hati. Ia mengambil sebuah kayu berukuran lumayan yang tergeletak di depan pintu perpustakaan.

Anak itu meraih Bakat Api, lalu menyalurkan kekuatan itu pada ujung kayu sehingga membuatnya seperti obor.

Venus mendorong pintu yang sedikit terbuka itu perlahan, tapi tak ada yang terjadi. Ia mengguncangnya sedikit. Engsel pintu itu sepertinya berkarat sehingga tak dapat dibuka lagi dengan benar.

Venus mengambil ancang-ancang kurang dari semeter. Sembari menyalurkan tenaga dalam ke kakinya, ia mendobrak pintu itu hingga terpental ke dalam ruangan dengan suara berisik.

(Anda merusakkan pintunya, Venus.) Tiba-tiba Mustaka menyeletuk ke kepala Venus.

Anak itu mendengus. “Siapa peduli, Ka? Siapa peduli?”

Mustaka terkekeh. (Anda kedengaran seperti Kaisar.)

Venus melangkah masuk ruangan dan langsung diserbu dengan bau pengap. Ia berdeham-deham seolah kerongkongannya terasa dimasuki debu.

“Suara Kaisar bagus, Ka.” Venus melanjutkan obrolannya dengan roh lain di dalam raganya. “Aku tidak. Jadi, berhenti membandingkannya.”

(Suara Anda tidak bagus.) Mustaka menyetujui. (Suara Anda dingin.)

“Tutup mulut, Mustaka,” kata Venus jengkel.

Diam-diam Venus berpikir: benarkah suaranya kini berubah dingin? Bukankah dulu dia tidak begitu? Apakah kebencian merubahnya?

Venus tiba-tiba terbatuk-batuk; membuatnya lupa akan pikiran-pikirannya semula.

Beberapa rak di ruangan agak besar itu tampak ambruk dimakan rayap; satu atau dua masih berdiri dengan kokoh. Seakan mereka masih melawan keadaan dan belum waktunya tergoyahkan.

Venus mendekati salah satu rak yang masih berdiri. Buku-buku di sana begitu tertutupi oleh debu tebal dan sawang atau sarang laba-laba. Ia terpaksa menutup mulut dan hidungnya menggunakan telapak tangan.

Venus berbalik arah ke sebuah meja yang juga berdebu. Di atasnya terdapat dua buku; yang satu terbuka di halaman sekian, yang satu masih tertutup.

Venus mendekatkan cahaya obor buatannya ke buku yang terbuka. Ia menggunakan sedikit Bakat Udara untuk meniup debu-debu di atasnya. Anak itu lantas mendekatkan wajah; mencoba membaca halaman buku tersebut.

Venus tidak terlalu paham, tapi adegan yang terpampang sedang menjelaskan tentang keadaan di mana masa-masa Amerta akhirnya mendekati akhir.

Karena tidak mau mengotori tangannya dengan debu, Venus menggunakan Bakat Udara lagi untuk menutup buku itu. Sampulnya menjelaskan bahwa itu hanya novel fiksi yang terinspirasi dengan keadaan nyata di masa kejatuhan Amerta.

Masa kejatuhan Amerta.

Sungguh berlebihan, batin Venus mencela.

Anak itu berganti meniup debu di dua buku yang dari semula sudah tertutup dengan Bakat Udara. Salah satu berjudul ENCHANTED dan yang lain berjudul WOLVIRE, keduanya tampak seperti hasil karya dari seseorang bernama VNB.

Venus membalik-balik secara acak halaman novel itu, dan kemudian yakin bahwa itu pasti juga novel fiksi. Kelihatannya menarik.

Venus baru akan mencoba membalik buku itu lagi ke halaman pertama untuk membacanya, ketika suara langkah kaki terdengar memasuki perpustakaan itu.

Venus berdiri dengan kaku, menunggu.

Seorang laki-laki yang tampaknya lebih tua dari Venus berhenti di ambang pintu. Matanya melongo saat ia melihat Venus yang berdiri sambil menenteng obor buatan. Lelaki itu membawa sebuah senjata serupa badik di tangan kanannya.

Mata lelaki itu menyipit seraya mendekat tiga langkah. Venus mencoba lebih meredupkan lagi kayu terbakar di tangannya, hingga nyala apinya nyaris mati. Wajah gadis itu menunduk sedikit.

“Kau kuyang?” tanya si lelaki tiba-tiba.

Tangan Venus yang bebas mengepal di belakang punggung. Belum saatnya aku menampakkan diri, batin Venus; mencoba tenang.

Ia menjawab dengan suara teramat kecil. “Bukan. Aku … ” sebuah ide tiba-tiba terlintas di kepala Venus. “ … aku keponakan Bibi Ildara.”

Venus melirik ke atas. Lelaki itu masih penasaran.

“Untuk apa keponakan Ildara ada di sini?” tanya lelaki itu curiga.

Venus berdeham-deham. “Bibi Ildara sakit. Jadi ia memintaku untuk menggantikannya mengawasi kuyang-kuyang di sini.”

Lelaki itu mengangguk-angguk. “Begitu, ya. Yah, syukurlah kalau begitu.”

Venus berdeham sekali lagi. “Kenapa kau ada di sini? Kompleks ini berbahaya.”

Lelaki itu dengan santai berjalan mendekat ke arah meja di samping Venus. Tubuh Venus membeku.

“Aku masih belum percaya,” dengus lelaki itu. “Kukatakan pada teman-temanku bahwa aku akan buktikan pada mereka kalau di sini tak ada yang namanya kuyang atau apa pun.”

“Kenapa kau berpikir begitu?” Venus berucap pelan; secara tidak kentara ia beringsut menjauh dari volt nekat itu.

Si lelaki mengangkat bahu. “Aku selalu mengganggap bibimu aneh. Rasanya ada yang janggal.”

Sudah cukup. Venus perlu pergi dari sini.

Venus menggumamkan pamit lalu melangkah cepat-cepat hingga keluar dari perpustakaan itu. Anak itu menarik masuk Bakat Api-nya lagi ke dalam, lalu membuang kayu gosong itu sembarangan.

“Hei, tunggu!” tiba-tiba sosok tadi memanggil.

Venus terpaku lagi. Ia tak berani menoleh.

“Hei! Kau volt Api, ya?” lelaki itu bertanya dengan nada berseru.

Venus mengiyakan dengan sedikit keras. Tanpa berkata-kata apa lagi, ia tergesa-gesa pergi dari situ.

Tiba-tiba angin tak wajar mengembus badannya; melayangkan dan memutar tubuh Venus secara paksa hingga sejauh satu meter dari atas tanah.

Lelaki tadi terkesiap. Wajahnya menampakkan keterkejutan, lalu berangsur-angsur berubah senang.

Lelaki itu tertawa seraya berjalan lebih dekat. “Sudah kuduga ada yang aneh di sini! Dan coba lihat: Venus Samudera! Buronan kita yang berharga sepuluh juta Volem! Wow!”

Venus menggertakkan giginya dengan geram. Sialan.

Sialan, sialan, sialan!

Venus tak punya pilihan. Anehnya, pilihan itu membuat hatinya berteriak gembira. Perasaan itu menjadikan Venus tak lagi ragu sedikit pun.

“Sepuluh juta Volem, ya.” Venus terkekeh seakan mereka hanya bercanda semata; diam-diam Venus meraih Bakat Besi ke dalam dirinya. “Aku tidak tahu berapa jumlahnya kalau disamakan dengan kurs Rupiah Indonesia dari Bumi Pertama.”

Lelaki itu menyeringai. “Kebetulan aku tahu sedikit tentang itu, anak sok kuat. Sepuluh juta Volem hampir sama dengan sepuluh miliar rupiah!”

Mata Venus mengerjap-ngerjap. “Wah, murah sekali.”

Lelaki di bawah Venus itu mendengus. “Murah buatmu, mahal buat kami. Silakan tunggu di atas sana, akan kupanggilkan pasukan Voltum secepatnya.”

Lelaki itu tertawa-tawa sendiri seperti laiknya orang tamak yang mendapat untung tiba-tiba. Ia menerbangkan tubuh Venus lebih tinggi dari semula, lalu meraih ponsel pintar di sakunya dan mulai menekan-nekan layar sentuhnya.

Namun, cukup sampai di situ saja.

Venus, yang sedari tadi telah menyiapkan jarum panjang di belakang kepala lelaki itu, akhirnya refleks mengentakkan ujung jari.

Jarum panjang itu menancap tepat di nadi leher volt Udara di bawah sana. Bakat lelaki itu terlepas paksa hingga memaksa Venus untuk meraih Bakat Udara agar gadis itu tidak jatuh terjerembab.

Venus mendekati si lelaki yang berdeguk tak berdaya; matanya menatap Venus dengan kengerian yang nyata.

“Seharusnya kau dengar apa kata vrosidenmu,” gumam Venus tanpa perasaan. “‘Jangan coba-coba menangkap Bizura sendirian’, katanya. Dasar bodoh.”

Venus menendang tubuh lelaki yang sudah tak bernyawa itu dengan puas. Lalu, ia berbalik dan hendak meninggalkannya. Namun, tiba-tiba ia berhenti lagi.

Venus menoleh. Ia harus memberi rasa ketakutan lagi ke orang-orang di luar Area Elka agar jauh-jauh dari sini.

Sebelum tengah malam, Venus sudah meletakkan mayat lelaki itu di muka gerbang Area Elka dalam posisi telentang dengan mulut menganga.

Dengan bantuan Bakat, Venus bisa menguras habis darah mayat itu, sehingga membuatnya terlihat seakan ada kuyang yang telah menyerang lelaki itu.

Venus kembali ke rumah Ildara dengan senyum terkembang di bibirnya.

Tak ada yang boleh main-main denganku, bisiknya dalam hati.

Bab terkait

  • Cucu Kegelapan   Rencana

    Malam itu Venus hanya tidur selama beberapa jam saja. Entah kenapa ia akhir-akhir ini punya masalah dengan pola tidurnya. Rasanya seperti ia lelah jika harus tidur lama-lama. Padahal tidurnya selalu kurang dari delapan jam.Setelah melempar tubuh lelaki yang ia bunuh tadi malam keluar gerbang kompleks, Venus segera pergi tidur saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.Namun pada jam tiga pagi, ia terbangun dan tak bisa lagi memejamkan mata. Venus menghabiskan dini hari itu dengan menjelajahi ruang bawah tanah yang berdebu dan membaca beberapa buku fiksi koleksi Ildara di sana.Mustaka sama sekali tak menyahut saat gadis itu memanggilnya dengan telepati. Sedangkan Kaisar … sepertinya memang Venus tak bisa berbicara dengannya secara sembarangan. Kecuali Kaisar sendiri yang memulai.Pada jam lima, mata Venus berkedip-kedip lelah. Ia setengah mendesah lega, karena akhirnya mengantuk lagi. Namun gadis itu terpaksa berteriak sebal sendiri di kamarn

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-01
  • Cucu Kegelapan   Pertemuan

    Venus tiba-tiba merasa sangat kotor meskipun ia baru saja selesai mandi dengan sabun berbusa banyak. Terlebih lagi, sisa sarapan yang sempat dihabiskannya nyaris naik ke kerongkongan hingga membuat anak itu mabuk luar biasa.Seperti yang dikatakan Ildara: vingsai dapat berteleportasi, baik sendiri maupun dengan orang lain. Masalah terbesarnya adalah: yang dibawa vingsai itu bukan kaumnya sendiri, melainkan manusia volt yang sehat tanpa belatung di wajah mereka.Jika menjaga jarak saja aromanya sudah sangat buruk, Venus benar-benar membayangkan apa jadinya jika ia bersisian dengan vingsai. Berimpitan.Venus awalnya menolak berada di salah satu sisi vingsai itu, tapi Ildara berkata bahwa itulah caranya agar mereka bisa ikut diteleportasi.“Aku akan memegang lenganmu saja, Ildara!” sentak Venus di antara napasnya.Si vingsai mengangkat kepala dan menggeram rendah, seakan ingin mengatakan bahwa cuma itu caranya. Dan Venus harus mau kalau ti

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-01
  • Cucu Kegelapan   Sekutu

    Venus melihat mereka melalui kacamata malam yang dia kenakan, ketika akhirnya dia dan Ildara tiba di sebuah lubang yang hampir melingkar dengan tebing-tebing tinggi yang mengelilingi mereka. Berada di sisi tebing, sekelompok orang "kecil" berbisik ketika mereka menyaksikan kedatangan Venus dan Ildara.“Orang-orang” ini, yang Mustaka panggil Ebu Gogo, tingginya hanya sekitar satu meter, wajah mereka ditutupi bulu lebat seperti primata non-manusia. Perut mereka membuncit seperti pot, dengan telinga mencuat seolah-olah telinga mereka telah menggunakan beban yang tidak terlihat selama sisa hidup mereka.Venus terus berjalan ke tengah lapangan kecil yang terbuka dengan langkah lambat sambil mengamati makhluk lain. Namun, tiba-tiba salah satu Ebu Gogo dengan bulu coklat muda di wajahnya mendekati Venus dengan cara berjalan kikuk. Meski begitu, ekspresinya terlihat seperti sedang marah.Ven

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-01
  • Cucu Kegelapan   Kebaikan Palsu

    “Dia benar-benar sedang keluar, kan?” Venus bergumam sendiri.Gadis itu tinggal di Koba, Bangka Tengah, di mana semua hal terasa begitu dekat jaraknya. Ia baru saja pulang dari sekolah, berganti pakaian, dan langsung menuju dapur. Hari ini acaranya cuma kerja bakti, dan para penjual di kantin memutuskan untuk libur berjamaah. Hanya ada satu, dan penjual keliling itu sama sekali tidak menyediakan makanan berat seperti nasi. Untung saja kerja bakti ini tak sampai tengah hari.Meski begitu, entah mengapa Venus berpendapat makan di rumah lebih baik, daripada makan di sebuah kedai dan membuang-buang uang saku. Selain itu, dia juga yakin bahwa ibu tirinya sedang keluar. Salah satu teman Venus mengaku melihat ibu tiri Venus menumpang mobil teman arisannya. Apapun itu, Venus tetap waswas. Ia memutuskan untuk menyerah saja, meski tidak terlalu yakin.Tentu saja, menyerah itu pertanda buruk.“Ah, Sayang. Apa yang kau lakukan?”Suara i

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-03
  • Cucu Kegelapan   Kekuatannya

    Selang beberapa menit kemudian, setelah acara makan sendiri yang semuram awan kelabu, Venus sudah berada di Pantai Tanjung, tak jauh dari tempatnya semula. Anak perempuan itu duduk di salah satu batang pohon yang sudah tumbang. Di sebelahnya tumbuh beberapa pohon yang ia tak tahu persis apa namanya. Semilir angin membawa serta aroma asin air laut, membuai pikiran siapa saja yang menghirupnya. Samar-samar tercium bau amis dari air laut di bibir pantai yang berwarna kecokelatan itu.Venus menoleh dan melihat beberapa orang sedang berlutut di tepi pantai agak jauh darinya. Tiga anak kecil tampak berkejar-kejaran. Tawa gembira mereka terbawa serta oleh angin, bahkan ketika mereka menceburkan diri ke air yang agak keruh itu. Mereka yang berlutut tampaknya sedang mengorek-orek pasir, dan sesekali memasukkan sesuatu ke dalam wadah berupa kantong plastik atau stoples. Venus menebak mereka sedang mencari remis. Salah satu dari mereka menoleh memandang Venus. Wanita itu sepertinya meny

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-03
  • Cucu Kegelapan   Kebenaran Menyakitkan

    Suara berisik tiba-tiba membangunkan Venus. Gadis itu bersusah-payah membuka matanya dan berkedip-kedip memandang jam dinding. Pukul delapan malam.Venus mengeluh dan merutuk dalam hati sambil memeluk kembali bantal gulingnya. Sedetik kemudian ia duduk terkaget saat pintu kamarnya digedor dari luar.“VENUS!”Venus mengeluh lagi. Itu suara ayahnya. Dalam dan besar.Gadis itu tersaruk-saruk menuju pintu untuk membukanya.“Apa-apaan kau ini?!” bentak sang ayah begitu melihat Venus.Venus mengucek mata sambil mencoba merapikan rambutnya menggunakan tangan. Gadis itu merengut sebal pada sosok tegap nan galak di depannya.“Yang apa-apaan itu Ayah,” gerutu Venus. “Kenapa, sih, membangunkan aku malam-malam begini?”“Rapikan dirimu, ganti baju dan sandalmu, lalu pergi ke kamar Ayah.”Ekspresi datar sang ayah mengganggu Venus. Apa ia akan dihukum karena sudah membentak Se

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-03
  • Cucu Kegelapan   Bumi Kedua

    Venus tersentak bangun kala tubuhnya meluncur keluar dari sesuatu yang terasa seperti seluncur tabung. Atau setidaknya ia pikir begitu. Venus menginjak permukaan tanah dengan goyah, dan pasti akan tersungkur seandainya tak ada tangan-tangan yang menolongnya. Venus menatap tanah yang ia pijak dengan wajah semringah.“Wah, aku nggak jadi mati, nih!” cetus Venus senang sambil tersenyum lebar, menyederhanakan perasaan bahagia yang sebenarnya.Venus menatap lingkaran putih tempat ia keluar. Lingkaran bercahaya itu kini suram. Venus mendongak ke atas dan hanya mendapati kegelapan. Penglihatannya beralih pada dua orang yang menolongnya. Seorang pria dengan ekspresi galak dan seorang wanita berwajah ramah. Wanita itu tersenyum. Venus tak pernah melihat mereka sebelumnya.“Apa ini?” Venus bertanya ragu-ragu, “Teknologi baru yang bisa dipesan siapa saja atau bagaimana?”Si Pria Galak menyahut dengan agak dongkol, “Aku tak t

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-03
  • Cucu Kegelapan   Volta Juana

    Beberapa menit kemudian mereka tiba di depan pintu gerbang hitam yang terbuka. Pintu itu terlalu kecil jika dibandingkan temboknya, tetapi juga lebih besar dari pintu gerbang pada umumnya. Di depan pintu tersebut berdiri seorang cowok pendek dengan wajah seperti bayi.“Hei, mana Penjaga Portal yang seharusnya mengantarmu?” tanya Lan khawatir.Cowok itu menyusupkan tangan di saku celananya.“Temannya yang sedang menjaga portal agak kesulitan, jadi dia menyuruhku untuk menunggu di sini dan ikut penjaga lain jika ada yang lewat,” jelas si cowok dengan telinga agak memerah.“Dasar orang tak bertanggung jawab,” dengus Meres sebal, “bisa-bisanya main titip-titipan.”Lan memukul lengan Meres pelan.“Kadang kita juga melakukan hal yang sama, kan?” tegurnya sambil tertawa. “Misalnya, saat aku harus pergi ke toilet karena keadaan benar-benar mendesak?”Lan mengedipkan sebel

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-03

Bab terbaru

  • Cucu Kegelapan   Sekutu

    Venus melihat mereka melalui kacamata malam yang dia kenakan, ketika akhirnya dia dan Ildara tiba di sebuah lubang yang hampir melingkar dengan tebing-tebing tinggi yang mengelilingi mereka. Berada di sisi tebing, sekelompok orang "kecil" berbisik ketika mereka menyaksikan kedatangan Venus dan Ildara.“Orang-orang” ini, yang Mustaka panggil Ebu Gogo, tingginya hanya sekitar satu meter, wajah mereka ditutupi bulu lebat seperti primata non-manusia. Perut mereka membuncit seperti pot, dengan telinga mencuat seolah-olah telinga mereka telah menggunakan beban yang tidak terlihat selama sisa hidup mereka.Venus terus berjalan ke tengah lapangan kecil yang terbuka dengan langkah lambat sambil mengamati makhluk lain. Namun, tiba-tiba salah satu Ebu Gogo dengan bulu coklat muda di wajahnya mendekati Venus dengan cara berjalan kikuk. Meski begitu, ekspresinya terlihat seperti sedang marah.Ven

  • Cucu Kegelapan   Pertemuan

    Venus tiba-tiba merasa sangat kotor meskipun ia baru saja selesai mandi dengan sabun berbusa banyak. Terlebih lagi, sisa sarapan yang sempat dihabiskannya nyaris naik ke kerongkongan hingga membuat anak itu mabuk luar biasa.Seperti yang dikatakan Ildara: vingsai dapat berteleportasi, baik sendiri maupun dengan orang lain. Masalah terbesarnya adalah: yang dibawa vingsai itu bukan kaumnya sendiri, melainkan manusia volt yang sehat tanpa belatung di wajah mereka.Jika menjaga jarak saja aromanya sudah sangat buruk, Venus benar-benar membayangkan apa jadinya jika ia bersisian dengan vingsai. Berimpitan.Venus awalnya menolak berada di salah satu sisi vingsai itu, tapi Ildara berkata bahwa itulah caranya agar mereka bisa ikut diteleportasi.“Aku akan memegang lenganmu saja, Ildara!” sentak Venus di antara napasnya.Si vingsai mengangkat kepala dan menggeram rendah, seakan ingin mengatakan bahwa cuma itu caranya. Dan Venus harus mau kalau ti

  • Cucu Kegelapan   Rencana

    Malam itu Venus hanya tidur selama beberapa jam saja. Entah kenapa ia akhir-akhir ini punya masalah dengan pola tidurnya. Rasanya seperti ia lelah jika harus tidur lama-lama. Padahal tidurnya selalu kurang dari delapan jam.Setelah melempar tubuh lelaki yang ia bunuh tadi malam keluar gerbang kompleks, Venus segera pergi tidur saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.Namun pada jam tiga pagi, ia terbangun dan tak bisa lagi memejamkan mata. Venus menghabiskan dini hari itu dengan menjelajahi ruang bawah tanah yang berdebu dan membaca beberapa buku fiksi koleksi Ildara di sana.Mustaka sama sekali tak menyahut saat gadis itu memanggilnya dengan telepati. Sedangkan Kaisar … sepertinya memang Venus tak bisa berbicara dengannya secara sembarangan. Kecuali Kaisar sendiri yang memulai.Pada jam lima, mata Venus berkedip-kedip lelah. Ia setengah mendesah lega, karena akhirnya mengantuk lagi. Namun gadis itu terpaksa berteriak sebal sendiri di kamarn

  • Cucu Kegelapan   Pembunuhan

    Besok adalah hari keempat belas sejak kepergian Ildara. Untuk yang kesekian kalinya dalam beberapa hari ini, Venus merasakan kemarahan yang berlebih akibat Ildara yang sama sekali tak memberi kabar padanya. Venus bahkan sempat berpikir, kenapa waktu itu dia tidak memberikan masa tenggat lebih cepat dari ini pada Ildara. Ketidaksabaran membuat anak itu menjadi gerah terus-terusan berada di rumah besar ini. Meskipun punya teman tak kasatmata seperti Mustaka atau Kaisar—meski yang satu ini jarang sekali bertelepati dengannya—tapi Venus tetap merasakan kesepian. Benda yang disebut dengan televisi … Venus hanya menyalakan itu saat ia butuh melihat berita tentangnya lagi. Lagipula, Venus tiba-tiba menjadi benci dengan segala film yang ada di dimensi bumi ini. Semua film menceritakan tentang kebaikan akan selalu menang; bahwa kejahatan pasti akan hancur. Sesuatu yang menjadikan diri Venus lebih sinis dari seharusnya. Takdir nyata tak seindah dalam halusinasi film semata, pikir Venus saat

  • Cucu Kegelapan   Mereka Datang

    Malam itu Venus tak bisa tidur. Ia pergi ke halaman belakang rumah Ildara yang megah. Halaman itu tersambung dengan hutan lebat yang gelap dan tampak menakutkan.Venus melatih dan mengerahkan Bakat-nya dengan kegilaan yang tak kunjung mereda. Sekali Ildara pernah menegur Venus karena terlalu berlebih-lebihan dalam mengerahkan Bakat Petir, sehingga menciptakan guntur dan petir di mana-mana.Beberapa pohon di dalam hutan tampak terbakar. Namun, dalam ketidaksadaran, ia juga menurunkan hujan lebat di atasnya, sehingga api cepat padam.Venus membentak liar pada Ildara dan mengusirnya dengan percikan-percikan listrik. Setelah itu si kuyang tak lagi muncul untuk menegurnya.Venus membentak ke udara saat beberapa pohon di tepi hutan tercerabut dan terlempar satu-dua meter jauhnya.Belasan banaspati tiba-tiba melesat dan melemparkan api ke arah Venus. Namun, makhluk-makhluk itu tak mendapatkan ketakutan Venus, sehingga ukuran dan kekuatan mereka tak lebih

  • Cucu Kegelapan   Kemarahan

    “Kau sekarang termasuk atasanku, Venus.”Venus menoleh menatap Ildara. Sudah seminggu sejak ia berada di kamar serupa rumah sakit itu, dan kini Venus sedang menikmati masa-masa kewarasannya kembali.Kekuatannya sudah lebih baik. Meski telinganya masih suka berdenging menyakitkan di waktu-waktu tertentu.Venus bersandar pada sofa yang didudukinya dengan perasaan tanpa beban.“Apa Kaisar yang menyuruhmu?” tanya anak itu perlahan.Ildara mengangguk. Ia menyesap teh di cangkirnya dengan gerakan anggun.Venus menoleh lagi. Pandangannya menyapu ruangan serupa ruang keluarga yang dipenuhi perabot dan hiasan serba emas itu. Ada foto-foto berpigura yang diletakkan di atas meja, beberapa digantung ke dinding.Sebuah monitor besar menempel di salah satu bagian dinding. Benda itu seakan menyatu dengan dinding itu sendiri. Venus mengawasi jalanan dan beberapa perumahan yang tampak kosong dari monitor itu.Ildara ting

  • Cucu Kegelapan   Keinginan yang Kuat

    Venus pernah berpikir bahwa hidupnya akan jadi mengesankan, jika ia melakukan kebaikan seperti seorang pahlawan super. Namun, pemikiran itu datang jauh sebelum ia berubah jadi berani.Pernah suatu kali di Bumi Pertama, saat ia baru saja masuk sekolah kanak-kanak, saat pertama kali Bima—ayah angkat Venus—membentaknya.Saat itu Venus mencoba berkenalan dengan seorang anak yang sedang menangis. Ia pikir ia bisa menghentikan tangis anak itu.Tangis anak itu berhenti, tapi Venus mengacaukan segalanya.Saat jam sekolah selesai, ada seekor nyamuk yang hinggap di pipi teman barunya itu. Secara spontan Venus menampar serangga itu; dengan tak sengaja melakukannya terlalu keras.Ibu anak yang pipinya kena tepuk oleh Venus marah karena anaknya kembali menangis; bahkan lebih keras dari sebelumnya. Venus meminta maaf, tapi ibu si anak masih terlihat marah.Bima nyaris menyeret Venus saat mereka pulang hari itu. Begitu tiba di rumah, Bima langs

  • Cucu Kegelapan   Terlahir Kembali

    Napas Venus tersentak keluar. Ia membuka mata kaget, segera setelahnya berkedip-kedip saat cahaya membutakannya.Venus menghela tubuhnya, tetapi langsung terhempas kembali. Erangan tersiksa keluar dari bibirnya.Kepala Venus serasa akan pecah; perutnya mual luar biasa. Cairan pahit berkali-kali naik ke tenggorokannya, tapi Venus selalu menelannya lagi dan lagi.(Anda menjijikkan sekali, Venus.) Tiba-tiba Mustaka bertelepati. Nadanya terdengar jijik.(Diam.) Pikir Venus padanya.Venus mengaduh pelan saat kakinya tiba-tiba berdenyut nyeri. Ia menunduk dan mendapati belitan perban di pahanya yang sempat terluka.Kenangan membanjiri pikiran Venus tiba-tiba. Ia mencengkeram kepalanya saat ingatan itu datang bertubi-tubi seraya membawa rasa sakit tak masuk akal di sana.Seakan belum cukup, telinganya berdenging luar biasa.Venus berteriak; teriakan anak itu serak, dan itu menyakiti tenggorokannya.Benda tajam serasa menusuk-nu

  • Cucu Kegelapan   Ungkap Kebenaran

    Dua cahaya kemerahan yang menyala-nyala dari ujung berbeda saling mendekat di tengah desir kegelapan. Siluet manusia yang terbentuk dari bayangan asap berdiri di antara cahaya-cahaya itu.Satu siluet berwarna hitam, yang lain berwarna merah gelap; nyaris menyatu dengan cahaya yang mengikutinya. Cahaya itu lantas membaur saat kedua siluet itu berdekatan.Sebuah kesadaran lain mengawasi mereka dengan perasaan waswas dan ingin tahu.Venus.Kesadaran anak itu … ia merasa seolah tidak memiliki raga. Jiwanya seakan mengambang. Venus mencoba bertelepati dengan Mustaka, tapi pikirannya seperti terbelenggu oleh sesuatu; ada hal lain yang menahannya. Entah apa.Siluet berasap di hadapan anak itu tampak memutar ke arahnya. Venus tiba-tiba menggigil. Namun ia tak bisa bergerak … tak bisa apa-apa.Yang bisa dilakukan Venus hanya mengawasi dengan perasaan dicekam ketakutan.“Lihatlah, Druiksa.” Venus menoleh ke arah siluet

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status