“Kau sekarang termasuk atasanku, Venus.”
Venus menoleh menatap Ildara. Sudah seminggu sejak ia berada di kamar serupa rumah sakit itu, dan kini Venus sedang menikmati masa-masa kewarasannya kembali.
Kekuatannya sudah lebih baik. Meski telinganya masih suka berdenging menyakitkan di waktu-waktu tertentu.
Venus bersandar pada sofa yang didudukinya dengan perasaan tanpa beban.
“Apa Kaisar yang menyuruhmu?” tanya anak itu perlahan.
Ildara mengangguk. Ia menyesap teh di cangkirnya dengan gerakan anggun.
Venus menoleh lagi. Pandangannya menyapu ruangan serupa ruang keluarga yang dipenuhi perabot dan hiasan serba emas itu. Ada foto-foto berpigura yang diletakkan di atas meja, beberapa digantung ke dinding.
Sebuah monitor besar menempel di salah satu bagian dinding. Benda itu seakan menyatu dengan dinding itu sendiri. Venus mengawasi jalanan dan beberapa perumahan yang tampak kosong dari monitor itu.
Ildara tinggal di sebuah kompleks elit di ujung kota Sembada; tempat yang pasti akan ramai seandainya ia tak membeli seluruh kompleks itu secara besar-besaran.
Sekali Venus pernah berkeliling sendiri di kompleks sepi itu, dan benar-benar tak menemukan siapa pun sama sekali. Ildara pernah berkata bahwa orang-orang tak mau mendekati kompleks itu karena adanya desas-desus tentang kuyang atau leak di sana.
Itulah yang membuat si pemilik mau menjual kompleks itu kepada Ildara; tanpa tahu bahwa kuyang itu adalah Ildara sendiri.
Orang-orang di kompleks tetangga hampir mencurigai Ildara, tapi ia segera membuat kebohongan baru. Ildara menyebarkan berita bahwa ia ahli kuyang, dan ia akan tinggal di kompleks bernama Area Elka itu untuk menahan mereka tetap di tempat.
Kebohongan itu diterima semua orang. Karena sejak itu, makhluk peminum darah itu hanya terlihat di sekitaran Area Elka. Kepercayaan mereka semakin dalam saat kuyang tak lagi mengganggu kompleks-kompleks lain.
Namun, karena keberhasilan itu pula, Ildara harus rela mencari mangsa di bagian kota lain agar usahanya tak sia-sia.
Venus akhirnya kembali menatap Ildara dengan penasaran. Ia mengangkat kakinya ke atas dudukan sofa untuk bersila. “Ildara, apa kau bertemu dengan Kaisar dalam mimpi juga?”
Ildara hanya tersenyum. “Tidak. Aku hanya bertelepati saja dengannya. Aku jarang bertemu dengan lelaki tampan itu.”
Venus pikir ia tak mungkin bisa dikagetkan lagi; ternyata ia salah. “Bagaimana kau bisa yakin kalau dia tampan? Dia hanya berwujud bayang-bayang, bukan?”
Ildara terkekeh. “Tidak. Aku pernah melihat tubuh fisiknya di ruang bawah tanah.”
Venus mengerutkan kening. Kaisar dengan jelas mengatakan bahwa hanya orang mati yang bisa melihatnya. Ataukah itu hanya kalimat kiasan?
“Kau masih hidup,” ucap Venus datar; seolah dengan berkata begitu saja semuanya akan terlihat jelas.
Kepala Ildara tersentak ke belakang saat tawanya menyembur keluar.
“Apa yang lucu?” dengus Venus tak suka.
Ildara memutar tubuhnya hingga setengah berhadapan dengan Venus. Wanita dewasa itu menunjuk diri sendiri dengan telunjuknya yang berkuku panjang.
“Aku sudah mati,” jelasnya masih geli. “Secara teknis.”
Venus pada kenyataannya masih tidak mengerti. Namun, ia hanya mendengus; tak ingin tahu lebih banyak tentang hal itu.
Venus mengambil botol soda yang telah terbuka di meja, lalu menenggaknya sedikit. “Ngomong-ngomong, Ildara. Kenapa juga Kaisar menyuruhmu menjadi bawahanku? Memangnya apa yang dia pikir akan kulakukan?”
Bibir Ildara terangkat; membentuk seringai yang sama menakutkan seperti riasan hitam tebal di matanya. “Aku tak yakin. Tapi dia hanya mengatakan sesuatu tentang ‘kepercayaan’. Kau paham maksudnya?”
Ya, Venus paham. Yang dimaksud Kaisar adalah bagaimana cara Venus harus membayar "kebaikan"-nya dalam menyelamatkan nyawa Venus selama ini.
Sesuatu yang belakangan masih agak kelabu di benak Venus.
Terlepas dari itu, seringai aneh Ildara sangat tidak cocok dengan kata-kata yang ia ucapkan tadi.
“Kau tahu apa maksudnya, Ildara.” Venus menyatakan tanpa emosi. “Kau hanya ingin melihat apakah aku tahu atau tidak.”
Ildara bangkit berdiri dengan anggun seperti biasa. “Dan ternyata kau memang tahu.”
Wanita itu beranjak meninggalkan ruangan. Tanpa menoleh sedikit pun, ia lantas berkata, “Jika kau punya rencana bagus, katakan saja. Aku akan membantumu.”
Venus menghela napas. Ildara bilang ia akan menganggap Venus sebagai atasan, tapi anak itu sendiri tak merasakan adanya gejolak ingin mengklaim si kuyang sebagai bawahan.
Malah, Venus lebih menganggap Ildara sebagai rekan.
Partner kejahatan.
Sungguh suatu keanehan, mengingat pada pertemuan pertama, mereka bisa dibilang saling tidak menyukai satu sama lain.
Saat Ildara sudah tiba di ambang pintu, Venus memanggilnya.
“Saat kau menyebutku Anak Haram—” Venus sedikit memiringkan kepala, “—apa maksudnya adalah Amerta dan Langit tak pernah menikah?”
Ildara menoleh sedikit. Air mukanya tampak aneh. Seperti seseorang yang gagal menelan perasan jeruk nipis yang begitu masam.
“Ya. Bukankah waktu kita menemukan koper berisi foto-foto Langit di ruang bawah tanah waktu itu, aku sudah mengatakan padamu bahwa mereka hanya terlibat cinta satu malam?”
Untuk sesaat, Venus hanya menatap keanehan pada ekspresi Ildara, tapi sejurus kemudian ia mengangguk. Wanita bergaun seksi itu melangkah lagi; meninggalkan Venus sendiri.
Mengalihkan pandang pada layar monitor yang tampak monoton, Venus meraih remote di atas meja. Ia mencoba mengganti setelan ke saluran televisi umum.
Tatapan anak itu tiba-tiba terpancang. Siaran berita di salah satu saluran memperlihatkan potret Venus saat ia berada di kurungan, dan sedang diturunkan di tengah alun-alun. Ekspresinya di gambar itu tampak penasaran.
« … yang bernama Venus Samudera ini masuk dalam daftar buronan paling berbahaya saat ini.» Suara pembaca berita itu mengabarkan. «Ia diketahui telah berhasil kabur saat Nyanyian Kenya masih berlangsung; dibantu oleh sekelompok orang berpakaian serba hitam.»
Venus mengepalkan tangannya begitu kuat. Ekspresinya mengeras saat pembaca berita itu mengatakan, bahwa Vrosiden akan memberikan sepuluh juta Volem pada siapa saja yang berhasil menangkap Venus; hidup atau mati.
Tiba-tiba figur seorang laki-laki paruh baya berwajah kotak memenuhi monitor itu. Keterangan di bawahnya bertuliskan Vrosiden Argantra, pemimpin Negeri Dasina.
«Saya sangat mengerti kecemasan kita semua saat ini,» papar Vrosiden Argantra tegas. «Saya sudah mengerahkan pasukan volt terbaik yang kita kenal sebagai Voltum untuk mengejar buronan ini ke seluruh negeri, bahkan juga luar negeri. Untuk itu saya akan sangat menghargai siapa pun yang dapat menangkap Venus Samudera. Meski begitu, saya harus tegaskan; jangan pernah coba-coba menangkapnya sendiri! Ia berbahaya! Jika kalian tahu keberadaannya, secepatnya hubungi nomor darurat. Agar Voltum sendiri yang akan membantu kalian. Saya—»
Venus mematikan siaran itu dengan tangan gemetar karena kemarahan yang solid. Napasnya naik turun tak beraturan. Telinganya berdenging lagi. Ia membekap keduanya kuat-kuat dan menggertakkan gigi.
Salah apa dirinya hingga dunia menuntut kematiannya seperti itu? Apa karena ia tak sengaja membakar dua krona di Volta Juana lalu? Namun, itu terjadi setelah ia diputuskan akan dihukum mati!
Apa yang salah dari membela diri?
APA YANG SALAH DARI MENJADI BIZURA?!
Benak Venus dipenuhi gambaran-gambaran mengerikan. Ia tak bisa terus-menerus menunggu. Inilah saat yang tepat untuk menghancurkan Dasina.
(Apa yang Anda rencanakan, Venus?) Mustaka berbisik ke pikiran Venus yang diliputi awan gelap.
Napas Venus terengah-engah, seakan ia baru saja selesai berlari. Tatapannya mengabur karena air mata. Namun ia mengusapnya dengan kasar.
“Mereka menganggapku monster bahkan sebelum aku tahu apa arti monster itu sendiri,” ungkap Venus penuh kebencian. “Mereka menghukumku saat aku bahkan tidak tahu apa kesalahanku yang sebenarnya!”
(Itu sangat menyedihkan, Venus. Saya turut prihatin,) risik Mustaka.
Venus menelan ganjalan menyakitkan di tenggorokannya. “Tidak, Mustaka yang baik. Aku tak akan membiarkannya lebih menyedihkan dari sekarang. Akan kukabulkan fantasi dunia ini terhadapku.”
(Apa maksud Anda, Venus?)
“Sudah kubilang aku akan menepati sumpahku!” teriak Venus murka. “Tidakkah kau mengerti? Akan kubiarkan diriku menjadi monster seperti yang mereka inginkan! Akan kuhancurkan kebahagiaan menjijikkan mereka! AKAN KUHANCURKAN!”
Venus berdiri, lalu menghempaskan meja kaca di depannya. Suara kaca pecah merusak ketenangan ruangan itu, sekaligus memperburuk suasana hati Venus. Ia menggertak udara hingga suaranya hampir terdengar serak.
Venus menunduk geram dengan tangan mencengkeram kepala. Ia terus menggumamkan kalimat "akan kuhancurkan" seperti sebuah mantra.
“Venus! Ada apa?”
Ildara memekik saat melihat meja kacanya yang elegan kini pecah berkeping-keping di lantai. Ia terkejut lagi saat Venus berdiri dan menoleh padanya dengan mendadak. Eskpresi wajah anak itu menggelap.
Ildara berdiri seakan terhipnotis. Ia belum pernah melihat anak itu marah, dan begitu ia menyaksikannya terjadi, kekagetan merasuki indranya.
“Apa Kaisar punya pasukan, Ildara?” Suara dingin nan serak yang keluar dari mulut Venus serasa menusuk-nusuk udara.
Ildara mengerjap sekejap, lalu mengangguk. “Sama seperti yang Amerta dulu pimpin,” katanya. “Kita bisa mengumpulkan mereka semua jika kau menginginkan itu.”
Gigi Venus bergemeretak. Ujung-ujung kuku anak itu yang tumpul menusuk telapak tangannya. Ia mendekati Ildara dengan langkah berderap. Aura gelap bagai menyelubungi seluruh raga dan jiwa Venus nan terkoyak.
“Berapa lama sampai semuanya siap?” Venus menggeram rendah.
Ildara mundur selangkah. “Se-Sebulan—”
“TERLALU LAMA!” Dada Venus naik turun penuh emosi. Anggapan "rekan" untuk Ildara seketika terlupakan oleh Venus. “Aku atasanmu, bukan? Kalau begitu, kuberi kau waktu dua minggu. Tidak lebih!”
Ildara hanya diam terpaku saat menyaksikan Venus berderap pergi dengan kemarahan yang masih menyala-nyala di hatinya.
Malam itu Venus tak bisa tidur. Ia pergi ke halaman belakang rumah Ildara yang megah. Halaman itu tersambung dengan hutan lebat yang gelap dan tampak menakutkan.Venus melatih dan mengerahkan Bakat-nya dengan kegilaan yang tak kunjung mereda. Sekali Ildara pernah menegur Venus karena terlalu berlebih-lebihan dalam mengerahkan Bakat Petir, sehingga menciptakan guntur dan petir di mana-mana.Beberapa pohon di dalam hutan tampak terbakar. Namun, dalam ketidaksadaran, ia juga menurunkan hujan lebat di atasnya, sehingga api cepat padam.Venus membentak liar pada Ildara dan mengusirnya dengan percikan-percikan listrik. Setelah itu si kuyang tak lagi muncul untuk menegurnya.Venus membentak ke udara saat beberapa pohon di tepi hutan tercerabut dan terlempar satu-dua meter jauhnya.Belasan banaspati tiba-tiba melesat dan melemparkan api ke arah Venus. Namun, makhluk-makhluk itu tak mendapatkan ketakutan Venus, sehingga ukuran dan kekuatan mereka tak lebih
Besok adalah hari keempat belas sejak kepergian Ildara. Untuk yang kesekian kalinya dalam beberapa hari ini, Venus merasakan kemarahan yang berlebih akibat Ildara yang sama sekali tak memberi kabar padanya. Venus bahkan sempat berpikir, kenapa waktu itu dia tidak memberikan masa tenggat lebih cepat dari ini pada Ildara. Ketidaksabaran membuat anak itu menjadi gerah terus-terusan berada di rumah besar ini. Meskipun punya teman tak kasatmata seperti Mustaka atau Kaisar—meski yang satu ini jarang sekali bertelepati dengannya—tapi Venus tetap merasakan kesepian. Benda yang disebut dengan televisi … Venus hanya menyalakan itu saat ia butuh melihat berita tentangnya lagi. Lagipula, Venus tiba-tiba menjadi benci dengan segala film yang ada di dimensi bumi ini. Semua film menceritakan tentang kebaikan akan selalu menang; bahwa kejahatan pasti akan hancur. Sesuatu yang menjadikan diri Venus lebih sinis dari seharusnya. Takdir nyata tak seindah dalam halusinasi film semata, pikir Venus saat
Malam itu Venus hanya tidur selama beberapa jam saja. Entah kenapa ia akhir-akhir ini punya masalah dengan pola tidurnya. Rasanya seperti ia lelah jika harus tidur lama-lama. Padahal tidurnya selalu kurang dari delapan jam.Setelah melempar tubuh lelaki yang ia bunuh tadi malam keluar gerbang kompleks, Venus segera pergi tidur saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.Namun pada jam tiga pagi, ia terbangun dan tak bisa lagi memejamkan mata. Venus menghabiskan dini hari itu dengan menjelajahi ruang bawah tanah yang berdebu dan membaca beberapa buku fiksi koleksi Ildara di sana.Mustaka sama sekali tak menyahut saat gadis itu memanggilnya dengan telepati. Sedangkan Kaisar … sepertinya memang Venus tak bisa berbicara dengannya secara sembarangan. Kecuali Kaisar sendiri yang memulai.Pada jam lima, mata Venus berkedip-kedip lelah. Ia setengah mendesah lega, karena akhirnya mengantuk lagi. Namun gadis itu terpaksa berteriak sebal sendiri di kamarn
Venus tiba-tiba merasa sangat kotor meskipun ia baru saja selesai mandi dengan sabun berbusa banyak. Terlebih lagi, sisa sarapan yang sempat dihabiskannya nyaris naik ke kerongkongan hingga membuat anak itu mabuk luar biasa.Seperti yang dikatakan Ildara: vingsai dapat berteleportasi, baik sendiri maupun dengan orang lain. Masalah terbesarnya adalah: yang dibawa vingsai itu bukan kaumnya sendiri, melainkan manusia volt yang sehat tanpa belatung di wajah mereka.Jika menjaga jarak saja aromanya sudah sangat buruk, Venus benar-benar membayangkan apa jadinya jika ia bersisian dengan vingsai. Berimpitan.Venus awalnya menolak berada di salah satu sisi vingsai itu, tapi Ildara berkata bahwa itulah caranya agar mereka bisa ikut diteleportasi.“Aku akan memegang lenganmu saja, Ildara!” sentak Venus di antara napasnya.Si vingsai mengangkat kepala dan menggeram rendah, seakan ingin mengatakan bahwa cuma itu caranya. Dan Venus harus mau kalau ti
Venus melihat mereka melalui kacamata malam yang dia kenakan, ketika akhirnya dia dan Ildara tiba di sebuah lubang yang hampir melingkar dengan tebing-tebing tinggi yang mengelilingi mereka. Berada di sisi tebing, sekelompok orang "kecil" berbisik ketika mereka menyaksikan kedatangan Venus dan Ildara.“Orang-orang” ini, yang Mustaka panggil Ebu Gogo, tingginya hanya sekitar satu meter, wajah mereka ditutupi bulu lebat seperti primata non-manusia. Perut mereka membuncit seperti pot, dengan telinga mencuat seolah-olah telinga mereka telah menggunakan beban yang tidak terlihat selama sisa hidup mereka.Venus terus berjalan ke tengah lapangan kecil yang terbuka dengan langkah lambat sambil mengamati makhluk lain. Namun, tiba-tiba salah satu Ebu Gogo dengan bulu coklat muda di wajahnya mendekati Venus dengan cara berjalan kikuk. Meski begitu, ekspresinya terlihat seperti sedang marah.Ven
“Dia benar-benar sedang keluar, kan?” Venus bergumam sendiri.Gadis itu tinggal di Koba, Bangka Tengah, di mana semua hal terasa begitu dekat jaraknya. Ia baru saja pulang dari sekolah, berganti pakaian, dan langsung menuju dapur. Hari ini acaranya cuma kerja bakti, dan para penjual di kantin memutuskan untuk libur berjamaah. Hanya ada satu, dan penjual keliling itu sama sekali tidak menyediakan makanan berat seperti nasi. Untung saja kerja bakti ini tak sampai tengah hari.Meski begitu, entah mengapa Venus berpendapat makan di rumah lebih baik, daripada makan di sebuah kedai dan membuang-buang uang saku. Selain itu, dia juga yakin bahwa ibu tirinya sedang keluar. Salah satu teman Venus mengaku melihat ibu tiri Venus menumpang mobil teman arisannya. Apapun itu, Venus tetap waswas. Ia memutuskan untuk menyerah saja, meski tidak terlalu yakin.Tentu saja, menyerah itu pertanda buruk.“Ah, Sayang. Apa yang kau lakukan?”Suara i
Selang beberapa menit kemudian, setelah acara makan sendiri yang semuram awan kelabu, Venus sudah berada di Pantai Tanjung, tak jauh dari tempatnya semula. Anak perempuan itu duduk di salah satu batang pohon yang sudah tumbang. Di sebelahnya tumbuh beberapa pohon yang ia tak tahu persis apa namanya. Semilir angin membawa serta aroma asin air laut, membuai pikiran siapa saja yang menghirupnya. Samar-samar tercium bau amis dari air laut di bibir pantai yang berwarna kecokelatan itu.Venus menoleh dan melihat beberapa orang sedang berlutut di tepi pantai agak jauh darinya. Tiga anak kecil tampak berkejar-kejaran. Tawa gembira mereka terbawa serta oleh angin, bahkan ketika mereka menceburkan diri ke air yang agak keruh itu. Mereka yang berlutut tampaknya sedang mengorek-orek pasir, dan sesekali memasukkan sesuatu ke dalam wadah berupa kantong plastik atau stoples. Venus menebak mereka sedang mencari remis. Salah satu dari mereka menoleh memandang Venus. Wanita itu sepertinya meny
Suara berisik tiba-tiba membangunkan Venus. Gadis itu bersusah-payah membuka matanya dan berkedip-kedip memandang jam dinding. Pukul delapan malam.Venus mengeluh dan merutuk dalam hati sambil memeluk kembali bantal gulingnya. Sedetik kemudian ia duduk terkaget saat pintu kamarnya digedor dari luar.“VENUS!”Venus mengeluh lagi. Itu suara ayahnya. Dalam dan besar.Gadis itu tersaruk-saruk menuju pintu untuk membukanya.“Apa-apaan kau ini?!” bentak sang ayah begitu melihat Venus.Venus mengucek mata sambil mencoba merapikan rambutnya menggunakan tangan. Gadis itu merengut sebal pada sosok tegap nan galak di depannya.“Yang apa-apaan itu Ayah,” gerutu Venus. “Kenapa, sih, membangunkan aku malam-malam begini?”“Rapikan dirimu, ganti baju dan sandalmu, lalu pergi ke kamar Ayah.”Ekspresi datar sang ayah mengganggu Venus. Apa ia akan dihukum karena sudah membentak Se
Venus melihat mereka melalui kacamata malam yang dia kenakan, ketika akhirnya dia dan Ildara tiba di sebuah lubang yang hampir melingkar dengan tebing-tebing tinggi yang mengelilingi mereka. Berada di sisi tebing, sekelompok orang "kecil" berbisik ketika mereka menyaksikan kedatangan Venus dan Ildara.“Orang-orang” ini, yang Mustaka panggil Ebu Gogo, tingginya hanya sekitar satu meter, wajah mereka ditutupi bulu lebat seperti primata non-manusia. Perut mereka membuncit seperti pot, dengan telinga mencuat seolah-olah telinga mereka telah menggunakan beban yang tidak terlihat selama sisa hidup mereka.Venus terus berjalan ke tengah lapangan kecil yang terbuka dengan langkah lambat sambil mengamati makhluk lain. Namun, tiba-tiba salah satu Ebu Gogo dengan bulu coklat muda di wajahnya mendekati Venus dengan cara berjalan kikuk. Meski begitu, ekspresinya terlihat seperti sedang marah.Ven
Venus tiba-tiba merasa sangat kotor meskipun ia baru saja selesai mandi dengan sabun berbusa banyak. Terlebih lagi, sisa sarapan yang sempat dihabiskannya nyaris naik ke kerongkongan hingga membuat anak itu mabuk luar biasa.Seperti yang dikatakan Ildara: vingsai dapat berteleportasi, baik sendiri maupun dengan orang lain. Masalah terbesarnya adalah: yang dibawa vingsai itu bukan kaumnya sendiri, melainkan manusia volt yang sehat tanpa belatung di wajah mereka.Jika menjaga jarak saja aromanya sudah sangat buruk, Venus benar-benar membayangkan apa jadinya jika ia bersisian dengan vingsai. Berimpitan.Venus awalnya menolak berada di salah satu sisi vingsai itu, tapi Ildara berkata bahwa itulah caranya agar mereka bisa ikut diteleportasi.“Aku akan memegang lenganmu saja, Ildara!” sentak Venus di antara napasnya.Si vingsai mengangkat kepala dan menggeram rendah, seakan ingin mengatakan bahwa cuma itu caranya. Dan Venus harus mau kalau ti
Malam itu Venus hanya tidur selama beberapa jam saja. Entah kenapa ia akhir-akhir ini punya masalah dengan pola tidurnya. Rasanya seperti ia lelah jika harus tidur lama-lama. Padahal tidurnya selalu kurang dari delapan jam.Setelah melempar tubuh lelaki yang ia bunuh tadi malam keluar gerbang kompleks, Venus segera pergi tidur saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.Namun pada jam tiga pagi, ia terbangun dan tak bisa lagi memejamkan mata. Venus menghabiskan dini hari itu dengan menjelajahi ruang bawah tanah yang berdebu dan membaca beberapa buku fiksi koleksi Ildara di sana.Mustaka sama sekali tak menyahut saat gadis itu memanggilnya dengan telepati. Sedangkan Kaisar … sepertinya memang Venus tak bisa berbicara dengannya secara sembarangan. Kecuali Kaisar sendiri yang memulai.Pada jam lima, mata Venus berkedip-kedip lelah. Ia setengah mendesah lega, karena akhirnya mengantuk lagi. Namun gadis itu terpaksa berteriak sebal sendiri di kamarn
Besok adalah hari keempat belas sejak kepergian Ildara. Untuk yang kesekian kalinya dalam beberapa hari ini, Venus merasakan kemarahan yang berlebih akibat Ildara yang sama sekali tak memberi kabar padanya. Venus bahkan sempat berpikir, kenapa waktu itu dia tidak memberikan masa tenggat lebih cepat dari ini pada Ildara. Ketidaksabaran membuat anak itu menjadi gerah terus-terusan berada di rumah besar ini. Meskipun punya teman tak kasatmata seperti Mustaka atau Kaisar—meski yang satu ini jarang sekali bertelepati dengannya—tapi Venus tetap merasakan kesepian. Benda yang disebut dengan televisi … Venus hanya menyalakan itu saat ia butuh melihat berita tentangnya lagi. Lagipula, Venus tiba-tiba menjadi benci dengan segala film yang ada di dimensi bumi ini. Semua film menceritakan tentang kebaikan akan selalu menang; bahwa kejahatan pasti akan hancur. Sesuatu yang menjadikan diri Venus lebih sinis dari seharusnya. Takdir nyata tak seindah dalam halusinasi film semata, pikir Venus saat
Malam itu Venus tak bisa tidur. Ia pergi ke halaman belakang rumah Ildara yang megah. Halaman itu tersambung dengan hutan lebat yang gelap dan tampak menakutkan.Venus melatih dan mengerahkan Bakat-nya dengan kegilaan yang tak kunjung mereda. Sekali Ildara pernah menegur Venus karena terlalu berlebih-lebihan dalam mengerahkan Bakat Petir, sehingga menciptakan guntur dan petir di mana-mana.Beberapa pohon di dalam hutan tampak terbakar. Namun, dalam ketidaksadaran, ia juga menurunkan hujan lebat di atasnya, sehingga api cepat padam.Venus membentak liar pada Ildara dan mengusirnya dengan percikan-percikan listrik. Setelah itu si kuyang tak lagi muncul untuk menegurnya.Venus membentak ke udara saat beberapa pohon di tepi hutan tercerabut dan terlempar satu-dua meter jauhnya.Belasan banaspati tiba-tiba melesat dan melemparkan api ke arah Venus. Namun, makhluk-makhluk itu tak mendapatkan ketakutan Venus, sehingga ukuran dan kekuatan mereka tak lebih
“Kau sekarang termasuk atasanku, Venus.”Venus menoleh menatap Ildara. Sudah seminggu sejak ia berada di kamar serupa rumah sakit itu, dan kini Venus sedang menikmati masa-masa kewarasannya kembali.Kekuatannya sudah lebih baik. Meski telinganya masih suka berdenging menyakitkan di waktu-waktu tertentu.Venus bersandar pada sofa yang didudukinya dengan perasaan tanpa beban.“Apa Kaisar yang menyuruhmu?” tanya anak itu perlahan.Ildara mengangguk. Ia menyesap teh di cangkirnya dengan gerakan anggun.Venus menoleh lagi. Pandangannya menyapu ruangan serupa ruang keluarga yang dipenuhi perabot dan hiasan serba emas itu. Ada foto-foto berpigura yang diletakkan di atas meja, beberapa digantung ke dinding.Sebuah monitor besar menempel di salah satu bagian dinding. Benda itu seakan menyatu dengan dinding itu sendiri. Venus mengawasi jalanan dan beberapa perumahan yang tampak kosong dari monitor itu.Ildara ting
Venus pernah berpikir bahwa hidupnya akan jadi mengesankan, jika ia melakukan kebaikan seperti seorang pahlawan super. Namun, pemikiran itu datang jauh sebelum ia berubah jadi berani.Pernah suatu kali di Bumi Pertama, saat ia baru saja masuk sekolah kanak-kanak, saat pertama kali Bima—ayah angkat Venus—membentaknya.Saat itu Venus mencoba berkenalan dengan seorang anak yang sedang menangis. Ia pikir ia bisa menghentikan tangis anak itu.Tangis anak itu berhenti, tapi Venus mengacaukan segalanya.Saat jam sekolah selesai, ada seekor nyamuk yang hinggap di pipi teman barunya itu. Secara spontan Venus menampar serangga itu; dengan tak sengaja melakukannya terlalu keras.Ibu anak yang pipinya kena tepuk oleh Venus marah karena anaknya kembali menangis; bahkan lebih keras dari sebelumnya. Venus meminta maaf, tapi ibu si anak masih terlihat marah.Bima nyaris menyeret Venus saat mereka pulang hari itu. Begitu tiba di rumah, Bima langs
Napas Venus tersentak keluar. Ia membuka mata kaget, segera setelahnya berkedip-kedip saat cahaya membutakannya.Venus menghela tubuhnya, tetapi langsung terhempas kembali. Erangan tersiksa keluar dari bibirnya.Kepala Venus serasa akan pecah; perutnya mual luar biasa. Cairan pahit berkali-kali naik ke tenggorokannya, tapi Venus selalu menelannya lagi dan lagi.(Anda menjijikkan sekali, Venus.) Tiba-tiba Mustaka bertelepati. Nadanya terdengar jijik.(Diam.) Pikir Venus padanya.Venus mengaduh pelan saat kakinya tiba-tiba berdenyut nyeri. Ia menunduk dan mendapati belitan perban di pahanya yang sempat terluka.Kenangan membanjiri pikiran Venus tiba-tiba. Ia mencengkeram kepalanya saat ingatan itu datang bertubi-tubi seraya membawa rasa sakit tak masuk akal di sana.Seakan belum cukup, telinganya berdenging luar biasa.Venus berteriak; teriakan anak itu serak, dan itu menyakiti tenggorokannya.Benda tajam serasa menusuk-nu
Dua cahaya kemerahan yang menyala-nyala dari ujung berbeda saling mendekat di tengah desir kegelapan. Siluet manusia yang terbentuk dari bayangan asap berdiri di antara cahaya-cahaya itu.Satu siluet berwarna hitam, yang lain berwarna merah gelap; nyaris menyatu dengan cahaya yang mengikutinya. Cahaya itu lantas membaur saat kedua siluet itu berdekatan.Sebuah kesadaran lain mengawasi mereka dengan perasaan waswas dan ingin tahu.Venus.Kesadaran anak itu … ia merasa seolah tidak memiliki raga. Jiwanya seakan mengambang. Venus mencoba bertelepati dengan Mustaka, tapi pikirannya seperti terbelenggu oleh sesuatu; ada hal lain yang menahannya. Entah apa.Siluet berasap di hadapan anak itu tampak memutar ke arahnya. Venus tiba-tiba menggigil. Namun ia tak bisa bergerak … tak bisa apa-apa.Yang bisa dilakukan Venus hanya mengawasi dengan perasaan dicekam ketakutan.“Lihatlah, Druiksa.” Venus menoleh ke arah siluet