Napas Venus tersentak keluar. Ia membuka mata kaget, segera setelahnya berkedip-kedip saat cahaya membutakannya.
Venus menghela tubuhnya, tetapi langsung terhempas kembali. Erangan tersiksa keluar dari bibirnya.
Kepala Venus serasa akan pecah; perutnya mual luar biasa. Cairan pahit berkali-kali naik ke tenggorokannya, tapi Venus selalu menelannya lagi dan lagi.
(Anda menjijikkan sekali, Venus.) Tiba-tiba Mustaka bertelepati. Nadanya terdengar jijik.
(Diam.) Pikir Venus padanya.
Venus mengaduh pelan saat kakinya tiba-tiba berdenyut nyeri. Ia menunduk dan mendapati belitan perban di pahanya yang sempat terluka.
Kenangan membanjiri pikiran Venus tiba-tiba. Ia mencengkeram kepalanya saat ingatan itu datang bertubi-tubi seraya membawa rasa sakit tak masuk akal di sana.
Seakan belum cukup, telinganya berdenging luar biasa.
Venus berteriak; teriakan anak itu serak, dan itu menyakiti tenggorokannya.
Benda tajam serasa menusuk-nusuk kedua lubang telinga Venus. Ada seseorang yang memukulkan gada besi ke kepalanya. Seorang lagi tengah mengaduk-aduk perutnya; mual anak itu lebih parah dari sebelumnya.
“Hei, hei!”
Samar-samar Venus melihat siluet seorang pria yang dengan cepat melakukan sesuatu ke atas tubuh Venus.
Perlahan tapi pasti, semua rasa sakit Venus berkurang. Gadis tanggung itu tersengal-sengal menghirup udara; seakan ia baru saja terserang penyakit jantung dan bukannya hal lain.
“Terima kasih,” desah Venus serak pada pria berpakaian serba hijau di sampingnya.
Pria itu mengangguk tanpa ekspresi, lalu menyingkir dan keluar dari ruangan tersebut. Venus baru menyadari ada orang lain selain dirinya dan si penyembuh tadi.
“Ildara,” sapa Venus kaku.
Ildara masih seperti yang terakhir kali Venus lihat; rambut pendek, gaun hitam dengan belahan dada rendah, riasan tebal.
Mata Ildara yang kini jelas terlihat kemerahan menatap Venus dengan geli. Ia memutar sesuatu di bawah ranjang Venus. Sedetik kemudian bagian atas ranjang itu naik hingga posisi Venus berubah hampir duduk.
Ildara mengambil segelas air yang sudah disiapkan di atas nakas. Wanita dewasa itu menyodorkannya pada Venus.
Venus menatap gelas berisi air itu selama sesaat. Sekali lagi ia mengalami deja vu: apa yang dilakukan Ildara, tempat Venus berbaring, segelas air. Semuanya mengingatkan anak itu saat teman-temannya mengunjungi Venus di rumah sakit Volta Juana.
Hal itu, tanpa bisa dicegah Venus, juga mengingatkan tentang Virzash yang secara langsung menjadi mata-mata pribadi Amerta.
Salah satu tangan Venus terkepal. Tangan lainnya mengambil gelas di tangan Ildara dengan pikiran waspada.
Amerta sudah mati. Namun siapa yang tahu maksud dari Ildara menyelamatkannya?
Venus meminum air itu sesedikit mungkin. Ia menunggu beberapa saat sambil terus mengawasi Ildara dari atas gelasnya.
“Ada apa?” Ildara menyeringai. “Menunggu adanya racun?”
Venus meneguk air itu hingga tandas. Lalu ia memberikan gelas itu lagi pada Ildara yang masih menyeringai.
“Kenapa?” Venus bersuara.
Ildara duduk di kursi di samping ranjang Venus dengan sikap anggun.
“Apanya?” ia balik bertanya.
Venus tak melepas tatapannya pada Ildara.
“Kenapa kau menyelamatkan aku?” urai Venus dingin. “Kau kaki tangan Amerta. Dia sudah mati. Jadi, kenapa?”
Ildara tersenyum mengejek. “Saat Amerta hidup, aku patuh padanya. Saat dia mati, aku patuh pada Kaisar.”
Dahi Venus berkerut bingung. Semua hal tampak bermuara ke satu titik: Druiksa atau Kaisar Azafer.
“Kau pasti bingung,” ujar Ildara lagi. “Bisa dipahami. Kujelaskan satu hal padamu: bukan dia yang mengendalikan pasukannya selama ini. Namun Giris Druiksa. Kakeknya.”
Otak Venus makin kacau. Telinga dan kepalanya berdenyut nyeri lagi.
“Kau mau bilang bahwa Amerta cuma jadi boneka buat buyutku?” Venus bertanya-tanya.
Ildara tertawa. “Senang mendengarmu mengakui sebutan buyut itu.”
Venus teringat visi-visi itu lagi. “Dia yang sudah menyelamatkan aku. Berkali-kali.”
Ildara tak henti-hentinya menyeringai. “Benar sekali. Mengenai boneka Amerta … dia sendiri yang meminta itu. Druiksa hanya membantu.”
Venus menggeleng-geleng tak habis pikir. “Sesederhana itu?”
Ildara mendengus. “Pikir saja sendiri, Bizura. Bagaimana seseorang bisa hidup selama lebih dari empat abad; sama sekali tak menua, bisa mengendalikan ini-itu, tak terkalahkan? Apa benar Druiksa sekadar ‘membantu’ sebagai bentuk rasa sayang terhadap cucunya?”
Venus memikirkan kata-kata Ildara. Ia tak tahu apa-apa tentang konsep bantu-membantu antara volt dan kegelapan; tetapi jelas, semua hal yang ada di dunia ini ada timbal baliknya.
“Amerta harus membayarnya dengan apa?” Venus bertanya perlahan.
“Jiwa,” jawab Ildara singkat.
Venus menatapnya, diam-diam merasa ngeri. “D-Druiksa menahan jiwa Amerta … seperti setan menahan jiwa manusia yang telah memujanya?”
Ildara terkekeh. “Iya, dan tidak.”
“Kau membuatku bingung, Ildara!” tukas Venus geram.
“Druiksa hanya membantu,” papar Ildara lebih sabar. Namun senyumannya makin lama makin menakutkan. “Dengan apa? Dengan menjadi perantara antara Amerta dengan Kaisar.”
Venus mengerjap-ngerjap. “Kaisar Azafer?”
Ildara mengangguk senang. “Dari dialah Amerta mendapatkan keabadian dan kemampuan mengendalikan makhluk-makhluk dari Bumi Ketiga. Dan cuma Kaisar-lah yang mampu mengalahkan orang itu.”
Venus merinding. “Jadi, Amerta mati bukan karena aku?”
“Tidak semudah itu membunuh seorang Bizura abadi yang mendapat kekuatan dari memuja Penguasa Empat Dimensi!” Ildara lantas tertawa mencemooh. “Amerta mati karena Kaisar sudah lama muak dengannya, dan kini perhatiannya teralih padamu. Jadi, meski Amerta telah mematuhi syarat-syarat untuk bisa mendapat apa yang dia inginkan, Kaisar punya hak penuh untuk menariknya lagi.”
“Bagaimana kau bisa tahu semua ini, Ildara?” Venus terheran-heran dengan ngeri.
“Bukankah sudah jelas?” Ildara berdiri dan beranjak keluar ruangan. “Aku tangan kanan Yang Mulia Kaisar Azafer. Seseorang yang mengantar Venus-bayi di rumah keluarga Samudera. Apakah jawaban itu membantu?”
• •
Malam itu Venus terbangun lagi di mimpi yang sama.
Bukan mimpi, Venus menyanggah pikirannya sendiri. Namun visi. Visi yang nyata.
“Kau tampak kebingungan, Putri Bizura. Begitu kebingungan.”
Suara Kaisar yang berdendang terdengar begitu memenuhi pendengaran Venus. Namun, saat anak itu menoleh, tak ada tanda-tanda keberadaan siluet Druiksa di mana pun.
“Druiksa sedang pergi ke suatu tempat, Bizura. Dia sedang pergi.”
Venus menatap—atau setidaknya mencoba memandang tempat mata seharusnya berada di siluet Kaisar yang berbentuk kepala. “Apa yang membuatmu tertarik padaku, Kaisar? Apa karena Bizura?”
Tawa Kaisar berdenting merdu. Namun, saat ia berdendang lagi, suaranya setajam silet. “Bukan karena Bizura, tapi karena masa depanmu, Titisan Giris. Karena masa depanmu.”
“Ada apa dengan masa depanku?” tanya Venus tak mengerti.
Kaisar tertawa lagi. “Kegelapan. Aku suka kegelapan.”
Punggung Venus meremang. Cara Kaisar mengatakannya seakan ia menikmati segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal buruk.
“Apa wujudmu yang sebenarnya?” Tiba-tiba Venus berbisik. “Juga Kakek. Kenapa kalian hanya muncul sebagai bayang-bayang?”
Kaisar Azafer bergumam rendah, “Hanya orang mati yang bisa melihat wujud asli kami, Putri Bizura. Hanya orang yang telah mati.”
Lagi-lagi Venus merinding.
“Apa yang kau lakukan setelah ini, Bizura? Apa yang kau lakukan?” Kaisar bertanya pelan. “Akankah kau kembali ke Bumi Pertama? Atau tetap di Bumi Kedua? Tentukan, Bizura. Tentukan.”
Venus mengesampingkan pertanyaan-pertanyaan Kaisar. Ia justru malah balik bertanya, “Kau bilang aku harus membayarnya. Bagaimana caraku bisa membayar?”
Bayang-bayang Kaisar membelai pipi Venus. “Dengan kepercayaan, Putri Bizura. Dengan kepercayaan.”
Bayang-bayang gelap itu seakan tersedot masuk ke tubuh Venus yang tak terlihat. Venus berdengap; ia memanggil-manggil Kaisar dengan panik.
Namun, kesadaran dunia nyata menariknya paksa. Ia terbangun begitu kaget dengan napas menderu.
Venus memandang jendela di seberang ruangannya. Langit masih gelap, dan hujan turun dengan deras. Petir dan guntur menggelegar; sekejap-sekejap menerangi ruangan Venus yang lampunya dimatikan.
Venus menarik napas ringan. Hatinya tiba-tiba merasa jauh lebih tenang. Venus mengangkat jari-jarinya ke atas.
Ada perasaan baru yang timbul dalam hati Venus. Begitu memabukkan, begitu tak tertahankan.
Saat jari-jemari Venus membentuk kepalan tangan, ia tersenyum dengan cara yang tak wajar. Hatinya meneriakkan kata bebas; dan ia merasa bahagia karenanya.
(Ada apa dengan Anda, Venus? Saya merasakan keanehan di raga Anda.)
“Kekuatan baru, Mustaka,” risik Venus sambil memejamkan mata lagi. “Kekuatan baru.”
Venus pernah berpikir bahwa hidupnya akan jadi mengesankan, jika ia melakukan kebaikan seperti seorang pahlawan super. Namun, pemikiran itu datang jauh sebelum ia berubah jadi berani.Pernah suatu kali di Bumi Pertama, saat ia baru saja masuk sekolah kanak-kanak, saat pertama kali Bima—ayah angkat Venus—membentaknya.Saat itu Venus mencoba berkenalan dengan seorang anak yang sedang menangis. Ia pikir ia bisa menghentikan tangis anak itu.Tangis anak itu berhenti, tapi Venus mengacaukan segalanya.Saat jam sekolah selesai, ada seekor nyamuk yang hinggap di pipi teman barunya itu. Secara spontan Venus menampar serangga itu; dengan tak sengaja melakukannya terlalu keras.Ibu anak yang pipinya kena tepuk oleh Venus marah karena anaknya kembali menangis; bahkan lebih keras dari sebelumnya. Venus meminta maaf, tapi ibu si anak masih terlihat marah.Bima nyaris menyeret Venus saat mereka pulang hari itu. Begitu tiba di rumah, Bima langs
“Kau sekarang termasuk atasanku, Venus.”Venus menoleh menatap Ildara. Sudah seminggu sejak ia berada di kamar serupa rumah sakit itu, dan kini Venus sedang menikmati masa-masa kewarasannya kembali.Kekuatannya sudah lebih baik. Meski telinganya masih suka berdenging menyakitkan di waktu-waktu tertentu.Venus bersandar pada sofa yang didudukinya dengan perasaan tanpa beban.“Apa Kaisar yang menyuruhmu?” tanya anak itu perlahan.Ildara mengangguk. Ia menyesap teh di cangkirnya dengan gerakan anggun.Venus menoleh lagi. Pandangannya menyapu ruangan serupa ruang keluarga yang dipenuhi perabot dan hiasan serba emas itu. Ada foto-foto berpigura yang diletakkan di atas meja, beberapa digantung ke dinding.Sebuah monitor besar menempel di salah satu bagian dinding. Benda itu seakan menyatu dengan dinding itu sendiri. Venus mengawasi jalanan dan beberapa perumahan yang tampak kosong dari monitor itu.Ildara ting
Malam itu Venus tak bisa tidur. Ia pergi ke halaman belakang rumah Ildara yang megah. Halaman itu tersambung dengan hutan lebat yang gelap dan tampak menakutkan.Venus melatih dan mengerahkan Bakat-nya dengan kegilaan yang tak kunjung mereda. Sekali Ildara pernah menegur Venus karena terlalu berlebih-lebihan dalam mengerahkan Bakat Petir, sehingga menciptakan guntur dan petir di mana-mana.Beberapa pohon di dalam hutan tampak terbakar. Namun, dalam ketidaksadaran, ia juga menurunkan hujan lebat di atasnya, sehingga api cepat padam.Venus membentak liar pada Ildara dan mengusirnya dengan percikan-percikan listrik. Setelah itu si kuyang tak lagi muncul untuk menegurnya.Venus membentak ke udara saat beberapa pohon di tepi hutan tercerabut dan terlempar satu-dua meter jauhnya.Belasan banaspati tiba-tiba melesat dan melemparkan api ke arah Venus. Namun, makhluk-makhluk itu tak mendapatkan ketakutan Venus, sehingga ukuran dan kekuatan mereka tak lebih
Besok adalah hari keempat belas sejak kepergian Ildara. Untuk yang kesekian kalinya dalam beberapa hari ini, Venus merasakan kemarahan yang berlebih akibat Ildara yang sama sekali tak memberi kabar padanya. Venus bahkan sempat berpikir, kenapa waktu itu dia tidak memberikan masa tenggat lebih cepat dari ini pada Ildara. Ketidaksabaran membuat anak itu menjadi gerah terus-terusan berada di rumah besar ini. Meskipun punya teman tak kasatmata seperti Mustaka atau Kaisar—meski yang satu ini jarang sekali bertelepati dengannya—tapi Venus tetap merasakan kesepian. Benda yang disebut dengan televisi … Venus hanya menyalakan itu saat ia butuh melihat berita tentangnya lagi. Lagipula, Venus tiba-tiba menjadi benci dengan segala film yang ada di dimensi bumi ini. Semua film menceritakan tentang kebaikan akan selalu menang; bahwa kejahatan pasti akan hancur. Sesuatu yang menjadikan diri Venus lebih sinis dari seharusnya. Takdir nyata tak seindah dalam halusinasi film semata, pikir Venus saat
Malam itu Venus hanya tidur selama beberapa jam saja. Entah kenapa ia akhir-akhir ini punya masalah dengan pola tidurnya. Rasanya seperti ia lelah jika harus tidur lama-lama. Padahal tidurnya selalu kurang dari delapan jam.Setelah melempar tubuh lelaki yang ia bunuh tadi malam keluar gerbang kompleks, Venus segera pergi tidur saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.Namun pada jam tiga pagi, ia terbangun dan tak bisa lagi memejamkan mata. Venus menghabiskan dini hari itu dengan menjelajahi ruang bawah tanah yang berdebu dan membaca beberapa buku fiksi koleksi Ildara di sana.Mustaka sama sekali tak menyahut saat gadis itu memanggilnya dengan telepati. Sedangkan Kaisar … sepertinya memang Venus tak bisa berbicara dengannya secara sembarangan. Kecuali Kaisar sendiri yang memulai.Pada jam lima, mata Venus berkedip-kedip lelah. Ia setengah mendesah lega, karena akhirnya mengantuk lagi. Namun gadis itu terpaksa berteriak sebal sendiri di kamarn
Venus tiba-tiba merasa sangat kotor meskipun ia baru saja selesai mandi dengan sabun berbusa banyak. Terlebih lagi, sisa sarapan yang sempat dihabiskannya nyaris naik ke kerongkongan hingga membuat anak itu mabuk luar biasa.Seperti yang dikatakan Ildara: vingsai dapat berteleportasi, baik sendiri maupun dengan orang lain. Masalah terbesarnya adalah: yang dibawa vingsai itu bukan kaumnya sendiri, melainkan manusia volt yang sehat tanpa belatung di wajah mereka.Jika menjaga jarak saja aromanya sudah sangat buruk, Venus benar-benar membayangkan apa jadinya jika ia bersisian dengan vingsai. Berimpitan.Venus awalnya menolak berada di salah satu sisi vingsai itu, tapi Ildara berkata bahwa itulah caranya agar mereka bisa ikut diteleportasi.“Aku akan memegang lenganmu saja, Ildara!” sentak Venus di antara napasnya.Si vingsai mengangkat kepala dan menggeram rendah, seakan ingin mengatakan bahwa cuma itu caranya. Dan Venus harus mau kalau ti
Venus melihat mereka melalui kacamata malam yang dia kenakan, ketika akhirnya dia dan Ildara tiba di sebuah lubang yang hampir melingkar dengan tebing-tebing tinggi yang mengelilingi mereka. Berada di sisi tebing, sekelompok orang "kecil" berbisik ketika mereka menyaksikan kedatangan Venus dan Ildara.“Orang-orang” ini, yang Mustaka panggil Ebu Gogo, tingginya hanya sekitar satu meter, wajah mereka ditutupi bulu lebat seperti primata non-manusia. Perut mereka membuncit seperti pot, dengan telinga mencuat seolah-olah telinga mereka telah menggunakan beban yang tidak terlihat selama sisa hidup mereka.Venus terus berjalan ke tengah lapangan kecil yang terbuka dengan langkah lambat sambil mengamati makhluk lain. Namun, tiba-tiba salah satu Ebu Gogo dengan bulu coklat muda di wajahnya mendekati Venus dengan cara berjalan kikuk. Meski begitu, ekspresinya terlihat seperti sedang marah.Ven
“Dia benar-benar sedang keluar, kan?” Venus bergumam sendiri.Gadis itu tinggal di Koba, Bangka Tengah, di mana semua hal terasa begitu dekat jaraknya. Ia baru saja pulang dari sekolah, berganti pakaian, dan langsung menuju dapur. Hari ini acaranya cuma kerja bakti, dan para penjual di kantin memutuskan untuk libur berjamaah. Hanya ada satu, dan penjual keliling itu sama sekali tidak menyediakan makanan berat seperti nasi. Untung saja kerja bakti ini tak sampai tengah hari.Meski begitu, entah mengapa Venus berpendapat makan di rumah lebih baik, daripada makan di sebuah kedai dan membuang-buang uang saku. Selain itu, dia juga yakin bahwa ibu tirinya sedang keluar. Salah satu teman Venus mengaku melihat ibu tiri Venus menumpang mobil teman arisannya. Apapun itu, Venus tetap waswas. Ia memutuskan untuk menyerah saja, meski tidak terlalu yakin.Tentu saja, menyerah itu pertanda buruk.“Ah, Sayang. Apa yang kau lakukan?”Suara i
Venus melihat mereka melalui kacamata malam yang dia kenakan, ketika akhirnya dia dan Ildara tiba di sebuah lubang yang hampir melingkar dengan tebing-tebing tinggi yang mengelilingi mereka. Berada di sisi tebing, sekelompok orang "kecil" berbisik ketika mereka menyaksikan kedatangan Venus dan Ildara.“Orang-orang” ini, yang Mustaka panggil Ebu Gogo, tingginya hanya sekitar satu meter, wajah mereka ditutupi bulu lebat seperti primata non-manusia. Perut mereka membuncit seperti pot, dengan telinga mencuat seolah-olah telinga mereka telah menggunakan beban yang tidak terlihat selama sisa hidup mereka.Venus terus berjalan ke tengah lapangan kecil yang terbuka dengan langkah lambat sambil mengamati makhluk lain. Namun, tiba-tiba salah satu Ebu Gogo dengan bulu coklat muda di wajahnya mendekati Venus dengan cara berjalan kikuk. Meski begitu, ekspresinya terlihat seperti sedang marah.Ven
Venus tiba-tiba merasa sangat kotor meskipun ia baru saja selesai mandi dengan sabun berbusa banyak. Terlebih lagi, sisa sarapan yang sempat dihabiskannya nyaris naik ke kerongkongan hingga membuat anak itu mabuk luar biasa.Seperti yang dikatakan Ildara: vingsai dapat berteleportasi, baik sendiri maupun dengan orang lain. Masalah terbesarnya adalah: yang dibawa vingsai itu bukan kaumnya sendiri, melainkan manusia volt yang sehat tanpa belatung di wajah mereka.Jika menjaga jarak saja aromanya sudah sangat buruk, Venus benar-benar membayangkan apa jadinya jika ia bersisian dengan vingsai. Berimpitan.Venus awalnya menolak berada di salah satu sisi vingsai itu, tapi Ildara berkata bahwa itulah caranya agar mereka bisa ikut diteleportasi.“Aku akan memegang lenganmu saja, Ildara!” sentak Venus di antara napasnya.Si vingsai mengangkat kepala dan menggeram rendah, seakan ingin mengatakan bahwa cuma itu caranya. Dan Venus harus mau kalau ti
Malam itu Venus hanya tidur selama beberapa jam saja. Entah kenapa ia akhir-akhir ini punya masalah dengan pola tidurnya. Rasanya seperti ia lelah jika harus tidur lama-lama. Padahal tidurnya selalu kurang dari delapan jam.Setelah melempar tubuh lelaki yang ia bunuh tadi malam keluar gerbang kompleks, Venus segera pergi tidur saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.Namun pada jam tiga pagi, ia terbangun dan tak bisa lagi memejamkan mata. Venus menghabiskan dini hari itu dengan menjelajahi ruang bawah tanah yang berdebu dan membaca beberapa buku fiksi koleksi Ildara di sana.Mustaka sama sekali tak menyahut saat gadis itu memanggilnya dengan telepati. Sedangkan Kaisar … sepertinya memang Venus tak bisa berbicara dengannya secara sembarangan. Kecuali Kaisar sendiri yang memulai.Pada jam lima, mata Venus berkedip-kedip lelah. Ia setengah mendesah lega, karena akhirnya mengantuk lagi. Namun gadis itu terpaksa berteriak sebal sendiri di kamarn
Besok adalah hari keempat belas sejak kepergian Ildara. Untuk yang kesekian kalinya dalam beberapa hari ini, Venus merasakan kemarahan yang berlebih akibat Ildara yang sama sekali tak memberi kabar padanya. Venus bahkan sempat berpikir, kenapa waktu itu dia tidak memberikan masa tenggat lebih cepat dari ini pada Ildara. Ketidaksabaran membuat anak itu menjadi gerah terus-terusan berada di rumah besar ini. Meskipun punya teman tak kasatmata seperti Mustaka atau Kaisar—meski yang satu ini jarang sekali bertelepati dengannya—tapi Venus tetap merasakan kesepian. Benda yang disebut dengan televisi … Venus hanya menyalakan itu saat ia butuh melihat berita tentangnya lagi. Lagipula, Venus tiba-tiba menjadi benci dengan segala film yang ada di dimensi bumi ini. Semua film menceritakan tentang kebaikan akan selalu menang; bahwa kejahatan pasti akan hancur. Sesuatu yang menjadikan diri Venus lebih sinis dari seharusnya. Takdir nyata tak seindah dalam halusinasi film semata, pikir Venus saat
Malam itu Venus tak bisa tidur. Ia pergi ke halaman belakang rumah Ildara yang megah. Halaman itu tersambung dengan hutan lebat yang gelap dan tampak menakutkan.Venus melatih dan mengerahkan Bakat-nya dengan kegilaan yang tak kunjung mereda. Sekali Ildara pernah menegur Venus karena terlalu berlebih-lebihan dalam mengerahkan Bakat Petir, sehingga menciptakan guntur dan petir di mana-mana.Beberapa pohon di dalam hutan tampak terbakar. Namun, dalam ketidaksadaran, ia juga menurunkan hujan lebat di atasnya, sehingga api cepat padam.Venus membentak liar pada Ildara dan mengusirnya dengan percikan-percikan listrik. Setelah itu si kuyang tak lagi muncul untuk menegurnya.Venus membentak ke udara saat beberapa pohon di tepi hutan tercerabut dan terlempar satu-dua meter jauhnya.Belasan banaspati tiba-tiba melesat dan melemparkan api ke arah Venus. Namun, makhluk-makhluk itu tak mendapatkan ketakutan Venus, sehingga ukuran dan kekuatan mereka tak lebih
“Kau sekarang termasuk atasanku, Venus.”Venus menoleh menatap Ildara. Sudah seminggu sejak ia berada di kamar serupa rumah sakit itu, dan kini Venus sedang menikmati masa-masa kewarasannya kembali.Kekuatannya sudah lebih baik. Meski telinganya masih suka berdenging menyakitkan di waktu-waktu tertentu.Venus bersandar pada sofa yang didudukinya dengan perasaan tanpa beban.“Apa Kaisar yang menyuruhmu?” tanya anak itu perlahan.Ildara mengangguk. Ia menyesap teh di cangkirnya dengan gerakan anggun.Venus menoleh lagi. Pandangannya menyapu ruangan serupa ruang keluarga yang dipenuhi perabot dan hiasan serba emas itu. Ada foto-foto berpigura yang diletakkan di atas meja, beberapa digantung ke dinding.Sebuah monitor besar menempel di salah satu bagian dinding. Benda itu seakan menyatu dengan dinding itu sendiri. Venus mengawasi jalanan dan beberapa perumahan yang tampak kosong dari monitor itu.Ildara ting
Venus pernah berpikir bahwa hidupnya akan jadi mengesankan, jika ia melakukan kebaikan seperti seorang pahlawan super. Namun, pemikiran itu datang jauh sebelum ia berubah jadi berani.Pernah suatu kali di Bumi Pertama, saat ia baru saja masuk sekolah kanak-kanak, saat pertama kali Bima—ayah angkat Venus—membentaknya.Saat itu Venus mencoba berkenalan dengan seorang anak yang sedang menangis. Ia pikir ia bisa menghentikan tangis anak itu.Tangis anak itu berhenti, tapi Venus mengacaukan segalanya.Saat jam sekolah selesai, ada seekor nyamuk yang hinggap di pipi teman barunya itu. Secara spontan Venus menampar serangga itu; dengan tak sengaja melakukannya terlalu keras.Ibu anak yang pipinya kena tepuk oleh Venus marah karena anaknya kembali menangis; bahkan lebih keras dari sebelumnya. Venus meminta maaf, tapi ibu si anak masih terlihat marah.Bima nyaris menyeret Venus saat mereka pulang hari itu. Begitu tiba di rumah, Bima langs
Napas Venus tersentak keluar. Ia membuka mata kaget, segera setelahnya berkedip-kedip saat cahaya membutakannya.Venus menghela tubuhnya, tetapi langsung terhempas kembali. Erangan tersiksa keluar dari bibirnya.Kepala Venus serasa akan pecah; perutnya mual luar biasa. Cairan pahit berkali-kali naik ke tenggorokannya, tapi Venus selalu menelannya lagi dan lagi.(Anda menjijikkan sekali, Venus.) Tiba-tiba Mustaka bertelepati. Nadanya terdengar jijik.(Diam.) Pikir Venus padanya.Venus mengaduh pelan saat kakinya tiba-tiba berdenyut nyeri. Ia menunduk dan mendapati belitan perban di pahanya yang sempat terluka.Kenangan membanjiri pikiran Venus tiba-tiba. Ia mencengkeram kepalanya saat ingatan itu datang bertubi-tubi seraya membawa rasa sakit tak masuk akal di sana.Seakan belum cukup, telinganya berdenging luar biasa.Venus berteriak; teriakan anak itu serak, dan itu menyakiti tenggorokannya.Benda tajam serasa menusuk-nu
Dua cahaya kemerahan yang menyala-nyala dari ujung berbeda saling mendekat di tengah desir kegelapan. Siluet manusia yang terbentuk dari bayangan asap berdiri di antara cahaya-cahaya itu.Satu siluet berwarna hitam, yang lain berwarna merah gelap; nyaris menyatu dengan cahaya yang mengikutinya. Cahaya itu lantas membaur saat kedua siluet itu berdekatan.Sebuah kesadaran lain mengawasi mereka dengan perasaan waswas dan ingin tahu.Venus.Kesadaran anak itu … ia merasa seolah tidak memiliki raga. Jiwanya seakan mengambang. Venus mencoba bertelepati dengan Mustaka, tapi pikirannya seperti terbelenggu oleh sesuatu; ada hal lain yang menahannya. Entah apa.Siluet berasap di hadapan anak itu tampak memutar ke arahnya. Venus tiba-tiba menggigil. Namun ia tak bisa bergerak … tak bisa apa-apa.Yang bisa dilakukan Venus hanya mengawasi dengan perasaan dicekam ketakutan.“Lihatlah, Druiksa.” Venus menoleh ke arah siluet