Share

Kebencian

last update Last Updated: 2021-12-01 10:55:08

Suatu ketika di Bumi Pertama, Venus pernah menyayat jarinya secara tak sengaja. Rasanya begitu perih waktu itu. Lukanya tak begitu dalam, tapi kata orang: semakin dalam, semakin kebas rasa sakitnya di awal. Rasa sakit itu baru akan muncul berkali-kali lipat berjam-jam kemudian. Jadi, saat itu Venus cukup beruntung; lukanya tidak dalam, dan karenanya sakit yang ia rasakan hanya berada di permulaan saja.

Namun, hari ini berbeda. Luka sayatan pisau berbeda dengan luka dalam akibat takdir yang menyembilu hatinya.

Di permulaaan, rasanya begitu sakit. Begitu tak tertahankan. Begitu … menyedihkan.

Setelah beberapa saat, rasa sakit itu perlahan meluruh. Ia tidak menghilang; tapi ia bersembunyi di sudut hati Venus yang tergelap. Menunggu saat yang tepat untuk kembali mengemuka.

Yang tersisa hanyalah kehampaan.

Saat Amerta berkata, “Sudah waktunya,” Venus hanya diam. Kegelapan di sudut hatinya menyebar sedikit demi sedikit. Ia tak menunjukkan emosi yang berarti lagi di depan Ildara maupun Amerta.

Venus memendam amarahnya; mengurungnya dalam satu ruangan bersama kesedihan yang tak terelakkan.

Ketika langkah anak perempuan itu bergema di sepanjang lorong, benaknya kembali terisi dengan skenario melarikan diri. Namun, di sinilah ia berada; mengikuti langkah Amerta di depannya, dengan Ildara di belakang punggungnya.

“Apakah kau masih menginginkan ibumu kembali, Venus?”

Suara dingin itu menggores kekakuan hati Venus. Rahang Venus mengeras, tangannya terkepal. Anak itu memejamkan matanya, lalu mengembuskan napas perlahan; menahan amarahnya lagi.

Venus bersuara di antara sela-sela giginya yang menggertak. “Aku hanya peduli pada diriku sendiri.”

Bahu Amerta bergoncang. Tawa lelaki itu mengingatkan Venus akan Druiksa; suaranya begitu menggiriskan hati. Venus sempat bergidik, tapi ia menahannya. Lagi.

“Kau sudah belajar jadi egois.” Amerta menyatakan. “Itu bagus.”

“Aku tidak belajar.” Venus menyanggah kaku. “Aku hanya berubah.”

Kepala Amerta menoleh, seringai keji menghiasi wajahnya yang terkena bayang-bayang obor di lorong batu ini.

“Kau benar-benar anak Langit.”

Venus masih terombang-ambing di antara kepercayaan barunya tentang sang ibu. Napasnya menjadi berat; sepenuhnya belum benar-benar menganggap Langit adalah sosok jahat yang pernah bersisian dengan Amerta di jalan bernamakan kejahatan.

“Aku bukan anak siapa-siapa.” Venus berkata tanpa emosi.

Amerta tiba-tiba berhenti. Venus ikut berhenti dalam jarak dua meter dari lelaki itu. Venus hanya menatap iris gelap Amerta dengan kebencian teredam di hatinya.

“Kakekku ingin kau memimpin bersamaku.”

Kata-kata Amerta yang dingin bagai sembilu beku mengejutkan Venus. Kepalan tangan anak perempuan itu tak pernah melonggar sedikit pun.

“Apa yang Giris mau dariku?” tanya Venus datar.

Amerta setengah membalikkan badan. “Buyutmu ingin kau mendampingiku memimpin kegelapan.”

Venus tertawa dingin. Tatapannya sebeku benua es. “Sungguh sebuah kehormatan. Namun aku tak punya buyut. Tak punya … orang tua. Aku berdiri sendiri, di antara orang-orang yang salah. Aku tidak harus mendampingi siapa pun untuk memimpin apa pun.”

Amerta terdiam sejenak seraya mengawasi Venus dengan tatapan tak terbaca. Ia kembali berjalan; Venus dan Ildara mengikuti.

Mereka diam hingga tiba di penghujung lorong. Cahaya terang di pintu keluar berbentuk oval sesaat menyilaukan mata Venus. Ia menyipitkan mata bahkan setelah keluar dari lorong dan berakhir memandang hutan lebat; jalanan tunggal setapak membelah tepat di depan Venus.

Anak perempuan itu membalikkan badan.

Lorong tempat mereka keluar ternyata semacam gua di tengah-tengah gunung yang berdiri gagah hingga ujungnya hampir menyentuh awan. Saat Venus menunduk kembali, lehernya sedikit terasa kaku.

Ia menoleh ke Ildara dengan wajah datar. “Di mana kita ini?”

Ildara menjawab singkat. “Gunung Sembada.”

“Apa itu dekat dengan Kota Sembada?” Suara Venus tetap datar saat bertanya lagi.

“Kota Sembada ada di belakang gunung ini.”

Venus menoleh menatap Amerta yang tetap berdiam diri de depannya.

Venus tersenyum dingin. “Di mana kau akan membunuhku? Tempat ini terlalu sempit.”

Kepala Amerta tengadah ke atas.

Dahi Venus berkerut penasaran. Ia bersedekap dengan sikap kaku. “Kau tak berniat mengatakan di puncak sana ada lapangan besar, bukan? Karena aku tidak akan percaya.”

Amerta mendengus sinis. “Kau tidak berniat mengatakan kita akan bermain sepak bola dengan aman, bukan? Karena pertarungan akan terasa menantang jika tempatnya sedikit berbahaya. Berdiri di atas ketinggian dan saling membunuh … bukankah itu cukup menggiurkan?”

Angin tiba-tiba bertiup cukup kencang. Venus menutup wajah dengan lengan saat debu beterbangan di sekitarnya. Sedetik kemudian, Amerta menghela tubuhnya naik dengan kecepatan serupa lift.

Amerta terbang dalam keadaan berdiri; kakinya diselimuti angin yang berputar-putar menggila.

Venus menoleh lagi pada Ildara. “Bukankah dia seharusnya takut aku melarikan diri? Kenapa ia meninggalkanku sendiri bersamamu di sini?”

Salah satu alis Ildara terangkat, senyumnya tampak mencenooh. “Karena Amerta percaya kau tak akan begitu.”

“Aku bisa saja begitu.”

“Tetap saja, kau akan tertangkap lagi.”

Venus mendengus. Benar sekali; ia tak akan lari untuk saat ini. Biar pun ia nanti mati, ia akan sangat bersyukur. Dengan begitu penderitaannya berakhir.

Jiwa Venus tak cukup mampu menampung semua kebenaran menyakitkan terus-menerus.

Venus menarik napas dalam-dalam, lalu meraih Bakat Udara di sekelilingnya. Benak anak itu sudah memerintahkan kumpulan angin di sekitarnya untuk membawa tubuhnya naik. Namun jari Venus secara otomatis ikut bergerak pelan; seakan ia adalah penyihir yang mengendalikan sesuatu menggunakan lentikan jari.

Sensasi terbang membuatnya terlena dan tersenyum sepenuh hati untuk sesaat. Ia menunduk dan menyaksikan Ildara yang masuk kembali ke dalam lorong gua.

(Mustaka?) Venus bertelepati.

(Selalu di sini, Venus.)

Venus tersenyum sambil memutar badannya. Matanya sejuk memandang hutan di bawahnya yang tampak diselimuti kabut pagi.

(Indah.) Mustaka bergumam tiba-tiba.

Senyum Venus luntur. (Benar sekali; indah. Namun mereka menyimpan banyak binatang buas di sana. Atau sesuatu yang berbahaya.)

Mustaka tergelak ironis. (Anda tak bisa menyamakan hidup dengan hutan dan seisinya.)

Venus menatap cakrawala dengan murung. (Tidak, Ka. Aku tahu keduanya berbeda. Hanya saja … beritahu aku; berapa umurku?)

Mustaka terdengar heran. (Lima belas tahun, Venus. Kenapa?)

(Seandainya kisahku dibukukan, maka pembaca akan bosan karena seringnya aku menyinggung tentang usiaku.) Venus tertawa sedih. (Aku bukan anak kecil lagi, Mustaka. Aku tak boleh main-main lagi. Bukankah itu menyedihkan?)

(Tidak, Venus. Itu hanya masalah—)

(Sebentar lagi aku mati, Mustaka.) Venus berkata serak. Pandangannya kabur sesaat. (Perbedaan itu sangat jelas, tidakkah kau melihatnya?)

(Ya. Tapi—)

“Aku benci, Mustaka,” desis Venus tiba-tiba.

(Terhadap apa, Putri Bizura?)

“Semuanya, Roh yang Baik. Semuanya.”

Related chapters

  • Cucu Kegelapan   Antara Kau dan Aku, Nak

    “Kenapa Illdara tidak ikut kemari?”“Aku hanya butuh membunuhmu, Venus, dengan cepat. Aku tak butuh penonton.”Venus masih memandang sekelilingnya. Mereka berdiri di puncak gunung yang datar. Di samping mereka merekahlah sebuah kawah beku nan bersalju.Uap keluar dari sela-sela lubang hidung dan bibir Venus saat ia mengembuskan napasnya. Tubuhnya menggigil dan telinganya berdenging lagi; sebagian karena dingin, sebagian lagi akibat Nyanyian Kenya dulu yang kembali terasa nyeri.Venus meraih Bakat Api sesedikit mungkin, lalu menyebarkan hawa hangat ke dalam tubuhnya sendiri. Rasanya lebih baik.Amerta dan Venus berdiri berjauhan dengan jarak hampir delapan meter satu sama lain. Meski begitu, Venus dapat melihat dengan jelas kebencian tiba-tiba yang muncul di sorot mata Amerta.“Kenapa?” Venus berkata sarkatis. “Baru berani menunjukkan perasaan aslimu padaku? Itukah yang sebenarnya kau rasakan? Kebenci

    Last Updated : 2021-12-01
  • Cucu Kegelapan   Petir Api

    Venus terlempar sejauh beberapa meter bersama Artha yang mencengkeram kedua bahunya. Mereka nyaris menyentuh tepi jurang.“Akh!”Artha berdiri di atas dua kakinya yang serupa kaki serigala. Aul itu mencekik leher Venus dan mengangkat tubuh gadis itu setinggi hampir tiga puluh sentimeter dari tanah.Kaki Venus menendang-nendang liar menggunakan kakinya yang sehat. Wajahnya pucat dan nyaris berubah biru. Dalam kesusahan untuk bernapas, benaknya mati-matian berkonsentrasi pada satu Bakat.Tanpa sadar salah satu tangan Venus membentuk tinju. Lalu, kepalan itu mengentak sekali ke bawah; seakan sedang memindahkan konsol dengan gerakan tegas.Sejurus kemudian, langit menggelegar. Awan gelap berkumpul tepat di atas puncak gunung itu. Petir menyambar-nyambar dengan suara menggemuruh.Venus hampir hilang kesadaran, tapi ia sekuat tenaga mempertahankan konsentrasi Bakat Petir-nya. Tangannya membuat gerakan menarik dari atas.BLAR!

    Last Updated : 2021-12-01
  • Cucu Kegelapan   Kematian

    Venus terlontar lagi untuk yang kesekian kalinya hari itu. Petir telah menyambar tubuhnya. Bau gosong menyentak hidungnya.(Untung kau cepat melindungi diri dengan listrik!)“Diam, Mustaka!” geram Venus marah.Tiba-tiba jantung Venus tersentak. Ia membungkuk rendah, tetapi tak sampai lima detik sakitnya telah hilang.(Anda akan mati.) Mustaka mengumumkan.“Kubilang diam,” dengus Venus di antara napasnya yang pendek-pendek.Venus tak tahu apa Bakat dominan Amerta, tapi ia tak peduli. Ia memutuskan untuk mengakhiri pertarungan ini.Ia berteriak keras ke udara; menyalurkan konsentrasi benaknya pada Bakat Petir paling kuat yang ia miliki.Jantung Venus menyentak lagi, tapi ia mengabaikannya.“Itu baru mengagumkan!” Amerta berteriak di antara gelegar guntur yang ia dan Venus ciptakan.Namun, Venus tak berhenti di satu kekuatan. Masih mempertahankan gemuruh petir di atasnya, Venus mer

    Last Updated : 2021-12-01
  • Cucu Kegelapan   Ungkap Kebenaran

    Dua cahaya kemerahan yang menyala-nyala dari ujung berbeda saling mendekat di tengah desir kegelapan. Siluet manusia yang terbentuk dari bayangan asap berdiri di antara cahaya-cahaya itu.Satu siluet berwarna hitam, yang lain berwarna merah gelap; nyaris menyatu dengan cahaya yang mengikutinya. Cahaya itu lantas membaur saat kedua siluet itu berdekatan.Sebuah kesadaran lain mengawasi mereka dengan perasaan waswas dan ingin tahu.Venus.Kesadaran anak itu … ia merasa seolah tidak memiliki raga. Jiwanya seakan mengambang. Venus mencoba bertelepati dengan Mustaka, tapi pikirannya seperti terbelenggu oleh sesuatu; ada hal lain yang menahannya. Entah apa.Siluet berasap di hadapan anak itu tampak memutar ke arahnya. Venus tiba-tiba menggigil. Namun ia tak bisa bergerak … tak bisa apa-apa.Yang bisa dilakukan Venus hanya mengawasi dengan perasaan dicekam ketakutan.“Lihatlah, Druiksa.” Venus menoleh ke arah siluet

    Last Updated : 2021-12-01
  • Cucu Kegelapan   Terlahir Kembali

    Napas Venus tersentak keluar. Ia membuka mata kaget, segera setelahnya berkedip-kedip saat cahaya membutakannya.Venus menghela tubuhnya, tetapi langsung terhempas kembali. Erangan tersiksa keluar dari bibirnya.Kepala Venus serasa akan pecah; perutnya mual luar biasa. Cairan pahit berkali-kali naik ke tenggorokannya, tapi Venus selalu menelannya lagi dan lagi.(Anda menjijikkan sekali, Venus.) Tiba-tiba Mustaka bertelepati. Nadanya terdengar jijik.(Diam.) Pikir Venus padanya.Venus mengaduh pelan saat kakinya tiba-tiba berdenyut nyeri. Ia menunduk dan mendapati belitan perban di pahanya yang sempat terluka.Kenangan membanjiri pikiran Venus tiba-tiba. Ia mencengkeram kepalanya saat ingatan itu datang bertubi-tubi seraya membawa rasa sakit tak masuk akal di sana.Seakan belum cukup, telinganya berdenging luar biasa.Venus berteriak; teriakan anak itu serak, dan itu menyakiti tenggorokannya.Benda tajam serasa menusuk-nu

    Last Updated : 2021-12-01
  • Cucu Kegelapan   Keinginan yang Kuat

    Venus pernah berpikir bahwa hidupnya akan jadi mengesankan, jika ia melakukan kebaikan seperti seorang pahlawan super. Namun, pemikiran itu datang jauh sebelum ia berubah jadi berani.Pernah suatu kali di Bumi Pertama, saat ia baru saja masuk sekolah kanak-kanak, saat pertama kali Bima—ayah angkat Venus—membentaknya.Saat itu Venus mencoba berkenalan dengan seorang anak yang sedang menangis. Ia pikir ia bisa menghentikan tangis anak itu.Tangis anak itu berhenti, tapi Venus mengacaukan segalanya.Saat jam sekolah selesai, ada seekor nyamuk yang hinggap di pipi teman barunya itu. Secara spontan Venus menampar serangga itu; dengan tak sengaja melakukannya terlalu keras.Ibu anak yang pipinya kena tepuk oleh Venus marah karena anaknya kembali menangis; bahkan lebih keras dari sebelumnya. Venus meminta maaf, tapi ibu si anak masih terlihat marah.Bima nyaris menyeret Venus saat mereka pulang hari itu. Begitu tiba di rumah, Bima langs

    Last Updated : 2021-12-01
  • Cucu Kegelapan   Kemarahan

    “Kau sekarang termasuk atasanku, Venus.”Venus menoleh menatap Ildara. Sudah seminggu sejak ia berada di kamar serupa rumah sakit itu, dan kini Venus sedang menikmati masa-masa kewarasannya kembali.Kekuatannya sudah lebih baik. Meski telinganya masih suka berdenging menyakitkan di waktu-waktu tertentu.Venus bersandar pada sofa yang didudukinya dengan perasaan tanpa beban.“Apa Kaisar yang menyuruhmu?” tanya anak itu perlahan.Ildara mengangguk. Ia menyesap teh di cangkirnya dengan gerakan anggun.Venus menoleh lagi. Pandangannya menyapu ruangan serupa ruang keluarga yang dipenuhi perabot dan hiasan serba emas itu. Ada foto-foto berpigura yang diletakkan di atas meja, beberapa digantung ke dinding.Sebuah monitor besar menempel di salah satu bagian dinding. Benda itu seakan menyatu dengan dinding itu sendiri. Venus mengawasi jalanan dan beberapa perumahan yang tampak kosong dari monitor itu.Ildara ting

    Last Updated : 2021-12-01
  • Cucu Kegelapan   Mereka Datang

    Malam itu Venus tak bisa tidur. Ia pergi ke halaman belakang rumah Ildara yang megah. Halaman itu tersambung dengan hutan lebat yang gelap dan tampak menakutkan.Venus melatih dan mengerahkan Bakat-nya dengan kegilaan yang tak kunjung mereda. Sekali Ildara pernah menegur Venus karena terlalu berlebih-lebihan dalam mengerahkan Bakat Petir, sehingga menciptakan guntur dan petir di mana-mana.Beberapa pohon di dalam hutan tampak terbakar. Namun, dalam ketidaksadaran, ia juga menurunkan hujan lebat di atasnya, sehingga api cepat padam.Venus membentak liar pada Ildara dan mengusirnya dengan percikan-percikan listrik. Setelah itu si kuyang tak lagi muncul untuk menegurnya.Venus membentak ke udara saat beberapa pohon di tepi hutan tercerabut dan terlempar satu-dua meter jauhnya.Belasan banaspati tiba-tiba melesat dan melemparkan api ke arah Venus. Namun, makhluk-makhluk itu tak mendapatkan ketakutan Venus, sehingga ukuran dan kekuatan mereka tak lebih

    Last Updated : 2021-12-01

Latest chapter

  • Cucu Kegelapan   Sekutu

    Venus melihat mereka melalui kacamata malam yang dia kenakan, ketika akhirnya dia dan Ildara tiba di sebuah lubang yang hampir melingkar dengan tebing-tebing tinggi yang mengelilingi mereka. Berada di sisi tebing, sekelompok orang "kecil" berbisik ketika mereka menyaksikan kedatangan Venus dan Ildara.“Orang-orang” ini, yang Mustaka panggil Ebu Gogo, tingginya hanya sekitar satu meter, wajah mereka ditutupi bulu lebat seperti primata non-manusia. Perut mereka membuncit seperti pot, dengan telinga mencuat seolah-olah telinga mereka telah menggunakan beban yang tidak terlihat selama sisa hidup mereka.Venus terus berjalan ke tengah lapangan kecil yang terbuka dengan langkah lambat sambil mengamati makhluk lain. Namun, tiba-tiba salah satu Ebu Gogo dengan bulu coklat muda di wajahnya mendekati Venus dengan cara berjalan kikuk. Meski begitu, ekspresinya terlihat seperti sedang marah.Ven

  • Cucu Kegelapan   Pertemuan

    Venus tiba-tiba merasa sangat kotor meskipun ia baru saja selesai mandi dengan sabun berbusa banyak. Terlebih lagi, sisa sarapan yang sempat dihabiskannya nyaris naik ke kerongkongan hingga membuat anak itu mabuk luar biasa.Seperti yang dikatakan Ildara: vingsai dapat berteleportasi, baik sendiri maupun dengan orang lain. Masalah terbesarnya adalah: yang dibawa vingsai itu bukan kaumnya sendiri, melainkan manusia volt yang sehat tanpa belatung di wajah mereka.Jika menjaga jarak saja aromanya sudah sangat buruk, Venus benar-benar membayangkan apa jadinya jika ia bersisian dengan vingsai. Berimpitan.Venus awalnya menolak berada di salah satu sisi vingsai itu, tapi Ildara berkata bahwa itulah caranya agar mereka bisa ikut diteleportasi.“Aku akan memegang lenganmu saja, Ildara!” sentak Venus di antara napasnya.Si vingsai mengangkat kepala dan menggeram rendah, seakan ingin mengatakan bahwa cuma itu caranya. Dan Venus harus mau kalau ti

  • Cucu Kegelapan   Rencana

    Malam itu Venus hanya tidur selama beberapa jam saja. Entah kenapa ia akhir-akhir ini punya masalah dengan pola tidurnya. Rasanya seperti ia lelah jika harus tidur lama-lama. Padahal tidurnya selalu kurang dari delapan jam.Setelah melempar tubuh lelaki yang ia bunuh tadi malam keluar gerbang kompleks, Venus segera pergi tidur saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.Namun pada jam tiga pagi, ia terbangun dan tak bisa lagi memejamkan mata. Venus menghabiskan dini hari itu dengan menjelajahi ruang bawah tanah yang berdebu dan membaca beberapa buku fiksi koleksi Ildara di sana.Mustaka sama sekali tak menyahut saat gadis itu memanggilnya dengan telepati. Sedangkan Kaisar … sepertinya memang Venus tak bisa berbicara dengannya secara sembarangan. Kecuali Kaisar sendiri yang memulai.Pada jam lima, mata Venus berkedip-kedip lelah. Ia setengah mendesah lega, karena akhirnya mengantuk lagi. Namun gadis itu terpaksa berteriak sebal sendiri di kamarn

  • Cucu Kegelapan   Pembunuhan

    Besok adalah hari keempat belas sejak kepergian Ildara. Untuk yang kesekian kalinya dalam beberapa hari ini, Venus merasakan kemarahan yang berlebih akibat Ildara yang sama sekali tak memberi kabar padanya. Venus bahkan sempat berpikir, kenapa waktu itu dia tidak memberikan masa tenggat lebih cepat dari ini pada Ildara. Ketidaksabaran membuat anak itu menjadi gerah terus-terusan berada di rumah besar ini. Meskipun punya teman tak kasatmata seperti Mustaka atau Kaisar—meski yang satu ini jarang sekali bertelepati dengannya—tapi Venus tetap merasakan kesepian. Benda yang disebut dengan televisi … Venus hanya menyalakan itu saat ia butuh melihat berita tentangnya lagi. Lagipula, Venus tiba-tiba menjadi benci dengan segala film yang ada di dimensi bumi ini. Semua film menceritakan tentang kebaikan akan selalu menang; bahwa kejahatan pasti akan hancur. Sesuatu yang menjadikan diri Venus lebih sinis dari seharusnya. Takdir nyata tak seindah dalam halusinasi film semata, pikir Venus saat

  • Cucu Kegelapan   Mereka Datang

    Malam itu Venus tak bisa tidur. Ia pergi ke halaman belakang rumah Ildara yang megah. Halaman itu tersambung dengan hutan lebat yang gelap dan tampak menakutkan.Venus melatih dan mengerahkan Bakat-nya dengan kegilaan yang tak kunjung mereda. Sekali Ildara pernah menegur Venus karena terlalu berlebih-lebihan dalam mengerahkan Bakat Petir, sehingga menciptakan guntur dan petir di mana-mana.Beberapa pohon di dalam hutan tampak terbakar. Namun, dalam ketidaksadaran, ia juga menurunkan hujan lebat di atasnya, sehingga api cepat padam.Venus membentak liar pada Ildara dan mengusirnya dengan percikan-percikan listrik. Setelah itu si kuyang tak lagi muncul untuk menegurnya.Venus membentak ke udara saat beberapa pohon di tepi hutan tercerabut dan terlempar satu-dua meter jauhnya.Belasan banaspati tiba-tiba melesat dan melemparkan api ke arah Venus. Namun, makhluk-makhluk itu tak mendapatkan ketakutan Venus, sehingga ukuran dan kekuatan mereka tak lebih

  • Cucu Kegelapan   Kemarahan

    “Kau sekarang termasuk atasanku, Venus.”Venus menoleh menatap Ildara. Sudah seminggu sejak ia berada di kamar serupa rumah sakit itu, dan kini Venus sedang menikmati masa-masa kewarasannya kembali.Kekuatannya sudah lebih baik. Meski telinganya masih suka berdenging menyakitkan di waktu-waktu tertentu.Venus bersandar pada sofa yang didudukinya dengan perasaan tanpa beban.“Apa Kaisar yang menyuruhmu?” tanya anak itu perlahan.Ildara mengangguk. Ia menyesap teh di cangkirnya dengan gerakan anggun.Venus menoleh lagi. Pandangannya menyapu ruangan serupa ruang keluarga yang dipenuhi perabot dan hiasan serba emas itu. Ada foto-foto berpigura yang diletakkan di atas meja, beberapa digantung ke dinding.Sebuah monitor besar menempel di salah satu bagian dinding. Benda itu seakan menyatu dengan dinding itu sendiri. Venus mengawasi jalanan dan beberapa perumahan yang tampak kosong dari monitor itu.Ildara ting

  • Cucu Kegelapan   Keinginan yang Kuat

    Venus pernah berpikir bahwa hidupnya akan jadi mengesankan, jika ia melakukan kebaikan seperti seorang pahlawan super. Namun, pemikiran itu datang jauh sebelum ia berubah jadi berani.Pernah suatu kali di Bumi Pertama, saat ia baru saja masuk sekolah kanak-kanak, saat pertama kali Bima—ayah angkat Venus—membentaknya.Saat itu Venus mencoba berkenalan dengan seorang anak yang sedang menangis. Ia pikir ia bisa menghentikan tangis anak itu.Tangis anak itu berhenti, tapi Venus mengacaukan segalanya.Saat jam sekolah selesai, ada seekor nyamuk yang hinggap di pipi teman barunya itu. Secara spontan Venus menampar serangga itu; dengan tak sengaja melakukannya terlalu keras.Ibu anak yang pipinya kena tepuk oleh Venus marah karena anaknya kembali menangis; bahkan lebih keras dari sebelumnya. Venus meminta maaf, tapi ibu si anak masih terlihat marah.Bima nyaris menyeret Venus saat mereka pulang hari itu. Begitu tiba di rumah, Bima langs

  • Cucu Kegelapan   Terlahir Kembali

    Napas Venus tersentak keluar. Ia membuka mata kaget, segera setelahnya berkedip-kedip saat cahaya membutakannya.Venus menghela tubuhnya, tetapi langsung terhempas kembali. Erangan tersiksa keluar dari bibirnya.Kepala Venus serasa akan pecah; perutnya mual luar biasa. Cairan pahit berkali-kali naik ke tenggorokannya, tapi Venus selalu menelannya lagi dan lagi.(Anda menjijikkan sekali, Venus.) Tiba-tiba Mustaka bertelepati. Nadanya terdengar jijik.(Diam.) Pikir Venus padanya.Venus mengaduh pelan saat kakinya tiba-tiba berdenyut nyeri. Ia menunduk dan mendapati belitan perban di pahanya yang sempat terluka.Kenangan membanjiri pikiran Venus tiba-tiba. Ia mencengkeram kepalanya saat ingatan itu datang bertubi-tubi seraya membawa rasa sakit tak masuk akal di sana.Seakan belum cukup, telinganya berdenging luar biasa.Venus berteriak; teriakan anak itu serak, dan itu menyakiti tenggorokannya.Benda tajam serasa menusuk-nu

  • Cucu Kegelapan   Ungkap Kebenaran

    Dua cahaya kemerahan yang menyala-nyala dari ujung berbeda saling mendekat di tengah desir kegelapan. Siluet manusia yang terbentuk dari bayangan asap berdiri di antara cahaya-cahaya itu.Satu siluet berwarna hitam, yang lain berwarna merah gelap; nyaris menyatu dengan cahaya yang mengikutinya. Cahaya itu lantas membaur saat kedua siluet itu berdekatan.Sebuah kesadaran lain mengawasi mereka dengan perasaan waswas dan ingin tahu.Venus.Kesadaran anak itu … ia merasa seolah tidak memiliki raga. Jiwanya seakan mengambang. Venus mencoba bertelepati dengan Mustaka, tapi pikirannya seperti terbelenggu oleh sesuatu; ada hal lain yang menahannya. Entah apa.Siluet berasap di hadapan anak itu tampak memutar ke arahnya. Venus tiba-tiba menggigil. Namun ia tak bisa bergerak … tak bisa apa-apa.Yang bisa dilakukan Venus hanya mengawasi dengan perasaan dicekam ketakutan.“Lihatlah, Druiksa.” Venus menoleh ke arah siluet

DMCA.com Protection Status