“Kenapa Illdara tidak ikut kemari?”
“Aku hanya butuh membunuhmu, Venus, dengan cepat. Aku tak butuh penonton.”
Venus masih memandang sekelilingnya. Mereka berdiri di puncak gunung yang datar. Di samping mereka merekahlah sebuah kawah beku nan bersalju.
Uap keluar dari sela-sela lubang hidung dan bibir Venus saat ia mengembuskan napasnya. Tubuhnya menggigil dan telinganya berdenging lagi; sebagian karena dingin, sebagian lagi akibat Nyanyian Kenya dulu yang kembali terasa nyeri.
Venus meraih Bakat Api sesedikit mungkin, lalu menyebarkan hawa hangat ke dalam tubuhnya sendiri. Rasanya lebih baik.
Amerta dan Venus berdiri berjauhan dengan jarak hampir delapan meter satu sama lain. Meski begitu, Venus dapat melihat dengan jelas kebencian tiba-tiba yang muncul di sorot mata Amerta.
“Kenapa?” Venus berkata sarkatis. “Baru berani menunjukkan perasaan aslimu padaku? Itukah yang sebenarnya kau rasakan? Kebencian dan bukannya meremehkan?”
Amerta mulai berjalan memutari Venus. “Aku tak pernah meremehkan orang yang memiliki anugerah dari kakekku.”
Tiba-tiba sesuatu menumbuk Venus hingga ia tersungkur ke depan. Napasnya tersembur keluar dengan kaget. Punggungnya seperti akan patah. Venus bangkit secepat yang ia bisa sambil menoleh ke belakang.
Sebuah kristal bundar sebesar bola basket menggelinding ke kawah beku, lalu terbang dan memelesat ke arah Venus lagi.
Tangan Venus terangkat; ia meraih Bakat Udara untuk menahan bola kristal itu. Lantas ia menggertak; melemparkan benda itu sekuat tenaga ke arah Amerta.
Semudah menjentikkan jari, Amerta hanya menatap bola kristal itu yang langsung hancur di tengah jalan.
Venus bernapas dengan berat. Ia menyiagakan tubuhnya kali ini.
Venus menoleh secepat kilat saat suara mendesing datang dari sampingnya. Tombak es tajam berkelebat ke arah kepalanya. Venus menggunakan Bakat Udata lagi; ia melempar tombak es itu sampai terjatuh ke bawah gunung.
Amerta terkekeh jahat. “Kau Bizura, tapi cuma itu. Pengalamanmu tak sebanding denganku!”
Ia mengibaskan jubahnya dan mengangkat tangan ke samping setinggi lehernya. Tanah bergemuruh di bawah kakinya. Tiba-tiba, dua bongkah batu raksasa memaksa keluar dari dalam tanah.
Venus melakukan hal yang sama; ia meraih Bakat Batu dan berakhir menggoncang tanah di bawahnya.
Amerta melakukan gerakan melempar, lalu kedua batu raksasa miliknya memelesat ke arah Venus.
Venus membuat gerakan merejan dan berteriak. Tanah dan bebatuan di bawahnya bergemuruh naik ke permukaan membentuk benteng setinggi sepuluh meter.
Dua batu Amerta menabrak dinding benteng Venus. Anak itu tersurut ke belakang. Ia mengerahkan tenaga lagi, lalu menumbukkan tinju ke depan.
Benteng bebatuan Venus memelesat ke depan, mendorong kedua batu raksasa Amerta dengan kuat.
Venus tersengal-sengal, tapi tetap waspada.
Tanah di depan Venus kini membentuk celah besar saat benteng tanah dan bebatuan tadi menumbuk Amerta di depan sana.
Venus menunggu dengan penuh antisipasi. Telinganya berdenging semakin ngilu. Ia menekan kedua telinganya kuat-kuat.
(Telinga Anda akan berdarah, Venus.) Tiba-tiba Mustaka bertelepati. Nada suaranya terdengar datar.
Venus meludahkan cairan getir yang naik ke mulutnya akibat gejolak tiba-tiba dalam perutnya.
(Aku tak peduli, Mustaka. Amerta mati, atau aku yang mati. Cuma itu masalahnya sekarang.)
Venus menggertakkan gigi geram saat Amerta bangkit dari puing-puing tanah dan bebatuan yang menimpanya. Jubahnya robek-robek; ia membuangnya ke samping. Kini sosoknya yang tinggi besar tampak lebih jelas; dibalut dengan pakaian serba hitam dengan pelindung baja hitam di titik-titik tertentu.
Venus meludah lagi.
“Kau sangat adil, Amerta!” Venus berteriak. “Menggunakan segala pelindung itu ke tubuhmu!”
Amerta menggunakan Bakat Udara untuk menghilangkan debu di wajahnya yang sesaat tampak konyol. Ia mengambil langkah-langkah besar hingga jaraknya dengan Venus hanya dipisahkan oleh retakan super lebar di depannya.
“Gunakan saja Bakat-mu,” sentak Amerta dingin. “Atau kau tak bisa mengendalikan Besi seperti yang seharusnya?”
Amerta meninju tanah di depannya tanpa aba-aba. Mungkin hanya firasat, tapi Venus menghela tubuhnya naik ke udara menggunakan Bakat-nya.
Sepersekian detik kemudian, ratusan mata tombak dalam berbagai ukuran melesing dari bawah tanah secara bersamaan di tempat Venus semula berada.
Amerta meninju udara di atasnya hingga urat di dahinya bertonjolan.
Venus berdengap sedetik. Ratusan mata tombak melesit ke atas dengan kecepatan tak main-main.
Venus menarik Bakat Besi begitu cepat, hingga menyakiti jantungnya. Ia mengernyit, tapi tak menurunkan kecepatan untuk membentuk selubung bulat di tubuhnya.
Sebuah mata tombak menggores pahanya. Venus berteriak saat nyeri datang tiba-tiba. Ia mempercepat penggabungan selubung besinya.
Satu detik sebelum secelah selubung menutup, satu mata tombak kecil menancap ke paha Venus yang semula hanya tergores.
Venus berteriak kesakitan dalam kegelapan selubung bundar yang ia ciptakan.
Hampir saja Venus kehilangan konsentrasinya, tapi ia mampu mempertahankan kembali selubungnya. Ia berdiri terengah seraya menyandar ke dinding selubung.
Anak perempuan itu menggertakkan gigi kuat-kuat. Menggunakan Bakat Udara, ia menarik lepas mata tombak itu dari pahanya.
Teriakan Venus menyakiti telinganya sendiri. Ia jatuh terduduk di dalam selubung yang goyah dan terombang-ambing; konsentrasi Venus hampir pecah lagi.
Venus menangis, tapi juga marah. Ia merobek bagian bawah celananya tanpa bantuan Bakat; selubung besi dan udara sudah membuat anak itu kewalahan.
Venus mengikat pahanya dengan sobekan kain itu dengan gigi menggertak. Ia menahan raungannya dengan berlinang air mata kesakitan. Cairan merah pekat mengotori hampir seluruh tubuhnya.
Tiba-tiba selubungnya bergoyang begitu kuat. Venus menghela tubuhnya berdiri seraya menggerung.
Venus melepas Bakat Udara-nya pelan-pelan; mencoba meletakkan selubung besinya ke permukaan tanah.
Begita rasanya sudah berada di atas tanah, Venus menarik napas gemetar. Ia tak pernah mengerahkan Bakat dalam keadaan begini payah.
Benturan keras membuatnya terhempas ke dinding selubung.
“Amerta keparat!”
Samar-samar Venus mendengar suara Amerta di luar sana yang berteriak-teriak tak keruan; seakan sedang mengejek Venus agar ia segera keluar dari perlindungannya.
Venus berdiri agak goyah; telinganya berdenging lagi. Venus mengerang saat darah mengalir dari kedua telinganya. Napasnya berubah pendek-pendek.
Menarik napas dalam-dalam, Venus mulai membuka selubungnya sedikit demi sedikit. Di mulai sebesar lubang paku; untuk mengintip di mana persisnya Amerta berada.
Kemudian, setelah tahu posisi musuhnya, Venus membuka selubungnya mulai dari belakang. Hingga selubung itu hanya menyisakan semacam perisai besi berbentuk persegi panjang di depan Venus.
Namun, Venus nyaris terperenyak.
Di sana, tersenyum seperti seorang psikopat, Amerta berdiri waspada dengan sikap percaya diri. Namun kini ia tak lagi sendirian.
Di sampingnya, berdiri seperti manusia; seekor serigala jadi-jadian dengan moncong berliur. Makhluk itu menggeram, sorot matanya tampak mengancam.
“Perkenalkan, dia aul setiaku!” Amerta berseru gembira; begitu berbeda dengan citra dingin yang Venus tahu selama ini. “Kau boleh memanggilnya Artha kalau mau. Aku mendapatkan Gal ini dari Bumi Ketiga, kau tahu? Sungguh menakjubkan!”
Venus mencengkeram pahanya yang berlumur darah. Jadi, ini adalah salah satu Gal yang pernah disebut-sebut oleh Penjaga Portal semasa Venus baru tiba di Bumi Kedua.
Serigala jadi-jadian. Aul; sebutan manusia serigala di tanah Jawa.
(Mustaka?)
(Ya, Venus?)
(Bisakah kau membantuku?)
(Aku cuma roh, Venus. Tak bisa berbuat banyak selain memberitahumu satu hal: jangan sampai tergigit oleh aul.)
Venus terkekeh di antara kernyitan sakit di dahinya. (Kenapa? Apa aku akan jadi aul juga?)
(Tidak. Kau akan mati.)
Saat itulah, Artha si Aul menerjang ke arah Venus dengan ganas.
Venus terlempar sejauh beberapa meter bersama Artha yang mencengkeram kedua bahunya. Mereka nyaris menyentuh tepi jurang.“Akh!”Artha berdiri di atas dua kakinya yang serupa kaki serigala. Aul itu mencekik leher Venus dan mengangkat tubuh gadis itu setinggi hampir tiga puluh sentimeter dari tanah.Kaki Venus menendang-nendang liar menggunakan kakinya yang sehat. Wajahnya pucat dan nyaris berubah biru. Dalam kesusahan untuk bernapas, benaknya mati-matian berkonsentrasi pada satu Bakat.Tanpa sadar salah satu tangan Venus membentuk tinju. Lalu, kepalan itu mengentak sekali ke bawah; seakan sedang memindahkan konsol dengan gerakan tegas.Sejurus kemudian, langit menggelegar. Awan gelap berkumpul tepat di atas puncak gunung itu. Petir menyambar-nyambar dengan suara menggemuruh.Venus hampir hilang kesadaran, tapi ia sekuat tenaga mempertahankan konsentrasi Bakat Petir-nya. Tangannya membuat gerakan menarik dari atas.BLAR!
Venus terlontar lagi untuk yang kesekian kalinya hari itu. Petir telah menyambar tubuhnya. Bau gosong menyentak hidungnya.(Untung kau cepat melindungi diri dengan listrik!)“Diam, Mustaka!” geram Venus marah.Tiba-tiba jantung Venus tersentak. Ia membungkuk rendah, tetapi tak sampai lima detik sakitnya telah hilang.(Anda akan mati.) Mustaka mengumumkan.“Kubilang diam,” dengus Venus di antara napasnya yang pendek-pendek.Venus tak tahu apa Bakat dominan Amerta, tapi ia tak peduli. Ia memutuskan untuk mengakhiri pertarungan ini.Ia berteriak keras ke udara; menyalurkan konsentrasi benaknya pada Bakat Petir paling kuat yang ia miliki.Jantung Venus menyentak lagi, tapi ia mengabaikannya.“Itu baru mengagumkan!” Amerta berteriak di antara gelegar guntur yang ia dan Venus ciptakan.Namun, Venus tak berhenti di satu kekuatan. Masih mempertahankan gemuruh petir di atasnya, Venus mer
Dua cahaya kemerahan yang menyala-nyala dari ujung berbeda saling mendekat di tengah desir kegelapan. Siluet manusia yang terbentuk dari bayangan asap berdiri di antara cahaya-cahaya itu.Satu siluet berwarna hitam, yang lain berwarna merah gelap; nyaris menyatu dengan cahaya yang mengikutinya. Cahaya itu lantas membaur saat kedua siluet itu berdekatan.Sebuah kesadaran lain mengawasi mereka dengan perasaan waswas dan ingin tahu.Venus.Kesadaran anak itu … ia merasa seolah tidak memiliki raga. Jiwanya seakan mengambang. Venus mencoba bertelepati dengan Mustaka, tapi pikirannya seperti terbelenggu oleh sesuatu; ada hal lain yang menahannya. Entah apa.Siluet berasap di hadapan anak itu tampak memutar ke arahnya. Venus tiba-tiba menggigil. Namun ia tak bisa bergerak … tak bisa apa-apa.Yang bisa dilakukan Venus hanya mengawasi dengan perasaan dicekam ketakutan.“Lihatlah, Druiksa.” Venus menoleh ke arah siluet
Napas Venus tersentak keluar. Ia membuka mata kaget, segera setelahnya berkedip-kedip saat cahaya membutakannya.Venus menghela tubuhnya, tetapi langsung terhempas kembali. Erangan tersiksa keluar dari bibirnya.Kepala Venus serasa akan pecah; perutnya mual luar biasa. Cairan pahit berkali-kali naik ke tenggorokannya, tapi Venus selalu menelannya lagi dan lagi.(Anda menjijikkan sekali, Venus.) Tiba-tiba Mustaka bertelepati. Nadanya terdengar jijik.(Diam.) Pikir Venus padanya.Venus mengaduh pelan saat kakinya tiba-tiba berdenyut nyeri. Ia menunduk dan mendapati belitan perban di pahanya yang sempat terluka.Kenangan membanjiri pikiran Venus tiba-tiba. Ia mencengkeram kepalanya saat ingatan itu datang bertubi-tubi seraya membawa rasa sakit tak masuk akal di sana.Seakan belum cukup, telinganya berdenging luar biasa.Venus berteriak; teriakan anak itu serak, dan itu menyakiti tenggorokannya.Benda tajam serasa menusuk-nu
Venus pernah berpikir bahwa hidupnya akan jadi mengesankan, jika ia melakukan kebaikan seperti seorang pahlawan super. Namun, pemikiran itu datang jauh sebelum ia berubah jadi berani.Pernah suatu kali di Bumi Pertama, saat ia baru saja masuk sekolah kanak-kanak, saat pertama kali Bima—ayah angkat Venus—membentaknya.Saat itu Venus mencoba berkenalan dengan seorang anak yang sedang menangis. Ia pikir ia bisa menghentikan tangis anak itu.Tangis anak itu berhenti, tapi Venus mengacaukan segalanya.Saat jam sekolah selesai, ada seekor nyamuk yang hinggap di pipi teman barunya itu. Secara spontan Venus menampar serangga itu; dengan tak sengaja melakukannya terlalu keras.Ibu anak yang pipinya kena tepuk oleh Venus marah karena anaknya kembali menangis; bahkan lebih keras dari sebelumnya. Venus meminta maaf, tapi ibu si anak masih terlihat marah.Bima nyaris menyeret Venus saat mereka pulang hari itu. Begitu tiba di rumah, Bima langs
“Kau sekarang termasuk atasanku, Venus.”Venus menoleh menatap Ildara. Sudah seminggu sejak ia berada di kamar serupa rumah sakit itu, dan kini Venus sedang menikmati masa-masa kewarasannya kembali.Kekuatannya sudah lebih baik. Meski telinganya masih suka berdenging menyakitkan di waktu-waktu tertentu.Venus bersandar pada sofa yang didudukinya dengan perasaan tanpa beban.“Apa Kaisar yang menyuruhmu?” tanya anak itu perlahan.Ildara mengangguk. Ia menyesap teh di cangkirnya dengan gerakan anggun.Venus menoleh lagi. Pandangannya menyapu ruangan serupa ruang keluarga yang dipenuhi perabot dan hiasan serba emas itu. Ada foto-foto berpigura yang diletakkan di atas meja, beberapa digantung ke dinding.Sebuah monitor besar menempel di salah satu bagian dinding. Benda itu seakan menyatu dengan dinding itu sendiri. Venus mengawasi jalanan dan beberapa perumahan yang tampak kosong dari monitor itu.Ildara ting
Malam itu Venus tak bisa tidur. Ia pergi ke halaman belakang rumah Ildara yang megah. Halaman itu tersambung dengan hutan lebat yang gelap dan tampak menakutkan.Venus melatih dan mengerahkan Bakat-nya dengan kegilaan yang tak kunjung mereda. Sekali Ildara pernah menegur Venus karena terlalu berlebih-lebihan dalam mengerahkan Bakat Petir, sehingga menciptakan guntur dan petir di mana-mana.Beberapa pohon di dalam hutan tampak terbakar. Namun, dalam ketidaksadaran, ia juga menurunkan hujan lebat di atasnya, sehingga api cepat padam.Venus membentak liar pada Ildara dan mengusirnya dengan percikan-percikan listrik. Setelah itu si kuyang tak lagi muncul untuk menegurnya.Venus membentak ke udara saat beberapa pohon di tepi hutan tercerabut dan terlempar satu-dua meter jauhnya.Belasan banaspati tiba-tiba melesat dan melemparkan api ke arah Venus. Namun, makhluk-makhluk itu tak mendapatkan ketakutan Venus, sehingga ukuran dan kekuatan mereka tak lebih
Besok adalah hari keempat belas sejak kepergian Ildara. Untuk yang kesekian kalinya dalam beberapa hari ini, Venus merasakan kemarahan yang berlebih akibat Ildara yang sama sekali tak memberi kabar padanya. Venus bahkan sempat berpikir, kenapa waktu itu dia tidak memberikan masa tenggat lebih cepat dari ini pada Ildara. Ketidaksabaran membuat anak itu menjadi gerah terus-terusan berada di rumah besar ini. Meskipun punya teman tak kasatmata seperti Mustaka atau Kaisar—meski yang satu ini jarang sekali bertelepati dengannya—tapi Venus tetap merasakan kesepian. Benda yang disebut dengan televisi … Venus hanya menyalakan itu saat ia butuh melihat berita tentangnya lagi. Lagipula, Venus tiba-tiba menjadi benci dengan segala film yang ada di dimensi bumi ini. Semua film menceritakan tentang kebaikan akan selalu menang; bahwa kejahatan pasti akan hancur. Sesuatu yang menjadikan diri Venus lebih sinis dari seharusnya. Takdir nyata tak seindah dalam halusinasi film semata, pikir Venus saat
Venus melihat mereka melalui kacamata malam yang dia kenakan, ketika akhirnya dia dan Ildara tiba di sebuah lubang yang hampir melingkar dengan tebing-tebing tinggi yang mengelilingi mereka. Berada di sisi tebing, sekelompok orang "kecil" berbisik ketika mereka menyaksikan kedatangan Venus dan Ildara.“Orang-orang” ini, yang Mustaka panggil Ebu Gogo, tingginya hanya sekitar satu meter, wajah mereka ditutupi bulu lebat seperti primata non-manusia. Perut mereka membuncit seperti pot, dengan telinga mencuat seolah-olah telinga mereka telah menggunakan beban yang tidak terlihat selama sisa hidup mereka.Venus terus berjalan ke tengah lapangan kecil yang terbuka dengan langkah lambat sambil mengamati makhluk lain. Namun, tiba-tiba salah satu Ebu Gogo dengan bulu coklat muda di wajahnya mendekati Venus dengan cara berjalan kikuk. Meski begitu, ekspresinya terlihat seperti sedang marah.Ven
Venus tiba-tiba merasa sangat kotor meskipun ia baru saja selesai mandi dengan sabun berbusa banyak. Terlebih lagi, sisa sarapan yang sempat dihabiskannya nyaris naik ke kerongkongan hingga membuat anak itu mabuk luar biasa.Seperti yang dikatakan Ildara: vingsai dapat berteleportasi, baik sendiri maupun dengan orang lain. Masalah terbesarnya adalah: yang dibawa vingsai itu bukan kaumnya sendiri, melainkan manusia volt yang sehat tanpa belatung di wajah mereka.Jika menjaga jarak saja aromanya sudah sangat buruk, Venus benar-benar membayangkan apa jadinya jika ia bersisian dengan vingsai. Berimpitan.Venus awalnya menolak berada di salah satu sisi vingsai itu, tapi Ildara berkata bahwa itulah caranya agar mereka bisa ikut diteleportasi.“Aku akan memegang lenganmu saja, Ildara!” sentak Venus di antara napasnya.Si vingsai mengangkat kepala dan menggeram rendah, seakan ingin mengatakan bahwa cuma itu caranya. Dan Venus harus mau kalau ti
Malam itu Venus hanya tidur selama beberapa jam saja. Entah kenapa ia akhir-akhir ini punya masalah dengan pola tidurnya. Rasanya seperti ia lelah jika harus tidur lama-lama. Padahal tidurnya selalu kurang dari delapan jam.Setelah melempar tubuh lelaki yang ia bunuh tadi malam keluar gerbang kompleks, Venus segera pergi tidur saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.Namun pada jam tiga pagi, ia terbangun dan tak bisa lagi memejamkan mata. Venus menghabiskan dini hari itu dengan menjelajahi ruang bawah tanah yang berdebu dan membaca beberapa buku fiksi koleksi Ildara di sana.Mustaka sama sekali tak menyahut saat gadis itu memanggilnya dengan telepati. Sedangkan Kaisar … sepertinya memang Venus tak bisa berbicara dengannya secara sembarangan. Kecuali Kaisar sendiri yang memulai.Pada jam lima, mata Venus berkedip-kedip lelah. Ia setengah mendesah lega, karena akhirnya mengantuk lagi. Namun gadis itu terpaksa berteriak sebal sendiri di kamarn
Besok adalah hari keempat belas sejak kepergian Ildara. Untuk yang kesekian kalinya dalam beberapa hari ini, Venus merasakan kemarahan yang berlebih akibat Ildara yang sama sekali tak memberi kabar padanya. Venus bahkan sempat berpikir, kenapa waktu itu dia tidak memberikan masa tenggat lebih cepat dari ini pada Ildara. Ketidaksabaran membuat anak itu menjadi gerah terus-terusan berada di rumah besar ini. Meskipun punya teman tak kasatmata seperti Mustaka atau Kaisar—meski yang satu ini jarang sekali bertelepati dengannya—tapi Venus tetap merasakan kesepian. Benda yang disebut dengan televisi … Venus hanya menyalakan itu saat ia butuh melihat berita tentangnya lagi. Lagipula, Venus tiba-tiba menjadi benci dengan segala film yang ada di dimensi bumi ini. Semua film menceritakan tentang kebaikan akan selalu menang; bahwa kejahatan pasti akan hancur. Sesuatu yang menjadikan diri Venus lebih sinis dari seharusnya. Takdir nyata tak seindah dalam halusinasi film semata, pikir Venus saat
Malam itu Venus tak bisa tidur. Ia pergi ke halaman belakang rumah Ildara yang megah. Halaman itu tersambung dengan hutan lebat yang gelap dan tampak menakutkan.Venus melatih dan mengerahkan Bakat-nya dengan kegilaan yang tak kunjung mereda. Sekali Ildara pernah menegur Venus karena terlalu berlebih-lebihan dalam mengerahkan Bakat Petir, sehingga menciptakan guntur dan petir di mana-mana.Beberapa pohon di dalam hutan tampak terbakar. Namun, dalam ketidaksadaran, ia juga menurunkan hujan lebat di atasnya, sehingga api cepat padam.Venus membentak liar pada Ildara dan mengusirnya dengan percikan-percikan listrik. Setelah itu si kuyang tak lagi muncul untuk menegurnya.Venus membentak ke udara saat beberapa pohon di tepi hutan tercerabut dan terlempar satu-dua meter jauhnya.Belasan banaspati tiba-tiba melesat dan melemparkan api ke arah Venus. Namun, makhluk-makhluk itu tak mendapatkan ketakutan Venus, sehingga ukuran dan kekuatan mereka tak lebih
“Kau sekarang termasuk atasanku, Venus.”Venus menoleh menatap Ildara. Sudah seminggu sejak ia berada di kamar serupa rumah sakit itu, dan kini Venus sedang menikmati masa-masa kewarasannya kembali.Kekuatannya sudah lebih baik. Meski telinganya masih suka berdenging menyakitkan di waktu-waktu tertentu.Venus bersandar pada sofa yang didudukinya dengan perasaan tanpa beban.“Apa Kaisar yang menyuruhmu?” tanya anak itu perlahan.Ildara mengangguk. Ia menyesap teh di cangkirnya dengan gerakan anggun.Venus menoleh lagi. Pandangannya menyapu ruangan serupa ruang keluarga yang dipenuhi perabot dan hiasan serba emas itu. Ada foto-foto berpigura yang diletakkan di atas meja, beberapa digantung ke dinding.Sebuah monitor besar menempel di salah satu bagian dinding. Benda itu seakan menyatu dengan dinding itu sendiri. Venus mengawasi jalanan dan beberapa perumahan yang tampak kosong dari monitor itu.Ildara ting
Venus pernah berpikir bahwa hidupnya akan jadi mengesankan, jika ia melakukan kebaikan seperti seorang pahlawan super. Namun, pemikiran itu datang jauh sebelum ia berubah jadi berani.Pernah suatu kali di Bumi Pertama, saat ia baru saja masuk sekolah kanak-kanak, saat pertama kali Bima—ayah angkat Venus—membentaknya.Saat itu Venus mencoba berkenalan dengan seorang anak yang sedang menangis. Ia pikir ia bisa menghentikan tangis anak itu.Tangis anak itu berhenti, tapi Venus mengacaukan segalanya.Saat jam sekolah selesai, ada seekor nyamuk yang hinggap di pipi teman barunya itu. Secara spontan Venus menampar serangga itu; dengan tak sengaja melakukannya terlalu keras.Ibu anak yang pipinya kena tepuk oleh Venus marah karena anaknya kembali menangis; bahkan lebih keras dari sebelumnya. Venus meminta maaf, tapi ibu si anak masih terlihat marah.Bima nyaris menyeret Venus saat mereka pulang hari itu. Begitu tiba di rumah, Bima langs
Napas Venus tersentak keluar. Ia membuka mata kaget, segera setelahnya berkedip-kedip saat cahaya membutakannya.Venus menghela tubuhnya, tetapi langsung terhempas kembali. Erangan tersiksa keluar dari bibirnya.Kepala Venus serasa akan pecah; perutnya mual luar biasa. Cairan pahit berkali-kali naik ke tenggorokannya, tapi Venus selalu menelannya lagi dan lagi.(Anda menjijikkan sekali, Venus.) Tiba-tiba Mustaka bertelepati. Nadanya terdengar jijik.(Diam.) Pikir Venus padanya.Venus mengaduh pelan saat kakinya tiba-tiba berdenyut nyeri. Ia menunduk dan mendapati belitan perban di pahanya yang sempat terluka.Kenangan membanjiri pikiran Venus tiba-tiba. Ia mencengkeram kepalanya saat ingatan itu datang bertubi-tubi seraya membawa rasa sakit tak masuk akal di sana.Seakan belum cukup, telinganya berdenging luar biasa.Venus berteriak; teriakan anak itu serak, dan itu menyakiti tenggorokannya.Benda tajam serasa menusuk-nu
Dua cahaya kemerahan yang menyala-nyala dari ujung berbeda saling mendekat di tengah desir kegelapan. Siluet manusia yang terbentuk dari bayangan asap berdiri di antara cahaya-cahaya itu.Satu siluet berwarna hitam, yang lain berwarna merah gelap; nyaris menyatu dengan cahaya yang mengikutinya. Cahaya itu lantas membaur saat kedua siluet itu berdekatan.Sebuah kesadaran lain mengawasi mereka dengan perasaan waswas dan ingin tahu.Venus.Kesadaran anak itu … ia merasa seolah tidak memiliki raga. Jiwanya seakan mengambang. Venus mencoba bertelepati dengan Mustaka, tapi pikirannya seperti terbelenggu oleh sesuatu; ada hal lain yang menahannya. Entah apa.Siluet berasap di hadapan anak itu tampak memutar ke arahnya. Venus tiba-tiba menggigil. Namun ia tak bisa bergerak … tak bisa apa-apa.Yang bisa dilakukan Venus hanya mengawasi dengan perasaan dicekam ketakutan.“Lihatlah, Druiksa.” Venus menoleh ke arah siluet