Seorang pemuda berdiri mematung di depan gerbang besar Crimson Ridge Academy. Papan nama sekolah itu terpampang megah, dengan huruf-huruf emas yang tampak bersinar di bawah sinar matahari pagi. Suasana sekitar ramai oleh siswa yang berlalu-lalang, sebagian berbincang ceria, sebagian lagi berjalan cepat seolah mengejar waktu.
Namun, bagi pemuda itu semua ini terasa seperti pemandangan asing. Ada sesuatu yang berat di dadanya, seperti bayangan tak kasatmata yang menghalangi setiap langkahnya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa gugup yang perlahan menjalar. Tangannya mengepal erat, dan pandangannya tertuju lurus ke depan.
Ini bukan saatnya ragu, pikirnya.
Langkah pertama akhirnya ia ayunkan, melewati gerbang yang menandai babak baru dalam hidupnya.
.
.
.
.
.
Pemuda itu berdiri dengan canggung di depan pintu ruang kepala akademi, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak beraturan. Di tangannya ada map dengan dokumen-dokumen pindahan, dan di punggungnya, tas yang terasa berat meski isinya tidak banyak. Ia menarik napas dalam, lalu mengetuk pintu perlahan.
Tidak ada tanggapan dari dalam selama beberapa detik hingga akhirnya sebuah suara tegas terdengar, “Masuk.”
Pemuda itu lalu mendorong pintu, mendapati seorang pria berkacamata tengah sibuk memeriksa dokumen di mejanya. Plakat kecil di atas meja itu menampilkan nama: Mahendra Surya. Mata pria itu langsung terangkat memandangi pemuda yang baru masuk itu.
“Kamu pasti Evan,” kata pria itu, menutup map di tangannya.
Pemuda itu- Evan- mengangguk pelan. “Iya, Pak.”
“Selamat datang di Crimson Ridge Academy. Saya Mahendra Surya, kepala akademi ini, murid-murid biasanya memanggil saya Sir Hendra. File tentang kamu menarik juga ya, saya sudah baca. Pemegang mendali perak olimpiade nasional matematika tahun lalu. Saya ingat kamu lawan yang cukup menantang untuk akademi kami. Tapi, kemudian dikeluarkan dari sekolah karena terlibat perkelahian dan membuat lawan kamu masuk rumah sakit, dia jadi cacat dari yang saya dengar,” Sir Hendra tersenyum tipis menatap ke arah Evan.
Evan berdiri tidak nyaman di tempatnya dengan senyum kaku, ia memang melakukan beberapa hal tidak terduga di sekolah lamanya hingga akhirnya dikeluarkan. Evan merasa akan aneh kalau dia tiba-tiba keluar dari sekolah lamanya yang bisa dibilang punya reputasi yang hampir sama bagusnya dengan Crimson Ridge Academy untuk kemudian pindah ke Akademi ini. Jadi, ia kemudian menyusun rencana agar dikeluarkan dari sekolah lamanya dan bisa masuk ke akademi yang dikenal jarang menerima murid di luar yayasan mereka, tapi punya pengecualian khusus untuk orang-orang yang dianggap dapat bermanfaat bagi akademi ini. Evan sendiri punya sedikit keraguan kalau rencananya akan berhasil, tapi keberuntungan sepertinya sedang ada dipihaknya.
“Tidak apa-apa, Saya yakin kamu punya alasan sendiri dan bukan urusan saya juga. Saya hanya berharap semoga kamu bisa menyesuaikan diri dan bisa menunjukkan prestasi yang membanggakan untuk akademi ini,” ucap Sir Hendra yang dibalas anggukan pelan oleh Evan.
Kemudian terdengar ketukan lagi dari arah pintu masuk.
“Masuk!” Pintu itu kemudian terbuka, dan seorang gadis muncul. Penampilannya tampak rapi, dengan blazer sekolah yang dikenakan tanpa cela dan sebuah pin perak di sisi kanan blazernya. Rambut panjangnya yang hitam berkilau diikat rapi dalam kucir sederhana, tanpa sehelai pun yang berantakan. Wajahnya tegas memberi kesan disiplin yang sejalan dengan langkahnya yang mantap. Mata coklatnya dibingkai dengan kacamata.
“Ini Sera,” kata Sir Hendra sambil melirik Evan. “Dia anggota Dewan Siswa dan salah satu siswi terbaik kami. Sera, ini Evan. Dia siswa baru di kelas 11-B. Saya ingin kamu bantu dia mengenal sekolah dan memastikan dia tahu aturan-aturan penting di sini.”
Sera menatap Evan, mengulurkan tangan dengan senyum tipis. “Halo, Evan. Senang bertemu denganmu.”
Evan menyambut tangan itu dengan canggung. “Halo.”
Sir Hendra melanjutkan, “Sera, untuk sekarang tolong antarkan Evan ke kelasnya, pengenalan lingkungan sekolahnya bisa dilakukan saat jam istirahat nanti.”
“Baik, Sir,” jawab Sera singkat, mengisyaratkan Evan untuk mengikutinya keluar dari ruangan.
.
.
.
Koridor sekolah penuh dengan siswa yang berlalu-lalang, beberapa melirik Evan, tapi kebanyakan terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri. Sera berjalan di depan, sesekali melirik ke belakang untuk memastikan Evan mengikutinya.
Mereka berjalan dalam keheningan di tengah suasana bising di sekitar mereka hingga tiba-tiba seorang siswa dengan tubuh kekar dan penampilan mencolok berhenti tepat di depan mereka. Rambutnya dicat merah dan pemuda ini tidak memakai blazer diatas kemeja putihnya melainkan jaket kulit dengan beberapa pola aneh yang tersebar namun di sisi kiri jaket itu ada pin yang sama seperti yang digunakan oleh Sera.
Sera berhenti, menatap pria itu dengan ekspresi datar. “Kael,” sapanya dengan suara netral. Evan langsung merasakan adanya ketegangan di udara.
“Sera,” jawab Kael, “siapa ini?” Ia menatap Evan dari ujung kaki hingga kepala dengan tatapan penuh perhitungan.
“Evan,” Sera menjawab dengan singkat. “Siswa baru. Kelas 11-B.”
Kael mengangguk paham, “Bisa pindah sekarang berarti kasus istimewa ya? Menarik juga.” Seringai tipis muncul di wajah pemuda tegap itu.
Evan merasa sedikit terintimidasi, namun ia mencoba untuk tetap tenang. Lewat penyelidikan yang sudah ia lakukan, Evan rasanya bisa menebak siapa pria yang ada di hadapannya ini dan jujur saja ia tidak mau bersinggungan sekarang dengannya.
“Sekarang bisa minggir, sebentar lagi jam pertama, kau pasti tidak mau terlambat di hari pertama, kan?”
“Tentu saja! Aku hanya mau menyampaikan pesan dari Kairo, pertemuan hari ini sepulang sekolah, jangan sampai ketinggalan! Dia tidak mau ada yang absen di pertemuan pertama.”
“Dia mengirimmu untuk menyampaikan pesan kepadaku?”
“Tidak juga, Aku yang mengajukan diri, biar bagaimanapun dengan posisimu saat ini kau harus lebih dihormati, kan?”
Entah apa maksudnya, tetapi perkataan Kael jelas menyulut emosi Sera walau sedikit. Evan menyadari itu, meski Sera bisa dengan cepat mengendalikan dirinya.
“Sampaikan padanya aku pasti akan datang dan terima kasih sudah berkenan mengirimkan orang kepercayaannya untuk menyampaikan pesan ini.” Sera memang tersenyum saat mengatakan itu, tetapi siapapun bisa tahu itu penuh kepalsuan.
“Tentu saja!” Kael balas tersenyum, ia kemudian mengangguk pada Evan sebelum berlalu pergi.
Evan balas mengangguk, tatapannya mengikuti arah kepergian Kael. Perkiraannya benar, di punggung Kael, pada jaket kulitnya terukir simbol huruf “W”.
‘Wolves’
Evan lalu mengalihkan pandangan pada Sera yang terlihat menatap tajam ke arah Kael sebelum akhirnya mengubah raut wajahnya menjadi lebih netral, “mari kita lanjutkan!” katanya.
Evan tidak bisa mengabaikan rasa was-was yang meningkat dalam dirinya. Kael memang tidak melakukan apapun yang mengancam padanya, tetapi cara dia berbicara dan bertindak juga tatapannya yang tajam sudah cukup untuk membuat Evan yakin bahwa ia tidak bisa menganggap remeh orang ini.
.
.
.
Perjalanan menuju kelas diisi dengan keheningan sampai terdengar suara lonceng tiga kali.
“Lonceng berdentang tiga kali artinya jam pertama dimulai dan semua siswa harus sudah ada di dalam kelas, kalau satu kali tandanya pergantian jam pelajaran dan dua kali untuk menandakan waktu istirahat,” Sera menjelaskan pada Evan.
Mereka sekarang sedang berjalan di tangga menuju lantai dua. Keduanya kemudian berhenti di depan ruangan dengan plakat ’11-B’. Di dalam terlihat seorang wanita muda dengan rok selutut dan kemeja putih yang sedang berdiri di depan kelas. Sera kemudian mengetuk pintu sambil mengucapkan salam, “selamat pagi Miss Anita, saya membawa murid baru untuk kelas ini.”
“Ah.. Sera, selamat pagi! Ya, saya sudah dengar dari Sir Hendra, namanya Evan kalau tidak salah.”
“Benar, Miss. Ini Evan,” Sera menyingkir sedikit memperlihatkan Evan. Ia kemudian melirik pemuda itu, memberi kode agar Evan mengucapkan salam.
“Selamat pagi Miss Anita, saya Evan,” ujarnya kemudian sambil membungkukkan badan sedikit memberi hormat.
“Selamat pagi Evan, silakan masuk. Terima kasih ya, Sera, sudah mengantarkan Evan,”
“Tidak masalah, Miss. Memang sudah tugas saya,” Sera memberi senyum ramah pada Miss Anita, lalu kemudian menoleh untuk terakhir kalinya pada Evan, “Jam istirahat nanti kita mulai tur sekolahnya.”
Evan membalas dengan senyum manis, “Tentu, terima kasih ya, Sera!” yang dibalas anggukan singkat oleh gadis itu sebelum ia kemudian berbalik untuk pergi ke kelasnya sendiri.
Evan berdiri di depan kelas 11-B bersama Miss Anita yang berada di sampingnya dengan senyum tipis. Semua mata di dalam ruangan tertuju padanya, dan suasana mendadak terasa lebih senyap dibandingkan sebelumnya. Evan memperhatikan ada sekitar dua puluh orang siswa selain dirinya di dalam kelas itu. Semua menatapnya dengan pandangan yang berbeda-beda, ada yang penuh rasa ingin tahu ada juga yang terlihat acuh tak acuh.
"Semuanya," kata Miss Anita, suaranya lembut tapi tegas. "Hari ini kita kedatangan siswa baru. Silakan Evan, perkenalkan dirimu!"
Evan menelan ludah, mencoba mengabaikan tatapan penuh rasa ingin tahu, sinis, dan bahkan beberapa lirikan skeptis dari para siswa. Ruangan itu entah kenapa seakan penuh dengan tekanan tak terlihat, membuat udara terasa berat.
Ia mengambil napas dalam-dalam sebelum membuka mulut. "Selamat pagi, perkenalkan saya Evan." Suaranya terdengar cukup mantap, meskipun ada sedikit ketegangan. "Saya harap kita bisa bekerja sama di sini."
Seorang perempuan di meja ke dua dari sudut kanan mengangkat tangan sebelum bertanya, “Kenapa pindah?”
“Urusan keluarga,” Evan menjawab singkat, tidak ingin menjelaskan lebih jauh.
“Mana mungkin, pasti dikeluarkan dari sekolah, ya?” Suara lain terdengar dari pojok kiri kelas. Seorang laki-laki dengan rambut cepak dan wajah sinis. Yang menarik perhatian Evan adalah jaket kulit yang dipakai laki-laki itu serasi dengan milik Kael.
“Rai, tidak sopan bertanya dengan nada menuduh begitu kepada orang yang baru kamu kenal,” Miss Anita menyela sebelum Evan sempat menjawab pertanyaan pemuda itu. Pemuda itu-Rai-cengengesan mendengar teguran dari Miss Anita, “Hehe..maaf Miss, tidak bermaksud seperti itu sama sekali,” ujarnya sambil kemudian menoleh ke arah Evan dengan senyum tipis yang bagi Evan terlihat palsu.
“Yasudah, perkenalannya dilanjut nanti saja, Evan kamu bisa duduk dengan Sasha ya,” Miss Anita menunjuk ke arah perempuan yang tadi bertanya alasan kepindahan Evan.
Evan membungkuk sedikit pada Miss Anita sebelum berjalan menuju mejanya, ia disambut dengan senyum manis dari gadis bernama Sasha itu. “Halo!” Sasha mengulurkan tangan pada Evan, mengajaknya untuk berjabat tangan.
“Hai,” Evan menyambut jabatan tangan itu.
Dari tempatnya Evan dapat merasakan ada yang memperhatikan gerak geriknya. Nalurinya segera bekerja. Dia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa pemilik tatapan itu. Pikiran Evan langsung tertuju pada sosok Rai. Ia memilih mengabaikannya dan menatap fokus pada Miss Anita yang sedang menjelaskan rencana pembelajaran untuk satu semester ke depan. Namun, pikirannya penuh dengan berbagai skenario yang sudah ia susun. Semua langkah, semua strategi, harus dieksekusi dengan hati-hati. Satu langkah salah, dan semua yang ia rencanakan bisa berantakan.
_____
“...di sebelah sini ruang seni,” kata Sera sambil menunjuk ke pintu besar dengan lukisan abstrak yang menghiasinya. “Selain buat jam kesenian ya biasanya dipake sama anak-anak ekskul seni buat ngumpul atau nyimpen lukisan mereka. ” Evan dan Sera saat ini sedang berjalan berdampingan menyusuri lorong-lorong Akademi Crimson. Sera sedang menjelaskan tentang denah gedung akademi dan ruangan-ruangan yang ada di dalamnya. Hari ini adalah hari pertama semester karena itulah tidak seperti hari biasanya, kegiatan di kelas hanya diisi oleh wali kelas untuk menjelaskan terkait rencana pembelajaran satu semester ke depan. Setelah itu para siswa di berikan waktu luang untuk merancang kegiatan non akademis mereka selama satu semester ke depan. Akademi ini tidak hanya peduli pada nilai akademis siswa, tetapi mereka juga sangat memperhatikan minat dan bakat siswa di bidang non akademis.Evan mengangguk sambil melirik ke dalam ruangan yang ditunjuk Sera. Ia melihat beberapa siswa sedang asyik mencoret
Saat ini Sera dan Evan sedang berjalan menuju asrama akademi. Crimson Ridge Academy memang memiliki asrama sendiri yang terletak di bagian timur gedung utama, dikelilingi dengan taman yang luas dan rapi. Semua siswa yang terdaftar di akademi ini akan tinggal di asrama dan hanya bisa pulang ke rumah saat liburan semester. Kebijakan ini dibuat untuk memastikan perkembangan setiap siswa terpantau secara optimal—baik dalam akademik maupun kepribadian mereka. Evan mengamati bangunan asrama yang besar dan kokoh dengan arsitektur modern bercampur elemen klasik. Gedung asrama ini terbagi menjadi dua bagian, sebelah kanan adalah asrama perempuan dan sebelah kiri adalah asrama laki-laki. Tadi pagi, ia sebenarnya sudah sempat mengunjungi asrama ini sebelum ke gedung utama. Waktu itu, ia hanya memiliki kesempatan singkat untuk menitipkan barang-barangnya di kamar yang telah ditentukan. Berbeda dari siswa lainnya yang biasanya datang tiga sampai tujuh hari lebih awal untuk berkemas dan beradaptas
“Evan!” Suara seorang gadis menghentikan langkah Evan yang hampir sampai di ruang makan. Ia menoleh dan mendapati Sasha melambaikan tangan ke arahnya.“Sasha.” Evan menyapa singkat sambil menunggu gadis itu menyusulnya."Mau makan malam ya?" tanya Sasha setelah mendekat, senyum ramah menghiasi wajahnya."Iya," jawab Evan sambil mengangguk."Boleh aku bergabung?" tanyanya lagi dengan nada ceria."Tentu saja, kenapa tidak?""Siapa tahu sudah ada teman. Oh ya, kau sekamar dengan siapa?" Keduanya kini sudah masuk dan tengah berjalan ke stand makanan.“Dengan Rai,” Evan menjawab singkat tanpa berpikir.Mendengar itu, Sasha mengangkat alisnya, wajahnya sedikit terkejut. “Ohh wow, bagaimana keadaannya?” Sasha bertanya. Evan memikirkan kembali interaksinya sore tadi dengan Rai. Mereka tidak banyak berinteraksi. Pemuda sibuk dengan hal lain selama Evan membongkar barang-barangnya. Kemudian
Pagi itu, udara terasa segar dan dingin, menyapa kulit Evan yang baru terbangun. Angin pagi menyusup melalui jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma segar rumput basah dan tanah yang masih diliputi embun. Sinar matahari yang mulai menembus celah tirai memberikan nuansa hangat pada ruangan. Evan membuka mata perlahan, menghela napas panjang. Ia menggeliat di tempat tidurnya, merasakan otot-ototnya yang tegang setelah tidur malam yang tidak terlalu nyenyak.Ia menoleh ke samping dan melihat bahwa tempat tidur di sebelahnya kosong. Evan kemudian teringat percakapannya kemarin malam dengan teman sekamarnya itu...Ia baru saja selesai mandi dan sedang mengeringkan rambutnya untuk kemudian bersiap tidur ketika pintu kamar terbuka dan menampilkan sosok Rai yang entah kenapa terlihat kaget. “Oh! Sial, aku lupa kalau sudah punya teman sekamar, aku kira kau adalah penyusup,” ujar pemuda itu.“Santai saja, lama-lama juga akan terbiasa,” balas Evan. Rai hanya berdehem singkat sebelum mengam
Ares.Evan ragu sejenak. Ia tahu Ares mungkin tidak mengingat dirinya—karena pemuda itu bukan tipe orang yang peduli dengan lingkungan sekitar.Dengan langkah hati-hati, Evan berjalan ke meja kosong di samping Ares. "Permisi," katanya sambil duduk.Ares, yang sebelumnya tampak tenggelam dalam pikirannya, tidak langsung menoleh. Ia hanya mengangguk kecil tanpa memberikan banyak perhatian pada Evan, tetap fokus pada laptop di depannya.Evan masih ingat betul bagaimana Ares menangani soal-soal matematika di Olimpiade dengan begitu mudah. Semua orang terkesima melihat kecepatan dan ketepatannya, termasuk Evan. Tapi untuk Ares, itu adalah hal yang biasa saja, sebuah kemampuan alami yang dia miliki.Tiba-tiba, Evan merasa sedikit penasaran. Apakah dia benar-benar tidak ingat aku sama sekali? pikirnya.Dengan sedikit keraguan, Evan membuka mulutnya, berusaha memulai percakapan tanpa terkesan mengganggu. "Hei, Ares... kita pernah bertemu di Olimpiade Matematika tahun lalu, kan?"Ares hanya me
Evan saat ini berada di salah satu sudut perpustakaan akademi. Ruangan yang sunyi terlepas dari beberapa murid yang terlihat. Terdapat rak-rak buku yang menjulang tinggi juga beberapa perangkat komputer. Di meja tempatnya duduk, ponsel milik Evan tergeletak dengan layar menyala, menampilkan percakapan terakhirnya dengan seorang teman. Pemuda itu saat ini sedang menunggu pesan dari temannya.Evan baru dua hari di akademi ini, tapi ia sudah bisa memastikan beberapa hal. Akademi Crimson memang sangat berbeda dari sekolah biasanya. Sekilas memang terlihat bebas, tapi sebenarnya segala sesuatu yang terjadi di akademi diawasi dengan sangat ketat.Salah satunya perangkat komunikasi yang harus tersambung dengan jaringan sekolah sehingga semua data yang ada di ponsel siswa akan tercatat dalam sistem sekolah. Karena itulah sebelum masuk ke akademi ini Evan meminta bantuan temannya untuk memodifikasi ponsel miliknya. Modifikasi ini memungkinkan beberapa aplikasi dan data pribadinya terhindar dar
Evan melangkah pelan di koridor menuju kelas selanjutnya, matanya sesekali melirik arloji di tangannya. Setelah hampir terlambat di jam kedua tadi, ia memutuskan untuk masuk ke kelas lebih awal. Masih ada lima belas menit lagi sebelum kelas dimulai. Setiap pergantian kelas ada jeda waktu lima belas menit yang sengaja diatur akademi untuk memberi ruang bagi siswa berpindah dari satu kelas ke kelas lain. Saat melewati koridor samping yang menghadap taman akademi untuk menuju ruang kelas, perhatian Evan teralihkan oleh rumah kaca di sudut taman itu.Karena rasa penasaran yang muncul, Evan memutuskan untuk mendekat. Pintu rumah kaca itu sedikit terbuka dan aroma tanah basah segera menyambutnya. Di dalam rumah kaca, suasananya lembab dan tenang. Dedaunan dari tanaman merambat menjuntai dari langit-langit, sementara pot-pot besar dengan bunga eksotis berbaris di sepanjang jalur. Beberapa tanaman tampak familiar, sementara yang lain terlihat mencolok dan sedikit asing.Di antara deretan pot-
Saat ini jam pelajaran terakhir. Kelas terakhir untuk hari ini adalah Kelas Seni. Evan sudah duduk dengan rapi di kelas lima belas menit sebelum jam pelajaran dimulai. Di sampingnya ada Sasha. Gadis itu sedang sibuk dengan ponselnya, ia bilang sedang mengabari Sera yang juga mengambil kelas ini. Evan merasa beruntung ada orang yang dikenalnya di kelas ini.Pemuda itu memperhatikan sekitar. Sebelumnya, ia hanya sempat melihat dari luar. Ruangan ini memiliki desain yang klasik. Lantai dan dindingnya dilapisi marmer, memberikan kesan mewah dan elegan. Tempat duduk disusun setengah melingkari ruangan itu dengan kanvas dan peralatan seni disisinya. Kemudian ada sebuah jendela besar menghadap ke arah taman akademi, membiarkan cahaya matahari masuk dan menciptakan nuansa lembut. Beberapa karya seni dipajang di dinding ruangan untuk menambah estetika.“Sera! Di sini!” suara Sasha yang duduk di sampingnya mengalihkan perhatian Evan.Gadis yang dipanggil oleh Sasha itu melangkah menuju tempat du
Saat ini jam pelajaran terakhir. Kelas terakhir untuk hari ini adalah Kelas Seni. Evan sudah duduk dengan rapi di kelas lima belas menit sebelum jam pelajaran dimulai. Di sampingnya ada Sasha. Gadis itu sedang sibuk dengan ponselnya, ia bilang sedang mengabari Sera yang juga mengambil kelas ini. Evan merasa beruntung ada orang yang dikenalnya di kelas ini.Pemuda itu memperhatikan sekitar. Sebelumnya, ia hanya sempat melihat dari luar. Ruangan ini memiliki desain yang klasik. Lantai dan dindingnya dilapisi marmer, memberikan kesan mewah dan elegan. Tempat duduk disusun setengah melingkari ruangan itu dengan kanvas dan peralatan seni disisinya. Kemudian ada sebuah jendela besar menghadap ke arah taman akademi, membiarkan cahaya matahari masuk dan menciptakan nuansa lembut. Beberapa karya seni dipajang di dinding ruangan untuk menambah estetika.“Sera! Di sini!” suara Sasha yang duduk di sampingnya mengalihkan perhatian Evan.Gadis yang dipanggil oleh Sasha itu melangkah menuju tempat du
Evan melangkah pelan di koridor menuju kelas selanjutnya, matanya sesekali melirik arloji di tangannya. Setelah hampir terlambat di jam kedua tadi, ia memutuskan untuk masuk ke kelas lebih awal. Masih ada lima belas menit lagi sebelum kelas dimulai. Setiap pergantian kelas ada jeda waktu lima belas menit yang sengaja diatur akademi untuk memberi ruang bagi siswa berpindah dari satu kelas ke kelas lain. Saat melewati koridor samping yang menghadap taman akademi untuk menuju ruang kelas, perhatian Evan teralihkan oleh rumah kaca di sudut taman itu.Karena rasa penasaran yang muncul, Evan memutuskan untuk mendekat. Pintu rumah kaca itu sedikit terbuka dan aroma tanah basah segera menyambutnya. Di dalam rumah kaca, suasananya lembab dan tenang. Dedaunan dari tanaman merambat menjuntai dari langit-langit, sementara pot-pot besar dengan bunga eksotis berbaris di sepanjang jalur. Beberapa tanaman tampak familiar, sementara yang lain terlihat mencolok dan sedikit asing.Di antara deretan pot-
Evan saat ini berada di salah satu sudut perpustakaan akademi. Ruangan yang sunyi terlepas dari beberapa murid yang terlihat. Terdapat rak-rak buku yang menjulang tinggi juga beberapa perangkat komputer. Di meja tempatnya duduk, ponsel milik Evan tergeletak dengan layar menyala, menampilkan percakapan terakhirnya dengan seorang teman. Pemuda itu saat ini sedang menunggu pesan dari temannya.Evan baru dua hari di akademi ini, tapi ia sudah bisa memastikan beberapa hal. Akademi Crimson memang sangat berbeda dari sekolah biasanya. Sekilas memang terlihat bebas, tapi sebenarnya segala sesuatu yang terjadi di akademi diawasi dengan sangat ketat.Salah satunya perangkat komunikasi yang harus tersambung dengan jaringan sekolah sehingga semua data yang ada di ponsel siswa akan tercatat dalam sistem sekolah. Karena itulah sebelum masuk ke akademi ini Evan meminta bantuan temannya untuk memodifikasi ponsel miliknya. Modifikasi ini memungkinkan beberapa aplikasi dan data pribadinya terhindar dar
Ares.Evan ragu sejenak. Ia tahu Ares mungkin tidak mengingat dirinya—karena pemuda itu bukan tipe orang yang peduli dengan lingkungan sekitar.Dengan langkah hati-hati, Evan berjalan ke meja kosong di samping Ares. "Permisi," katanya sambil duduk.Ares, yang sebelumnya tampak tenggelam dalam pikirannya, tidak langsung menoleh. Ia hanya mengangguk kecil tanpa memberikan banyak perhatian pada Evan, tetap fokus pada laptop di depannya.Evan masih ingat betul bagaimana Ares menangani soal-soal matematika di Olimpiade dengan begitu mudah. Semua orang terkesima melihat kecepatan dan ketepatannya, termasuk Evan. Tapi untuk Ares, itu adalah hal yang biasa saja, sebuah kemampuan alami yang dia miliki.Tiba-tiba, Evan merasa sedikit penasaran. Apakah dia benar-benar tidak ingat aku sama sekali? pikirnya.Dengan sedikit keraguan, Evan membuka mulutnya, berusaha memulai percakapan tanpa terkesan mengganggu. "Hei, Ares... kita pernah bertemu di Olimpiade Matematika tahun lalu, kan?"Ares hanya me
Pagi itu, udara terasa segar dan dingin, menyapa kulit Evan yang baru terbangun. Angin pagi menyusup melalui jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma segar rumput basah dan tanah yang masih diliputi embun. Sinar matahari yang mulai menembus celah tirai memberikan nuansa hangat pada ruangan. Evan membuka mata perlahan, menghela napas panjang. Ia menggeliat di tempat tidurnya, merasakan otot-ototnya yang tegang setelah tidur malam yang tidak terlalu nyenyak.Ia menoleh ke samping dan melihat bahwa tempat tidur di sebelahnya kosong. Evan kemudian teringat percakapannya kemarin malam dengan teman sekamarnya itu...Ia baru saja selesai mandi dan sedang mengeringkan rambutnya untuk kemudian bersiap tidur ketika pintu kamar terbuka dan menampilkan sosok Rai yang entah kenapa terlihat kaget. “Oh! Sial, aku lupa kalau sudah punya teman sekamar, aku kira kau adalah penyusup,” ujar pemuda itu.“Santai saja, lama-lama juga akan terbiasa,” balas Evan. Rai hanya berdehem singkat sebelum mengam
“Evan!” Suara seorang gadis menghentikan langkah Evan yang hampir sampai di ruang makan. Ia menoleh dan mendapati Sasha melambaikan tangan ke arahnya.“Sasha.” Evan menyapa singkat sambil menunggu gadis itu menyusulnya."Mau makan malam ya?" tanya Sasha setelah mendekat, senyum ramah menghiasi wajahnya."Iya," jawab Evan sambil mengangguk."Boleh aku bergabung?" tanyanya lagi dengan nada ceria."Tentu saja, kenapa tidak?""Siapa tahu sudah ada teman. Oh ya, kau sekamar dengan siapa?" Keduanya kini sudah masuk dan tengah berjalan ke stand makanan.“Dengan Rai,” Evan menjawab singkat tanpa berpikir.Mendengar itu, Sasha mengangkat alisnya, wajahnya sedikit terkejut. “Ohh wow, bagaimana keadaannya?” Sasha bertanya. Evan memikirkan kembali interaksinya sore tadi dengan Rai. Mereka tidak banyak berinteraksi. Pemuda sibuk dengan hal lain selama Evan membongkar barang-barangnya. Kemudian
Saat ini Sera dan Evan sedang berjalan menuju asrama akademi. Crimson Ridge Academy memang memiliki asrama sendiri yang terletak di bagian timur gedung utama, dikelilingi dengan taman yang luas dan rapi. Semua siswa yang terdaftar di akademi ini akan tinggal di asrama dan hanya bisa pulang ke rumah saat liburan semester. Kebijakan ini dibuat untuk memastikan perkembangan setiap siswa terpantau secara optimal—baik dalam akademik maupun kepribadian mereka. Evan mengamati bangunan asrama yang besar dan kokoh dengan arsitektur modern bercampur elemen klasik. Gedung asrama ini terbagi menjadi dua bagian, sebelah kanan adalah asrama perempuan dan sebelah kiri adalah asrama laki-laki. Tadi pagi, ia sebenarnya sudah sempat mengunjungi asrama ini sebelum ke gedung utama. Waktu itu, ia hanya memiliki kesempatan singkat untuk menitipkan barang-barangnya di kamar yang telah ditentukan. Berbeda dari siswa lainnya yang biasanya datang tiga sampai tujuh hari lebih awal untuk berkemas dan beradaptas
“...di sebelah sini ruang seni,” kata Sera sambil menunjuk ke pintu besar dengan lukisan abstrak yang menghiasinya. “Selain buat jam kesenian ya biasanya dipake sama anak-anak ekskul seni buat ngumpul atau nyimpen lukisan mereka. ” Evan dan Sera saat ini sedang berjalan berdampingan menyusuri lorong-lorong Akademi Crimson. Sera sedang menjelaskan tentang denah gedung akademi dan ruangan-ruangan yang ada di dalamnya. Hari ini adalah hari pertama semester karena itulah tidak seperti hari biasanya, kegiatan di kelas hanya diisi oleh wali kelas untuk menjelaskan terkait rencana pembelajaran satu semester ke depan. Setelah itu para siswa di berikan waktu luang untuk merancang kegiatan non akademis mereka selama satu semester ke depan. Akademi ini tidak hanya peduli pada nilai akademis siswa, tetapi mereka juga sangat memperhatikan minat dan bakat siswa di bidang non akademis.Evan mengangguk sambil melirik ke dalam ruangan yang ditunjuk Sera. Ia melihat beberapa siswa sedang asyik mencoret
Seorang pemuda berdiri mematung di depan gerbang besar Crimson Ridge Academy. Papan nama sekolah itu terpampang megah, dengan huruf-huruf emas yang tampak bersinar di bawah sinar matahari pagi. Suasana sekitar ramai oleh siswa yang berlalu-lalang, sebagian berbincang ceria, sebagian lagi berjalan cepat seolah mengejar waktu.Namun, bagi pemuda itu semua ini terasa seperti pemandangan asing. Ada sesuatu yang berat di dadanya, seperti bayangan tak kasatmata yang menghalangi setiap langkahnya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa gugup yang perlahan menjalar. Tangannya mengepal erat, dan pandangannya tertuju lurus ke depan.Ini bukan saatnya ragu, pikirnya.Langkah pertama akhirnya ia ayunkan, melewati gerbang yang menandai babak baru dalam hidupnya......Pemuda itu berdiri dengan canggung di depan pintu ruang kepala akademi, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak beraturan. Di tangannya ada map dengan dokumen-dokumen pindahan, dan di punggungnya, tas yang tera