Behind the Kindness

Pagi itu, udara terasa segar dan dingin, menyapa kulit Evan yang baru terbangun. Angin pagi menyusup melalui jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma segar rumput basah dan tanah yang masih diliputi embun. Sinar matahari yang mulai menembus celah tirai memberikan nuansa hangat pada ruangan. Evan membuka mata perlahan, menghela napas panjang. Ia menggeliat di tempat tidurnya, merasakan otot-ototnya yang tegang setelah tidur malam yang tidak terlalu nyenyak.

Ia menoleh ke samping dan melihat bahwa tempat tidur di sebelahnya kosong. Evan kemudian teringat percakapannya kemarin malam dengan teman sekamarnya itu.

.

.

Ia baru saja selesai mandi dan sedang mengeringkan rambutnya untuk kemudian bersiap tidur ketika pintu kamar terbuka dan menampilkan sosok Rai yang entah kenapa terlihat kaget. “Oh! Sial, aku lupa kalau sudah punya teman sekamar, aku kira kau adalah penyusup,” ujar pemuda itu.

“Santai saja, lama-lama juga akan terbiasa,” balas Evan. Rai hanya berdehem singkat sebelum mengambil handuk di lemarinya dan masuk ke kamar mandi. Sementara Evan kemudian lanjut mengeringkan rambutnya dengan handuk. Pemuda itu lalu mengemasi beberapa barangnya yang ada di atas tempat tidur, kemudian bersantai sambil memainkan ponselnya. Evan membalas pesan dari beberapa temannya di sekolah lama, kebanyakan dari mereka menanyakan bagaimana kondisi Evan dan penasaran dengan suasana di akademi.

Akademi Crimson memang memperbolehkan siswa-siswanya memakai ponsel ataupun alat komunikasi lainnya namun setiap alat komunikasi harus tersambung dengan jaringan di akademi. Hal ini dilakukan untuk memantau aktivitas siswa, mencegah agar tidak ada tindakan ilegal yang dilakukan.

Evan sedang memainkan gim di ponselnya saat Rai keluar dari kamar mandi. Pemuda itu juga bersiap untuk tidur sepertinya. Rai duduk di kasurnya sambil memandang Evan yang masih berkutat dengan gim di ponselnya. “Aku lihat kau sudah dekat dengan Sasha, ya,” katanya tiba-tiba.

Evan menoleh pada Rai, sedikit terkejut pemuda itu mengajaknya bicara. “Dia ramah,” jawabnya singkat.

“Jadi kau akan bergabung dengan mereka?” tanya Rai, nadanya terdengar serius.

“Bergabung?”

“Kau pasti sudah dapat informasi tentang sistem kelompok yang ada di akademi ini,” ucap Rai sambil menyilangkan tangan.

“Ya, lalu?” Evan bertanya, sedikit bingung.

“Sasha mendekatimu, kurasa dia ingin kau bergabung dengan kelompoknya,” lanjut Rai.

“Dia sama sekali tidak menyinggung hal itu,” kata Evan dengan nada tenang.

“Oh, benarkah?” Rai mengangkat alis, ekspresi tidak percaya jelas terlihat di wajahnya.

“Ya... lagi pula kalau dia memang ingin aku bergabung dengan kelompoknya juga tidak masalah, dia ramah, kelompoknya juga pasti sama,”

Rai mendengus mendengar perkataan Evan, “Ya, sangat ramah,” ujarnya dengan nada sarkastik. Evan mengernyitkan dahi mendengar nada bicara Rai.

“Kau... tidak suka dia?” Evan bertanya dengan ragu-ragu, mencoba memahami maksud Rai.

“Bukan dia, aku hanya tidak suka dengan orang yang bermuka dua,” Rai menjawab singkat.

“Bermuka dua?” Evan mengulangi kata itu, penasaran.

Rai tidak menjawab, ia malah balik bertanya, “Apa yang dia katakan tentangku?”

“Tidak ada,”

Rai mendengus, jelas tidak percaya dengan jawaban itu. “Tidak perlu berbohong, aku yakin dia bilang kalau aku bukan orang baik, aku juga yakin dia bilang kalau Wolves adalah kelompok yang suka cari masalah dan lebih baik tidak usah bergaul dengan kami.”

Evan hanya diam saja tidak menanggapi perkataan Rai.

“Aku benar, kan?” lanjut Rai, tersenyum remeh. Ia lalu berkata dengan nada dingin, “Sekedar saran dariku, jangan terlalu percaya semua yang dikatakan orang hanya karena dia ramah padamu.” Setelah berkata begitu Rai berbaring memunggungi Evan dan tidur.

Evan menatap punggung pemuda itu dengan pandangan rumit.

.

.

Suara pintu kamar mandi yang dibuka menyadarkan Evan dari lamunannya. Rai keluar dari kamar mandi dengan seragam akademi. Evan kemudian beranjak untuk mengambil seragam dan peralatan mandinya untuk bersiap mandi juga. Ia melirik sekilas ke arah Rai yang sedang sibuk merapikan penampilannya sebelum kemudian masuk ke kamar mandi.

Saat Evan selesai mandi, kamar itu sudah kosong. Rai sudah pergi lebih dulu. Evan melihat jadwal miliknya untuk hari ini. Jam pertama adalah kelas Matematika. Setelah itu, ia punya kelas Sastra, Sains dan terakhir kelas Seni.

Akademi Crimson dikenal dengan kurikulumnya yang khas, memberi kebebasan bagi siswa untuk memilih mata pelajaran yang ingin mereka ambil sesuai dengan bakat dan minat masing-masing. Pada awal semester pertama, siswa biasanya akan diberikan tes bakat untuk melihat bidang apa yang cocok dengan mereka. Setelah itu, mereka kemudian akan diarahkan untuk memilih pelajaran yang sejalan dengan hasil tes bakat mereka, tapi mereka juga dapat memilih pelajaran yang merupakan minat mereka. Pembagian kelas pun dilakukan bukan untuk mengelompokkan siswa seperti di sekolah umumnya, tetapi hanya untuk menentukan guru yang akan bertanggung jawab atas mereka, bisa dikatakan seperti pembimbing akademik.

Evan, tentu saja, memilih pelajaran yang berhubungan dengan Matematika dan Sains sebagai bidang utamanya, karena itulah yang paling dia kuasai dan nikmati.

.

.

.

Evan menyusuri lorong akademi dengan perlahan untuk mencari ruang kelas matematika. Suasana kelas tidak begitu ramai, dengan siswa-siswa yang sudah mengambil tempat duduk mereka. Dari banyaknya meja di kelas itu, Evan bisa memperkirakan ada 15 orang yang mengikuti kelas itu. Ia berhenti sejenak, mencari meja kosong di antara banyak meja yang telah terisi. Tiba-tiba matanya menangkap satu tempat yang kosong. Seorang pemuda sudah mengisi meja di samping tempat itu. Pemuda itu tengah sibuk dengan laptop di hadapannya, ia terlihat sibuk mengetik entah apa, tidak peduli keadaan di sekitarnya.

Ares.

_____