Ares.
Evan ragu sejenak. Ia tahu Ares mungkin tidak mengingat dirinya—karena pemuda itu bukan tipe orang yang peduli dengan lingkungan sekitar.
Dengan langkah hati-hati, Evan berjalan ke meja kosong di samping Ares. "Permisi," katanya sambil duduk.
Ares, yang sebelumnya tampak tenggelam dalam pikirannya, tidak langsung menoleh. Ia hanya mengangguk kecil tanpa memberikan banyak perhatian pada Evan, tetap fokus pada laptop di depannya.
Evan masih ingat betul bagaimana Ares menangani soal-soal matematika di Olimpiade dengan begitu mudah. Semua orang terkesima melihat kecepatan dan ketepatannya, termasuk Evan. Tapi untuk Ares, itu adalah hal yang biasa saja, sebuah kemampuan alami yang dia miliki.
Tiba-tiba, Evan merasa sedikit penasaran. Apakah dia benar-benar tidak ingat aku sama sekali? pikirnya.
Dengan sedikit keraguan, Evan membuka mulutnya, berusaha memulai percakapan tanpa terkesan mengganggu. "Hei, Ares... kita pernah bertemu di Olimpiade Matematika tahun lalu, kan?"
Ares hanya memberikan sedikit respons tanpa mengalihkan pandangannya dari laptopnya. "Olimpiade?" jawabnya dengan suara datar, tidak terlalu tertarik. "Mungkin. Aku tidak ingat."
Evan tersenyum canggung, sedikit bingung, namun mencoba melanjutkan. "Ya, kita bertanding di final."
Ares meliriknya sekilas, lalu kembali fokus pada laptopnya. "Oh... itu ya," jawabnya acuh tak acuh. “Aku ingat mengalahkanmu dengan skor telak, pertandingan yang mudah,” ujar Ares tanpa menoleh pada Evan. Namun, pemuda itu dapat melihat senyum remeh yang terpatri di wajah Ares.
Evan belum sempat menanggapi saat sebuah suara perempuan dari belakang mereka menyela, “Ares, meremehkan orang saat berbicara pertama kali dengan mereka itu tidak baik tau,” tegurnya dengan nada main-main. Evan menoleh, memperhatikan seorang perempuan dengan rambut coklat cerah yang dikepang rapi dan sebuah buku di tangannya menatap ke arah mereka. Itu Selina. Evan samar-samar ingat wajah gadis itu yang berada di sisi Nadira kemarin. Ia tidak terlalu memperhatikan gadis ini karena terfokus pada Ares. Selain itu, Selina dari tadi memang menunduk, tenggelam dalam buku yang ia baca sehingga Ares tidak menyadari kalau itu adalah dia.
“Aku hanya bilang yang sebenarnya,”
“Bagaimana menurutmu, Evan? Apakah dia benar-benar sehebat itu?” tanyanya, nadanya ringan tetapi Evan bisa mendengar sedikit provokasi dalam ucapannya
“Yah... menurutku itu pertandingan yang sulit, dia hebat bisa menjawab semua soal dengan sempurna. Aku memang tidak bisa mengalahkannya.” Evan menjawab dengan hati-hati.
Selina tertawa kecil mendengar jawaban Evan. Dia menutup bukunya dengan gerakan santai, “Aku tidak heran, justru aku akan sangat terkejut kalau kau bisa mengalahkan Ares,” katanya sambil berpangku tangan memandang Evan. “Aku melihat pertandingan itu dan kau memang lebih baik dari yang lain, tapi jujur saja belum ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan Ares,” lanjut Selina dengan senyum ceria yang tampak polos di wajahnya.
Evan mengangguk pelan, mendengar perkataan Selina meskipun harga dirinya sedikit terusik. “Ya... kurasa begitu,” katanya.
“Mungkin lain kali kau bisa menang,” Ares tiba-tiba berkata. Dia melirik Evan dengan ekspresi yang sulit diterka sebelum menambahkan “Saat aku tidak ikut serta.”
Selina terkekeh mendengar komentar Ares. Sementara Evan tertawa canggung, tidak tahu bagaimana menanggapi itu. Pembicaraan mereka kemudian terputus ketika seorang wanita dengan rambut hitam lurus yang diikat rapi dan mengenakan kemeja putih serta rok pensil hitam melangkah masuk ke dalam kelas. Sebuah tablet berada di tangannya, dan tatapan matanya tajam namun hangat.
“Selamat pagi semua!” sapanya, suaranya tegas namun hangat.
“Pagi Miss Anita!” jawab semua murid serempak.
“Pagi yang cerah ya, cocok untuk mengasah otak,” ujar Miss Anita dengan senyum manis di wajahnya. “Di layar sudah ada sebuah soal, saya ingin kalian menyelesaikan soal ini, anggap saja makanan pembuka sebelum kita masuk ke materi utamanya,” lanjut Miss Anita
.
.
.
Bel tanda istirahat pertama sudah berbunyi. Beberapa siswa juga sudah terlihat beranjak ke luar kelas, menyisakan beberapa orang yang masih merapikan meja dan peralatannya.
Evan sedang bersiap untuk keluar ketika Selina menghampirinya. “Hai, Evan. Ini sedikit terlambat dan kita bahkan sudah berbicara tadi. Namaku Selina, kurasa Sera sudah menyebutkannya padamu, tapi tetap saja lebih baik kalau kita berkenalan langsung,” ujar gadis itu dengan senyum ramah di wajahnya dan uluran tangan pada Evan.
Evan membalas uluran tangan Selina. “Ya, Sera bilang kau ketua klub musik,” kata Evan.
Selina mengangguk membenarkan. “Benar, berminat untuk bergabung dengan klub musik? Aku lihat kau menikmati penampilan Nadira kemarin,” ucapnya kemudian dengan senyum menggoda pada Evan.
“Eh, aku hanya tidak sengaja melihatnya dan permainan pianonya memang sangat indah,”
“Kau bicara dengan Nadira?” Ares tiba-tiba ikut menyela. Nada suaranya terdengar sedikit kesal entah kenapa.
Evan menoleh, sedikit terkejut dengan intervensi Ares. “Tidak, hanya berpapasan sekilas saja,” jawabnya cepat.
“Tidak perlu kesal begitu,” ucap Selina sambil melirik Ares dengan senyum kecil di wajahnya.
“Aku tidak kesal,” balas Ares, nadanya datar, cukup tegas untuk memotong pembicaraan.
Selina mengangkat bahu santai. “Ya sudah, aku akan pergi menemuinya sekarang, kau ikut?” tanyanya kemudian pada Ares.
“Duluan saja,” jawab Ares tanpa menoleh pada Selina.
“Baiklah," kata Selina sambil kemudian menoleh pada Evan. "Evan, aku duluan ya! Kalau mau bergabung dengan klub musik, hubungi aku saja,” ujarnya sambil berlalu.
Evan mengangguk sopan. “Tentu,” sahutnya singkat. Selina kemudian pergi keluar, meninggalkan Evan dan Ares.
Evan menoleh pada Ares yang masih terpaku pada layar laptopnya. Wajahnya tampak serius. “Ares, aku duluan ya,” ujarnya.
Ares hanya membalas dengan dehem pendek, tanpa repot-repot menoleh. Evan menghela napas kecil, lalu melangkah keluar ruangan dengan pikiran yang sedikit mengambang.
_____
Evan saat ini berada di salah satu sudut perpustakaan akademi. Ruangan yang sunyi terlepas dari beberapa murid yang terlihat. Terdapat rak-rak buku yang menjulang tinggi juga beberapa perangkat komputer. Di meja tempatnya duduk, ponsel milik Evan tergeletak dengan layar menyala, menampilkan percakapan terakhirnya dengan seorang teman. Pemuda itu saat ini sedang menunggu pesan dari temannya.Evan baru dua hari di akademi ini, tapi ia sudah bisa memastikan beberapa hal. Akademi Crimson memang sangat berbeda dari sekolah biasanya. Sekilas memang terlihat bebas, tapi sebenarnya segala sesuatu yang terjadi di akademi diawasi dengan sangat ketat.Salah satunya perangkat komunikasi yang harus tersambung dengan jaringan sekolah sehingga semua data yang ada di ponsel siswa akan tercatat dalam sistem sekolah. Karena itulah sebelum masuk ke akademi ini Evan meminta bantuan temannya untuk memodifikasi ponsel miliknya. Modifikasi ini memungkinkan beberapa aplikasi dan data pribadinya terhindar dar
Evan melangkah pelan di koridor menuju kelas selanjutnya, matanya sesekali melirik arloji di tangannya. Setelah hampir terlambat di jam kedua tadi, ia memutuskan untuk masuk ke kelas lebih awal. Masih ada lima belas menit lagi sebelum kelas dimulai. Setiap pergantian kelas ada jeda waktu lima belas menit yang sengaja diatur akademi untuk memberi ruang bagi siswa berpindah dari satu kelas ke kelas lain. Saat melewati koridor samping yang menghadap taman akademi untuk menuju ruang kelas, perhatian Evan teralihkan oleh rumah kaca di sudut taman itu.Karena rasa penasaran yang muncul, Evan memutuskan untuk mendekat. Pintu rumah kaca itu sedikit terbuka dan aroma tanah basah segera menyambutnya. Di dalam rumah kaca, suasananya lembab dan tenang. Dedaunan dari tanaman merambat menjuntai dari langit-langit, sementara pot-pot besar dengan bunga eksotis berbaris di sepanjang jalur. Beberapa tanaman tampak familiar, sementara yang lain terlihat mencolok dan sedikit asing.Di antara deretan pot-
Saat ini jam pelajaran terakhir. Kelas terakhir untuk hari ini adalah Kelas Seni. Evan sudah duduk dengan rapi di kelas lima belas menit sebelum jam pelajaran dimulai. Di sampingnya ada Sasha. Gadis itu sedang sibuk dengan ponselnya, ia bilang sedang mengabari Sera yang juga mengambil kelas ini. Evan merasa beruntung ada orang yang dikenalnya di kelas ini.Pemuda itu memperhatikan sekitar. Sebelumnya, ia hanya sempat melihat dari luar. Ruangan ini memiliki desain yang klasik. Lantai dan dindingnya dilapisi marmer, memberikan kesan mewah dan elegan. Tempat duduk disusun setengah melingkari ruangan itu dengan kanvas dan peralatan seni disisinya. Kemudian ada sebuah jendela besar menghadap ke arah taman akademi, membiarkan cahaya matahari masuk dan menciptakan nuansa lembut. Beberapa karya seni dipajang di dinding ruangan untuk menambah estetika.“Sera! Di sini!” suara Sasha yang duduk di sampingnya mengalihkan perhatian Evan.Gadis yang dipanggil oleh Sasha itu melangkah menuju tempat du
Matahari mulai tenggelam di balik gedung Akademi Crimson, mewarnai langit dengan semburat jingga dan ungu. Evan, yang baru saja menyelesaikan kelas terakhirnya hari ini, sedang dalam perjalanan menuju asrama saat ia kemudian berhenti sebentar di lapangan olahraga akademi. Ia memutuskan untuk duduk di salah satu kursi di pinggir lapangan. Terlihat beberapa siswa sedang bermain baseball. Kegiatan klub sepertinya. Namun, yang mengalihkan perhatian Evan adalah pemandangan matahari yang perlahan terbenam di sore itu dan semilir angin lembut yang menyentuh wajahnya, memberikan sedikit ketenangan pada pemuda itu.Sejak kematian Ivana pikiran dan hatinya tidak lagi menemukan kedamaian, selalu dihantui oleh kegelisahan. Setiap malam, mimpi-mimpi buruk menyergap tanpa ampun, membangunkannya dalam kegelapan dan keputusasaan. Pil tidur yang ia konsumsi, meskipun hanya memberikan ketenangan sementara, adalah satu-satunya pelarian dari badai emosi yang terus menyerbu pikirannya, mengusir sejenak ba
Saat Rai berbalik, ia menatap Evan dengan tatapan yang tidak dapat dijelaskan oleh pemuda itu. Ada kecurigaan di matanya namun ada hal lain juga yang tidak dapat ia mengerti.“Dari mana kau mendapatkan semua artikel ini?” Rai bertanya pada Evan. Suaranya terdengar penuh selidik, matanya tajam memperhatikan setiap gerak gerik Evan.“Internet,” Evan menjawab singkat dengan ekspresi datar.Rai mendengus mendengar jawaban Evan, jelas tidak percaya dengan jawabannya. “Hah... jangan bercanda! Semua artikel itu sudah dihapus dari internet. Tidak ada lagi yang bisa ditemukan,” ujarnya dengan nada keras.Evan mempertahankan ekspresi datarnya. “Temanku yang mengirimkannya saat aku bilang akan pindah ke akademi ini. Itu sudah lama, kurasa sebelum artikelnya dihapus,” jelasnya dengan tenang.Rai menyipitkan mata. “Dan kau menyimpan file-file nya selama ini? Omong kosong!” ucap Rai dengan nada sinis. Suaranya meninggi.“Aku hanya belum sempat membacanya saat itu. Jadi, aku mengunduhnya untuk dibaca
"Ivana..." bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.Namun, itu saja cukup untuk membuat waktu seakan berhenti bagi Evan.Mendengar nama itu, hati Evan berdegup kencang. Ia mengendurkan cengkeramannya sedikit, cukup untuk memungkinkan Rai bergerak lebih leluasa namun tetap dalam kendalinya....Kini keduanya tengah duduk di ranjang masing-masing, saling berhadapan namun sibuk dengan pikiran mereka sendiri-sendiri. Tidak ada dari mereka yang berniat memecah keheningan yang menggantung di kamar itu.Evan akhirnya berdiri, menghela napas sebelum meraih kursinya yang terjatuh akibat dorongan mendadak dari Rai tadi. Ia membetul
Seorang pemuda berdiri di ujung lorong yang gelap. Udara di sekitarnya terasa dingin, menusuk hingga ke tulang. Keheningan membungkus tempat itu, hanya dipecahkan oleh suara langkah-langkah yang bergema di kejauhan. Langkah itu bukan miliknya. Ia mengikuti suara langkah itu.Sosok familiar terlihat di depannya. Ia tahu siapa itu."Ivana..." bisiknya pelan, seperti sebuah doa yang kehilangan harapan.Pemuda itu kemudian berteriak tanpa ragu saat sosok itu mulai kembali menjauh, "Berhenti!" Suaranya menggema, memantul di antara dinding-dinding lorong yang terasa semakin sempit. Namun, sosok itu terus berjalan. Samar-samar dapat terlihat kondisi gadis itu dengan seragam sekolah yang kusam dan rambut hitam tergerai acak menutupi sebagian wajahnya. Langkah-langkahnya pelan tetapi tak terhentikan, seperti bayangan yang bergerak di antara gelap.Pemuda itu masih mencoba mengejarnya. Namun, setiap langkahnya terasa berat, seperti berlari di atas pasir hisap. Napasnya memburu, dadanya terasa
Seorang pemuda berdiri mematung di depan gerbang besar Crimson Ridge Academy. Papan nama sekolah itu terpampang megah, dengan huruf-huruf emas yang tampak bersinar di bawah sinar matahari pagi. Suasana sekitar ramai oleh siswa yang berlalu-lalang, sebagian berbincang ceria, sebagian lagi berjalan cepat seolah mengejar waktu.Namun, bagi pemuda itu semua ini terasa seperti pemandangan asing. Ada sesuatu yang berat di dadanya, seperti bayangan tak kasatmata yang menghalangi setiap langkahnya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa gugup yang perlahan menjalar. Tangannya mengepal erat, dan pandangannya tertuju lurus ke depan.Ini bukan saatnya ragu, pikirnya.Langkah pertama akhirnya ia ayunkan, melewati gerbang yang menandai babak baru dalam hidupnya......Pemuda itu berdiri dengan canggung di depan pintu ruang kepala akademi, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak beraturan. Di tangannya ada map dengan dokumen-dokumen pindahan, dan di punggungnya, tas yang tera
"Ivana..." bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.Namun, itu saja cukup untuk membuat waktu seakan berhenti bagi Evan.Mendengar nama itu, hati Evan berdegup kencang. Ia mengendurkan cengkeramannya sedikit, cukup untuk memungkinkan Rai bergerak lebih leluasa namun tetap dalam kendalinya....Kini keduanya tengah duduk di ranjang masing-masing, saling berhadapan namun sibuk dengan pikiran mereka sendiri-sendiri. Tidak ada dari mereka yang berniat memecah keheningan yang menggantung di kamar itu.Evan akhirnya berdiri, menghela napas sebelum meraih kursinya yang terjatuh akibat dorongan mendadak dari Rai tadi. Ia membetul
Saat Rai berbalik, ia menatap Evan dengan tatapan yang tidak dapat dijelaskan oleh pemuda itu. Ada kecurigaan di matanya namun ada hal lain juga yang tidak dapat ia mengerti.“Dari mana kau mendapatkan semua artikel ini?” Rai bertanya pada Evan. Suaranya terdengar penuh selidik, matanya tajam memperhatikan setiap gerak gerik Evan.“Internet,” Evan menjawab singkat dengan ekspresi datar.Rai mendengus mendengar jawaban Evan, jelas tidak percaya dengan jawabannya. “Hah... jangan bercanda! Semua artikel itu sudah dihapus dari internet. Tidak ada lagi yang bisa ditemukan,” ujarnya dengan nada keras.Evan mempertahankan ekspresi datarnya. “Temanku yang mengirimkannya saat aku bilang akan pindah ke akademi ini. Itu sudah lama, kurasa sebelum artikelnya dihapus,” jelasnya dengan tenang.Rai menyipitkan mata. “Dan kau menyimpan file-file nya selama ini? Omong kosong!” ucap Rai dengan nada sinis. Suaranya meninggi.“Aku hanya belum sempat membacanya saat itu. Jadi, aku mengunduhnya untuk dibaca
Matahari mulai tenggelam di balik gedung Akademi Crimson, mewarnai langit dengan semburat jingga dan ungu. Evan, yang baru saja menyelesaikan kelas terakhirnya hari ini, sedang dalam perjalanan menuju asrama saat ia kemudian berhenti sebentar di lapangan olahraga akademi. Ia memutuskan untuk duduk di salah satu kursi di pinggir lapangan. Terlihat beberapa siswa sedang bermain baseball. Kegiatan klub sepertinya. Namun, yang mengalihkan perhatian Evan adalah pemandangan matahari yang perlahan terbenam di sore itu dan semilir angin lembut yang menyentuh wajahnya, memberikan sedikit ketenangan pada pemuda itu.Sejak kematian Ivana pikiran dan hatinya tidak lagi menemukan kedamaian, selalu dihantui oleh kegelisahan. Setiap malam, mimpi-mimpi buruk menyergap tanpa ampun, membangunkannya dalam kegelapan dan keputusasaan. Pil tidur yang ia konsumsi, meskipun hanya memberikan ketenangan sementara, adalah satu-satunya pelarian dari badai emosi yang terus menyerbu pikirannya, mengusir sejenak ba
Saat ini jam pelajaran terakhir. Kelas terakhir untuk hari ini adalah Kelas Seni. Evan sudah duduk dengan rapi di kelas lima belas menit sebelum jam pelajaran dimulai. Di sampingnya ada Sasha. Gadis itu sedang sibuk dengan ponselnya, ia bilang sedang mengabari Sera yang juga mengambil kelas ini. Evan merasa beruntung ada orang yang dikenalnya di kelas ini.Pemuda itu memperhatikan sekitar. Sebelumnya, ia hanya sempat melihat dari luar. Ruangan ini memiliki desain yang klasik. Lantai dan dindingnya dilapisi marmer, memberikan kesan mewah dan elegan. Tempat duduk disusun setengah melingkari ruangan itu dengan kanvas dan peralatan seni disisinya. Kemudian ada sebuah jendela besar menghadap ke arah taman akademi, membiarkan cahaya matahari masuk dan menciptakan nuansa lembut. Beberapa karya seni dipajang di dinding ruangan untuk menambah estetika.“Sera! Di sini!” suara Sasha yang duduk di sampingnya mengalihkan perhatian Evan.Gadis yang dipanggil oleh Sasha itu melangkah menuju tempat du
Evan melangkah pelan di koridor menuju kelas selanjutnya, matanya sesekali melirik arloji di tangannya. Setelah hampir terlambat di jam kedua tadi, ia memutuskan untuk masuk ke kelas lebih awal. Masih ada lima belas menit lagi sebelum kelas dimulai. Setiap pergantian kelas ada jeda waktu lima belas menit yang sengaja diatur akademi untuk memberi ruang bagi siswa berpindah dari satu kelas ke kelas lain. Saat melewati koridor samping yang menghadap taman akademi untuk menuju ruang kelas, perhatian Evan teralihkan oleh rumah kaca di sudut taman itu.Karena rasa penasaran yang muncul, Evan memutuskan untuk mendekat. Pintu rumah kaca itu sedikit terbuka dan aroma tanah basah segera menyambutnya. Di dalam rumah kaca, suasananya lembab dan tenang. Dedaunan dari tanaman merambat menjuntai dari langit-langit, sementara pot-pot besar dengan bunga eksotis berbaris di sepanjang jalur. Beberapa tanaman tampak familiar, sementara yang lain terlihat mencolok dan sedikit asing.Di antara deretan pot-
Evan saat ini berada di salah satu sudut perpustakaan akademi. Ruangan yang sunyi terlepas dari beberapa murid yang terlihat. Terdapat rak-rak buku yang menjulang tinggi juga beberapa perangkat komputer. Di meja tempatnya duduk, ponsel milik Evan tergeletak dengan layar menyala, menampilkan percakapan terakhirnya dengan seorang teman. Pemuda itu saat ini sedang menunggu pesan dari temannya.Evan baru dua hari di akademi ini, tapi ia sudah bisa memastikan beberapa hal. Akademi Crimson memang sangat berbeda dari sekolah biasanya. Sekilas memang terlihat bebas, tapi sebenarnya segala sesuatu yang terjadi di akademi diawasi dengan sangat ketat.Salah satunya perangkat komunikasi yang harus tersambung dengan jaringan sekolah sehingga semua data yang ada di ponsel siswa akan tercatat dalam sistem sekolah. Karena itulah sebelum masuk ke akademi ini Evan meminta bantuan temannya untuk memodifikasi ponsel miliknya. Modifikasi ini memungkinkan beberapa aplikasi dan data pribadinya terhindar dar
Ares.Evan ragu sejenak. Ia tahu Ares mungkin tidak mengingat dirinya—karena pemuda itu bukan tipe orang yang peduli dengan lingkungan sekitar.Dengan langkah hati-hati, Evan berjalan ke meja kosong di samping Ares. "Permisi," katanya sambil duduk.Ares, yang sebelumnya tampak tenggelam dalam pikirannya, tidak langsung menoleh. Ia hanya mengangguk kecil tanpa memberikan banyak perhatian pada Evan, tetap fokus pada laptop di depannya.Evan masih ingat betul bagaimana Ares menangani soal-soal matematika di Olimpiade dengan begitu mudah. Semua orang terkesima melihat kecepatan dan ketepatannya, termasuk Evan. Tapi untuk Ares, itu adalah hal yang biasa saja, sebuah kemampuan alami yang dia miliki.Tiba-tiba, Evan merasa sedikit penasaran. Apakah dia benar-benar tidak ingat aku sama sekali? pikirnya.Dengan sedikit keraguan, Evan membuka mulutnya, berusaha memulai percakapan tanpa terkesan mengganggu. "Hei, Ares... kita pernah bertemu di Olimpiade Matematika tahun lalu, kan?"Ares hanya me
Pagi itu, udara terasa segar dan dingin, menyapa kulit Evan yang baru terbangun. Angin pagi menyusup melalui jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma segar rumput basah dan tanah yang masih diliputi embun. Sinar matahari yang mulai menembus celah tirai memberikan nuansa hangat pada ruangan. Evan membuka mata perlahan, menghela napas panjang. Ia menggeliat di tempat tidurnya, merasakan otot-ototnya yang tegang setelah tidur malam yang tidak terlalu nyenyak.Ia menoleh ke samping dan melihat bahwa tempat tidur di sebelahnya kosong. Evan kemudian teringat percakapannya kemarin malam dengan teman sekamarnya itu...Ia baru saja selesai mandi dan sedang mengeringkan rambutnya untuk kemudian bersiap tidur ketika pintu kamar terbuka dan menampilkan sosok Rai yang entah kenapa terlihat kaget. “Oh! Sial, aku lupa kalau sudah punya teman sekamar, aku kira kau adalah penyusup,” ujar pemuda itu.“Santai saja, lama-lama juga akan terbiasa,” balas Evan. Rai hanya berdehem singkat sebelum mengam
“Evan!” Suara seorang gadis menghentikan langkah Evan yang hampir sampai di ruang makan. Ia menoleh dan mendapati Sasha melambaikan tangan ke arahnya.“Sasha.” Evan menyapa singkat sambil menunggu gadis itu menyusulnya."Mau makan malam ya?" tanya Sasha setelah mendekat, senyum ramah menghiasi wajahnya."Iya," jawab Evan sambil mengangguk."Boleh aku bergabung?" tanyanya lagi dengan nada ceria."Tentu saja, kenapa tidak?""Siapa tahu sudah ada teman. Oh ya, kau sekamar dengan siapa?" Keduanya kini sudah masuk dan tengah berjalan ke stand makanan.“Dengan Rai,” Evan menjawab singkat tanpa berpikir.Mendengar itu, Sasha mengangkat alisnya, wajahnya sedikit terkejut. “Ohh wow, bagaimana keadaannya?” Sasha bertanya. Evan memikirkan kembali interaksinya sore tadi dengan Rai. Mereka tidak banyak berinteraksi. Pemuda sibuk dengan hal lain selama Evan membongkar barang-barangnya. Kemudian