“Raiga menghamili seorang gadis.”“Apa?” Ghea sangat terkejut mendengar apa yang disampaikan oleh Daniel. Pria itu awalnya ingin memberitahu dengan cara yang lebih santai, tapi ternyata tidak bisa bertele-tele. “Jangan bercanda!” Ghea seolah tidak terima dan tidak percaya dengan apa yang dikatakan sang suami. “Untuk apa bercanda? ini serius. Raiga memang menghamili seorang gadis. Gadis itu yang meminjamkan helikopter untuk membawa Sean pergi dari pulau Kilikili, dia anak jenderal, kini Raiga dimintai pertanggungjawaban.” Daniel menjelaskan dengan sangat rinci. Ghea yang mendengar hal itu seketika merasa kepalanya pusing. Dia memijat dengan keras karena mendadak matanya ikut berkunang-kunang.“Ya Tuhan, tidak ayah, tidak anak. Kenapa semuanya menghamili anak orang.” Ghea benar-benar pusing dibuatnya, bagaimana mungkin kedua putranya sama-sama menghamili anak orang dan melakukan perbuatan dosa. Daniel menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia juga bingung harus bagaimana, karena k
Hari yang ditunggu pun tiba, Sean akhirnya sudah diperbolehkan pulang meski masih harus menggunakan kursi roda. Dia pulang bersama Zie dan juga Raiga.Begitu sampai di rumah, ternyata seluruh anggota keluarga sudah berkumpul untuk menyambut kedatangan Sean. Mereka bahagia, bahkan Ghea sampai kembali menitikkan air mata. “Syukurlah kamu sudah boleh pulang.”Ucapan demi ucapan terlontar sebagai rasa syukur, karena Sean sudah kembali ke rumah. Kediaman Zie hari itu sangat ramai, seluruh keluarga menyambut kepulangan Sean dan mengadakan acara makan-makan.“Aku sangat bahagia karena Sean akhirnya sehat dan sudah diperbolehkan pulang. Dalam kesempatan kali ini, aku juga mau menyampaikan satu kabar gembira lagi," ucap Zie. Ia menoleh Sean, menyambut uluran tangan suaminya itu dan tersenyum penuh kebahagiaan. "Kabar apa? Jangan membuat kami penasaran,"ucap Ghea. "Ken akan punya adik, aku hamil." Zie menyampaikan kabar bahagia itu ke semua orang dengan wajah semringah. Semua orang langsung
“Papa bicara apa? mana mungkin aku begitu? Aku dan dia benar saling menyukai.”Yura mengelak, menyembunyikan kebenaran dari Aris sepertinya tidak mudah. Ia bahkan bingung harus bagaimana jika papanya kembali mencecar dengan sebuah pertanyaan, beruntung Aris memutuskan tak lagi bertanya dan pergi meninggalkan kamarnya.Yura memegangi dada yang hampir melompat keluar, dia mengusap-usapnya seolah baru saja selamat dari sebuah bencana.Setelah Aris pergi, Yura buru-buru mengambil ponselnya dan mengirim pesan ke Raiga. Ia mengingatkan pria itu untuk benar-benar menepati janji atau papanya akan murka.Raiga yang membaca pesan itu hanya bisa membuang napas kasar, berpikir bahwa ini lah akhir dari hidupnya, menikah dengan wanita yang sama sekali tidak dia cintai.Raiga memasukkan ponsel ke dalam kantung celana, dia memandang taman rumah dengan perasaan tak karuan, dia bahkan belum memikirkan setelah menikah harus tinggal di mana, yang jelas dia tidak ingin berada di rumah keluarga Yura, di sa
Zie memandang Sean yang sedang menikmati panasnya cahaya matahari pagi di halaman rumah, lantas memperhatikan Keenan yang sedang belajar berjalan dengan pengasuhnya. Masih terngiang di telinga Zie tentang pertanyaan Sean semalam. Mungkinkah suaminya itu akan bisa berjalan kembali.Zie sedih, bukan karena pertanyaan Sean tapi karena pria itu seolah kehilangan semangat saat menanyakan masalah itu padanya. Meski hatinya dirundung perasaan gundah, tapi Zie mencoba untuk terus menjadi penyemangat Sean.“Sudah atau belum?” Zie mendekat ke Sean, mengusap kening pria itu yang berkeringat.“Belum, sebentar lagi, mumpung panas dan udaranya enak,”jawab Sean. Matanya seketika membelalak melihat Keenan jatuh dan menangis. “Zie!” ucapnya panik.Zie menoleh, tapi bukannya langsung menolong sang putra dia malah berkata tidak apa-apa.“Ken hebat,”ucapnya lalu menghampiri sang putra. Zie berjongkok di depan Keenan, memberikan semangat ke sang putra, meski dia kurang yakin Keenan mengerti apa yang dia m
“Tidak perlu cemas, semua pasti akan bisa kamu lewati, aku akan mendoakanmu dari sini.” Zie menoleh Sean. Suaminya itu nampak menempelkan ponsel ke telinga. Sean sedang menghubungi Raiga, memberi semangat ke sang adik yang saat ini sedang menuju kediaman Aris untuk melamar Yura. “Sean, jika terjadi apa-apa denganku tolong jaga mama dan papa, warisanku sumbangkan semuanya ke panti asuhan dan yayasan sosial, karena aku tidak ingin semuanya jatuh ke tanganmu” “Haish … dasar! jangan terlalu overthinking, kamu pasti akan baik-baik saja,”kata Sean. Ia menutup panggilan setelah Raiga pamit karena saat itu sedang mengemudi. “Kenapa? apa dia grogi?” tanya Zie yang tahu dengan siapa suaminya itu berbicara. “Dia sangat ketakutan bahkan meninggalkan wasiat.” Bukannya iba, Zie malah tertawa. Ia menggelengkan kepala tak percaya dengan sikap Raiga yang sedikit pengecut. Zie pikir Raiga itu tak memiliki rasa takut sedikitpun, tapi nyatanya sang adik ipar takut juga menghadapi ayah Yura. “Sean,
“Aku hamil, aku mengandung anaknya.”Mungkin jika otak Yura sudah konslet dia akan menjawab seperti itu. Namun, karena dia tahu bagaimana karakter Aris, Yura pun memilih berdusta.“Karena banyak gadis yang menggilai kak Rai, jika tidak diikat nanti dia kabur. Direbut gadis lain.”Hening. Alasan Yura sepertinya tidak menggerakkan hati Aris. Pria itu malah memandanginya dengan alis bergelombang.“Apa kurang meyakinkan?” gumam Yura di dalam hati. Pandangannya bersirobok dengan Aris dan dia pun buru-buru mencari alasan tambahan.“Pokoknya aku mau menikah dengannya cepat-cepat, Pa. Aku tidak bisa hidup tanpanya. Lagipula nikah itu ibadah,”kata Yura. “Sialan! bisa tidak kamu membantuku bicara dan jangan hanya diam saja.”Yura memulas senyum aneh, dia menoleh Raiga dan memberikan kode ke pria itu agar mau ikut bersandiwara dengannya di depan Aris.“Om, percayalah ke kami! Saya tahu Om pasti mencemaskan banyak hal karena Yura masih muda, tapi saya …. “ Raiga ragu, dia menjeda lisan dan kini A
“Kenapa memandangku seperti itu? apa ada yang aneh? Aku belepotan?”“Tidak, aku hanya sedang mengagumi wajahmu. Karena kamu tampan.”Zie dan Sean sengaja keluar rumah dua jam lebih awal untuk melakukan terapi hari itu. Mereka meninggalkan Keenan di rumah Gia bersama sang pengasuh. Zie berkata sangat ingin makan gelato, hingga mereka pun mampir ke resto kudapan favorit Zie itu, memesan dua cone gelato dengan rasa berbeda untuk dinikmati bersama.“Apa kamu tidak malu?”“Malu? Malu apa?” Zie kaget. Ia mengerutkan alis karena tak paham maksud pertanyaan Sean barusan.“Pergi dengan pria cacat.”“Sean!”Zie melongo, mulutnya terbuka tapi dia tak bisa berkata-kata. Zie menoleh ke sekitar untuk memastikan, mungkinkah Sean berkata seperti itu karena orang lain memandangnya dengan tatapan aneh.“Jangan bicara seperti itu! kamu membuatku sakit hati, siapa yang bilang kamu cacat, dokter bilang sarafmu belum pulih dengan benar, jadi kamu harus memakai kursi roda,”ucap Zie. Ia terlihat seperti seda
“Lihat! dia sudah sebesar buah persik,”ucap dokter kandungan saat memeriksa kandungan Zie.“Apa belum kelihatan dia perempuan atau laki-laki, Dok?”Sean penasaran, meski laki-laki atau perempuan tetap saja anak itu adalah darah dagingnya, tapi jika boleh berharap Sean ingin mendapat anak perempuan untuk melengkapi keluarga kecilnya dan Zie.“Belum, mungkin dua bulan lagi,”jawab dokter dengan senyuman ramah.Dokter itu memberi kode ke perawat yang menjadi asistennya untuk membantu Zie turun dari atas ranjang, dia lantas duduk kembali ke kursinya dan mulai menuliskan resep berupa vitamin untuk Zie.“Oh … ya saya dengar adik Anda akan menikah dalam waktu dekat.”Di sela menuliskan resep dokter mengajak Sean dan Zie membicarakan hal lain. Mereka heran, kenapa bisa berita itu sudah tersebar, padahal baru kemarin orangtuanya mendatangi rumah Yura.“Dari mana Anda tahu, Dok?” tanya Zie penasaran.“Itu, status WA dokter Raiga. Ah … jangan-jangan Anda berdua diblok,”ucap Dokter yang memang seu