Zie memandang Sean yang sedang menikmati panasnya cahaya matahari pagi di halaman rumah, lantas memperhatikan Keenan yang sedang belajar berjalan dengan pengasuhnya. Masih terngiang di telinga Zie tentang pertanyaan Sean semalam. Mungkinkah suaminya itu akan bisa berjalan kembali.Zie sedih, bukan karena pertanyaan Sean tapi karena pria itu seolah kehilangan semangat saat menanyakan masalah itu padanya. Meski hatinya dirundung perasaan gundah, tapi Zie mencoba untuk terus menjadi penyemangat Sean.“Sudah atau belum?” Zie mendekat ke Sean, mengusap kening pria itu yang berkeringat.“Belum, sebentar lagi, mumpung panas dan udaranya enak,”jawab Sean. Matanya seketika membelalak melihat Keenan jatuh dan menangis. “Zie!” ucapnya panik.Zie menoleh, tapi bukannya langsung menolong sang putra dia malah berkata tidak apa-apa.“Ken hebat,”ucapnya lalu menghampiri sang putra. Zie berjongkok di depan Keenan, memberikan semangat ke sang putra, meski dia kurang yakin Keenan mengerti apa yang dia m
“Tidak perlu cemas, semua pasti akan bisa kamu lewati, aku akan mendoakanmu dari sini.” Zie menoleh Sean. Suaminya itu nampak menempelkan ponsel ke telinga. Sean sedang menghubungi Raiga, memberi semangat ke sang adik yang saat ini sedang menuju kediaman Aris untuk melamar Yura. “Sean, jika terjadi apa-apa denganku tolong jaga mama dan papa, warisanku sumbangkan semuanya ke panti asuhan dan yayasan sosial, karena aku tidak ingin semuanya jatuh ke tanganmu” “Haish … dasar! jangan terlalu overthinking, kamu pasti akan baik-baik saja,”kata Sean. Ia menutup panggilan setelah Raiga pamit karena saat itu sedang mengemudi. “Kenapa? apa dia grogi?” tanya Zie yang tahu dengan siapa suaminya itu berbicara. “Dia sangat ketakutan bahkan meninggalkan wasiat.” Bukannya iba, Zie malah tertawa. Ia menggelengkan kepala tak percaya dengan sikap Raiga yang sedikit pengecut. Zie pikir Raiga itu tak memiliki rasa takut sedikitpun, tapi nyatanya sang adik ipar takut juga menghadapi ayah Yura. “Sean,
“Aku hamil, aku mengandung anaknya.”Mungkin jika otak Yura sudah konslet dia akan menjawab seperti itu. Namun, karena dia tahu bagaimana karakter Aris, Yura pun memilih berdusta.“Karena banyak gadis yang menggilai kak Rai, jika tidak diikat nanti dia kabur. Direbut gadis lain.”Hening. Alasan Yura sepertinya tidak menggerakkan hati Aris. Pria itu malah memandanginya dengan alis bergelombang.“Apa kurang meyakinkan?” gumam Yura di dalam hati. Pandangannya bersirobok dengan Aris dan dia pun buru-buru mencari alasan tambahan.“Pokoknya aku mau menikah dengannya cepat-cepat, Pa. Aku tidak bisa hidup tanpanya. Lagipula nikah itu ibadah,”kata Yura. “Sialan! bisa tidak kamu membantuku bicara dan jangan hanya diam saja.”Yura memulas senyum aneh, dia menoleh Raiga dan memberikan kode ke pria itu agar mau ikut bersandiwara dengannya di depan Aris.“Om, percayalah ke kami! Saya tahu Om pasti mencemaskan banyak hal karena Yura masih muda, tapi saya …. “ Raiga ragu, dia menjeda lisan dan kini A
“Kenapa memandangku seperti itu? apa ada yang aneh? Aku belepotan?”“Tidak, aku hanya sedang mengagumi wajahmu. Karena kamu tampan.”Zie dan Sean sengaja keluar rumah dua jam lebih awal untuk melakukan terapi hari itu. Mereka meninggalkan Keenan di rumah Gia bersama sang pengasuh. Zie berkata sangat ingin makan gelato, hingga mereka pun mampir ke resto kudapan favorit Zie itu, memesan dua cone gelato dengan rasa berbeda untuk dinikmati bersama.“Apa kamu tidak malu?”“Malu? Malu apa?” Zie kaget. Ia mengerutkan alis karena tak paham maksud pertanyaan Sean barusan.“Pergi dengan pria cacat.”“Sean!”Zie melongo, mulutnya terbuka tapi dia tak bisa berkata-kata. Zie menoleh ke sekitar untuk memastikan, mungkinkah Sean berkata seperti itu karena orang lain memandangnya dengan tatapan aneh.“Jangan bicara seperti itu! kamu membuatku sakit hati, siapa yang bilang kamu cacat, dokter bilang sarafmu belum pulih dengan benar, jadi kamu harus memakai kursi roda,”ucap Zie. Ia terlihat seperti seda
“Lihat! dia sudah sebesar buah persik,”ucap dokter kandungan saat memeriksa kandungan Zie.“Apa belum kelihatan dia perempuan atau laki-laki, Dok?”Sean penasaran, meski laki-laki atau perempuan tetap saja anak itu adalah darah dagingnya, tapi jika boleh berharap Sean ingin mendapat anak perempuan untuk melengkapi keluarga kecilnya dan Zie.“Belum, mungkin dua bulan lagi,”jawab dokter dengan senyuman ramah.Dokter itu memberi kode ke perawat yang menjadi asistennya untuk membantu Zie turun dari atas ranjang, dia lantas duduk kembali ke kursinya dan mulai menuliskan resep berupa vitamin untuk Zie.“Oh … ya saya dengar adik Anda akan menikah dalam waktu dekat.”Di sela menuliskan resep dokter mengajak Sean dan Zie membicarakan hal lain. Mereka heran, kenapa bisa berita itu sudah tersebar, padahal baru kemarin orangtuanya mendatangi rumah Yura.“Dari mana Anda tahu, Dok?” tanya Zie penasaran.“Itu, status WA dokter Raiga. Ah … jangan-jangan Anda berdua diblok,”ucap Dokter yang memang seu
“Raiga bilang dia belum bisa membuka hati.” Sean dan Zie pun sama-sama kaget. Mereka menatap Ghea yang mengedikkan bahu seolah ingin berkata dia tidak punya kuasa untuk memaksa Raiga. “Sudahlah, yang penting anak itu memiliki status. Apa yang akan terjadi di masa depan kita hadapi saja.” Ghea menepuk paha Zie lantas berdiri. “Mama akan siapkan makanan kesukaan kalian,”ucapnya meninggalkan putra dan sang menantu berdua. Zie menekuk bibir, dia menoleh Sean dan yakin mereka sama-sama prihatin dengan apa yang terjadi. Ghea bahkan sampai ingin melakukan ruwatan agar tidak ada lagi hal buruk yang menimpa keluarga. Terlalu banyak problema yang menghantam keluarga Tyaga. Di dalam hati Ghea sejatinya merasa bersalah, mungkinkah semua ini terjadi karena dirinya masuk ke dalam keluarga. Ghea berusaha menyiapkan masakan di dapur, dia mengambil bahan makanan dari dalam kulkas, tapi sepertinya melamun. Tanpa sadar wanita itu meletakkan wadah terlalu miring, alhasil semua isinya tumpah dan berant
“Mama nggak perlu ke rumah sakit, Rai.” Ghea yang sakit baru saja diperiksa oleh Raiga. Putra bungsunya itu mengecek tekanan darah dan juga suhu badan. Meski kondisinya bisa dibilang masih normal, tapi Raiga cemas dan meminta Ghea untuk pergi ke rumah sakit saja agar bisa mendapatkan penanganan. “Kalian apa-apaan sih? jangan memperlakukan Mama seperti orang yang sedang sekarat.” Ghea semakin dibuat tak enak hati melihat Sean dan Zie masuk ke dalam kamarnya. “Apa kamu tadi menggunakan tangga?” tanyanya penasaran. “Mama, dengarkan apa yang Rai bilang. Bukankah Mama dulu menyekolahkannya tinggi-tinggi memang untuk hal-hal seperti ini.” Bukannya menjawab pertanyaan Ghea, Sean malah berkomentar soal sang adik. “Kami naik lift.” Akhirnya Zie yang harus menjawab pertanyaan sang mertua. Sean mendekat ke ranjang Ghea, memandang wajah wanita yang melahirkannya itu dengan mimik cemas. “Mama benar-benar baik-baik saja ‘kan?” tanya Sean untuk memastikan. “Apa Mama begini karena aku?” Raiga
Zie memandang Ken yang tidur di box bayi kamarnya sendiri, dia mengusap pipi gembul putranya itu lalu mengeluarkan jempol Ken dari dalam mulut. “Aku harus ke baby shop mencari alat untuk melindungi jempol Ken, bisa-bisa jempolnya gepeng karena terus dia hisap,”ucap Zie. Ia sudah menerapkan sleep training ke bayi itu sejak usianya tiga bulan, hingga Keenan bisa tidur sendiri di kamar tanpa butuh dia tunggui atau tidurkan. Setelah memastikan Keenan baik-baik saja, Zie tak langsung kembali ke kamarnya dan Sean. Ia memilih untuk merapikan mainan yang berantakan, lalu mencuci dot milik bayinya ke dapur. Niatnya menginap sebenarnya untuk menggoda Raiga, tapi adik iparnya itu malah pulang malam, dan lagi Ghea juga tiba-tiba sakit. Zie masih sibuk dengan botol dot dan sikatnya, dia tak sadar seorang mengendap mendekat dan dengan iseng membuatnya kaget. “Dor!” “Rai! Dasar kamu ya!” Jantung Zie hampir saja melompat keluar karena tingkah Raiga, dia mencipratkan air ke muka adik iparnya itu