“Iya, aku di sini!” Zie bergegas meninggalkan Raiga untuk mendatangi Sean. Ia kaget dan merasa mungkin saja Sean mendengar apa yang tadi dibicarakannya dengan sang adik ipar. Meskipun Sean bersikap biasa, tapi Zie gemetaran. Raiga menoleh, dengan santainya dia bertanya kenapa Sean belum tidur. “Kamu pikir aku Keenan,”ucap Sean menyembunyikan perasaannya. Ia pun mengajak Zie kembali ke kamar, meninggalkan Raiga sendirian di dapur. “Sial! Zie pasti sudah tahu,”gumam Raiga. Ia menyugar rambutnya kasar menyesal sudah keceplosan. Sementara itu setibanya di kamar, Sean berpindah sendiri dari kursi roda ke ranjang. Hal yang wajar karena bukan kali pertama ini dia melakukan itu. Namun, apa yang terjadi beberapa menit yang lalu membuat Zie merasa tak enak hati. Ia duduk di samping Sean dan memindai wajah suaminya itu. “Kenapa?” Sean mengangsurkan tangan, menyematkan helaian rambut Zie ke belakang telinga. “Aku dan Raiga tadi …. “ “Aku mendengarnya, dia ingin mengatakan perasaannya padam
Zie dan Sean baru saja merasakan indahnya merengkuh surga dunia. Mereka masih berpelukan di atas ranjang, enggan untuk menutup mata karena baru saja melewati hal yang paling menyenangkan. "Boleh tidak aku membahas Rai?" Sean meminta persetujuan, dia hanya takut Zie tak berkenan dan mood wanita itu menjadi berantakan. "Hem..., apa yang ingin kamu bahas? Apa soal hubungan kami?" "Tidak, untuk yang satu itu aku sudah yakin kalau kamu tidak mungkin akan berpaling, aku sudah memborgol hatimu, dan kuncinya kubuang di laut pulau Kilikili." Sean membuat Zie tertawa, wanita itu semakin merapatkan badan dan memeluknya erat. "Aku merasa kasihan padanya, dia benar-benar akan menjalani rumah tangga tanpa cinta, dia juga jelas belum tahu bagaimana sifat calon istrinya, kalau aku lihat sekilas, gadis itu sangat manja,"tutur Sean. Zie mendongak, dia menatap Sean heran, karena pria itu ternyata juga bisa mengomentari seseorang tanpa mengenal secara dekat lebih dulu. "Apa ini benar Seanku?" tanya
Santi kaget mendapat pertanyaan seperti itu, hingga balas melempar pertanyaan ke sang majikan. “Setelah saya pulang, apa mas Ken makan?” Zie seolah baru sadar kalau kemarin Keenan tidur awal sampai melewatkan waktu makan. Ia pun menggeleng, memandang Santi yang meraih Keenan dari gendongan Daniel. “Mungkin mas Ken, lapar!” Santi menggoda Keenan, memasang muka lucu untuk membuat bayi itu tertawa. “Sudah makan belum, Bu?” tanyanya. “Sudah aku suapi, tapi dia seperti tak berselera.” Zie mengerutkan kening, dia menyadari satu hal, sepertinya dia terlalu abai ke putranya sampai-sampai Keenan lebih lengket ke sang pengasuh. “Saya boleh permisi ke dalam, Bu. Saya akan coba buatkan makanan.” Ghea mengangguk, begitu juga dengan Zie yang merasa sedikit gelisah. Setelah Santi masuk, Ghea pun berjalan mengantar Daniel menuju mobil, meninggalkan Zie yang masih mematung di posisinya. Sementara itu, Sean dan Raiga masih berada di ruang tengah. Raiga memiliki sedikit waktu luang, dia tidak perlu
“Bagaimana kalau aku saja yang mengantar Zie dan Ken ke dokter? sekalian aku berangkat ke rumah sakit.” Raiga menawarkan diri, dia yakin Sean pasti akan setuju dengan pendapatnya karena sadar akan repot jika harus mengajaknya serta. Zie yang mendengar tawaran Raiga memilih untuk tidak langsung menjawab, dia memandang suaminya lebih dulu, menanti respon Sean atas niat baik sang adik. “Itu jauh lebih baik, Rai bisa membantumu agar Ken tidak perlu antri.” Sean mengangguk meyakinkan sang istri. Namun, Santi tiba-tiba melarang, memberi alasan kalau Keenan baik-baik saja, tidak perlu membawa anak yang tidak sakit ke rumah sakit - yang merupakan sarang penyakit. “Mungkin mas Ken hanya sedang lelah, Bu.” Santi berharap Zie mendengarkan pendapatnya. Ia takut kalau sampai Keenan diperiksa darah, lalu terdeteksi ada obat penenang di tubuh bayi itu. Raiga mengerutkan kening mendengar bantahan dari Santi, mulutnya yang kadang tak terfilter hari itu bisa sedikit dikondisikan, karena hampir sa
Setelah hampir satu jam menunggu, akhirnya dokter anak itu datang juga. Zie yang mendapat privilege dari Raiga pun bergegas masuk agar bisa segera menjelaskan kondisi Keenan. Seandainya dokter anak putranya memiliki jadwal praktik, tentu saja dia tidak perlu ke dokter – yang sudah membuatnya menunggu selama tadi. Hormon kehamilan, situasi yang terjadi dan kecemasan yang melanda Zie, menjadi pemicu kenapa dia bisa sekesal ini. “Tidak ada demam, tidak salah makan, tapi lemas.” Dokter mengulang penjelasan Zie sambil memeriksa detak jantung Keenan. Ia mencurigai sesuatu dan akhirnya meminta agar Keenan diambil contoh darahnya untuk diperiksa di laboratorium. Zie pun mengangguk, bahkan meminta untuk langsung diberi surat pengantar. Ia tidak ingin membuang-buang waktu, lebih baik dia melakukan tes darah di rumah sakit yang sama saat itu juga. Sementara itu, Santi hanya diam dan tak banyak bicara. Pengasuh Keenan itu terus menunduk, dia ketakutan jika sampai kejahatannya terbongkar. Berunt
Raiga akhirnya diam tak meneruskan apa yang ingin dia katakan. Ia tahu Zie pasti akan marah jika dia terus membahas hal yang tidak disukai. “Tenang saja! itu Yura, aku bilang akan menemuinya, tapi dia tidak sabaran, tentu saja karena dia sangat manja,”ujar Raiga. Mendengar penjelasan itu Zie pun diam, dia tak lagi bicara sampai mobil Raiga tiba di kediaman Ghea. Zie meminta Santi untuk istirahat bersama Keenan di kamar, sedangkan dia mencari keberadaan Sean yang sejak tadi tidak membalas pesannya. “Sudah pulang? bagaimana Keenan? Di mana dia sekarang?” Zie menemukan sang suami di dalam kamar, dia belum sempat protes tapi Sean sudah memberondongnya dengan pertanyaan. “Di mana ponselmu? Kenapa tidak diangkat panggilanku? Kenapa tidak di balas pesanku?” Zie menutup pintu dan berdiri agak jauh dari Sean. Ia sangat kesal karena merasa diabaikan, hingga balas mengabaikan pertanyaan Sean. “Ponselku jatuh, aku tadi membawanya ke luar, karena tidak hati-hati ponsel itu jatuh dari pangkuan
Zie menggigit kuku ibu jarinya setelah Sean menunjukkan rekaman CCTV gerak-gerik mencurigakan dari Santi. Sama halnya dengan apa yang Sean lihat tadi, rekaman itu tidak bisa menjadi bukti jika sampai pengasuh Keenan itu memang berbuat macam-macam. Posisinya yang memunggungi kamera saat membuat susu untuk Keenan seperti sengaja. “Ini memang aneh, tapi aku tidak mau berburuk sangka dulu,”kata Zie. “Lagi pula data Santi pasti ada di agen penyalur, jika dia terbukti melakukan tindakan kriminal ke Ken, aku pastikan tidak akan melepaskannya begitu saja,”imbuhnya dengan sorot mata berkilat. Setelah melihat rekaman yang membuatnya gelisah, Zie melihat Ken di kamar. Ia tadi membaringkan putranya itu di ranjang bukan di box seperti biasa. Zie pun ikut berbaring di samping Keenan, membisikkan kata maaf jika dia belum bisa menjadi ibu yang baik. Dibelainya rambut sang putra lantas mencium pipinya. Jika hasil tes darah Keenan besok tidak normal, maka Zie mungkin tidak akan bisa memaafkan dirinya
“Entah perasaan apa yang kamu miliki ke Zie, dan seberapa lama kamu sudah menyimpannya, tapi dia tetap milikku, bahkan di kehidupan kami selanjutnya, akan aku pastikan dia tetap menjadi milikku.” Raiga tersenyum ironi mengingat ucapan Sean padanya, dia mengendarai mobil menuju rumah sakit untuk menemui Yura dan memeriksa kandungan gadis itu. “Ya, aku tahu. Maaf sudah mengharapkan milikmu.” Raiga kembali mengingat percakapannya dan Sean tadi. “Kamu boleh mengambil yang lain, harta, saham, apapun itu yang menjadi hakku, tapi untuk Zie, aku harap kamu bisa berhenti sampai di sini,”ucap Sean. “Demi kebaikan kita bersama, dan aku benar-benar tidak memiliki rasa benci padamu, besok kalau aku sudah bisa berjalan normal kembali, ayo kita mengadakan lomba lari.” Raiga mengangguk dan tertawa setelah itu menjawab pertanyaan sang kakak tadi, begitu juga sekarang, dia juga mengangguk sendiri. Pria itu melirik kaca spion kanan mobilnya sebelum berhenti di lampu merah. “Ya, aku akan mengubur per