“Raiga bilang dia belum bisa membuka hati.” Sean dan Zie pun sama-sama kaget. Mereka menatap Ghea yang mengedikkan bahu seolah ingin berkata dia tidak punya kuasa untuk memaksa Raiga. “Sudahlah, yang penting anak itu memiliki status. Apa yang akan terjadi di masa depan kita hadapi saja.” Ghea menepuk paha Zie lantas berdiri. “Mama akan siapkan makanan kesukaan kalian,”ucapnya meninggalkan putra dan sang menantu berdua. Zie menekuk bibir, dia menoleh Sean dan yakin mereka sama-sama prihatin dengan apa yang terjadi. Ghea bahkan sampai ingin melakukan ruwatan agar tidak ada lagi hal buruk yang menimpa keluarga. Terlalu banyak problema yang menghantam keluarga Tyaga. Di dalam hati Ghea sejatinya merasa bersalah, mungkinkah semua ini terjadi karena dirinya masuk ke dalam keluarga. Ghea berusaha menyiapkan masakan di dapur, dia mengambil bahan makanan dari dalam kulkas, tapi sepertinya melamun. Tanpa sadar wanita itu meletakkan wadah terlalu miring, alhasil semua isinya tumpah dan berant
“Mama nggak perlu ke rumah sakit, Rai.” Ghea yang sakit baru saja diperiksa oleh Raiga. Putra bungsunya itu mengecek tekanan darah dan juga suhu badan. Meski kondisinya bisa dibilang masih normal, tapi Raiga cemas dan meminta Ghea untuk pergi ke rumah sakit saja agar bisa mendapatkan penanganan. “Kalian apa-apaan sih? jangan memperlakukan Mama seperti orang yang sedang sekarat.” Ghea semakin dibuat tak enak hati melihat Sean dan Zie masuk ke dalam kamarnya. “Apa kamu tadi menggunakan tangga?” tanyanya penasaran. “Mama, dengarkan apa yang Rai bilang. Bukankah Mama dulu menyekolahkannya tinggi-tinggi memang untuk hal-hal seperti ini.” Bukannya menjawab pertanyaan Ghea, Sean malah berkomentar soal sang adik. “Kami naik lift.” Akhirnya Zie yang harus menjawab pertanyaan sang mertua. Sean mendekat ke ranjang Ghea, memandang wajah wanita yang melahirkannya itu dengan mimik cemas. “Mama benar-benar baik-baik saja ‘kan?” tanya Sean untuk memastikan. “Apa Mama begini karena aku?” Raiga
Zie memandang Ken yang tidur di box bayi kamarnya sendiri, dia mengusap pipi gembul putranya itu lalu mengeluarkan jempol Ken dari dalam mulut. “Aku harus ke baby shop mencari alat untuk melindungi jempol Ken, bisa-bisa jempolnya gepeng karena terus dia hisap,”ucap Zie. Ia sudah menerapkan sleep training ke bayi itu sejak usianya tiga bulan, hingga Keenan bisa tidur sendiri di kamar tanpa butuh dia tunggui atau tidurkan. Setelah memastikan Keenan baik-baik saja, Zie tak langsung kembali ke kamarnya dan Sean. Ia memilih untuk merapikan mainan yang berantakan, lalu mencuci dot milik bayinya ke dapur. Niatnya menginap sebenarnya untuk menggoda Raiga, tapi adik iparnya itu malah pulang malam, dan lagi Ghea juga tiba-tiba sakit. Zie masih sibuk dengan botol dot dan sikatnya, dia tak sadar seorang mengendap mendekat dan dengan iseng membuatnya kaget. “Dor!” “Rai! Dasar kamu ya!” Jantung Zie hampir saja melompat keluar karena tingkah Raiga, dia mencipratkan air ke muka adik iparnya itu
“Iya, aku di sini!” Zie bergegas meninggalkan Raiga untuk mendatangi Sean. Ia kaget dan merasa mungkin saja Sean mendengar apa yang tadi dibicarakannya dengan sang adik ipar. Meskipun Sean bersikap biasa, tapi Zie gemetaran. Raiga menoleh, dengan santainya dia bertanya kenapa Sean belum tidur. “Kamu pikir aku Keenan,”ucap Sean menyembunyikan perasaannya. Ia pun mengajak Zie kembali ke kamar, meninggalkan Raiga sendirian di dapur. “Sial! Zie pasti sudah tahu,”gumam Raiga. Ia menyugar rambutnya kasar menyesal sudah keceplosan. Sementara itu setibanya di kamar, Sean berpindah sendiri dari kursi roda ke ranjang. Hal yang wajar karena bukan kali pertama ini dia melakukan itu. Namun, apa yang terjadi beberapa menit yang lalu membuat Zie merasa tak enak hati. Ia duduk di samping Sean dan memindai wajah suaminya itu. “Kenapa?” Sean mengangsurkan tangan, menyematkan helaian rambut Zie ke belakang telinga. “Aku dan Raiga tadi …. “ “Aku mendengarnya, dia ingin mengatakan perasaannya padam
Zie dan Sean baru saja merasakan indahnya merengkuh surga dunia. Mereka masih berpelukan di atas ranjang, enggan untuk menutup mata karena baru saja melewati hal yang paling menyenangkan. "Boleh tidak aku membahas Rai?" Sean meminta persetujuan, dia hanya takut Zie tak berkenan dan mood wanita itu menjadi berantakan. "Hem..., apa yang ingin kamu bahas? Apa soal hubungan kami?" "Tidak, untuk yang satu itu aku sudah yakin kalau kamu tidak mungkin akan berpaling, aku sudah memborgol hatimu, dan kuncinya kubuang di laut pulau Kilikili." Sean membuat Zie tertawa, wanita itu semakin merapatkan badan dan memeluknya erat. "Aku merasa kasihan padanya, dia benar-benar akan menjalani rumah tangga tanpa cinta, dia juga jelas belum tahu bagaimana sifat calon istrinya, kalau aku lihat sekilas, gadis itu sangat manja,"tutur Sean. Zie mendongak, dia menatap Sean heran, karena pria itu ternyata juga bisa mengomentari seseorang tanpa mengenal secara dekat lebih dulu. "Apa ini benar Seanku?" tanya
Santi kaget mendapat pertanyaan seperti itu, hingga balas melempar pertanyaan ke sang majikan. “Setelah saya pulang, apa mas Ken makan?” Zie seolah baru sadar kalau kemarin Keenan tidur awal sampai melewatkan waktu makan. Ia pun menggeleng, memandang Santi yang meraih Keenan dari gendongan Daniel. “Mungkin mas Ken, lapar!” Santi menggoda Keenan, memasang muka lucu untuk membuat bayi itu tertawa. “Sudah makan belum, Bu?” tanyanya. “Sudah aku suapi, tapi dia seperti tak berselera.” Zie mengerutkan kening, dia menyadari satu hal, sepertinya dia terlalu abai ke putranya sampai-sampai Keenan lebih lengket ke sang pengasuh. “Saya boleh permisi ke dalam, Bu. Saya akan coba buatkan makanan.” Ghea mengangguk, begitu juga dengan Zie yang merasa sedikit gelisah. Setelah Santi masuk, Ghea pun berjalan mengantar Daniel menuju mobil, meninggalkan Zie yang masih mematung di posisinya. Sementara itu, Sean dan Raiga masih berada di ruang tengah. Raiga memiliki sedikit waktu luang, dia tidak perlu
“Bagaimana kalau aku saja yang mengantar Zie dan Ken ke dokter? sekalian aku berangkat ke rumah sakit.” Raiga menawarkan diri, dia yakin Sean pasti akan setuju dengan pendapatnya karena sadar akan repot jika harus mengajaknya serta. Zie yang mendengar tawaran Raiga memilih untuk tidak langsung menjawab, dia memandang suaminya lebih dulu, menanti respon Sean atas niat baik sang adik. “Itu jauh lebih baik, Rai bisa membantumu agar Ken tidak perlu antri.” Sean mengangguk meyakinkan sang istri. Namun, Santi tiba-tiba melarang, memberi alasan kalau Keenan baik-baik saja, tidak perlu membawa anak yang tidak sakit ke rumah sakit - yang merupakan sarang penyakit. “Mungkin mas Ken hanya sedang lelah, Bu.” Santi berharap Zie mendengarkan pendapatnya. Ia takut kalau sampai Keenan diperiksa darah, lalu terdeteksi ada obat penenang di tubuh bayi itu. Raiga mengerutkan kening mendengar bantahan dari Santi, mulutnya yang kadang tak terfilter hari itu bisa sedikit dikondisikan, karena hampir sa
Setelah hampir satu jam menunggu, akhirnya dokter anak itu datang juga. Zie yang mendapat privilege dari Raiga pun bergegas masuk agar bisa segera menjelaskan kondisi Keenan. Seandainya dokter anak putranya memiliki jadwal praktik, tentu saja dia tidak perlu ke dokter – yang sudah membuatnya menunggu selama tadi. Hormon kehamilan, situasi yang terjadi dan kecemasan yang melanda Zie, menjadi pemicu kenapa dia bisa sekesal ini. “Tidak ada demam, tidak salah makan, tapi lemas.” Dokter mengulang penjelasan Zie sambil memeriksa detak jantung Keenan. Ia mencurigai sesuatu dan akhirnya meminta agar Keenan diambil contoh darahnya untuk diperiksa di laboratorium. Zie pun mengangguk, bahkan meminta untuk langsung diberi surat pengantar. Ia tidak ingin membuang-buang waktu, lebih baik dia melakukan tes darah di rumah sakit yang sama saat itu juga. Sementara itu, Santi hanya diam dan tak banyak bicara. Pengasuh Keenan itu terus menunduk, dia ketakutan jika sampai kejahatannya terbongkar. Berunt