berubah drastis. Ternyata memang waktu yang dibutuhkan untuk mengubah hidup seseorang itu sangatlah singkat. Bahkan perubahan yang terjadi tidaklah sedikit. Seperti yang kukatakan di awal tadi, drastis, hingga seratus delapan puluh derajat.
Semua orang tahu bahwa hobiku adalah nongkrong. Aku tidak pernah betah berada lama di dalam rumah, terutama pada hari libur.
Berapa banyak hari libur yang kuhabiskan di dalam rumah?
Hmmm, biar kuhitung.
Ah, sepertinya hampir tidak ada!
Hari libur selalu kumanfaatkan untuk pergi ke mana pun yang kuinginkan. Aku bisa pergi ke kafe, mall, bioskop, atau tempat konser. Bahkan aku biasa juga pergi ke kampus di hari libur, apabila ada even yang menarik di sana.
Yang jelas, aku harus pergi ke luar rumah setiap hari libur. Itu adalah hal wajib yang tidak bisa lagi ditawar-tawar dalam hidupku.
Entah kenapa sebabnya, berada di dalam rumah membuatku bosan. Mati gaya, kalau istilah anak-anak zaman sekarang. Ya, seperti itulah aku kalau dibiarkan berdiam diri di rumah. Mungkin aku bisa gila kalau dipaksa berdiam diri di dalam rumah.
Dan sekarang semua itu berubah. Duniaku seolah jungkir balik. Dengan sangat terpaksa, aku justru tidak bisa meninggalkan rumah sama sekali. Ya, sama sekali. Tidak sedikit pun aku bisa meninggalkan rumah barang sejengkal sekalipun.
Dengan keadaan demikian, tidak banyak yang bisa kulakukan. Oh ya, kuliahku telah lama selesai, jadi selain kegiatan di atas, yang kulakukan hanya tidur, mandi, makan, dan berbaring di atas ranjangku.
Di dalam rumah, ya, di dalam rumah!
Aku tidak bisa pergi ke mana pun!
Bukan karena aku tidak mau, tapi karena tidak boleh. Karena jika aku sampai meninggalkan rumah, maka aku bisa membahayakan kehidupan orang lain. Bahkan bisa jadi aku akan membahayakan nyawa orang yang tidak bersalah.
Sekarang aku hanya bisa berdiam diri sambil melakukan hal-hal yang kusebutkan di atas. Selain, tentunya, berpikir kapan ajalku akan tiba.
Mungkin kau berpikir bahwa yang kusebutkan di atas berlebihan. Tapi kenyataannya memang demikian.
Belum lama waktu berlalu dari hari yang paling membanggakan diriku sepanjang hidup selama dua puluh dua tahun ini. Hari itu, hari wisuda, adalah hari pembuktianku bahwa aku mampu menjadi seorang sarjana. Juga hari ketika aku telah memenuhi tanggung jawabku kepada Mama dan Papa untuk menuntaskan pendidikan. Hari yang cerah dan indah saat itu. Aku juga merayakannya bersama teman-teman seangkatan kuliahku. Tidak lupa, arak-arakan juga digelar oleh para adik kelasku.
Hari yang tidak akan pernah terlupakan seumur hidupku. Terlebih, hari tersebut juga menjadi hari yang membawa malapetaka besar. Tidak hanya bagiku, tapi bagi seluruh wisudawan yang hadir di sana.
Aku bahkan belum sempat mencari pekerjaan. Betapa tidak, aku baru saja menerima ijasahku. Padahal mendapatkan pekerjaan adalah agendaku setelah selesai wisuda.
Tapi apa daya, tak lama berselang, aku telah ditetapkan sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP).
Beberapa peserta wisuda yang hadir bersamaku telah dinyatakan positif mengidap virus COVID-19 yang lebih dikenal dengan sebutan “Corona”. Otomatis, aku yang berada dalam satu ruangan dengan mereka pun segera menjadi salah satu ODP. Sebabnya jelas, penularan virus yang tidak terduga bisa terjadi dengan jarak satu meter, membuat siapa pun yang berada di gedung wisudaku itu memiliki kemungkinan tertular.
Tim satuan tugas penanganan Corona segera melakukan investigasi atas semua peserta wisuda. Tentu saja termasuk diriku. Dengan sukarela, aku melaporkan diriku kepada tim tersebut tanpa menunggu mereka menemukanku. Setelah itu, mereka langsung menghubungiku dan datang ke alamat rumah kami.
Mereka menjelaskan kepadaku bahwa aku diwajibkan berada di rumah, melakukan karantina mandiri selama empat belas hari. Aku tidak boleh pergi ke mana pun di luar rumah. Bahkan terhadap semua orang di rumahku pun aku harus menjaga jarak sejauh minimal dua meter.
Para anggota tim yang datang ke rumah kami juga menerangkan bahwa pelarangan tersebut adalah demi keselamatan kami semua. Yaitu untuk menjaga agar tidak ada yang tertular dan menularkan.
Seharusnya Mama dan Papa juga diwajibkan untuk melakukan isolasi mandiri karena mereka termasuk yang hadir dalam acara wisudaku. Tapi tim satuan tugas memutuskan bahwa cukup aku yang menjalaninya. Mama dan Papa tetap diizinkan ke luar rumah dengan syarat harus melakukan social distance.
Baru nanti jika kemungkinan terburuk terjadi, bahwa aku dinyatakan positif mengidap Corona, maka Mama dan Papa juga harus diisolasi.
Tentunya kau bisa menebak apa yang terjadi kepada diriku setelah itu. Ya, benar, aku merasa bosan, mati gaya, dan mungkin hampir gila. Aku seperti burung yang biasa terbang ke mana pun tempat yang kuinginkan, namun tiba-tiba harus hidup di dalam sangkar. Tidak peduli apakah sangkar itu sangkar emas atau sangkar apa pun.
Sekarang aku bisa mengerti bagaimana perasaan aneka satwa liar yang ditangkap dan dikurung di dalam kandang hanya untuk dijadikan tontonan. Mereka tentu menderita, frustrasi, dan ingin bebas. Aku bersyukur bahwa yang kualami saat ini hanya sebatas kebosanan. Mungkin penderitaanku saat ini belumlah sebanding dengan aneka satwa liar yang direnggut kebebasannya untuk dikurung dalam kandang tersebut.
Dan selain kebosanan, hal yang membuatku tertekan adalah membaca berita. Dalam keadaan seperti ini, aku tidak memiliki banyak pilihan kecuali mengakses internet untuk menemukan hal-hal menarik yang bisa kubaca. Tapi justru situs-situs di sana banyak didominasi oleh berita tentang Corona.
Begitulah, berita-berita di internet maupun televisi hampir selalu mengabarkan kematian dan kasus-kasus baru infeksi Corona. Mereka seolah menebar ketakutan. Menurutku, bukankah sebaiknya cukup informasi penting saja yang disampaikan?
Tidak perlu sampai jumlah kematian dan egek mengerikannya. Aku benci mereka yang selalu menebar ketakutan. Mereka membuatku depresi.
Barangkali benar, bahwa yang membuat orang menderita dari penyakit ini adalah perasaan tertekannya. Perasaan tertekan akibat terus menerus menyaksikan berita-berita tentang penyakit tersebut. Bahkan orang yang belum tentu sakit pun, bisa-bisa menjadi sakit. Aku tidak ingin menjadi salah satu dari mereka yang sakit karena depresi.
Kucoba mengalihkan diriku dari berita-berita seperti itu kepada hal-hal lain yang lebih menarik. Tapi dengan keadaan terkarantina seperti ini, tidak banyak hal yang bisa kulakukan.
Aku telah membaca habis semua koleksi novel dan komikku, menonton Netflix secara maraton, hingga menyaksikan konten-konten viral di YouTube. Sekarang aku tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan.
Depresi?
Ya, mungkin saja.
Tapi apa yang harus kulakukan?
Haruskah kuhubungi psikiater?
Ah, sepertinya terlalu jauh. Lagipula, apakah ada psikiater yang mau mendatangi seorang bersatus ODP?
Mungkin ada, tapi aku belum merasa harus sejauh itu hingga harus menemui psikiater. Yang kulakukan berikutnya adalah menghubungi teman-teman lamaku. Kuharap itu bisa mengobati kerinduanku atas mereka, selain tentunya mengisi waktuku selama minimal empat belas hari ke depan.
Lyna, salah satu teman baikku yang kuhubungi, menjadi sasaran curhatku tentang keadaan ini. Ia adalah pendengar dan penyimak yang baik. Lebih dari itu, Lyna juga pemberi saran yang baik.
Ia memberiku saran agar mengikuti sebuah grup online. Lyna memperkenalkanku pada aplikasi Zoom yang membuat orang bisa melakukan pertemuan virtual. Aku memerlukan waktu sekitar satu jam untuk bisa familiar dengan aplikasi yang diperkenalkan oleh Lyna ini.
Setelah familiar, barulah kuakses grup tersebut berdasarkan tautan yang dikirim oleh Lyna. Ternyata aplikasi ini cukup menarik. Kita bisa melihat tampilan secara langsung dari sekian banyak orang seperti sedang rapat, namun semua peserta berada di tempat yang berbeda-beda.
Aku memang telah terbiasa menggunakan panggilan video W******p. Tapi tetap saja Zoom terasa menarik. Terlebih jumlah peserta yang bisa terlibat melebihi dari yang bisa dilayani oleh W******p.
Grup yang dikatakan Lyna terdiri atas mereka yang sama sepertiku. Orang-orang yang termasuk kelompok ODP. Dengan demikian, kami bisa saling berbagi. Di samping itu, karena kami semua adalah ODP, maka kami lebih bisa memahami satu sama lain.
Setidaknya itu menurut Lyna.
Mudah baginya untuk berkata, karena dia tidak termasuk ODP. Beruntung ia tidak lulus dan diwisuda bersamaku. Hanya sekian jam keterlambatannya mendaftar sidang, tapi justru membuat dirinya selamat dari hari wisuda celaka itu.
Dari situ aku bisa menyimpulkan bahwa terlambat lulus bukanlah malapetaka. Setidaknya itu berlaku bagi Lyna. Ia memang sungguh beruntung.
Akhirnya aku mengikuti apa yang disarankan Lyna. Aku memasang aplikasi Zoom di ponselku. Lalu aku mengikuti komunitas ODP yang ia rekomendasikan. Kuharap itu bisa membuatku merasa lebih baik.
Ternyata aku salah.
Komunitas itu sama sekali tidak membawaku kepada perasaan yang lebih tenang. Kami malah lebih tampak seperti grup para pecandu narkotika, atau minimal orang-orang penyakitan. Kami terdiri atas dua puluh orang. Setiap dari kami melakukan sharing atas pengalaman diri kami selama isolasi.
Entah dengan peserta yang lain, tapi dengan begini aku pribadi merasa seperti seorang penderita penyakit kronis yang sedang mengalami penderitaan besar akibat sakitnya itu. Padahal kami baru berstatus ODP. Belum tentu kami benar-benar terjangkit virus itu.
Grup itu mengadakan pertemuan secara daring, setiap hari pada pukul empat belas selama kurang-lebih satu hingga dua jam. Hari ini, pertemuan pertamaku di grup tersebut, membuatku justru semakin tambah tertekan.
Yang mereka bicarakan selalu tentang apa yang harus dilakukan untuk menyembuhkan penyakit ini. Bagaimana kami akan diisolasi, dan harus sabar menghadapi sesak napas dan penderitaan lain sendirian.
Ya, sendirian, karena kami akan berada di sebuah ruangan yang tidak ada seorang pun yang boleh memasukinya kecuali tenaga medis. Di sana kami akan merasakan betapa kedekatan dengan Tuhan adalah yang terpenting. Kami harus siap, karena tidak akan ada yang menemani kami selain Tuhan.
Padahal, sekali lagi, kami belum tentu telah terjangkit penyakit tersebut.
Yang memimpin grup adalah seorang pria bernama Mirka. Ia mengatakan bahwa dirinya pernah melalui masa-masa menjadi ODP. Diceritakannya bahwa ia telah melewati masa-masa penuh kesendirian saat harus berada di rumah selama empat belas hari.
Selama waktu tersebut, Mirka selalu mengingat akan kematian. Apa saja yang sudah dan belum dilakukannya selama hidup di dunia. Ia bertekad jika dirinya selamat dari Corona, maka ia akan berbagi kepada orang lain.
Sekarang ia telah melewati masa isolasi mandiri, dan mulai memenuhi tekadnya. Lebih tepatnya, merasa memenuhi tekadnya.
Ia menceritakan betapa beruntungnya dirinya telah selamat dari virus tersebut.
Dan kami juga pasti bisa melakukannya, itu yang ia katakan.
Pada hari pertama karantina mandiri ini, aku juga diminta memperkenalkan diri di grup. Kuperkenalkan diriku bahwa namaku Sari, pekerjaan belum ada, serta kronologi bagaimana aku bisa menjadi ODP.
Sudah, seperti itu saja.
Kemudian sesi grup dilanjutkan dengan bagi-bagi cerita. Setiap orang menceritakan kegiatannya hari itu. Semua relatif sama karena tidak banyak variasi aktivitas yang bisa dilakukan dari rumah.
Dari sini juga masih terlihat potensi kompetisi antar manusia. Orang-orang yang menceritakan kegiatannya selama di rumah, secara sadar atau mungkin tidak, berlomba menunjukkan betapa hebatnya yang mereka lakukan.
Walaupun, menurutku, yang mereka lakukan itu tidak hebat sama sekali. Masih banyak hal yang jauh lebih hebat daripada apa yang mereka ceritakan.
Ada yang memamerkan telah menyelesaikan sepuluh komik hari itu. Ada juga yang menunjukkan telah membersihkan rumah, ini sih bagus juga. Bahkan ada yang sama sepertiku, menonton Netflix secara maraton.
Aku sih malu untuk menceritakan hal seperti itu.
Tapi ada yang menarik perhatianku. Dalam grup tersebut terdapat seorang anak remaja, kutaksir usianya sekitar lima belas tahun. Ia tidak banyak berbicara. Bahkan mungkin ia tidak akan berbicara sama sekali jika Mirka tidak menanyainya.
Anak itu memang terlihat pemurung, setidaknya dari ekspresi wajahnya. Kutebak, ia masuk grup karena dorongan orang lain. Mungkin temannya, atau mungkin orang tuanya. Atau mungkin juga sepertiku, gara-gara didorong oleh seorang sahabat.
Juga kutebak, ia mengalami keadaan tertekan akibat kondisinya sekarang. Mungkin saja ia merasa sudah berada dalam keadaan positif Corona. Sebabnya, apa lagi kalau bukan media. Setidaknya itu asumsiku, belum tentu benar.
Aku mencoba menghubunginya lewat jalur pribadi usai sesi grup hari itu selesai. Kudapati namanya adalah Markus. Bahwa ia termasuk ODP, sepertinya itu sudah tidak perlu diceritakan.
“Kamu masih sekolah?” tanyaku.
“Iya kak.” Jawabnya singkat.
“Di mana?” tanyaku lagi.
Markus menyebutkan nama sebuah sekolah yang cukup dikenal sebagai sekolah favorit.
“Wah hebat dong kamu bisa sekolah di sana!” pujiku.
“Makasih kak, kakak masih sekolah atau sudah kuliah?” ia bertanya balik.
Terus terang saja, pertanyaan Markus membuat setitik kebahagiaan muncul di dalam hatiku. Apa lagi kalau bukan karena ia mengira bahwa aku masih sekolah atau maksimal sudah kuliah?
Berarti aku nampak jauh lebih muda ‘kan?
Aku merasa geli sendiri di dalam hati. Betapa sederhananya bahagia itu, pikirku. Bahkan rasa bahagia itu bisa datang dari pertanyaan seorang bocah remaja.
“Menurut kamu, kakak masih sekolah atau sudah kuliah?” pancingku.
“Hmm, kalau pun sudah kuliah, mungkin masih awal-awal ya kak?” jawabnya.
Aku bertambah senang mendengarnya. Jika saja dia hanya bermaksud memujiku, maka Markus adalah seorang perayu ulung.
“Kamu benar, usia kakak kira-kira segitu.” Jawabku.
“Nah ‘kan, benar.” Markus nampak berseri.
Biarlah, berapa besar kemungkinan aku akan bertemu anak ini di kehidupan nyata?
Mungkin tidak akan pernah. Jadi biar saja ia menganggapku berusia segitu. Jika kami tidak pernah bertemu lagi setelah ini, maka Markus tidak akan pernah tahu.
“Sekarang kamu sudah mau lulus berarti?” tanyaku.
“Iya kak, sebentar lagi aku ujian kelulusan.” Jawab Markus.
“Kapan ujianmu?” tanyaku lagi.
“Seharusnya satu bulan dari sekarang. Tapi entah aku bisa mengikutinya atau tidak.” Markus menjawab.
“Karena keadaan yang kita alami sekarang?” aku bertanya lagi.
“Iya kak.” Markus nampak murung saat mengatakannya.
“Sudah, jangan sedih. Tapi kamu tetap belajar ‘kan?” tanyaku sambil berusaha menghiburnya.
“Pasti, kak. Aku ingin ikut ujian seperti orang normal.” Jawabnya datar.
“Lho,” aku tertawa. “Kok kamu ngomongnya gitu, memangnya apa yang nggak normal?” tanyaku heran.
“Kan kita sama-sama ODP.” Jawabnya lesu.
“Memangnya ODP menjadikan kita nggak normal? Kita ini hanya dalam pemantauan, Markus. Nggak ada bedanya antara kita dengan orang lain yang bukan ODP.” Aku berusaha membangkitkan semangatnya.
“Oh iya ya kak?” Markus nampak mulai tertarik.
“Iya, jadi jangan merasa aneh. Jangan merasa bahwa kita ini adalah orang-orang yang menimbulkan bencana. Kamu terlalu terpengaruh berita-berita.” Aku menegaskan.
“Hmmm, iya juga sih ya.” Ia nampak mulai berpikir.
“Iya, jadi cerialah. Jangan merasa minder karena kita menjadi ODP.” Aku terus mencoba membangkitkan semangatnya.
“Benar juga, kak. Terima kasih ya.” Kini ia nampak lebih bersemangat.
“Iya, sama-sama. Kamu sekarang sudah mau masuk waktu belajar ya?” tanyaku.
“Iya kak, setelah makan malam.” Jawabnya.
“Oke, selamat makan malam kalau begitu.” Kuucapkan salam perpisahan.
“Baik, kakak juga selamat makan.” Markus membalasnya dengan ceria.
Kami saling melambai. Baru sejauh itu informasi yang bisa kuperoleh darinya. Tapi minimal aku telah mendapat seorang teman baru. Walaupun ia tidak seumur denganku, tapi aku cukup merasa bahwa Markus orang yang menyenangkan.
Dan kini setelah pembicaraan dengan Markus usai, aku mulai merasa bosan lagi.
Kuhubungi Lyna melalui pesan W******p. Kuberitahu dirinya bahwa aku tidak ingin lagi ikut grup tersebut.
“Aku nggak bisa tahan lagi di sana.” Kataku setelah kujelaskan keadaan di grup.
“Bicara apa kamu? Kamu ‘kan baru satu kali ikut.” Timpal Lyna.
“Tapi aku nggak tahan dengan suasananya.” Kataku lagi.
“Ayolah, daripada kamu mati bosan di rumah.” Bujuk Lyna.
“Kamu kan nggak tahu gimana situasi di grup itu.” aku masih berargumen.
“Memang nggak, tapi aku nggak akan ngambil kesimpulan hanya dari sekali ikut.” Lyna nampak tidak mau kalah.
“Banyak hal lain yang bisa aku lakukan.” Aku juga masih bertahan.
“Contohnya? Coba sebutkan.” tantang Lyna.
“Hmmm...” gumamku.
Aku malah bingung sendiri.
“Tuh kan.” Kata Lyna.
“Aku bisa nonton Netflix.” Elakku.
“Maraton? Ah, kamu kayak anak kecil aja.” Ejek Lyna.
“Sejak kapan Netflix ditonton anak kecil?” aku terpancing.
“Ya bisa aja kan ngikut orang tua atau kakak mereka.” Lyna “ngeles”.
“Mendingan mereka nonton yang lain deh.” Kataku.
“Yang jelas kamu jangan dulu keluar dari grup itu.” Lyna sepertinya tidak ingin berargumen dan langsung menuju poinnya.
“Tapi aku nggak cocok...” aku masih mencoba untuk bertahan.
“Cobalah, kamu pasti akan nyaman.” Bujuk Lyna lagi.
“Kayak kamu pernah ngalamin aja.” Tantangku.
“Sudah, coba aja.” Lyna menantang balik.
“Memangnya kamu pernah jadi ODP?” aku menyelidik.
“Belum, tapi aku pernah ikut grup lain, dan aku ngerasain banget gimana rasa terbantunya ikut dalam sebuah komunitas.” Ia masih berargumen.
“Iya deh, terserah kamu.” Akhirnya aku hampir menyerah.
“Nah gitu dong!” Lyna nampak bersemangat saat mengatakannya. Sepertinya ia merasa bahwa ini adalah sebuah kemenangan baginya.
Percuma mendebat Lyna, pikirku. Lagipula aku tahu bahwa maksudnya baik. Ia hanya ingin membantuku.
Lyna cukup mengenal diriku. Aku tahu ia sayang kepadaku. Karenanya ia memaksaku untuk mengikuti grup ini.
Dan mungkin saja ia benar. Aku baru satu kali ikut sesi grup. Bisa jadi esoknya aku akan menemukan kecocokan.
Ya, semoga saja.
Kuputuskan aku akan melanjutkan untuk ikut sesi grup esok hari. Bukan karena aku ingin membahagiakan Lyna.
Tapi karena mungkin saja ia benar.
Mama pergi berbelanja keesokan harinya. Ia menanyakan apakah aku akan baik-baik saja di rumah. Kukatakan bahwa aku tentu akan baik-baik saja.Wajar ia bertanya demikian, karena ia tahu bahwa aku bukan orang yang akan tahan berlama-lama di rumah. Sebelum ini, ia selalu mendapati bahwa walaupun hari libur atau sedang tidak ada kelas, jarang sekali aku menghabiskan waktu di rumah. Pasti ada saja tempat untuk kudatangi di luar sana.Kini, selama empat belas hari, aku harus mengurung diri. Memisahkan diri dari masyarakat agar tidak menulari mereka andai aku memang membawa virus itu. Sebenarnya aku sendiri lebih takut tertular daripada menulari.Mama melambaikan tangannya dari jauh sebelum pergi. Sedih juga rasanya tidak bisa menyentuh dirinya. Biasanya aku selalu mencium tangan Mama, entah aku atau beliau yang hendak pergi. Kini kami hanya bisa saling berkomunikasi sambil berjauhan.Sesi hari itu kembali dimulai tepat pukul dua siang. Aku membuka Zoom dan meli
Usai mendapatkan nomor kontakku, Salman jadi sering menghubungi diriku. Komunikasi kami menjadi cukup intensif. Ia, seperti dugaanku, adalah orang yang menyenangkan untuk diajak bicara. Berbicara dengannya bisa menghasilkan bahasan dengan berbagai topik. Ia bisa bicara hal serius seperti politik sampai hal paling receh sekalipun seperti sinetron apa yang sedang tayang saat ini.Salman juga banyak mengirimiku video melalui Whatsapp. Video yang dikirimkannya terkadang berupa adegan-adegan penting dalam sebuah film.Ia juga terkadang mengirimkan tautan-tautan hiburan. Yang dikiriminya memang tidak melulu soal hiburan, tapi juga informasi-informasi dan berita-berita.Itu semua cukup menghibur bagiku. Setidaknya, ia tidak membuatku semakin paranoid dengan mengirim berita-berita menakutkan yang bernuansa negatif. Kami tidak pernah membahas tentang pertambahan korban dan penyebaran virus Corona. Meskipun tidak pernah kami bahas lagi, tapi kami tahu sama tahu bahwa tida
Aku tidak pernah merasakan gejala apa pun. Tidak batuk, tidak sesak napas, bahkan tidak pusing. Sama sekali, sedikit pun tidak. Tapi dokter mengatakan bahwa aku bisa saja menjadi carrier. Carrier atau Orang Tanpa Gejala (OTG) adalah mereka yang membawa virus Corona dalam tubuhnya, namun karena imunitas tubuh yang tinggi, mereka tidak menderita sakit. Tapi virus Corona tetap berada di dalam diri mereka. Virus itu bisa menular ke orang lain dan menyebabkan orang itu sakit jika imunitasnya rendah. Aku tidak ingin menjadi orang yang membawa musibah bagi orang lain seperti itu.Lagipula masa karantinaku baru saja dimulai. Bisa saja aku masih mengalami masa inkubasi. Aku terlalu percaya diri jika mengatakan bahwa diriku adalah seorang carrier.Hanya saja aku merasa malu saat mengalami karantina ini. Seolah aku adalah seorang berpenyakitan yang harus dijauhi. Aku tahu bahwa diriku sendiri yang mengatakan kepada Markus agar jangan merasa demi
Setelah percakapan dengan Salman itu, aku jadi ingin menonton film. Kubuka koleksi DVD di kamarku untuk mencari apabila ada film yang menarik. Pastinya semua film di sana sudah kutonton. Tapi pasti ada juga yang ingin kutonton ulang.Aku menemukan film Vanilla Sky dan kutonton hingga larut malam. Ya, akhiran di judulnya memang sama-sama “Sky”, tapi itu bukan film yang diberikan Salman. Tapi aku sangat menyukai ceritanya.Pada awalnya, film ini terkesan seperti sebuah film bergenre roman biasa. Tapi semua itu berubah saat kusaksikan akhirnya. Vanilla Sky malah bisa disebut sebagai sebuah film thriller psikologis. Aku teringat pertama kali kutonton film ini. Vanilla Sky bisa membuatku memikirkan dan membayangkan terus menerus ceritanya usai film tersebut berakhir. Ya, bagiku ceritanya memang sebagus itu.Walaupun demikian, aku masih menunggu October Sky. Aku menantikan Salman menemukannya.Aku masih menunggu saat itu. Saat ia memb
Malamnya aku menghabiskan waktu untuk menonton Contagion. Salman mengirimiku tautan untuk mengunduh film tersebut. Tidak seperti October Sky yang sulit ditemukan, Contagion ada di mana-mana.Film yang dirilis tahun 2011 ini memang tidak cukup tenar untuk membuatnya masuk ke dalam Box Office pada masa itu, tapi ia cukup laku dan sukses dalam penjualannya. Mungkin tidak cukup banyak orang yang tertarik akan film ini pada tahun tersebut.Bagaimana dengan sekarang?Tentu saja aku yakin pasti banyak orang mencari Contagion. Film ini memuat cerita yang sama persis kejadiannya seperti Corona. Penyebarannya, gejalanya, bahkan tempat asalnya. Ini seperti sebuah film yang meramalkan masa depan.Jika kau mengira bahwa ini adalah sebuah film yang penuh dengan teori konspirasi, maka kau akan kecewa. Film ini murni membahas penyebaran virus akibat sebuah “kecelakaan”.Apakah Corona juga demikian?Entahlah, kuharap juga demikian. Terla
Malamnya, aku makan dengan posisi terpisah dari Mama dan Papa. Mereka makan di meja makan, sementara aku di ruang tengah. Aneh rasanya, social distancing yang juga terjadi di dalam rumah.Tapi itu memang harus aku lakukan. Berkali-kali aku mengingatkan diriku, bahwa sebagai ODP aku tidak memiliki banyak hal untuk dipertanyakan. Bahkan mungkin tidak punya sama sekali.Mama dan Papa memang mempersilakanku untuk makan di meja. Tapi aku tidak mau. Aku tidak ingin mencelakakan mereka. Walaupun hingga saat ini aku tidak merasakan apa pun yang aneh dalam tubuhku.Aku kembali ke kamar dan membuka ponselku. Betapa menyenangkan rasanya saat melihat nama Salman di notifikasi Whatsapp.“Hai, maaf aku baru menghubungi.” Katanya.“Nggak apa-apa. Ke mana saja?” tanyaku.“Aku berusaha nyari October Sky.”“Eh?”“Ya, dan aku masih belum menemukannya.”“Susah ya?”
Aku memeriksa kotak masuk dari surat elektronikku. Ternyata Pak Drajat si pemilik film belum menjawab suratku tentang October Sky. Padahal sudah lebih dari satu hari aku mengirimkannya. Seharusnya sih suratku itu sudah sampai. Bahkan malah seharusnya sudah ia baca. Tapi itu kalau si Bapak itu membuka kotak masuk surat elektroniknya setiap hari.Bisa saja ia lupa membukanya, atau malahan ia sudah lupa sama sekali akan keberadaan akun surat elektronik miliknya tersebut. Atau bisa jadi alamat yang diberikan kepadaku adalah salah, bukan alamat si Pak Drajat itu.Atau bisa jadi juga sebenarnya Pak Drajat tersebut tidak memiliki film yang kucari. Bisa saja informasi yang kudapatkan soal dirinya adalah tidak benar.Tapi ‘kan yang memberikan alamat Pak Drajat adalah Salman. Apakah dia keliru memberikan alamat kepadaku?Atau bisa jadi orang yang memberikan alamat Pak Drajat kepada Salman-lah yang salah. Bisa saja.Atau malah yang namanya Pak Drajat se
Kabar yang mengejutkan datang kepadaku melalui Salman. Ia mengirimkan pesan Whatsapp kepadaku. Semula kukira itu adalah pesan yang seperti biasa dikirimkannya kepadaku setiap waktu-waktu kami mengobrol. Maka aku pun membukanya dengan perasaan berseri. Namun apa yang kubaca di pesan tersebut membuat senyum di wajahku hilang. Bahkan aku sempat tidak percaya dengan apa yang kubaca di sana.“Markus positif Corona.” Begitu katanya di pesan Whatsapp.Aku tertegun membaca pesann tersebut. Tubuhku seperti kehilangan darah. Saat itu aku sedang mengambil air minum di dapur. Gelas di tanganku hampir saja jatuh.Aku lalu duduk di kursi meja makan, dan membaca pesan Salman sekali lagi.Markus positif Corona.Kubaca pesan itu berulang-ulang sambil berharap aku telah salah membacanya. Tapi berapa kali pun aku mengulangnya, tulisan Salman tersebut tetap sama.Ya, Markus memang benar-benar telah dinyatakan positif mengidap Corona. Bagiku jelas in
Paket dari Salman yang kutunggu ternyata sudah datang. Akhirnya aku bisa mengobati rasa penasaranku.Mama membersihkannya dengan disinfektan dan menjemurnya di bawah sinar matahari untuk membunuh virus yang mungkin ada di sana. Baru satu jam kemudian, aku bisa membukanya.Dan di dalamnya kudapati benda yang mengejutkan.Sebuah DVD October Sky.Aku terdiam mematung melihatnya.Ini yang diberikan Salman?Maaf, aku harus mencarinya sampai Pasar Baru. Semoga ini menyenangkannmu. Dan semoga juga ini menjadi penggugur atas hutangku. Janji adalah hutang, bukan?Aku mencintaimu. 
Aku banyak bicara dengan Markus setelah itu. Keterlibatannya dalam permainan FIFA bersama kami telah membuatnya sangat tertarik akan dunia sepakbola. Karena itu, Markus banyak bertanya tentang sepakbola kepadaku.“Siapa klub terbaik?” tanyanya.“Milan!” tentu saja itu jawabanku.“Manchester United, bagiku.” timpal Markus.“United sudah hancur. Nggak akan bangkit lagi.” Jawabku.“Bangkit kok, sebentar lagi!” ia masih ngotot.“Sekarang Liverpool yang akan menguasai Inggris.” Balasku.“Memangnya jadi? ‘Kan distop gara-gara Corona.” Markus tetap tidak mau kalah.Aku tertawa miris. Ya, sepertinya Liverpool akan menjadi salah satu pihak yang dirugikan oleh Corona. Jika Liga Inggris dihentikan, penantian mereka selama tiga puluh tahun untuk juara akan terhenti. Padahal tinggal membutuhkan dua kemenangan lagi untuk itu.Aku dan Markus kemud
Salman dimakamkan dengan protap Corona. Tidak ada yang boleh menghadiri pemakamannya kecuali orang-orang tertentu.Aku tidak termasuk di dalamnya, karena aku memang bukan siapa-siapa dalam hidup Salman.Namun Tante Arny meneleponku esok hari setelah pemakaman Salman. Ternyata ia memiliki nomor kontakku.Lalu kenapa ia tidak pernah menghubungiku saat Salman sedang berada dalam masa kritis?Apakah karena ia khawatir akan membuatku cemas?Tidakkah ia tahu bahwa aku justru lebih cemas saat tidak kunjung mendapat kabar tentang Salman?Sudahlah, aku tidak ingin memperpanjangnya.Tante Arny menceritakan bahwa Salman sangat sering bercerita tentang diriku. Bahwa aku membawa gairah baru dalam hidup Salman.Aku sangat menghargainya. Tapi kini aku telah kehilangan seseorang yang sangat penting. Seorang teman bicara, seorang sahabat, seorang pendengar, dan juga seorang...kekasih.Ya, kekasih, jika aku boleh menyebutnya demikian.
Aku tidak mendengar kabar dari Salman selama sepekan lebih. Selama itu, aku harap-harap cemas menunggu kabar darinya atau dari siapa pun yang bisa memberitahuku tentang keadaannya. Tapi kabar yang kuharapkan tidak kunjung datang.Waktu seperti berjalan begitu lambat. Sepekan ini terasa seperti lebih dari satu bulan bagiku. Pikiranku selalu didominasi oleh Salman.Aku ingin tahu kabarnya, itu saja.Kenapa tidak ada orang yang memberiku hal tersebut barang sedikit?Mana Tante Arny?Mana Rosa?Aku menyesal tidak pernah meminta kontak mereka kepada Salman. Jika tidak, aku pasti bisa bertanya tentangnya.Mama selalu menghibur dan menenangkanku. Aku merasa cukup lebih baik karenanya. Tapi yang bisa membuatku sepenuhnya merasa lebih baik hanyalah kabar dari Salman.Bahkan aku sampai lupa bahwa diriku telah melewati empat belas hari masa karantina. Tanpa gejala apa pun, sehingga aku bisa dikatakan tidak terinfeksi. Tapi karena aku tida
Entah kenapa hari ini aku merasa seperti ada yang tidak beres. Perasaanku seperti mengatakan bahwa aku akan mengalami sesuatu yang kurang menyenangkan hari ini. Tapi aku sendiri tidak tahu apa itu.Kucoba untuk menghubungi Salman via Whatsapp, tapi tidak berhasil. Pesannya tidak ada yang dibaca. Bahkan terkirim pun tidak.Lalu aku mencoba panggilan telepon maupun video, dan hasilnya sama. Perasaanku semakin tidak karuan.Aku turun dan mondar-mandir di dapur.“Ada apa, Sari?” tanya Mama dari ruang tengah.“Enggak, Ma. Nggak apa-apa.” Jawabku.Mama tidak bertanya lagi. Tapi aku tetap mondar-mandir gelisah.“Sayang, sebenarnya ada apa?” Mama bertanya lagi.“Hmmm, Ma...” kataku ragu.Aku lalu menceritakan semuanya.“Belum tentu ada yang nggak beres, ‘kan?” kata Mama.“Iya sih, Ma.” Jawabku.“Tunggu saja kabar dari dia.&rd
Aku tidak tahu apakah hari ini aku sedang PMS atau bagaimana, tapi rasanya yang ingin kulakukan hanyalah merajuk. Aku memang sudah lama tidak menyaksikan berita tentang Corona. Tapi aku tidak bisa menghilangkan kekesalanku akan virus ini.“Aku mengutuk keberadaan virus ini!” kataku kepada Salman. “Dan juga orang-orang yang menyebarkannya!”“Sayang,” jawab Salman. “Mereka yang menyebarkannya tidaklah berniat demikian. Bahkan itu terjadi tanpa mereka sadari. Kalau mereka punya pilihan, tentu mereka nggak akan melakukannya.”“Tapi mereka menyebarkannya, dan membuat orang lain menderita.” Kataku.“Bagaimana jika kita yang menjadi penyebar?” tanya Salman.Aku terdiam dan merasa seperti tertohok oleh pertanyaannya.“Sudahlah,” Kata Salman. “Pada dasarnya nggak ada orang yang berniat jahat. Bahkan virus ini pun nggak berniat jahat. Dia hanya ingin hidup melalu
Batuk Salman belum juga sembuh esok harinya. Aku mendapatinya masih seperti itu saat kami melakukan panggilan video.“Tenanglah, Sari. Dokter sudah bilang bahwa ini hanya batuk biasa.” Katanya.“Dokter? Dokter yang mana?” tanyaku.“Kemarin kami memanggil dokter ke rumah.” Kata Salman. “Dia sudah memeriksaku.”“Lalu apa katanya?” kejarku.“Seperti yang kubilang, ini hanya batuk biasa. Radang tenggorokan.” Jawabnya.“Hanya itu?” tanyaku kurang yakin.“Iya, hanya itu.” ia menegaskan“Syukurlah kalau demikian.” aku merasa lega atas keterangannya.“Ya, kamu nggak perlu khawatir. Hei, dengar, kita akan melewati ini semua, oke?” tanyanya.“Iya.” Aku menjawab singkat.“Jangan nggak semangat gitu dong jawabnya.” Ia berkata lagi.“Terus aku harus jawab gimana?&rd
Esok harinya, aku mendengar kabar dari Markus bahwa Salman sedang sakit batuk. Aku langsung menghubunginya dan menanyakan keadaannya. Sejenak kulupakan perasaan sebalku kemarin.“Tenang, ini batuk biasa.” Katanya setelah kukonfirmasi kabar yang kudapat tadi. .“Batuk biasa bagaimana?” tanyaku balik.“Ya, karena aku kemarin begadang nonton film.” Jawabnya enteng.“Jadi kamu kemarin begadang?” tanyaku.“Iya.” Jawabnya singkat.“Bukankah kamu sendiri yang bilang bahwa tidur cukup akan dapat meningkatkan imun kita?” aku bertanya, retoris.“Ya, maaf.” Katanya.“Jangan ulangi lagi.” Timpalku.“Maaf...” ia mengulanginya.“Sekarang gimana keadaanmu?” tanyaku.“Aku baik-baik kok.” Jawabnya singkat.“Suaramu terdengar beda.” Memang demikian kedengarannya bagiku.
Kami melanjutkan diskusi di grup ODP seperti biasa, setelah waktu makan siang. Markus secara mengejutkan ikut lagi dalam grup tersebut. Ia nampak agak lebih baik.“Hai, Markus, apa kabar?” tanya Mirka.“Baik, ‘kak. Terima kasih.” Jawab Markus.“Semuanya baik-baik saja?” tanyanya lagi.“Iya, hanya sedikit batuk.” Jawab Markus.“Bagus, ayo teman-teman, sapa Markus.” Kata Mirka kepada semua peserta.Kami semua menyapanya. Markus balik menyapa kami semua. Melihat dirinya, aku merasa lebih baik. Mungkin karena menyaksikan keadaannya yang telah divonis positif mengidap Corona, namun tidak terlihat perubahan pada fisiknya.Semula kukira mereka yang divonis positif akan seperti orang-orang yang menderita HIV. Kenyataannya Markus hanya sedikit batuk. Sepertinya memang tidak semua orang akan menjadi separah yang kukira. Semua tergantung kepada kondisinya masing-masing.Usa