Aku memeriksa kotak masuk dari surat elektronikku. Ternyata Pak Drajat si pemilik film belum menjawab suratku tentang October Sky. Padahal sudah lebih dari satu hari aku mengirimkannya. Seharusnya sih suratku itu sudah sampai. Bahkan malah seharusnya sudah ia baca. Tapi itu kalau si Bapak itu membuka kotak masuk surat elektroniknya setiap hari.
Bisa saja ia lupa membukanya, atau malahan ia sudah lupa sama sekali akan keberadaan akun surat elektronik miliknya tersebut. Atau bisa jadi alamat yang diberikan kepadaku adalah salah, bukan alamat si Pak Drajat itu.
Atau bisa jadi juga sebenarnya Pak Drajat tersebut tidak memiliki film yang kucari. Bisa saja informasi yang kudapatkan soal dirinya adalah tidak benar.
Tapi ‘kan yang memberikan alamat Pak Drajat adalah Salman. Apakah dia keliru memberikan alamat kepadaku?
Atau bisa jadi orang yang memberikan alamat Pak Drajat kepada Salman-lah yang salah. Bisa saja.
Atau malah yang namanya Pak Drajat sebenarnya tidak pernah ada. Yang diberikan kepadaku dan Salman adalah alamat surat elektronik yang entah milik siapa, yang bukan milik Pak Drajat. Jadi ketika ia membaca surat dariku, orang yang memiliki akun tersebut tidak mengerti apa yang kumaksud. Bahkan karena nama yang kusebutkan di surat itu pun bukan namanya, maka ia akan menganggapnya sebagai salah kirim.
Kalau sudah demikian, jelas tidak ada tindakan lain selain membuang suratku ke tong sampah dan menghapusnya. Setidaknya itu yang kulakukan kalau menerima surat salah alamat. Kejam dan salah sih, memang, kuakui itu. seharunya aku membalas surat-surat yang masuk tersebut dan mengonfirmasi apakah ia benar menujukannya kepadaku atau salah kirim.
Tapi aku terlalu malas untuk itu. Jadi biasanya kulakukan seperti yang kusebutkan tadi, yaitu menghapusnya.
Ah, pikiranku jadi ke mana-mana. Hanya karena suratku belum dibalas, aku jadi melantur seperti ini. padahal itu hanya sebuah surat, bukan hal lain. Meskipun ya, itu surat yang cukup penting sih, kuakui itu. Setidaknya itu penting untukku karena bisa menentukan diriku akan mendapatkan film yang kucari-cari itu atau tidak.
Aku juga tidak tahu dan merasa penasaran kenapa aku begitu ingin mendapatkan October Sky. Apakah karena Salman yang merekomendasikannya kepadaku?
Apakah aku akan tertarik dengan film tersebut jika bukan karena Salman yang memberitahuku tentangnya?
Kupikir-pikir, mungkin juga aku akan tertarik. Karena seperti yang telah kuceritakan, bahwa setelah kusaksikan cuplikannya di YouTube, aku cukup tertarik akan ceritanya sehingga ingin menonton film itu. Tapi memang benar, bahwa aku tidak akan tahu tentang film itu jika bukan karena Salman yang memberitahuku.
Tapi ya sudahlah, jika memang bukan lewat Pak Drajat rezekiku untuk mendapatkan October Sky, ya tidak apa-apa. Sewaktu aku remaja dulu, Mama pernah memberitahuku bahwa pintu rezeki itu tidak hanya satu. Ia ada banyak dan berada dari mana-mana, bahkan dari arah yang tidak kita duga. Aku percaya itu, maka aku juga percaya jika bukan melalui Pak Drajat, aku pasti akan mendapatkan October Sky, entah dari mana. Jika itu memang rezekiku untuk mendapatkannya, maka pasti akan kudapatkan, tidak peduli bagaimana caranya.
Ya, benar, pikiranku mulai ke mana-mana lagi. Dari surat yang belum dibalas oleh seorang Bapak-bapak, sampai membahas tentang pintu rezeki. Tapi ‘kan memang benar yang kubahas, bukankah begitu?
Iyakan saja ya kawan. Harap maklumilah bahwa Sari Asrianti yang sedang menulis catatannya untuk kalian ini sedang mengalami kebosanan yang akut dalam masa karantina, sehingga pikirannya terbang ke mana-mana.
Tapi syukurlah, karena pikiran yang terbang ke mana-mana, aku sedikit melupakan tentang surat ke Pak Drajat tadi. Malahan aku pun sudah mulai sedikit lupa akan October Sky. Bahkan aku tidak lagi peduli apakah Pak Drajat akan menjawab suratku atau tidak. Setidaknya bagiku itu yang menjadi manfaat dari pikiran yang terbang ke mana-mana.
Pikiran yang sering terbang ke mana-mana ini sebenarnya adalah salah satu kebiasaan lamaku. Sejak remaja, bahkan mungkin sejak sekolah dasar, aku sudah terbiasa melakukannya.
Ya, kau tidak salah baca, sejak sekolah dasar aku sudah sering melakukannya. Saat masa-masanya aku masih menyaksikan film kartun di televisi (sekarang pun sebenarnya masih), setelah film berakhir, aku sering melamunkan jalan ceritanya. Aku sering membayangkan kenapa tokoh ini begitu, kenapa tokoh yang lain demikian. Membayangkan hal seperti itu bisa menghabiskan waktuku berjam-jam lamanya.
Mama sempat khawatir karena sering melihatku bejalan mondar-mandir tanpa henti. Betapa tidak, jika aku masih seorang balita, mungkin itu bisa dimaklumi. Tapi saat itu aku sudah menjadi anak sekolah dasar, dan aku masih sering berjalan mondar-mandir tanpa tujuan yang jelas setelah menonton film kartun, atau juga setelah membaca sebuah komik. Padahal saat melakukan itu, aku sedang mengalami pikiran yang terbang ke mana-mana seperti yang tadi kuceritakan. Karena kekhawatirannya, Mama pun secara intensif menyuruhku untuk bermain di luar. Ia juga mencarikan kerumunan atau kumpulan anak sebayaku yang sedang bermain, lalu menyuruhku untuk bergabung dan bermain dengan mereka. Semula aku tak mau, tapi karena Mama memaksa, akhirnya aku menuruti kemauannya.
Tapi itu tidak menghilangkan kebiasaanku tersebut. Aku tetap melakukannya walaupun usiaku bertambah seiring dengan berlalunya waktu. Kebiasaan ini bisa jadi menguntungkanku, atau pernah juga merugikan diriku.
Menguntungkan karena tidak jarang sejumlah masalah yang sedang kualami menemui solusinya saat pikiranku melanglangbuana demikian. Bahkan seringkali ide-ide kreatif baru juga muncul saat aku melakukannya. Itulah kenapa aku tidak bisa meninggalkan kebiasaan ini. Banyak hal berharga yang kudapatkan darinya. Jika aku meninggalkan kebiasaanku ini, bisa jadi aku tidak lagi mudah menemukan solusi atas permasalahan yang kudapatkan.
Tapi seperti yang telah kusebutkan tadi, kebiasaan ini juga pernah merugikan diriku. Merugikan karena beberapa kali terjadi kepada diriku, aku tidak bisa tidur semalam suntuk akibat pikiranku tidak mau diajak kompromi. Ia terus terbang ke berbagai hal yang membuat otakku tidak bisa santai.
Akibatnya, secara otomatis mataku tidak mau terpejam. Aku tidak bisa mengantuk sepanjang malam, perasaan berat di mata yang kutunggu-tunggu tidak kunjung tiba. Akhirnya itu membuatku terjaga sepanjang malam, dan aku pun pergi kuliah dengan keadaan orang yang tidak tidur. Hasilnya bisa ditebak, aku mengikuti kuliah dengan mata yang sudah tidak bisa diajak bekerjasama. Ia terus menerus terasa berat dan ingin menutup, hingga akhirnya aku menyerah dan membiarkan diriku terbang ke alam mimpi di tengah-tengah proses perkuliahan.
Sayangnya hari itu aku kurang beruntung. Dosen memergokiku sedang terlelap dan langsung mengajukan pertanyaan yang jelas tidak bisa kujawab. Bagaimana mungkin aku menjawabnya, itu adalah pertanyaan yang ia terangkan saat aku sedang terlelap di alam mimpi.
Belum cukup dengan hal tersebut, mata kuliah berikutnya mengadakan tes kecil atau biasa disebut sebagai “kuis” oleh para mahasiswa. Bisa ditebak, aku dengan mata yang sangat berat, tidak akan mungkin bisa maksimal mengerjakannya.
Ah, lagi-lagi, aku menceritakan kepadamu tentang perjalanan yang panjang. Ini juga akibat pikiranku sedang terbang ke mana-mana.
Argh!
Sekali lagi, aku mohon dimaklumi. Beginilah diriku, bahkan di catatanku sendiri pun aku bisa melantur ke mana-mana.
Kabar yang mengejutkan datang kepadaku melalui Salman. Ia mengirimkan pesan Whatsapp kepadaku. Semula kukira itu adalah pesan yang seperti biasa dikirimkannya kepadaku setiap waktu-waktu kami mengobrol. Maka aku pun membukanya dengan perasaan berseri. Namun apa yang kubaca di pesan tersebut membuat senyum di wajahku hilang. Bahkan aku sempat tidak percaya dengan apa yang kubaca di sana.“Markus positif Corona.” Begitu katanya di pesan Whatsapp.Aku tertegun membaca pesann tersebut. Tubuhku seperti kehilangan darah. Saat itu aku sedang mengambil air minum di dapur. Gelas di tanganku hampir saja jatuh.Aku lalu duduk di kursi meja makan, dan membaca pesan Salman sekali lagi.Markus positif Corona.Kubaca pesan itu berulang-ulang sambil berharap aku telah salah membacanya. Tapi berapa kali pun aku mengulangnya, tulisan Salman tersebut tetap sama.Ya, Markus memang benar-benar telah dinyatakan positif mengidap Corona. Bagiku jelas in
Esoknya, kabar yang sama sekali tidak kuduga tahu-tahu kuterima. Surat elektronik balasan dari Pak Drajat ternyata telah tiba di kotak masukku. Padahal aku sudah hampir lupa sama sekali akan dirinya. Aku juga sudah tidak berharap bahwa ia akan menanggapi suratku, apalagi setelah sekian lama waktu yang berlalu sejak kukirimkan surat elektronik kepadanya.Namun aku menyadari lagi, bahwa sebenarnya belum terlalu lama sejak surat itu kukirimkan. Baru selang satu hari lebih sedikit sejak aku menulis dan mengirimkannya. Tapi memang waktu terasa lambat dan sangat lama berlalunya di masa karantina ini, sehingga aku merasa seperti sudah berhari-hari bahkan hitungan pekan kulalui sejak aku dikarantina mandiri.Ah, ya, dasar relativitas waktu. Engkau benar-benar membuatku bosan menjalani kewajibanku yang satu ini. Nah, kan, pikiranku mulai terbang ke mana-mana lagi.Aku melihat tanggal surat yang beliau kirim, ternyata Pak Drajat mengirimnya kemarin malam. Aku memang tidak
Tanpa kuduga, ternyata aku tidak berhenti menikmati buku kiriman Salman tersebut. Bahkan aku sampai terlambat tidur demi untuk membacanya. Setelah kubaca lebih jauh, ternyata masih banyak isinya yang bagiku sangat menarik. Antara lain tentang kekuatan cinta yang membuat manusia hidup. Beberapa hal menjadi sorotanku di sana. Selain itu, ada juga bahasan tentang impian. Impian juga yang membuat manusia hidup, serta membedakan manusia dari makhluk lainnya. Semua bahasan itu membuatku terlambat bangun keesokan harinya.Mama dan Papa telah berada di meja makan untuk sarapan saat aku turun. Aku yang masih belum sepenuhnya sadar dari kantukku langsung menuju dapur, mengambil roti di panggangan, dan mulai makan di ruang tengah.“Pagi Ma, Pa.” Sapaku.Mama dan Papa membalas sapaanku.“Ada yang begadang nih.” Kata Mama.“Iya Ma.” Jawabku.“Tumben begadang.” Timpal Papa.“Iya Pa, baca buku.&r
Ketika aku bangun di pagi harinya, aku merasa kurang sehat. Aku batuk tiada henti, dan tenggorokanku sakit. Memang aku telah merasakan gatal di daerah itu kemarinnya, tapi aku memutuskan untuk tidak memedulikannya.Memang, aku terlalu takut untuk mengakuinya. Sebabnya apa lagi kalau bukan ketakutan akan Corona. Bagaimana pun aku masih tidak bisa menghilangkan kecemasanku akan hal ini, walaupun memang sudah sangat berkurang berkat keputusanku menghindari tayangan-tayangan berita tentangnya.Tapi, aku betul-betul khawatir saat mengalami sakit tenggorokan ini.Bagaimana jika aku ternyata benar-benar mengidap Corona?Aku akan diisolasi seperti Markus, tentunya. Lalu aku akan mendapatkan perawatan sepertinya. Membayangkan hal seperti itu saja aku sudah ketakutan sendiri. Padahal aku yang menasihati Markus untuk bisa kuat dan tegar menghadapi cobaan yang tengah ia hadapi. Tapi justru aku sendiri melempem saat terancam akan hal yang sama.Walaupun demikia
mengikuti sebuah seminar internet terkait Corona. Yang menjadi narasumbernya adalah Dr. Julianti. Ia adalah seorang spesialis di bidang virologi. Seminar internet, atau sekarang lebih dikenal dengan istilah “Webinar”, ini memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan narasumbernya. Sama dengan aplikasi Zoom atau Whatsapp, jadi aku sudah tidak asing dengan hal seperti ini.Dari keterangan Dr. Julianti, walaupun seseorang telah dinyatakan positif mengidap Corona, belum tentu dirinya telah sakit. Bisa jadi ia hanya sebagai carrier atau pembawa. Sementara orang di sekitarnya yang akan menjadi korban.Itu sebenarnya sudah kuketahui. Tapi aku bersikap seolah aku tidak tahu, agar aku bisa mendapatkan ilmu lebih lagi. Siapa tahu dengan bersikap tidak tahu, aku bisa mendapatkan pengetahuan yang tidak kuketahui sebelumnya.“Jadi, bisa saja dia positif tapi tidak mengalami semua gejala yang dinyatakan sebagai Corona?” tanyaku.“Y
Aku mulai kembali menghadiri diskusi grup ODP. Setelah sekian lama (sebenarnya hanya 2 hari) aku absen, ternyata ada anggota baru. Namanya Lydia, ia seorang perempuan yang kutaksir usianya sekitar dua puluhan, mungkin seumur denganku.Tapi ia nampak pucat. Selain itu, entah hanya perasaanku saja atau bagaimana, menurutku ia terlalu kurus. Kutepis pikiranku dari anggapan macam-macam. Bisa saja ia memang berbakat kurus sejak awal. Tidak ada yang perlu kupikirkan secara berlebih, terutama urusan orang lain, pikirku.Mirka membuka sesi grup dengan gayanya seperti biasa. Ia menceritakan kisah-kisah indah dan mengatakan bahwa betapa beruntungnya kami semua sekarang.Di antara peserta, nampak ada Markus. Ia mengenakan masker dan terlihat latar belakang kamar rumah sakit dari layarnya. Ya, tentu saja, memangnya dia mau berada di mana lagi? Bioskop?Mirka menyapa Markus dan menanyakan keadaannya. Markus mengatakan bahwa sejauh ini ia baik-baik saja. Hanya batuk-ba
Salman membuat sebuah acara “Nonton Bareng” di Facebook dan mengundangku. Aku merasa sangat kurang pergaulan karena baru mengetahui keberadaan fitur ini sekarang. Memang aku sering mendengarnya, tapi aku tidak pernah ambil peduli tentang apa itu.Ternyata fitur ini membuat kita bisa menonton bersama sebuah video yang diunggah ke Facebook. Orang-orang yang bisa menyaksikan video ini hanyalah mereka yang diundang oleh pemilik atau pengunggah video tersebut.Dalam hal ini, Salman hanya mengundangku. Sehingga secara tidak langsung, kami seperti sedang menonton di sebuah bioskop, hanya berdua. Seolah bioskop ini kami sewa hanya untuk kami berdua.Video yang diunggah oleh Salman sebenarnya adalah sebuah film berdurasi hampir dua jam. Film dokumenter tentang perjalanan ke Himalaya yang dilakukan oleh seorang travel writer. Aku tidak tahu apakah yang dilakukan Salman ini legal ataukah dapat dikategorikan sebagai pembajakan. Saat ini aku tida
Ucapan Salman membuatku tidak berhenti memikirkannya. Itu berlangsung hingga beberapa jam. Aku bahkan sampai lupa untuk makan malam andai Mama tidak memanggilku.Aku makan dalam diam di meja makan.“Lama sekali kamu makan, Sari. Ada apa?” tanya Mama.“Enggak ada apa-apa, Ma.” Hanya itu jawabku.Baru kusadari bahwa aku telah menghabiskan hampir satu jam di meja makan. Pantas saja jika Mama merasa heran. Segera kubereskan peralatan makanku dan mencucinya.Aku tidak memeriksa ponselku saat tiba di kamar. Entah kenapa aku sedikit was-was apabila ada pesan dari Salman di sana. Cukup berat godaan untuk tidak membuka ponsel. Terlebih lagi tidak banyak yang bisa kulakukan di dalam kamar.Untungnya tidak lama kemudian aku mengantuk. Lalu aku tidak ingat apa-apa lagi.Paginya aku bangun dan menimbang-nimbang kesadaranku. Aku masih bertanya-tanya apakah kejadian kemarin benar-benar terjadi ataukah hanya mimpi.Apak
Paket dari Salman yang kutunggu ternyata sudah datang. Akhirnya aku bisa mengobati rasa penasaranku.Mama membersihkannya dengan disinfektan dan menjemurnya di bawah sinar matahari untuk membunuh virus yang mungkin ada di sana. Baru satu jam kemudian, aku bisa membukanya.Dan di dalamnya kudapati benda yang mengejutkan.Sebuah DVD October Sky.Aku terdiam mematung melihatnya.Ini yang diberikan Salman?Maaf, aku harus mencarinya sampai Pasar Baru. Semoga ini menyenangkannmu. Dan semoga juga ini menjadi penggugur atas hutangku. Janji adalah hutang, bukan?Aku mencintaimu. 
Aku banyak bicara dengan Markus setelah itu. Keterlibatannya dalam permainan FIFA bersama kami telah membuatnya sangat tertarik akan dunia sepakbola. Karena itu, Markus banyak bertanya tentang sepakbola kepadaku.“Siapa klub terbaik?” tanyanya.“Milan!” tentu saja itu jawabanku.“Manchester United, bagiku.” timpal Markus.“United sudah hancur. Nggak akan bangkit lagi.” Jawabku.“Bangkit kok, sebentar lagi!” ia masih ngotot.“Sekarang Liverpool yang akan menguasai Inggris.” Balasku.“Memangnya jadi? ‘Kan distop gara-gara Corona.” Markus tetap tidak mau kalah.Aku tertawa miris. Ya, sepertinya Liverpool akan menjadi salah satu pihak yang dirugikan oleh Corona. Jika Liga Inggris dihentikan, penantian mereka selama tiga puluh tahun untuk juara akan terhenti. Padahal tinggal membutuhkan dua kemenangan lagi untuk itu.Aku dan Markus kemud
Salman dimakamkan dengan protap Corona. Tidak ada yang boleh menghadiri pemakamannya kecuali orang-orang tertentu.Aku tidak termasuk di dalamnya, karena aku memang bukan siapa-siapa dalam hidup Salman.Namun Tante Arny meneleponku esok hari setelah pemakaman Salman. Ternyata ia memiliki nomor kontakku.Lalu kenapa ia tidak pernah menghubungiku saat Salman sedang berada dalam masa kritis?Apakah karena ia khawatir akan membuatku cemas?Tidakkah ia tahu bahwa aku justru lebih cemas saat tidak kunjung mendapat kabar tentang Salman?Sudahlah, aku tidak ingin memperpanjangnya.Tante Arny menceritakan bahwa Salman sangat sering bercerita tentang diriku. Bahwa aku membawa gairah baru dalam hidup Salman.Aku sangat menghargainya. Tapi kini aku telah kehilangan seseorang yang sangat penting. Seorang teman bicara, seorang sahabat, seorang pendengar, dan juga seorang...kekasih.Ya, kekasih, jika aku boleh menyebutnya demikian.
Aku tidak mendengar kabar dari Salman selama sepekan lebih. Selama itu, aku harap-harap cemas menunggu kabar darinya atau dari siapa pun yang bisa memberitahuku tentang keadaannya. Tapi kabar yang kuharapkan tidak kunjung datang.Waktu seperti berjalan begitu lambat. Sepekan ini terasa seperti lebih dari satu bulan bagiku. Pikiranku selalu didominasi oleh Salman.Aku ingin tahu kabarnya, itu saja.Kenapa tidak ada orang yang memberiku hal tersebut barang sedikit?Mana Tante Arny?Mana Rosa?Aku menyesal tidak pernah meminta kontak mereka kepada Salman. Jika tidak, aku pasti bisa bertanya tentangnya.Mama selalu menghibur dan menenangkanku. Aku merasa cukup lebih baik karenanya. Tapi yang bisa membuatku sepenuhnya merasa lebih baik hanyalah kabar dari Salman.Bahkan aku sampai lupa bahwa diriku telah melewati empat belas hari masa karantina. Tanpa gejala apa pun, sehingga aku bisa dikatakan tidak terinfeksi. Tapi karena aku tida
Entah kenapa hari ini aku merasa seperti ada yang tidak beres. Perasaanku seperti mengatakan bahwa aku akan mengalami sesuatu yang kurang menyenangkan hari ini. Tapi aku sendiri tidak tahu apa itu.Kucoba untuk menghubungi Salman via Whatsapp, tapi tidak berhasil. Pesannya tidak ada yang dibaca. Bahkan terkirim pun tidak.Lalu aku mencoba panggilan telepon maupun video, dan hasilnya sama. Perasaanku semakin tidak karuan.Aku turun dan mondar-mandir di dapur.“Ada apa, Sari?” tanya Mama dari ruang tengah.“Enggak, Ma. Nggak apa-apa.” Jawabku.Mama tidak bertanya lagi. Tapi aku tetap mondar-mandir gelisah.“Sayang, sebenarnya ada apa?” Mama bertanya lagi.“Hmmm, Ma...” kataku ragu.Aku lalu menceritakan semuanya.“Belum tentu ada yang nggak beres, ‘kan?” kata Mama.“Iya sih, Ma.” Jawabku.“Tunggu saja kabar dari dia.&rd
Aku tidak tahu apakah hari ini aku sedang PMS atau bagaimana, tapi rasanya yang ingin kulakukan hanyalah merajuk. Aku memang sudah lama tidak menyaksikan berita tentang Corona. Tapi aku tidak bisa menghilangkan kekesalanku akan virus ini.“Aku mengutuk keberadaan virus ini!” kataku kepada Salman. “Dan juga orang-orang yang menyebarkannya!”“Sayang,” jawab Salman. “Mereka yang menyebarkannya tidaklah berniat demikian. Bahkan itu terjadi tanpa mereka sadari. Kalau mereka punya pilihan, tentu mereka nggak akan melakukannya.”“Tapi mereka menyebarkannya, dan membuat orang lain menderita.” Kataku.“Bagaimana jika kita yang menjadi penyebar?” tanya Salman.Aku terdiam dan merasa seperti tertohok oleh pertanyaannya.“Sudahlah,” Kata Salman. “Pada dasarnya nggak ada orang yang berniat jahat. Bahkan virus ini pun nggak berniat jahat. Dia hanya ingin hidup melalu
Batuk Salman belum juga sembuh esok harinya. Aku mendapatinya masih seperti itu saat kami melakukan panggilan video.“Tenanglah, Sari. Dokter sudah bilang bahwa ini hanya batuk biasa.” Katanya.“Dokter? Dokter yang mana?” tanyaku.“Kemarin kami memanggil dokter ke rumah.” Kata Salman. “Dia sudah memeriksaku.”“Lalu apa katanya?” kejarku.“Seperti yang kubilang, ini hanya batuk biasa. Radang tenggorokan.” Jawabnya.“Hanya itu?” tanyaku kurang yakin.“Iya, hanya itu.” ia menegaskan“Syukurlah kalau demikian.” aku merasa lega atas keterangannya.“Ya, kamu nggak perlu khawatir. Hei, dengar, kita akan melewati ini semua, oke?” tanyanya.“Iya.” Aku menjawab singkat.“Jangan nggak semangat gitu dong jawabnya.” Ia berkata lagi.“Terus aku harus jawab gimana?&rd
Esok harinya, aku mendengar kabar dari Markus bahwa Salman sedang sakit batuk. Aku langsung menghubunginya dan menanyakan keadaannya. Sejenak kulupakan perasaan sebalku kemarin.“Tenang, ini batuk biasa.” Katanya setelah kukonfirmasi kabar yang kudapat tadi. .“Batuk biasa bagaimana?” tanyaku balik.“Ya, karena aku kemarin begadang nonton film.” Jawabnya enteng.“Jadi kamu kemarin begadang?” tanyaku.“Iya.” Jawabnya singkat.“Bukankah kamu sendiri yang bilang bahwa tidur cukup akan dapat meningkatkan imun kita?” aku bertanya, retoris.“Ya, maaf.” Katanya.“Jangan ulangi lagi.” Timpalku.“Maaf...” ia mengulanginya.“Sekarang gimana keadaanmu?” tanyaku.“Aku baik-baik kok.” Jawabnya singkat.“Suaramu terdengar beda.” Memang demikian kedengarannya bagiku.
Kami melanjutkan diskusi di grup ODP seperti biasa, setelah waktu makan siang. Markus secara mengejutkan ikut lagi dalam grup tersebut. Ia nampak agak lebih baik.“Hai, Markus, apa kabar?” tanya Mirka.“Baik, ‘kak. Terima kasih.” Jawab Markus.“Semuanya baik-baik saja?” tanyanya lagi.“Iya, hanya sedikit batuk.” Jawab Markus.“Bagus, ayo teman-teman, sapa Markus.” Kata Mirka kepada semua peserta.Kami semua menyapanya. Markus balik menyapa kami semua. Melihat dirinya, aku merasa lebih baik. Mungkin karena menyaksikan keadaannya yang telah divonis positif mengidap Corona, namun tidak terlihat perubahan pada fisiknya.Semula kukira mereka yang divonis positif akan seperti orang-orang yang menderita HIV. Kenyataannya Markus hanya sedikit batuk. Sepertinya memang tidak semua orang akan menjadi separah yang kukira. Semua tergantung kepada kondisinya masing-masing.Usa