Kabar yang mengejutkan datang kepadaku melalui Salman. Ia mengirimkan pesan W******p kepadaku. Semula kukira itu adalah pesan yang seperti biasa dikirimkannya kepadaku setiap waktu-waktu kami mengobrol. Maka aku pun membukanya dengan perasaan berseri. Namun apa yang kubaca di pesan tersebut membuat senyum di wajahku hilang. Bahkan aku sempat tidak percaya dengan apa yang kubaca di sana.
“Markus positif Corona.” Begitu katanya di pesan W******p.
Aku tertegun membaca pesann tersebut. Tubuhku seperti kehilangan darah. Saat itu aku sedang mengambil air minum di dapur. Gelas di tanganku hampir saja jatuh.
Aku lalu duduk di kursi meja makan, dan membaca pesan Salman sekali lagi.
Markus positif Corona.
Kubaca pesan itu berulang-ulang sambil berharap aku telah salah membacanya. Tapi berapa kali pun aku mengulangnya, tulisan Salman tersebut tetap sama.
Ya, Markus memang benar-benar telah dinyatakan positif mengidap Corona. Bagiku jelas ini sangat mengerikan. Status Markus sebelumnya sama denganku, yaitu kami sama-sama ODP. Sekarang, dia bukan lagi ODP, tapi statusnya tentu telah meningkat menjadi Pasien Dalam Perawatan (PDP).
Jika ia yang seorang ODP bisa berubah menjadi PDP, maka bagaimana denganku?
Aku juga seorang ODP. Lalu, apakah aku juga akan berubah menjadi PDP?
Kutepis pikiranku tersebut. Ya, betul, pikiran di otakku ini mulai terbang ke mana-mana lagi. Tapi untung saja aku menyadarinya, bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk membiarkan pikiran terbang. Saat ini yang penting adalah Markus. Ia yang menjadi perhatianku, dan pastinya juga perhatian Salman.
Bagaimana keadaan Markus sekarang?
Anak itu tentu mengalami ketakutan yang sangat besar. Aku kembali terbayang tentang dirinya yang mempertanyakan keberadaan dan eksistensinya sebagai seorang ODP. Aku masih ingat bagaimana diriku berusaha untuk membesarkan hatinya. Saat itu susah payah upaya yang harus kulakukan untuk membuat Markus tenang.
Untungnya, Salman juga berpartisipasi aktif ketika itu. Sebelum mengenalku, tentu Salman lebih dahulu telah dikenal oleh Markus. Salman, sama sepertiku, juga memberi semangat, ketenangan, dan pengertian kepada Markus. Pengertian bahwa ODP bukanlah aib, bukan juga sesuatu yang harus membuat kita terkucil. Sebisa mungkin kami telah berusaha mengangkat dan membesarkan hati Markus.
Saat itu ia nampak bisa menerimanya. Markus tampak lebih ceria dan bersemangat. Ia juga nampak sangat senang bermain FIFA bersama dengan kami.
Lalu kini?
Semua yang kami katakan kepadanya untuk membesarkan hatinya, seolah seperti tidak ada artinya dengan naiknya status Markus menjadi PDP. Ia yang telah tegar dan menerima statusnya tentang ODP dan merasa bahwa itu adalah masalah yang akan berlalu, kini mungkin saja berubah menjadi kecewa. Betapa tidak, sesuatu yang telah ia yakini bersama kami, bahwa itu tidak seberat yang dikatakan orang untuk menakutinya, ternyata benar-benar terjadi kepada dirinya.
Aku bingung dengan apa yang harus kulakukan. Saat ini, sekali lagi, yang penting adalah bagaimana perasaan Markus. Aku ingin sekali berada di tempat ia berada dan menungguinya untuk mendampingi dan memberi semangat setiap saat. Tapi aku tahu bahwa itu tidak mungkin. Aku sendiri juga masih punya kemungkinan untuk naik status menjadi PDP.
Maka sekarang aku bingung, apa yang harus kulakukan?
Aku tidak memiliki bayangan sama sekali akan hal tersebut.
“Bagaimana keadaannya sekarang?” tanyaku kepada Salman.
“Sejauh yang kutahu, ia baik-baik saja.” Jawab Salman.
“Baik-baik saja gimana maksudmu? Dia ‘kan baru saja naik status jadi PDP.” Aku masih penasaran dan tidak bisa tenang.
“Tenanglah, kamu pasti panik deh sekarang. Tenang dulu.” Jawab Salman.
“Gimana bisa tenang? Ini teman kita baru saja jadi PDP lho!” seruku dengan tidak sabar.
“Iya, memang benar demikian. Tapi bersikap panik kayak gitu nggak akan menyelesaikan apa pun. Jadi, sekarang kamu tenang dulu, baru setelah itu kita bisa lanjutkan membahas tentang Markus dan keadaannya.” Kata Salman lagi.
Aku mencoba mencerna apa yang dikatakan Salman. Sebenarnya aku tidak sabar dengan kenyataan ini. Aku ingin tahu bagaimana keadaan Markus. Malahan aku bingung tidak mengerti dengan sikap Salman yang bisa-bisanya berkata agar aku tenang.
Tapi aku tahu bahwa Salman tidak akan melanjutkan pembicaraan apabila aku masih dalam keadaan panik seperti itu. Maka aku pun memutuskan untuk mengikuti kemauannya. Aku diam beberapa saat untuk menarik napas panjang.
Kulakukan itu berkali-kali hingga aku merasa lebih baik dan lebih tenang daripada sebelumnya. Beberapa saat kemudian, setelah kulakukan hal tersebut, aku semakin merasa tenang. Kuakui bahwa apa yang telah dikatakan Salman memang ada benarnya. Kini aku merasa bisa berpikir dan bersikap dengan lebih jernih.
“Oke.” Kataku di pesan W******p. “Sekarang, bisa kita video call saja?” tanyaku mengirimkan pesan lanjutan.
“Oke, aku telpon ya.” Jawab Salman.
Sesaat kemudian, di layar ponselku timbul notifikasi panggilan video dari Salman. Aku segera menerima panggilannya itu.
“Hai.” Sapaku singkat.
“Hai juga.” Balas Salman.
“Jadi, gimana keadaan Markus?” tanyaku.
“Seperti yang sudah kukatakan tadi, ia nampak baik-baik saja.” Jawab Salman.
“Kamu sudah melihat langsung keadaannya?” tanyaku lagi.
“Ya, sudah. Begitu mendapat kabar itu dari ibunya, aku langsung nelpon mereka. Bahkan aku melakukan panggilan video ke Markus tadi, setelah kutelpon Ibunya.”
Oh, rupanya Salman dekat juga dengan keluarga Markus, sampai bisa menelepon ibu anak itu segala, pikirku.
“Terus kamu video call sama Markus jadinya? Dia video call sama kamu di ruang isolasi dong berarti?” tanyaku.
“Iya, begitulah. Dia sekarang sudah ada di ruang isolasi. Katanya tadi, dia sendirian di sana. Nggak ada orang lain kecuali dia dan sesekali dokter datang untuk memeriksa keadaannya. Ya, namanya juga ruang isolasi, pasti sendirian.” jawab Salman.
“Kasihan ya anak itu. Sekarang dia pasti panik dan ketakutan.” Kataku.
“Tenanglah, Sari. Aku tadi sudah ngobrol panjang lebar dengan dia. Nggak seperti dugaanmu, Markus terlihat cukup tenang, kok. Memang aku melihat dia seperti sedang berusaha menenangkan diri. Tapi minimal dia tahu apa yang harus dilakukan, yaitu berusaha membuat dirinya tenang dan menghindari kepanikan.” Timpal Salman.
“Iya, tapi bagaimana pun dia pasti ketakutan biarpun mungkin cuma sedikit. Aku sih membayangkan aja gimana kalau aku berada di posisi dia. Aku pasti panik.” Kataku lagi.
“Itu wajar.” Kata Salman. “Gimana pun ini adalah pandemi global. Kalau kita dinyatakan mengidap penyakit yang jadi pandemi itu, ya wajar kalau kita ketakutan dan panik. Tapi jangan sampai berlebihan. Kan kamu tahu bahwa itu bisa membuat imunitas kita turun dan menjadikan kondisi kita berlanjut jadi lebih parah daripada sebelumnya.” Lanjutnya.
“Ya, aku ingat itu.” kataku.
“Hebat juga ya Markus sudah mengerti akan hal itu. Dia jadi berusaha menenangkan dirinya.” Kata Salman sambil tersenyum.
“Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanyaku.
“Nggak ada.” Jawab Salman.
“Nggak ada? Nggak ada gimana maksudmu?” aku sedikit heran dengan jawaban Salman.
“Kita hanya harus mendukungnya.” Jawabnya singkat.
“Caranya?” tanyaku lagi.
“Kamu W******p saja dia.” Jawab Salman, lagi-lagi dengan singkat.
“W******p dia? Buat apa?” tanyaku masih dengan perasaan heran.
“Lho ‘kan kamu tadi yang nanya tentang apa yang harus kita lakukan. Aku sudah jawab bahwa kita harus mendukungnya. Lalu kamu tanya tentang bagaimana cara kita mendukungnya, nah inilah caranya. Kamu W******p dia untuk menanyakan gimana kabarnya dan cari porsi atau apa yang bisa kamu lakukan untuk membuatnya menjadi lebih baik atau minimal membuat dia merasa lebih baik.”
Aku terdiam sejenak. Dalam hati aku membenarkan apa yang dikatakan Salman.
“Hei, kok diam?” tanya Salman.
Aku tersentak karena pertanyaannya itu. Sebenarnya aku tersentak lebih karena tadi aku sempat jatuh sebentar dalam lamunan. Lalu aku segera menyadari bahwa aku memang harus menghubungi Markus.
“Eh, iya, aku W******p dia sekarang.” Kataku.
“Nah, gitu dong.” Salman tersenyum lagi.
Aku segera melakukan apa yang dikatakan olehnya. Kuhubungi Markus lewat pesan W******p.
“Hei, gimana kabarmu? Aku baru dengar dari Salman tentang kondisi terbaru darimu.” Kataku di W******p.
Kukirim pesan itu dengan perasaan berdebar menanti jawaban Markus. Tidak lama kemudian, ponselku bergetar menunjukkan notifikasi W******p. Ternyata jawaban dari Markus telah tiba.
“Hai kak, aku baik-baik saja di sini. Terima kasih ya kak. Kakak bagaimana? Baik-baik saja?” Tanyanya.
“Syukurlah. Kakak juga di sini baik-baik saja.” Jawabku lega melihat pesan dari Markus.
Minimal aku tahu bahwa ia bisa membalas pesan W******p dariku sehingga minimal bisa kupastikan bahwa dirinya masih dalam keadaan baik. Walaupun entah apakah orang yang telah menjadi PDP dapat dikatakan berada dalam keadaan baik.
“Syukurlah, kak. Semoga Kakak sehat selalu ya kak.” Balas Markus lagi.
“Iya, Aamiin. Sekarang kamu di mana?” biarpun pertanyaan bodoh, tapi tetap kutanyakan.
“Di ruang isolasi, kak. Bosan.” Jawab Markus.
“Pastinya pengen pulang ya?” tanyaku lagi.
“Iya, beneran. Sepi di sini, sendirian. Untung kakak W******p aku.” Jawabnya.
“Iya, Kakak kangen kamu, makanya Kakak W******p. Apalagi setelah Kakak dengar kabarmu dari Kak Salman, Kakak langsung pengen segera tahu kabarmu.” Timpalku.
“Oh iya, terima kasih ya kak. Kakak nggak perlu khawatir. Aku akan baik-baik saja di sini, kak. Dokter dan perawat yang bersamaku di sini semuanya baik. Mereka perhatian ke aku dan selalu memeriksa apakah aku dalam keadaan baik.” Kata Markus.
“Wah, syukurlah. Ya, memang pastinya mereka para dokter dan tim medis di sana adalah orang-orang yang sangat baik. Mereka akan berjuang maksimal dan sekuat tenaga mereka agar kamu bisa sembuh dan kembali beraktivitas seperti sedia kala. Kamu jangan khawatir juga, karena kamu berada di tangan yang tepat dengan adanya mereka.” Aku berusaha membesarkan hatinya.
“Memang betul demikian, kak. Mereka semua memang sangat baik. Semua yang diperlukan untuk kesembuhanku selalu mereka berikan. Tapi tetap saja kak, namanya ruang isolasi, tempat orang sakit. Kalau boleh memilih, pastinya aku akan memilih pulang ke rumah saja.” Timpal Markus.
“Ya, Kakak ngerti kok. Namanya rumah sakit, siapa yang mau berada di sana kan? Pasti memilih untuk nggak di sana kalau memang bisa, walaupun sebagus, selengkap, dan senyaman apa pun rumah sakitnya, tetap saja itu rumah sakit namanya. Beda dengan rumah kita. Tapi tenang saja, Kakak yakin bahwa kamu nggak akan lama berada di kondisi sekarang. Sebentar lagi kamu akan keluar dari sana, dalam keadaan yang sepenuhnya sembuh, dan bisa kembali main sama teman-temanmu.” Aku kembali berusaha memberinya semangat dan kebesaran hati.
“Iya, kak. Semoga ya.” Jawab Markus.
“Kakak akan selalu doain kamu, semoga kamu lekas sembuh.” Kataku.
“Terima kasih kak.” Kata Markus.
“Kita saling doakan ya. Semoga kita semua bisa keluar dari situasi ini bersama-sama, dalam keadaan yang baik, bahkan lebih baik dari sebelumnya.” Doaku.
“Iya kak, doa yang sama kupanjatkan juga. Semoga kita semua selamat dari ini semua. Terima kasih banyak ya kak, sudah perhatian sekali ke aku.” Jawab Markus mendoakan balik.
“Terima kasih juga atas doamu, Markus. Kita semua teman, dan memang itulah yang seharusnya dilakukan oleh sesama teman. Kita saling mendukung pada saat sulit, dan saling memberi selamat serta ikut bersuka-cita di saat-saat yang membahagiakan.” Kataku.
“Betul, Kak. Terima kasih sekali lagi. Terima kasih juga sudah mau menjadi temanku dan menemaniku di saat seperti sekarang ini.” katanya lagi.
“Iya, Markus. Sekarang kita sama-sama berjuang. Kalau kamu butuh Kakak, apa pun itu, katakan saja. Jangan ragu atau sungkan ya. Kakak pasti akan berusaha membantumu.” Ujarku.
Markus mengucapkan terima kasih lagi untuk kesekian kalinya. Kami pun mengakhiri percakapan saat itu sambil saling mengucapkan salam. Aku berniat akan menghubunginya lagi, entah agak malam, atau mungkin besok. Sebisa mungkin harus kuberi dia semangat, selain untuk diriku juga. Ya, aku harus memiliki seorang contoh bahwa ketika seorang ODP naik status menjadi PDP, maka ia bisa sembuh seperti sedia kala tanpa kekurangan apa pun.
Memang, aku telah menyaksikan di berita-berita dari internet tentang kesembuhan sekian banyak orang PDP. Tapi aku ingin menyaksikan dan berinteraksi langsung dengan seorang PDP yang kukenal dan berhasil sembuh. Orang itu adalah Markus.
Sebenarnya aku merasa malu karena tadi telah menjanjikan bahwa diriku akan membantu Markus apa pun yang ia butuhkan. Karena sesungguhnya aku sendiri tidak yakin dengan apa yang kuucapkan tadi.
Bagaimana aku bisa membantunya?
Aku sendiri terkarantina di dalam rumah seperti ini, tidak bisa pergi ke mana pun. Aku malu, karena mungkin yang kuucapkan tadi hanya sekedar basa-basi kepada Markus. Basa-basi seperti itu sangat tidak kuinginkan, apalagi di tengah kondisi seperti sekarang ini.
Lalu bagaimana jika timbul keadaan Markus yang benar-benar membutuhkanku?
Akankah aku bisa memenuhi janjiku?
Atau malah mungkin Markus sendiri sudah tahu bahwa aku hanya berbasa-basi?
Ah, aku jadi malu sendiri dibuatnya. Semoga hal yang terbaik akan terjadi untuk kami semua.
Esoknya, kabar yang sama sekali tidak kuduga tahu-tahu kuterima. Surat elektronik balasan dari Pak Drajat ternyata telah tiba di kotak masukku. Padahal aku sudah hampir lupa sama sekali akan dirinya. Aku juga sudah tidak berharap bahwa ia akan menanggapi suratku, apalagi setelah sekian lama waktu yang berlalu sejak kukirimkan surat elektronik kepadanya.Namun aku menyadari lagi, bahwa sebenarnya belum terlalu lama sejak surat itu kukirimkan. Baru selang satu hari lebih sedikit sejak aku menulis dan mengirimkannya. Tapi memang waktu terasa lambat dan sangat lama berlalunya di masa karantina ini, sehingga aku merasa seperti sudah berhari-hari bahkan hitungan pekan kulalui sejak aku dikarantina mandiri.Ah, ya, dasar relativitas waktu. Engkau benar-benar membuatku bosan menjalani kewajibanku yang satu ini. Nah, kan, pikiranku mulai terbang ke mana-mana lagi.Aku melihat tanggal surat yang beliau kirim, ternyata Pak Drajat mengirimnya kemarin malam. Aku memang tidak
Tanpa kuduga, ternyata aku tidak berhenti menikmati buku kiriman Salman tersebut. Bahkan aku sampai terlambat tidur demi untuk membacanya. Setelah kubaca lebih jauh, ternyata masih banyak isinya yang bagiku sangat menarik. Antara lain tentang kekuatan cinta yang membuat manusia hidup. Beberapa hal menjadi sorotanku di sana. Selain itu, ada juga bahasan tentang impian. Impian juga yang membuat manusia hidup, serta membedakan manusia dari makhluk lainnya. Semua bahasan itu membuatku terlambat bangun keesokan harinya.Mama dan Papa telah berada di meja makan untuk sarapan saat aku turun. Aku yang masih belum sepenuhnya sadar dari kantukku langsung menuju dapur, mengambil roti di panggangan, dan mulai makan di ruang tengah.“Pagi Ma, Pa.” Sapaku.Mama dan Papa membalas sapaanku.“Ada yang begadang nih.” Kata Mama.“Iya Ma.” Jawabku.“Tumben begadang.” Timpal Papa.“Iya Pa, baca buku.&r
Ketika aku bangun di pagi harinya, aku merasa kurang sehat. Aku batuk tiada henti, dan tenggorokanku sakit. Memang aku telah merasakan gatal di daerah itu kemarinnya, tapi aku memutuskan untuk tidak memedulikannya.Memang, aku terlalu takut untuk mengakuinya. Sebabnya apa lagi kalau bukan ketakutan akan Corona. Bagaimana pun aku masih tidak bisa menghilangkan kecemasanku akan hal ini, walaupun memang sudah sangat berkurang berkat keputusanku menghindari tayangan-tayangan berita tentangnya.Tapi, aku betul-betul khawatir saat mengalami sakit tenggorokan ini.Bagaimana jika aku ternyata benar-benar mengidap Corona?Aku akan diisolasi seperti Markus, tentunya. Lalu aku akan mendapatkan perawatan sepertinya. Membayangkan hal seperti itu saja aku sudah ketakutan sendiri. Padahal aku yang menasihati Markus untuk bisa kuat dan tegar menghadapi cobaan yang tengah ia hadapi. Tapi justru aku sendiri melempem saat terancam akan hal yang sama.Walaupun demikia
mengikuti sebuah seminar internet terkait Corona. Yang menjadi narasumbernya adalah Dr. Julianti. Ia adalah seorang spesialis di bidang virologi. Seminar internet, atau sekarang lebih dikenal dengan istilah “Webinar”, ini memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan narasumbernya. Sama dengan aplikasi Zoom atau Whatsapp, jadi aku sudah tidak asing dengan hal seperti ini.Dari keterangan Dr. Julianti, walaupun seseorang telah dinyatakan positif mengidap Corona, belum tentu dirinya telah sakit. Bisa jadi ia hanya sebagai carrier atau pembawa. Sementara orang di sekitarnya yang akan menjadi korban.Itu sebenarnya sudah kuketahui. Tapi aku bersikap seolah aku tidak tahu, agar aku bisa mendapatkan ilmu lebih lagi. Siapa tahu dengan bersikap tidak tahu, aku bisa mendapatkan pengetahuan yang tidak kuketahui sebelumnya.“Jadi, bisa saja dia positif tapi tidak mengalami semua gejala yang dinyatakan sebagai Corona?” tanyaku.“Y
Aku mulai kembali menghadiri diskusi grup ODP. Setelah sekian lama (sebenarnya hanya 2 hari) aku absen, ternyata ada anggota baru. Namanya Lydia, ia seorang perempuan yang kutaksir usianya sekitar dua puluhan, mungkin seumur denganku.Tapi ia nampak pucat. Selain itu, entah hanya perasaanku saja atau bagaimana, menurutku ia terlalu kurus. Kutepis pikiranku dari anggapan macam-macam. Bisa saja ia memang berbakat kurus sejak awal. Tidak ada yang perlu kupikirkan secara berlebih, terutama urusan orang lain, pikirku.Mirka membuka sesi grup dengan gayanya seperti biasa. Ia menceritakan kisah-kisah indah dan mengatakan bahwa betapa beruntungnya kami semua sekarang.Di antara peserta, nampak ada Markus. Ia mengenakan masker dan terlihat latar belakang kamar rumah sakit dari layarnya. Ya, tentu saja, memangnya dia mau berada di mana lagi? Bioskop?Mirka menyapa Markus dan menanyakan keadaannya. Markus mengatakan bahwa sejauh ini ia baik-baik saja. Hanya batuk-ba
Salman membuat sebuah acara “Nonton Bareng” di Facebook dan mengundangku. Aku merasa sangat kurang pergaulan karena baru mengetahui keberadaan fitur ini sekarang. Memang aku sering mendengarnya, tapi aku tidak pernah ambil peduli tentang apa itu.Ternyata fitur ini membuat kita bisa menonton bersama sebuah video yang diunggah ke Facebook. Orang-orang yang bisa menyaksikan video ini hanyalah mereka yang diundang oleh pemilik atau pengunggah video tersebut.Dalam hal ini, Salman hanya mengundangku. Sehingga secara tidak langsung, kami seperti sedang menonton di sebuah bioskop, hanya berdua. Seolah bioskop ini kami sewa hanya untuk kami berdua.Video yang diunggah oleh Salman sebenarnya adalah sebuah film berdurasi hampir dua jam. Film dokumenter tentang perjalanan ke Himalaya yang dilakukan oleh seorang travel writer. Aku tidak tahu apakah yang dilakukan Salman ini legal ataukah dapat dikategorikan sebagai pembajakan. Saat ini aku tida
Ucapan Salman membuatku tidak berhenti memikirkannya. Itu berlangsung hingga beberapa jam. Aku bahkan sampai lupa untuk makan malam andai Mama tidak memanggilku.Aku makan dalam diam di meja makan.“Lama sekali kamu makan, Sari. Ada apa?” tanya Mama.“Enggak ada apa-apa, Ma.” Hanya itu jawabku.Baru kusadari bahwa aku telah menghabiskan hampir satu jam di meja makan. Pantas saja jika Mama merasa heran. Segera kubereskan peralatan makanku dan mencucinya.Aku tidak memeriksa ponselku saat tiba di kamar. Entah kenapa aku sedikit was-was apabila ada pesan dari Salman di sana. Cukup berat godaan untuk tidak membuka ponsel. Terlebih lagi tidak banyak yang bisa kulakukan di dalam kamar.Untungnya tidak lama kemudian aku mengantuk. Lalu aku tidak ingat apa-apa lagi.Paginya aku bangun dan menimbang-nimbang kesadaranku. Aku masih bertanya-tanya apakah kejadian kemarin benar-benar terjadi ataukah hanya mimpi.Apak
Setelah itu, kami memang tetap banyak saling berbagi cerita. Tapi harus kuakui bahwa setelah Salman menyatakan cintanya, terkadang aku menjadi kikuk saat melakukan panggilan video dengannya. Entah, sepertinya aku merasa grogi atau bagaimana.Aku juga tidak tahu kenapa aku yang grogi. Seharusnya ‘kan dia.Apakah karena aku juga sebenarnya menginginkan ia menyatakan cintanya?Ah, ini jadi terasa begitu rumit.“Kalau kamu jadi tokoh di cerita Aladdin, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Salman saat kami melakukan panggilan video.“Maksudmu aku ada di dongeng Aladdin, gitu?” aku bertanya balik.“Iya.” Jawabnya.“Jadi siapa memangnya aku?” tanyaku lagi.“Ya, jadi Aladdin.” Jawabnya.“Lho, nggak mungkinlah.” Kataku.“Kenapa nggak mungkin?” tanyanya.“Aku kan cewek, Aladdin kan cowok.” Kataku lagi.
Paket dari Salman yang kutunggu ternyata sudah datang. Akhirnya aku bisa mengobati rasa penasaranku.Mama membersihkannya dengan disinfektan dan menjemurnya di bawah sinar matahari untuk membunuh virus yang mungkin ada di sana. Baru satu jam kemudian, aku bisa membukanya.Dan di dalamnya kudapati benda yang mengejutkan.Sebuah DVD October Sky.Aku terdiam mematung melihatnya.Ini yang diberikan Salman?Maaf, aku harus mencarinya sampai Pasar Baru. Semoga ini menyenangkannmu. Dan semoga juga ini menjadi penggugur atas hutangku. Janji adalah hutang, bukan?Aku mencintaimu. 
Aku banyak bicara dengan Markus setelah itu. Keterlibatannya dalam permainan FIFA bersama kami telah membuatnya sangat tertarik akan dunia sepakbola. Karena itu, Markus banyak bertanya tentang sepakbola kepadaku.“Siapa klub terbaik?” tanyanya.“Milan!” tentu saja itu jawabanku.“Manchester United, bagiku.” timpal Markus.“United sudah hancur. Nggak akan bangkit lagi.” Jawabku.“Bangkit kok, sebentar lagi!” ia masih ngotot.“Sekarang Liverpool yang akan menguasai Inggris.” Balasku.“Memangnya jadi? ‘Kan distop gara-gara Corona.” Markus tetap tidak mau kalah.Aku tertawa miris. Ya, sepertinya Liverpool akan menjadi salah satu pihak yang dirugikan oleh Corona. Jika Liga Inggris dihentikan, penantian mereka selama tiga puluh tahun untuk juara akan terhenti. Padahal tinggal membutuhkan dua kemenangan lagi untuk itu.Aku dan Markus kemud
Salman dimakamkan dengan protap Corona. Tidak ada yang boleh menghadiri pemakamannya kecuali orang-orang tertentu.Aku tidak termasuk di dalamnya, karena aku memang bukan siapa-siapa dalam hidup Salman.Namun Tante Arny meneleponku esok hari setelah pemakaman Salman. Ternyata ia memiliki nomor kontakku.Lalu kenapa ia tidak pernah menghubungiku saat Salman sedang berada dalam masa kritis?Apakah karena ia khawatir akan membuatku cemas?Tidakkah ia tahu bahwa aku justru lebih cemas saat tidak kunjung mendapat kabar tentang Salman?Sudahlah, aku tidak ingin memperpanjangnya.Tante Arny menceritakan bahwa Salman sangat sering bercerita tentang diriku. Bahwa aku membawa gairah baru dalam hidup Salman.Aku sangat menghargainya. Tapi kini aku telah kehilangan seseorang yang sangat penting. Seorang teman bicara, seorang sahabat, seorang pendengar, dan juga seorang...kekasih.Ya, kekasih, jika aku boleh menyebutnya demikian.
Aku tidak mendengar kabar dari Salman selama sepekan lebih. Selama itu, aku harap-harap cemas menunggu kabar darinya atau dari siapa pun yang bisa memberitahuku tentang keadaannya. Tapi kabar yang kuharapkan tidak kunjung datang.Waktu seperti berjalan begitu lambat. Sepekan ini terasa seperti lebih dari satu bulan bagiku. Pikiranku selalu didominasi oleh Salman.Aku ingin tahu kabarnya, itu saja.Kenapa tidak ada orang yang memberiku hal tersebut barang sedikit?Mana Tante Arny?Mana Rosa?Aku menyesal tidak pernah meminta kontak mereka kepada Salman. Jika tidak, aku pasti bisa bertanya tentangnya.Mama selalu menghibur dan menenangkanku. Aku merasa cukup lebih baik karenanya. Tapi yang bisa membuatku sepenuhnya merasa lebih baik hanyalah kabar dari Salman.Bahkan aku sampai lupa bahwa diriku telah melewati empat belas hari masa karantina. Tanpa gejala apa pun, sehingga aku bisa dikatakan tidak terinfeksi. Tapi karena aku tida
Entah kenapa hari ini aku merasa seperti ada yang tidak beres. Perasaanku seperti mengatakan bahwa aku akan mengalami sesuatu yang kurang menyenangkan hari ini. Tapi aku sendiri tidak tahu apa itu.Kucoba untuk menghubungi Salman via Whatsapp, tapi tidak berhasil. Pesannya tidak ada yang dibaca. Bahkan terkirim pun tidak.Lalu aku mencoba panggilan telepon maupun video, dan hasilnya sama. Perasaanku semakin tidak karuan.Aku turun dan mondar-mandir di dapur.“Ada apa, Sari?” tanya Mama dari ruang tengah.“Enggak, Ma. Nggak apa-apa.” Jawabku.Mama tidak bertanya lagi. Tapi aku tetap mondar-mandir gelisah.“Sayang, sebenarnya ada apa?” Mama bertanya lagi.“Hmmm, Ma...” kataku ragu.Aku lalu menceritakan semuanya.“Belum tentu ada yang nggak beres, ‘kan?” kata Mama.“Iya sih, Ma.” Jawabku.“Tunggu saja kabar dari dia.&rd
Aku tidak tahu apakah hari ini aku sedang PMS atau bagaimana, tapi rasanya yang ingin kulakukan hanyalah merajuk. Aku memang sudah lama tidak menyaksikan berita tentang Corona. Tapi aku tidak bisa menghilangkan kekesalanku akan virus ini.“Aku mengutuk keberadaan virus ini!” kataku kepada Salman. “Dan juga orang-orang yang menyebarkannya!”“Sayang,” jawab Salman. “Mereka yang menyebarkannya tidaklah berniat demikian. Bahkan itu terjadi tanpa mereka sadari. Kalau mereka punya pilihan, tentu mereka nggak akan melakukannya.”“Tapi mereka menyebarkannya, dan membuat orang lain menderita.” Kataku.“Bagaimana jika kita yang menjadi penyebar?” tanya Salman.Aku terdiam dan merasa seperti tertohok oleh pertanyaannya.“Sudahlah,” Kata Salman. “Pada dasarnya nggak ada orang yang berniat jahat. Bahkan virus ini pun nggak berniat jahat. Dia hanya ingin hidup melalu
Batuk Salman belum juga sembuh esok harinya. Aku mendapatinya masih seperti itu saat kami melakukan panggilan video.“Tenanglah, Sari. Dokter sudah bilang bahwa ini hanya batuk biasa.” Katanya.“Dokter? Dokter yang mana?” tanyaku.“Kemarin kami memanggil dokter ke rumah.” Kata Salman. “Dia sudah memeriksaku.”“Lalu apa katanya?” kejarku.“Seperti yang kubilang, ini hanya batuk biasa. Radang tenggorokan.” Jawabnya.“Hanya itu?” tanyaku kurang yakin.“Iya, hanya itu.” ia menegaskan“Syukurlah kalau demikian.” aku merasa lega atas keterangannya.“Ya, kamu nggak perlu khawatir. Hei, dengar, kita akan melewati ini semua, oke?” tanyanya.“Iya.” Aku menjawab singkat.“Jangan nggak semangat gitu dong jawabnya.” Ia berkata lagi.“Terus aku harus jawab gimana?&rd
Esok harinya, aku mendengar kabar dari Markus bahwa Salman sedang sakit batuk. Aku langsung menghubunginya dan menanyakan keadaannya. Sejenak kulupakan perasaan sebalku kemarin.“Tenang, ini batuk biasa.” Katanya setelah kukonfirmasi kabar yang kudapat tadi. .“Batuk biasa bagaimana?” tanyaku balik.“Ya, karena aku kemarin begadang nonton film.” Jawabnya enteng.“Jadi kamu kemarin begadang?” tanyaku.“Iya.” Jawabnya singkat.“Bukankah kamu sendiri yang bilang bahwa tidur cukup akan dapat meningkatkan imun kita?” aku bertanya, retoris.“Ya, maaf.” Katanya.“Jangan ulangi lagi.” Timpalku.“Maaf...” ia mengulanginya.“Sekarang gimana keadaanmu?” tanyaku.“Aku baik-baik kok.” Jawabnya singkat.“Suaramu terdengar beda.” Memang demikian kedengarannya bagiku.
Kami melanjutkan diskusi di grup ODP seperti biasa, setelah waktu makan siang. Markus secara mengejutkan ikut lagi dalam grup tersebut. Ia nampak agak lebih baik.“Hai, Markus, apa kabar?” tanya Mirka.“Baik, ‘kak. Terima kasih.” Jawab Markus.“Semuanya baik-baik saja?” tanyanya lagi.“Iya, hanya sedikit batuk.” Jawab Markus.“Bagus, ayo teman-teman, sapa Markus.” Kata Mirka kepada semua peserta.Kami semua menyapanya. Markus balik menyapa kami semua. Melihat dirinya, aku merasa lebih baik. Mungkin karena menyaksikan keadaannya yang telah divonis positif mengidap Corona, namun tidak terlihat perubahan pada fisiknya.Semula kukira mereka yang divonis positif akan seperti orang-orang yang menderita HIV. Kenyataannya Markus hanya sedikit batuk. Sepertinya memang tidak semua orang akan menjadi separah yang kukira. Semua tergantung kepada kondisinya masing-masing.Usa