Usai mendapatkan nomor kontakku, Salman jadi sering menghubungi diriku. Komunikasi kami menjadi cukup intensif. Ia, seperti dugaanku, adalah orang yang menyenangkan untuk diajak bicara. Berbicara dengannya bisa menghasilkan bahasan dengan berbagai topik. Ia bisa bicara hal serius seperti politik sampai hal paling receh sekalipun seperti sinetron apa yang sedang tayang saat ini.
Salman juga banyak mengirimiku video melalui W******p. Video yang dikirimkannya terkadang berupa adegan-adegan penting dalam sebuah film.
Ia juga terkadang mengirimkan tautan-tautan hiburan. Yang dikiriminya memang tidak melulu soal hiburan, tapi juga informasi-informasi dan berita-berita.
Itu semua cukup menghibur bagiku. Setidaknya, ia tidak membuatku semakin paranoid dengan mengirim berita-berita menakutkan yang bernuansa negatif. Kami tidak pernah membahas tentang pertambahan korban dan penyebaran virus Corona. Meskipun tidak pernah kami bahas lagi, tapi kami tahu sama tahu bahwa tidak ada satu pun dari kami yang menyukai berita semacam itu.
“Aku belum berhasil lulus TOEFL.” Ia mengirimiku pesan.
“Oh ya?” timpalku.
“Begitulah. Kamu sudah pernah ambil tesnya?” tanyanya.
“Sudah, sebelum aku wisuda.” Jawabku.
“Oh, lulus?” tanyanya lagi.
“Lulus dong!” aku menambahkan emoticon senyum di pesanku.
“Hebat! Kasih tahu triknya dong.” Pinta Salman.
“Kamu juga pasti bisa. Memangnya sudah berapa kali ambil?” tanyaku memberi semangat.
“Baru satu kali.” Jawabnya.
“Ah, sekali lagi pasti bisa.” Aku masih memberi semangat.
“Belum sempat, terlanjur jadi ODP.” Kata Salman datar.
“Sayang ya.” Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan.
“Ya, begitulah. Kamu berapa kali ambil TOEFL?” tanyanya lagi.
“Sekali saja.” Jawabku.
“Satu kali? Dan langsung lulus? Hebat!” puji Salman.
“Lagi mood aja kali.” Aku menambah emoticon tertawa.
“Tetap saja, hebat.” Ia masih memuji.
“Kamu juga pasti bisa.” Aku mencoba memberinya semangat lagi.
“Jadi, kemarin baru lulus sarjana?” ia bertanya lagi.
“Begitulah. Kamu sudah lulus ‘kan?” aku bertanya balik.
“Iya, nggak jauh beda sama kamu.” Jawabnya.
“Dulu ngambil jurusan apa?” tanyaku.
“Komunikasi. Kamu?” ia balik bertanya.
“Teknik Informatika.” Jawabku.
“Wah, hebat! Nanti kerja di IT dong?” pujinya.
“Ya, terlanjur jadi ODP.” Kataku sambil menyertakan emoticon tertawa lagi.
Aku membatin sambil mengirim pesan tersebut dan teringat kembali hari wisudaku. Hanya beberapa waktu setelah aku merayakan kelulusanku, lalu aku menjadi ODP. Seolah-olah seperti, “Selamat, kau sudah lulus. Sekarang kau jadi tahanan rumah.”
Ah...
“Hei, kenapa?” Salman bertanya, mungkin karena ia melihatku tidak membalas setelah beberapa waktu.
“Nggak apa-apa.” Jawabku datar.
“Aku mengerti apa yang kamu pikirkan.” Katanya.
“Benarkah?” tanyaku mencoba memahami perkataannya.
“Iya, pasti kamu berpikir bahwa seharusnya hal seperti ini nggak terjadi di masa bahagiamu ‘kan?” jawabnya sambil bertanya.
Ia seperti bisa membaca pikiranku.
“Ya, begitulah kira-kira.” Jawabku.
“Semua akan berlalu, tenanglah.” Hiburnya.
“Ya, aku harap juga begitu.” Kataku, lebih kepada diri sendiri.
“Ayo kita saling mendukung.” Ajak Salman.
“Mendukung untuk apa?” tanyaku.
“Ya untuk kita, semoga kita bisa melalui ini semua dengan selamat.” Jawabnya.
“Baiklah.” Aku tersenyum.
Salman membalas senyumku.
Aku tidak pernah merasakan gejala apa pun. Tidak batuk, tidak sesak napas, bahkan tidak pusing. Sama sekali, sedikit pun tidak. Tapi dokter mengatakan bahwa aku bisa saja menjadi carrier. Carrier atau Orang Tanpa Gejala (OTG) adalah mereka yang membawa virus Corona dalam tubuhnya, namun karena imunitas tubuh yang tinggi, mereka tidak menderita sakit. Tapi virus Corona tetap berada di dalam diri mereka. Virus itu bisa menular ke orang lain dan menyebabkan orang itu sakit jika imunitasnya rendah. Aku tidak ingin menjadi orang yang membawa musibah bagi orang lain seperti itu.Lagipula masa karantinaku baru saja dimulai. Bisa saja aku masih mengalami masa inkubasi. Aku terlalu percaya diri jika mengatakan bahwa diriku adalah seorang carrier.Hanya saja aku merasa malu saat mengalami karantina ini. Seolah aku adalah seorang berpenyakitan yang harus dijauhi. Aku tahu bahwa diriku sendiri yang mengatakan kepada Markus agar jangan merasa demi
Setelah percakapan dengan Salman itu, aku jadi ingin menonton film. Kubuka koleksi DVD di kamarku untuk mencari apabila ada film yang menarik. Pastinya semua film di sana sudah kutonton. Tapi pasti ada juga yang ingin kutonton ulang.Aku menemukan film Vanilla Sky dan kutonton hingga larut malam. Ya, akhiran di judulnya memang sama-sama “Sky”, tapi itu bukan film yang diberikan Salman. Tapi aku sangat menyukai ceritanya.Pada awalnya, film ini terkesan seperti sebuah film bergenre roman biasa. Tapi semua itu berubah saat kusaksikan akhirnya. Vanilla Sky malah bisa disebut sebagai sebuah film thriller psikologis. Aku teringat pertama kali kutonton film ini. Vanilla Sky bisa membuatku memikirkan dan membayangkan terus menerus ceritanya usai film tersebut berakhir. Ya, bagiku ceritanya memang sebagus itu.Walaupun demikian, aku masih menunggu October Sky. Aku menantikan Salman menemukannya.Aku masih menunggu saat itu. Saat ia memb
Malamnya aku menghabiskan waktu untuk menonton Contagion. Salman mengirimiku tautan untuk mengunduh film tersebut. Tidak seperti October Sky yang sulit ditemukan, Contagion ada di mana-mana.Film yang dirilis tahun 2011 ini memang tidak cukup tenar untuk membuatnya masuk ke dalam Box Office pada masa itu, tapi ia cukup laku dan sukses dalam penjualannya. Mungkin tidak cukup banyak orang yang tertarik akan film ini pada tahun tersebut.Bagaimana dengan sekarang?Tentu saja aku yakin pasti banyak orang mencari Contagion. Film ini memuat cerita yang sama persis kejadiannya seperti Corona. Penyebarannya, gejalanya, bahkan tempat asalnya. Ini seperti sebuah film yang meramalkan masa depan.Jika kau mengira bahwa ini adalah sebuah film yang penuh dengan teori konspirasi, maka kau akan kecewa. Film ini murni membahas penyebaran virus akibat sebuah “kecelakaan”.Apakah Corona juga demikian?Entahlah, kuharap juga demikian. Terla
Malamnya, aku makan dengan posisi terpisah dari Mama dan Papa. Mereka makan di meja makan, sementara aku di ruang tengah. Aneh rasanya, social distancing yang juga terjadi di dalam rumah.Tapi itu memang harus aku lakukan. Berkali-kali aku mengingatkan diriku, bahwa sebagai ODP aku tidak memiliki banyak hal untuk dipertanyakan. Bahkan mungkin tidak punya sama sekali.Mama dan Papa memang mempersilakanku untuk makan di meja. Tapi aku tidak mau. Aku tidak ingin mencelakakan mereka. Walaupun hingga saat ini aku tidak merasakan apa pun yang aneh dalam tubuhku.Aku kembali ke kamar dan membuka ponselku. Betapa menyenangkan rasanya saat melihat nama Salman di notifikasi Whatsapp.“Hai, maaf aku baru menghubungi.” Katanya.“Nggak apa-apa. Ke mana saja?” tanyaku.“Aku berusaha nyari October Sky.”“Eh?”“Ya, dan aku masih belum menemukannya.”“Susah ya?”
Aku memeriksa kotak masuk dari surat elektronikku. Ternyata Pak Drajat si pemilik film belum menjawab suratku tentang October Sky. Padahal sudah lebih dari satu hari aku mengirimkannya. Seharusnya sih suratku itu sudah sampai. Bahkan malah seharusnya sudah ia baca. Tapi itu kalau si Bapak itu membuka kotak masuk surat elektroniknya setiap hari.Bisa saja ia lupa membukanya, atau malahan ia sudah lupa sama sekali akan keberadaan akun surat elektronik miliknya tersebut. Atau bisa jadi alamat yang diberikan kepadaku adalah salah, bukan alamat si Pak Drajat itu.Atau bisa jadi juga sebenarnya Pak Drajat tersebut tidak memiliki film yang kucari. Bisa saja informasi yang kudapatkan soal dirinya adalah tidak benar.Tapi ‘kan yang memberikan alamat Pak Drajat adalah Salman. Apakah dia keliru memberikan alamat kepadaku?Atau bisa jadi orang yang memberikan alamat Pak Drajat kepada Salman-lah yang salah. Bisa saja.Atau malah yang namanya Pak Drajat se
Kabar yang mengejutkan datang kepadaku melalui Salman. Ia mengirimkan pesan Whatsapp kepadaku. Semula kukira itu adalah pesan yang seperti biasa dikirimkannya kepadaku setiap waktu-waktu kami mengobrol. Maka aku pun membukanya dengan perasaan berseri. Namun apa yang kubaca di pesan tersebut membuat senyum di wajahku hilang. Bahkan aku sempat tidak percaya dengan apa yang kubaca di sana.“Markus positif Corona.” Begitu katanya di pesan Whatsapp.Aku tertegun membaca pesann tersebut. Tubuhku seperti kehilangan darah. Saat itu aku sedang mengambil air minum di dapur. Gelas di tanganku hampir saja jatuh.Aku lalu duduk di kursi meja makan, dan membaca pesan Salman sekali lagi.Markus positif Corona.Kubaca pesan itu berulang-ulang sambil berharap aku telah salah membacanya. Tapi berapa kali pun aku mengulangnya, tulisan Salman tersebut tetap sama.Ya, Markus memang benar-benar telah dinyatakan positif mengidap Corona. Bagiku jelas in
Esoknya, kabar yang sama sekali tidak kuduga tahu-tahu kuterima. Surat elektronik balasan dari Pak Drajat ternyata telah tiba di kotak masukku. Padahal aku sudah hampir lupa sama sekali akan dirinya. Aku juga sudah tidak berharap bahwa ia akan menanggapi suratku, apalagi setelah sekian lama waktu yang berlalu sejak kukirimkan surat elektronik kepadanya.Namun aku menyadari lagi, bahwa sebenarnya belum terlalu lama sejak surat itu kukirimkan. Baru selang satu hari lebih sedikit sejak aku menulis dan mengirimkannya. Tapi memang waktu terasa lambat dan sangat lama berlalunya di masa karantina ini, sehingga aku merasa seperti sudah berhari-hari bahkan hitungan pekan kulalui sejak aku dikarantina mandiri.Ah, ya, dasar relativitas waktu. Engkau benar-benar membuatku bosan menjalani kewajibanku yang satu ini. Nah, kan, pikiranku mulai terbang ke mana-mana lagi.Aku melihat tanggal surat yang beliau kirim, ternyata Pak Drajat mengirimnya kemarin malam. Aku memang tidak
Tanpa kuduga, ternyata aku tidak berhenti menikmati buku kiriman Salman tersebut. Bahkan aku sampai terlambat tidur demi untuk membacanya. Setelah kubaca lebih jauh, ternyata masih banyak isinya yang bagiku sangat menarik. Antara lain tentang kekuatan cinta yang membuat manusia hidup. Beberapa hal menjadi sorotanku di sana. Selain itu, ada juga bahasan tentang impian. Impian juga yang membuat manusia hidup, serta membedakan manusia dari makhluk lainnya. Semua bahasan itu membuatku terlambat bangun keesokan harinya.Mama dan Papa telah berada di meja makan untuk sarapan saat aku turun. Aku yang masih belum sepenuhnya sadar dari kantukku langsung menuju dapur, mengambil roti di panggangan, dan mulai makan di ruang tengah.“Pagi Ma, Pa.” Sapaku.Mama dan Papa membalas sapaanku.“Ada yang begadang nih.” Kata Mama.“Iya Ma.” Jawabku.“Tumben begadang.” Timpal Papa.“Iya Pa, baca buku.&r
Paket dari Salman yang kutunggu ternyata sudah datang. Akhirnya aku bisa mengobati rasa penasaranku.Mama membersihkannya dengan disinfektan dan menjemurnya di bawah sinar matahari untuk membunuh virus yang mungkin ada di sana. Baru satu jam kemudian, aku bisa membukanya.Dan di dalamnya kudapati benda yang mengejutkan.Sebuah DVD October Sky.Aku terdiam mematung melihatnya.Ini yang diberikan Salman?Maaf, aku harus mencarinya sampai Pasar Baru. Semoga ini menyenangkannmu. Dan semoga juga ini menjadi penggugur atas hutangku. Janji adalah hutang, bukan?Aku mencintaimu. 
Aku banyak bicara dengan Markus setelah itu. Keterlibatannya dalam permainan FIFA bersama kami telah membuatnya sangat tertarik akan dunia sepakbola. Karena itu, Markus banyak bertanya tentang sepakbola kepadaku.“Siapa klub terbaik?” tanyanya.“Milan!” tentu saja itu jawabanku.“Manchester United, bagiku.” timpal Markus.“United sudah hancur. Nggak akan bangkit lagi.” Jawabku.“Bangkit kok, sebentar lagi!” ia masih ngotot.“Sekarang Liverpool yang akan menguasai Inggris.” Balasku.“Memangnya jadi? ‘Kan distop gara-gara Corona.” Markus tetap tidak mau kalah.Aku tertawa miris. Ya, sepertinya Liverpool akan menjadi salah satu pihak yang dirugikan oleh Corona. Jika Liga Inggris dihentikan, penantian mereka selama tiga puluh tahun untuk juara akan terhenti. Padahal tinggal membutuhkan dua kemenangan lagi untuk itu.Aku dan Markus kemud
Salman dimakamkan dengan protap Corona. Tidak ada yang boleh menghadiri pemakamannya kecuali orang-orang tertentu.Aku tidak termasuk di dalamnya, karena aku memang bukan siapa-siapa dalam hidup Salman.Namun Tante Arny meneleponku esok hari setelah pemakaman Salman. Ternyata ia memiliki nomor kontakku.Lalu kenapa ia tidak pernah menghubungiku saat Salman sedang berada dalam masa kritis?Apakah karena ia khawatir akan membuatku cemas?Tidakkah ia tahu bahwa aku justru lebih cemas saat tidak kunjung mendapat kabar tentang Salman?Sudahlah, aku tidak ingin memperpanjangnya.Tante Arny menceritakan bahwa Salman sangat sering bercerita tentang diriku. Bahwa aku membawa gairah baru dalam hidup Salman.Aku sangat menghargainya. Tapi kini aku telah kehilangan seseorang yang sangat penting. Seorang teman bicara, seorang sahabat, seorang pendengar, dan juga seorang...kekasih.Ya, kekasih, jika aku boleh menyebutnya demikian.
Aku tidak mendengar kabar dari Salman selama sepekan lebih. Selama itu, aku harap-harap cemas menunggu kabar darinya atau dari siapa pun yang bisa memberitahuku tentang keadaannya. Tapi kabar yang kuharapkan tidak kunjung datang.Waktu seperti berjalan begitu lambat. Sepekan ini terasa seperti lebih dari satu bulan bagiku. Pikiranku selalu didominasi oleh Salman.Aku ingin tahu kabarnya, itu saja.Kenapa tidak ada orang yang memberiku hal tersebut barang sedikit?Mana Tante Arny?Mana Rosa?Aku menyesal tidak pernah meminta kontak mereka kepada Salman. Jika tidak, aku pasti bisa bertanya tentangnya.Mama selalu menghibur dan menenangkanku. Aku merasa cukup lebih baik karenanya. Tapi yang bisa membuatku sepenuhnya merasa lebih baik hanyalah kabar dari Salman.Bahkan aku sampai lupa bahwa diriku telah melewati empat belas hari masa karantina. Tanpa gejala apa pun, sehingga aku bisa dikatakan tidak terinfeksi. Tapi karena aku tida
Entah kenapa hari ini aku merasa seperti ada yang tidak beres. Perasaanku seperti mengatakan bahwa aku akan mengalami sesuatu yang kurang menyenangkan hari ini. Tapi aku sendiri tidak tahu apa itu.Kucoba untuk menghubungi Salman via Whatsapp, tapi tidak berhasil. Pesannya tidak ada yang dibaca. Bahkan terkirim pun tidak.Lalu aku mencoba panggilan telepon maupun video, dan hasilnya sama. Perasaanku semakin tidak karuan.Aku turun dan mondar-mandir di dapur.“Ada apa, Sari?” tanya Mama dari ruang tengah.“Enggak, Ma. Nggak apa-apa.” Jawabku.Mama tidak bertanya lagi. Tapi aku tetap mondar-mandir gelisah.“Sayang, sebenarnya ada apa?” Mama bertanya lagi.“Hmmm, Ma...” kataku ragu.Aku lalu menceritakan semuanya.“Belum tentu ada yang nggak beres, ‘kan?” kata Mama.“Iya sih, Ma.” Jawabku.“Tunggu saja kabar dari dia.&rd
Aku tidak tahu apakah hari ini aku sedang PMS atau bagaimana, tapi rasanya yang ingin kulakukan hanyalah merajuk. Aku memang sudah lama tidak menyaksikan berita tentang Corona. Tapi aku tidak bisa menghilangkan kekesalanku akan virus ini.“Aku mengutuk keberadaan virus ini!” kataku kepada Salman. “Dan juga orang-orang yang menyebarkannya!”“Sayang,” jawab Salman. “Mereka yang menyebarkannya tidaklah berniat demikian. Bahkan itu terjadi tanpa mereka sadari. Kalau mereka punya pilihan, tentu mereka nggak akan melakukannya.”“Tapi mereka menyebarkannya, dan membuat orang lain menderita.” Kataku.“Bagaimana jika kita yang menjadi penyebar?” tanya Salman.Aku terdiam dan merasa seperti tertohok oleh pertanyaannya.“Sudahlah,” Kata Salman. “Pada dasarnya nggak ada orang yang berniat jahat. Bahkan virus ini pun nggak berniat jahat. Dia hanya ingin hidup melalu
Batuk Salman belum juga sembuh esok harinya. Aku mendapatinya masih seperti itu saat kami melakukan panggilan video.“Tenanglah, Sari. Dokter sudah bilang bahwa ini hanya batuk biasa.” Katanya.“Dokter? Dokter yang mana?” tanyaku.“Kemarin kami memanggil dokter ke rumah.” Kata Salman. “Dia sudah memeriksaku.”“Lalu apa katanya?” kejarku.“Seperti yang kubilang, ini hanya batuk biasa. Radang tenggorokan.” Jawabnya.“Hanya itu?” tanyaku kurang yakin.“Iya, hanya itu.” ia menegaskan“Syukurlah kalau demikian.” aku merasa lega atas keterangannya.“Ya, kamu nggak perlu khawatir. Hei, dengar, kita akan melewati ini semua, oke?” tanyanya.“Iya.” Aku menjawab singkat.“Jangan nggak semangat gitu dong jawabnya.” Ia berkata lagi.“Terus aku harus jawab gimana?&rd
Esok harinya, aku mendengar kabar dari Markus bahwa Salman sedang sakit batuk. Aku langsung menghubunginya dan menanyakan keadaannya. Sejenak kulupakan perasaan sebalku kemarin.“Tenang, ini batuk biasa.” Katanya setelah kukonfirmasi kabar yang kudapat tadi. .“Batuk biasa bagaimana?” tanyaku balik.“Ya, karena aku kemarin begadang nonton film.” Jawabnya enteng.“Jadi kamu kemarin begadang?” tanyaku.“Iya.” Jawabnya singkat.“Bukankah kamu sendiri yang bilang bahwa tidur cukup akan dapat meningkatkan imun kita?” aku bertanya, retoris.“Ya, maaf.” Katanya.“Jangan ulangi lagi.” Timpalku.“Maaf...” ia mengulanginya.“Sekarang gimana keadaanmu?” tanyaku.“Aku baik-baik kok.” Jawabnya singkat.“Suaramu terdengar beda.” Memang demikian kedengarannya bagiku.
Kami melanjutkan diskusi di grup ODP seperti biasa, setelah waktu makan siang. Markus secara mengejutkan ikut lagi dalam grup tersebut. Ia nampak agak lebih baik.“Hai, Markus, apa kabar?” tanya Mirka.“Baik, ‘kak. Terima kasih.” Jawab Markus.“Semuanya baik-baik saja?” tanyanya lagi.“Iya, hanya sedikit batuk.” Jawab Markus.“Bagus, ayo teman-teman, sapa Markus.” Kata Mirka kepada semua peserta.Kami semua menyapanya. Markus balik menyapa kami semua. Melihat dirinya, aku merasa lebih baik. Mungkin karena menyaksikan keadaannya yang telah divonis positif mengidap Corona, namun tidak terlihat perubahan pada fisiknya.Semula kukira mereka yang divonis positif akan seperti orang-orang yang menderita HIV. Kenyataannya Markus hanya sedikit batuk. Sepertinya memang tidak semua orang akan menjadi separah yang kukira. Semua tergantung kepada kondisinya masing-masing.Usa