Setelah percakapan dengan Salman itu, aku jadi ingin menonton film. Kubuka koleksi DVD di kamarku untuk mencari apabila ada film yang menarik. Pastinya semua film di sana sudah kutonton. Tapi pasti ada juga yang ingin kutonton ulang.
Aku menemukan film Vanilla Sky dan kutonton hingga larut malam. Ya, akhiran di judulnya memang sama-sama “Sky”, tapi itu bukan film yang diberikan Salman. Tapi aku sangat menyukai ceritanya.
Pada awalnya, film ini terkesan seperti sebuah film bergenre roman biasa. Tapi semua itu berubah saat kusaksikan akhirnya. Vanilla Sky malah bisa disebut sebagai sebuah film thriller psikologis. Aku teringat pertama kali kutonton film ini. Vanilla Sky bisa membuatku memikirkan dan membayangkan terus menerus ceritanya usai film tersebut berakhir. Ya, bagiku ceritanya memang sebagus itu.
Walaupun demikian, aku masih menunggu October Sky. Aku menantikan Salman menemukannya.
Aku masih menunggu saat itu. Saat ia memberikannya kepadaku.
Entah kapan.
Tapi sekali lagi, Vanilla Sky juga film yang cukup menarik. Bahkan pagi harinya aku menontonnya lagi. Meskipun itu berarti aku sudah menontonnya untuk yang kesekian kali.
Aku tidak akan memberitahumu tentang akhirnya. Hanya saja, aku bisa memberitahu dirimu bahwa ini juga film yang bagus.
“Tumben betah di kamar.” Kata Mama saat aku turun.
“Lho, ‘kan biasanya juga di kamar, Ma. Selama isolasi.” Jawabku.
“Ya, tapi biasanya kamu di kamar juga kedengeran langkah gradak-gruduk nggak bisa diamnya.” Kata Mama lagi.
Aku tertawa nyengir sebagai jawabannya.
“Kali ini kayak yang tenang. Kenapa? Sakit?” lanjut Mama nampak khawatir.
“Ah enggak, Ma.” Jawabku.
“Nggak biasanya saja kamu begitu.” Katanya lagi.
“Aku nonton film, Ma.” Aku menerangkan.
“Nonton film?” Mama nampak keheranan. “Di Netflix?”
“Enggak, Ma. Di laptop.” Jawabku.
“Tumben, biasanya kamu nonton kalau nggak di bioskop ya Netflix.” Mama memang tahu kebiasaanku.
“Film yang ini nggak ada di Netflix.” Terangku.
“Memangnya film apa?” Mama bertanya lagi.
“Vanilla Sky.” Jawabku.
“Film apa tuh?” Mama masih penasaran.
“Nanti kukasih filmnya deh, Ma.” Jawabku agar penasaran Mama hilang.
“Tumben kamu bisa suka sama satu film.” Sepertinya Mama masih penasaran.
“Itu film lama, tapi aku tonton lagi.” Aku mencoba menerangkan dengan singkat.
“Memangnya masih menarik kalau nonton film lama? Apa dulu belum sempat kamu tonton?” Mama seperti belum puas.
“Sudah sih, Ma. Tapi ceritanya masih asik biarpun diulang-ulang.” Aku menerangkan lagi.
“Mama kok nggak pernah bisa ya nonton film yang sudah pernah Mama tonton.” Mama mulai membandingkanku dengan dirinya.
“Tergantung filmnya mungkin, Ma. Bisa jadi Mama belum pernah nonton film yang sebagus itu.” aku berusaha menimpali perbandingannya.
“Bisa jadi. Kamu punya banyak film yang seperti itu?” tanya Mama.
“Ada, Ma. Nanti aku carikan. Aku juga lagi nunggu film October Sky.” Jawabku.
“Kok nunggu? Kamu belum punya?” tanya Mama lagi.
“Salman yang akan kasih, Ma.” Jawabku.
“Oh, teman barumu itu?” Mama nampak menyelidik.
“Iya.” Jawabku singkat.
“Dia yang mau ngasih film yang katanya bagus itu buatmu?” Mama bertanya lagi.
“Betul, Ma.” Aku lagi-lagi menjawab singkat.
“Kamu suka ya sama dia?” selidik Mama lagi.
“Loh, kok ke sana kesimpulannya?” aku tersipu.
“Ya kelihatan saja. Nggak biasanya kamu ngomongin teman cowok.” Jawab Mama.
“Bukannya sering? Aku kan punya banyak teman cowok, Ma. Bahkan beberapa ada yang pernah main ke sini.” aku mencoba menghindar.
“Iya, Mama tahu. Tapi mereka itu kan teman kuliahmu. Ke sininya juga barengan yang lain. Nggak ada yang datang khusus ke sini sendirian.” kata Mama.
“Salman juga belum pernah ke sini sendirian ‘kan, Ma?” aku bertanya balik.
“Tapi caramu ngomongin dia beda.” Mama masih menyelidik.
“Oh iya ya?” aku justru bertanya untuk menghindar.
“Iya.” Jawab Mama.
“Sudah pergi ke mana saja sama dia?” kejar Mama lagi.
“Yah Mama, kan aku ODP!” aku mengingatkan Mama.
“Oh iya lupa.” Mama tertawa.
“Yah Mama.” Kataku.
“Maaf, maaf.” Mama tersenyum geli.
“Salman juga sama sepertiku, Ma.” Kataku.
“Maksudmu, dia ODP juga?” tanya Mama.
“Iya, Ma. Seperti itulah.” Jawabku.
“Kalau dia bukan ODP juga kalian belum boleh ketemu.” Terang Mama.
“Aku ngerti.” Jawabku.
“Sabar saja ya.” Mama nampak berusaha menghibur.
Aku tersenyum dan mengiyakan. Baru pada saat seperti ini aku menyadari bahwa diriku sangat menyukai Mama.
Selain menonton Netflix, aku banyak menghabiskan waktu dengan bermain I*******m. Hal ini sangat jarang kulakukan sebelumnya. Aku lebih suka bermain di dunia nyata daripada di dunia maya. Tapi sekali lagi, saat ini aku tidak memiliki banyak pilihan sekarang.
Aku juga jadi betah berlama-lama menonton YouTube karena tautan-tautan yang dikirim oleh Salman. YouTube sebelumnya bukanlah pilihanku. Kau pasti sudah tahu bahwa pilihan utamaku adalah Netflix.
Sementara aku sedang terkurung seperti sekarang ini, sejumlah temanku telah mulai berkeliaran mencari pekerjaan. Dan aku hanya bisa berada di kamarku, melihat pembaruan status mereka di media sosial yang menceritakan perjuangan masing-masing. Mereka sedang melamar, memasukkan CV, bahkan ada yang sudah memasuki tahap wawancara.
Aku di sini memandangi mereka dan berusaha untuk ikut berbahagia. Walaupun sebenarnya aku iri dengan keadaan mereka semua. Tapi aku memutuskan untuk tidak memberi ruang untuk kesedihan. Maka aku memfokuskan diri melihat video-video lucu di YouTube.
Video apa pun.
Bahkan video lawakan dari Arab pun kutonton. Ya, seputus asa itulah diriku sekarang.
Terkadang aku membaca buku nonfiksi. Tapi buku seperti itu seringkali membuatku merasa mengantuk. Lagipula membacanya membuat diriku seperti kembali ke masa kuliah. Kenangan akan buku-buku teks tebal yang mengisi malam-malamku sebelum ujian kembali terbayang.
Saat ini aku tidak ingin kembali ke masa-masa tersebut. Mungkin saja dalam beberapa tahun ke depan aku akan melanjutkan sekolahku ke jenjang master. Tapi itu nanti, masih jauh di masa yang akan datang. Aku bahkan belum tahu bagaimana nasibku empat belas hari ke depan.
Ah, sudahlah, jangan sampai pikiranku teralih sampai ke sana.
Lalu kuputuskan untuk membuka Storial dan membaca cerita-cerita di sana. Bagiku sangat menghibur. Aku jadi ketagihan untuk terus menerus membuka aplikasi tersebut.
Saking ketagihannya, aku sampai berminat untuk membuka cerita premium berbayar di sana. Tapi aku belum punya cukup uang karena belum bekerja. Nanti, setelah bekerja, aku akan menjadi pembeli cerita premium di sana dan mendukung para penulisnya yang biasa kubaca karyanya secara gratis.
Saat sedang tidak membaca Storial atau menonton Netflix, tidak jarang aku membuka toko online untuk sekedar memilih-milih barang. Semua barang kuambil, tapi aku tidak menekan tombol checkout. Ya karena itu tadi, aku belum punya uang untuk menjadi pembelanja ulung di sana.
Jika sudah mengunjungi toko online dan memilih barang tanpa checkout seperti itu, artinya aku sudah sangat jenuh.
Ketika aku mulai merasa jenuh seperti yang kusebutkan di atas, aku merasa beruntung bahwa aku memiliki sahabat-sahabat yang menghubungiku di tengah kesibukan mereka. Salah satunya adalah Mira, teman sekelasku.
“Hei, sudah berapa lama sekarang?” tanya Mira menanyakan masa karantinaku.
“Baru hari ketiga.” Jawabku.
“Kamu nggak akan membusuk di sana ‘kan?” ia tertawa.
“Sialan!” aku balik tertawa.
“Jangan tularin aku ya!” godanya.
“Paling kalo aku mati, aku akan hantuin kamu!” ancamku.
“Dasar!” Mira berpura-pura marah.
Aku tertawa, dan ia juga ikut tertawa.
“Eh, kamu gimana? Udah dapat kerja?” tanyaku.
“Masih nyari. Kamu udah tambah gendut?” tanyanya balik dengan tidak nyambung kepada topik kami.
“Sori ya, aku nggak lampiasin ke makanan kayak kamu.” Balasku.
“Wah, jadi ke mana dong kalau begitu korban pelampiasanmu?” ia membalasku juga.
“Nontonlah.” Jawabku singkat.
“Biasanya ‘kan nonton sama aku.” Katanya.
“Kalo kamu mau ke sini ayo, kita nonton bareng di kamarku.” Tantangku.
“Ogah!” seru Mira.
Kami tertawa renyah lagi.
“Tumben kamu betah di rumah.” Kata Mira lagi.
“Ya, aku nggak punya pilihan lain, ‘kan?” jawabku balik bertanya.
“Iya sih, tapi apa yang bisa bikin kamu betah? Karena aku cukup kenal kamu. Kamu sukanya nongkrong dan pecicilan.” Kata Mira.
“Ehm...” aku tersipu.
“Apa?” Mira menyelidik.
Kuceritakan kepadanya tentang Salman.
“Waah? Sari punya cowok???” kata Mira.
“Biasa aja kenapa sih?” timpalku.
“Ya aku kan tahu kalau kamu itu cewek yang sangat sulit ditaklukkan hatinya oleh cowok mana pun.” Terang Mira.
“Ah, kamu terlalu berlebihan itu sih.” Aku memang tidak merasa demikian.
“Alah, kamu aja yang merendah kalik.” Kata Mira.
“Merendah gimana?” tanyaku.
“Dulu berapa cowok yang kamu tolak? Bahkan ada cowok yang dikejar banyak cewek, tapi dia suka sama kamu. Eh, kamunya malah nggak mau. Padahal dia udah matahin hati banyak cewek tuh.” Mira mulai mengungkit-ungkit masa lalu.
“Ya gimana, abisnya aku memang nggak suka sih. Masa harus dipaksain, iya nggak?” tanyaku balik.
“Iya sih. Sekarang kok kamu bisa dengan mudah deket sama seorang cowok?” Mira masih nampak penasaran.
“Aku juga nggak tahu, ini benar-benar di luar dugaanku sendiri juga.” Terangku.
“Cowok mana yang bisa dapetin hati kamu?” sepertinya rasa penasaran Mira belum berkurang sedikit pun.
“Ya dia juga sama-sama ODP. Lagipula dia belum resmi jadi cowokku.” Jawabku.
“Lah, gimana maksudnya sih? Aku kok jadi gagal paham sama ceritamu.” Ia kini nampak bingung.
“Ya kita baru sering chattingan dan video call aja. Belum bisa lebih dari itu.” jawabku lagi.
“Udah kenal berapa lama?” tanya Mira.
“Tiga hari.” Jawabku singkat.
“Baru tiga hari???” nada Mira meninggi.
“Ya sejak aku ikut grup diskusi itu aja.” Jawabku datar.
“Yah, kirain udah gimanaaaa gitu.” Ia nampak seperti yang kecewa.
“’Gimana gitu’ maksudmu itu yang kayak apa?” aku menganalisis kekecewaannya.
“Iya, kukira kalian udah jadian, atau udah sering main bareng, atau bahkan dia udah dateng untuk main ke rumahmu.” Terang Mira.
“Gila aja, kan udah kuceritain bahwa kami berdua sama-sama ODP. Masa mau main bareng atau bawa dia ke sini. Nanti malah saling nularin atau lebih parah nularin ke orang-orang di sekitar kami, jadinya malah kami yang salah.” Aku mencoba menjelaskan andai Mira belum tahu tentang bahaya ODP jika berinteraksi dengan orang lain.
“Tapi di antara kalian, belum ada yang nampak gejala-gejala Corona ‘kan?” tanya Mira.
“Belum.” Jawabku.
“Semoga saja sampai akhir nggak ada.” Doanya.
“Aamiin, makasih ya Mir, kamu masih sempat nemenin aku kayak gini.” Aku merasa bahagia.
“Hei, bicara apa kamu? Kita ini ‘kan besties forever!” timpal Mira.
“Aku tahu, tapi aku tetap harus bilang terima kasih untuk selalu menjadi sahabatku.” Jawabku.
“Gini ya, sekali lagi kamu bilang terima kasih, aku marah!” ancam Mira dengan wajah dibuat-buat seperti orang yang sedang marah.
Ya, kawan, aku baru ingat bahwa diriku juga sangat menyukai Mira.
Malamnya aku menghabiskan waktu untuk menonton Contagion. Salman mengirimiku tautan untuk mengunduh film tersebut. Tidak seperti October Sky yang sulit ditemukan, Contagion ada di mana-mana.Film yang dirilis tahun 2011 ini memang tidak cukup tenar untuk membuatnya masuk ke dalam Box Office pada masa itu, tapi ia cukup laku dan sukses dalam penjualannya. Mungkin tidak cukup banyak orang yang tertarik akan film ini pada tahun tersebut.Bagaimana dengan sekarang?Tentu saja aku yakin pasti banyak orang mencari Contagion. Film ini memuat cerita yang sama persis kejadiannya seperti Corona. Penyebarannya, gejalanya, bahkan tempat asalnya. Ini seperti sebuah film yang meramalkan masa depan.Jika kau mengira bahwa ini adalah sebuah film yang penuh dengan teori konspirasi, maka kau akan kecewa. Film ini murni membahas penyebaran virus akibat sebuah “kecelakaan”.Apakah Corona juga demikian?Entahlah, kuharap juga demikian. Terla
Malamnya, aku makan dengan posisi terpisah dari Mama dan Papa. Mereka makan di meja makan, sementara aku di ruang tengah. Aneh rasanya, social distancing yang juga terjadi di dalam rumah.Tapi itu memang harus aku lakukan. Berkali-kali aku mengingatkan diriku, bahwa sebagai ODP aku tidak memiliki banyak hal untuk dipertanyakan. Bahkan mungkin tidak punya sama sekali.Mama dan Papa memang mempersilakanku untuk makan di meja. Tapi aku tidak mau. Aku tidak ingin mencelakakan mereka. Walaupun hingga saat ini aku tidak merasakan apa pun yang aneh dalam tubuhku.Aku kembali ke kamar dan membuka ponselku. Betapa menyenangkan rasanya saat melihat nama Salman di notifikasi Whatsapp.“Hai, maaf aku baru menghubungi.” Katanya.“Nggak apa-apa. Ke mana saja?” tanyaku.“Aku berusaha nyari October Sky.”“Eh?”“Ya, dan aku masih belum menemukannya.”“Susah ya?”
Aku memeriksa kotak masuk dari surat elektronikku. Ternyata Pak Drajat si pemilik film belum menjawab suratku tentang October Sky. Padahal sudah lebih dari satu hari aku mengirimkannya. Seharusnya sih suratku itu sudah sampai. Bahkan malah seharusnya sudah ia baca. Tapi itu kalau si Bapak itu membuka kotak masuk surat elektroniknya setiap hari.Bisa saja ia lupa membukanya, atau malahan ia sudah lupa sama sekali akan keberadaan akun surat elektronik miliknya tersebut. Atau bisa jadi alamat yang diberikan kepadaku adalah salah, bukan alamat si Pak Drajat itu.Atau bisa jadi juga sebenarnya Pak Drajat tersebut tidak memiliki film yang kucari. Bisa saja informasi yang kudapatkan soal dirinya adalah tidak benar.Tapi ‘kan yang memberikan alamat Pak Drajat adalah Salman. Apakah dia keliru memberikan alamat kepadaku?Atau bisa jadi orang yang memberikan alamat Pak Drajat kepada Salman-lah yang salah. Bisa saja.Atau malah yang namanya Pak Drajat se
Kabar yang mengejutkan datang kepadaku melalui Salman. Ia mengirimkan pesan Whatsapp kepadaku. Semula kukira itu adalah pesan yang seperti biasa dikirimkannya kepadaku setiap waktu-waktu kami mengobrol. Maka aku pun membukanya dengan perasaan berseri. Namun apa yang kubaca di pesan tersebut membuat senyum di wajahku hilang. Bahkan aku sempat tidak percaya dengan apa yang kubaca di sana.“Markus positif Corona.” Begitu katanya di pesan Whatsapp.Aku tertegun membaca pesann tersebut. Tubuhku seperti kehilangan darah. Saat itu aku sedang mengambil air minum di dapur. Gelas di tanganku hampir saja jatuh.Aku lalu duduk di kursi meja makan, dan membaca pesan Salman sekali lagi.Markus positif Corona.Kubaca pesan itu berulang-ulang sambil berharap aku telah salah membacanya. Tapi berapa kali pun aku mengulangnya, tulisan Salman tersebut tetap sama.Ya, Markus memang benar-benar telah dinyatakan positif mengidap Corona. Bagiku jelas in
Esoknya, kabar yang sama sekali tidak kuduga tahu-tahu kuterima. Surat elektronik balasan dari Pak Drajat ternyata telah tiba di kotak masukku. Padahal aku sudah hampir lupa sama sekali akan dirinya. Aku juga sudah tidak berharap bahwa ia akan menanggapi suratku, apalagi setelah sekian lama waktu yang berlalu sejak kukirimkan surat elektronik kepadanya.Namun aku menyadari lagi, bahwa sebenarnya belum terlalu lama sejak surat itu kukirimkan. Baru selang satu hari lebih sedikit sejak aku menulis dan mengirimkannya. Tapi memang waktu terasa lambat dan sangat lama berlalunya di masa karantina ini, sehingga aku merasa seperti sudah berhari-hari bahkan hitungan pekan kulalui sejak aku dikarantina mandiri.Ah, ya, dasar relativitas waktu. Engkau benar-benar membuatku bosan menjalani kewajibanku yang satu ini. Nah, kan, pikiranku mulai terbang ke mana-mana lagi.Aku melihat tanggal surat yang beliau kirim, ternyata Pak Drajat mengirimnya kemarin malam. Aku memang tidak
Tanpa kuduga, ternyata aku tidak berhenti menikmati buku kiriman Salman tersebut. Bahkan aku sampai terlambat tidur demi untuk membacanya. Setelah kubaca lebih jauh, ternyata masih banyak isinya yang bagiku sangat menarik. Antara lain tentang kekuatan cinta yang membuat manusia hidup. Beberapa hal menjadi sorotanku di sana. Selain itu, ada juga bahasan tentang impian. Impian juga yang membuat manusia hidup, serta membedakan manusia dari makhluk lainnya. Semua bahasan itu membuatku terlambat bangun keesokan harinya.Mama dan Papa telah berada di meja makan untuk sarapan saat aku turun. Aku yang masih belum sepenuhnya sadar dari kantukku langsung menuju dapur, mengambil roti di panggangan, dan mulai makan di ruang tengah.“Pagi Ma, Pa.” Sapaku.Mama dan Papa membalas sapaanku.“Ada yang begadang nih.” Kata Mama.“Iya Ma.” Jawabku.“Tumben begadang.” Timpal Papa.“Iya Pa, baca buku.&r
Ketika aku bangun di pagi harinya, aku merasa kurang sehat. Aku batuk tiada henti, dan tenggorokanku sakit. Memang aku telah merasakan gatal di daerah itu kemarinnya, tapi aku memutuskan untuk tidak memedulikannya.Memang, aku terlalu takut untuk mengakuinya. Sebabnya apa lagi kalau bukan ketakutan akan Corona. Bagaimana pun aku masih tidak bisa menghilangkan kecemasanku akan hal ini, walaupun memang sudah sangat berkurang berkat keputusanku menghindari tayangan-tayangan berita tentangnya.Tapi, aku betul-betul khawatir saat mengalami sakit tenggorokan ini.Bagaimana jika aku ternyata benar-benar mengidap Corona?Aku akan diisolasi seperti Markus, tentunya. Lalu aku akan mendapatkan perawatan sepertinya. Membayangkan hal seperti itu saja aku sudah ketakutan sendiri. Padahal aku yang menasihati Markus untuk bisa kuat dan tegar menghadapi cobaan yang tengah ia hadapi. Tapi justru aku sendiri melempem saat terancam akan hal yang sama.Walaupun demikia
mengikuti sebuah seminar internet terkait Corona. Yang menjadi narasumbernya adalah Dr. Julianti. Ia adalah seorang spesialis di bidang virologi. Seminar internet, atau sekarang lebih dikenal dengan istilah “Webinar”, ini memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan narasumbernya. Sama dengan aplikasi Zoom atau Whatsapp, jadi aku sudah tidak asing dengan hal seperti ini.Dari keterangan Dr. Julianti, walaupun seseorang telah dinyatakan positif mengidap Corona, belum tentu dirinya telah sakit. Bisa jadi ia hanya sebagai carrier atau pembawa. Sementara orang di sekitarnya yang akan menjadi korban.Itu sebenarnya sudah kuketahui. Tapi aku bersikap seolah aku tidak tahu, agar aku bisa mendapatkan ilmu lebih lagi. Siapa tahu dengan bersikap tidak tahu, aku bisa mendapatkan pengetahuan yang tidak kuketahui sebelumnya.“Jadi, bisa saja dia positif tapi tidak mengalami semua gejala yang dinyatakan sebagai Corona?” tanyaku.“Y
Paket dari Salman yang kutunggu ternyata sudah datang. Akhirnya aku bisa mengobati rasa penasaranku.Mama membersihkannya dengan disinfektan dan menjemurnya di bawah sinar matahari untuk membunuh virus yang mungkin ada di sana. Baru satu jam kemudian, aku bisa membukanya.Dan di dalamnya kudapati benda yang mengejutkan.Sebuah DVD October Sky.Aku terdiam mematung melihatnya.Ini yang diberikan Salman?Maaf, aku harus mencarinya sampai Pasar Baru. Semoga ini menyenangkannmu. Dan semoga juga ini menjadi penggugur atas hutangku. Janji adalah hutang, bukan?Aku mencintaimu. 
Aku banyak bicara dengan Markus setelah itu. Keterlibatannya dalam permainan FIFA bersama kami telah membuatnya sangat tertarik akan dunia sepakbola. Karena itu, Markus banyak bertanya tentang sepakbola kepadaku.“Siapa klub terbaik?” tanyanya.“Milan!” tentu saja itu jawabanku.“Manchester United, bagiku.” timpal Markus.“United sudah hancur. Nggak akan bangkit lagi.” Jawabku.“Bangkit kok, sebentar lagi!” ia masih ngotot.“Sekarang Liverpool yang akan menguasai Inggris.” Balasku.“Memangnya jadi? ‘Kan distop gara-gara Corona.” Markus tetap tidak mau kalah.Aku tertawa miris. Ya, sepertinya Liverpool akan menjadi salah satu pihak yang dirugikan oleh Corona. Jika Liga Inggris dihentikan, penantian mereka selama tiga puluh tahun untuk juara akan terhenti. Padahal tinggal membutuhkan dua kemenangan lagi untuk itu.Aku dan Markus kemud
Salman dimakamkan dengan protap Corona. Tidak ada yang boleh menghadiri pemakamannya kecuali orang-orang tertentu.Aku tidak termasuk di dalamnya, karena aku memang bukan siapa-siapa dalam hidup Salman.Namun Tante Arny meneleponku esok hari setelah pemakaman Salman. Ternyata ia memiliki nomor kontakku.Lalu kenapa ia tidak pernah menghubungiku saat Salman sedang berada dalam masa kritis?Apakah karena ia khawatir akan membuatku cemas?Tidakkah ia tahu bahwa aku justru lebih cemas saat tidak kunjung mendapat kabar tentang Salman?Sudahlah, aku tidak ingin memperpanjangnya.Tante Arny menceritakan bahwa Salman sangat sering bercerita tentang diriku. Bahwa aku membawa gairah baru dalam hidup Salman.Aku sangat menghargainya. Tapi kini aku telah kehilangan seseorang yang sangat penting. Seorang teman bicara, seorang sahabat, seorang pendengar, dan juga seorang...kekasih.Ya, kekasih, jika aku boleh menyebutnya demikian.
Aku tidak mendengar kabar dari Salman selama sepekan lebih. Selama itu, aku harap-harap cemas menunggu kabar darinya atau dari siapa pun yang bisa memberitahuku tentang keadaannya. Tapi kabar yang kuharapkan tidak kunjung datang.Waktu seperti berjalan begitu lambat. Sepekan ini terasa seperti lebih dari satu bulan bagiku. Pikiranku selalu didominasi oleh Salman.Aku ingin tahu kabarnya, itu saja.Kenapa tidak ada orang yang memberiku hal tersebut barang sedikit?Mana Tante Arny?Mana Rosa?Aku menyesal tidak pernah meminta kontak mereka kepada Salman. Jika tidak, aku pasti bisa bertanya tentangnya.Mama selalu menghibur dan menenangkanku. Aku merasa cukup lebih baik karenanya. Tapi yang bisa membuatku sepenuhnya merasa lebih baik hanyalah kabar dari Salman.Bahkan aku sampai lupa bahwa diriku telah melewati empat belas hari masa karantina. Tanpa gejala apa pun, sehingga aku bisa dikatakan tidak terinfeksi. Tapi karena aku tida
Entah kenapa hari ini aku merasa seperti ada yang tidak beres. Perasaanku seperti mengatakan bahwa aku akan mengalami sesuatu yang kurang menyenangkan hari ini. Tapi aku sendiri tidak tahu apa itu.Kucoba untuk menghubungi Salman via Whatsapp, tapi tidak berhasil. Pesannya tidak ada yang dibaca. Bahkan terkirim pun tidak.Lalu aku mencoba panggilan telepon maupun video, dan hasilnya sama. Perasaanku semakin tidak karuan.Aku turun dan mondar-mandir di dapur.“Ada apa, Sari?” tanya Mama dari ruang tengah.“Enggak, Ma. Nggak apa-apa.” Jawabku.Mama tidak bertanya lagi. Tapi aku tetap mondar-mandir gelisah.“Sayang, sebenarnya ada apa?” Mama bertanya lagi.“Hmmm, Ma...” kataku ragu.Aku lalu menceritakan semuanya.“Belum tentu ada yang nggak beres, ‘kan?” kata Mama.“Iya sih, Ma.” Jawabku.“Tunggu saja kabar dari dia.&rd
Aku tidak tahu apakah hari ini aku sedang PMS atau bagaimana, tapi rasanya yang ingin kulakukan hanyalah merajuk. Aku memang sudah lama tidak menyaksikan berita tentang Corona. Tapi aku tidak bisa menghilangkan kekesalanku akan virus ini.“Aku mengutuk keberadaan virus ini!” kataku kepada Salman. “Dan juga orang-orang yang menyebarkannya!”“Sayang,” jawab Salman. “Mereka yang menyebarkannya tidaklah berniat demikian. Bahkan itu terjadi tanpa mereka sadari. Kalau mereka punya pilihan, tentu mereka nggak akan melakukannya.”“Tapi mereka menyebarkannya, dan membuat orang lain menderita.” Kataku.“Bagaimana jika kita yang menjadi penyebar?” tanya Salman.Aku terdiam dan merasa seperti tertohok oleh pertanyaannya.“Sudahlah,” Kata Salman. “Pada dasarnya nggak ada orang yang berniat jahat. Bahkan virus ini pun nggak berniat jahat. Dia hanya ingin hidup melalu
Batuk Salman belum juga sembuh esok harinya. Aku mendapatinya masih seperti itu saat kami melakukan panggilan video.“Tenanglah, Sari. Dokter sudah bilang bahwa ini hanya batuk biasa.” Katanya.“Dokter? Dokter yang mana?” tanyaku.“Kemarin kami memanggil dokter ke rumah.” Kata Salman. “Dia sudah memeriksaku.”“Lalu apa katanya?” kejarku.“Seperti yang kubilang, ini hanya batuk biasa. Radang tenggorokan.” Jawabnya.“Hanya itu?” tanyaku kurang yakin.“Iya, hanya itu.” ia menegaskan“Syukurlah kalau demikian.” aku merasa lega atas keterangannya.“Ya, kamu nggak perlu khawatir. Hei, dengar, kita akan melewati ini semua, oke?” tanyanya.“Iya.” Aku menjawab singkat.“Jangan nggak semangat gitu dong jawabnya.” Ia berkata lagi.“Terus aku harus jawab gimana?&rd
Esok harinya, aku mendengar kabar dari Markus bahwa Salman sedang sakit batuk. Aku langsung menghubunginya dan menanyakan keadaannya. Sejenak kulupakan perasaan sebalku kemarin.“Tenang, ini batuk biasa.” Katanya setelah kukonfirmasi kabar yang kudapat tadi. .“Batuk biasa bagaimana?” tanyaku balik.“Ya, karena aku kemarin begadang nonton film.” Jawabnya enteng.“Jadi kamu kemarin begadang?” tanyaku.“Iya.” Jawabnya singkat.“Bukankah kamu sendiri yang bilang bahwa tidur cukup akan dapat meningkatkan imun kita?” aku bertanya, retoris.“Ya, maaf.” Katanya.“Jangan ulangi lagi.” Timpalku.“Maaf...” ia mengulanginya.“Sekarang gimana keadaanmu?” tanyaku.“Aku baik-baik kok.” Jawabnya singkat.“Suaramu terdengar beda.” Memang demikian kedengarannya bagiku.
Kami melanjutkan diskusi di grup ODP seperti biasa, setelah waktu makan siang. Markus secara mengejutkan ikut lagi dalam grup tersebut. Ia nampak agak lebih baik.“Hai, Markus, apa kabar?” tanya Mirka.“Baik, ‘kak. Terima kasih.” Jawab Markus.“Semuanya baik-baik saja?” tanyanya lagi.“Iya, hanya sedikit batuk.” Jawab Markus.“Bagus, ayo teman-teman, sapa Markus.” Kata Mirka kepada semua peserta.Kami semua menyapanya. Markus balik menyapa kami semua. Melihat dirinya, aku merasa lebih baik. Mungkin karena menyaksikan keadaannya yang telah divonis positif mengidap Corona, namun tidak terlihat perubahan pada fisiknya.Semula kukira mereka yang divonis positif akan seperti orang-orang yang menderita HIV. Kenyataannya Markus hanya sedikit batuk. Sepertinya memang tidak semua orang akan menjadi separah yang kukira. Semua tergantung kepada kondisinya masing-masing.Usa