Share

4

Penulis: Reez
last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-21 11:56:25

Aku tidak pernah merasakan gejala apa pun. Tidak batuk, tidak sesak napas, bahkan tidak pusing. Sama sekali, sedikit pun tidak. Tapi dokter mengatakan bahwa aku bisa saja menjadi carrier.

Carrier atau Orang Tanpa Gejala (OTG) adalah mereka yang membawa virus Corona dalam tubuhnya, namun karena imunitas tubuh yang tinggi, mereka tidak menderita sakit. Tapi virus Corona tetap berada di dalam diri mereka. Virus itu bisa menular ke orang lain dan menyebabkan orang itu sakit jika imunitasnya rendah. Aku tidak ingin menjadi orang yang membawa musibah bagi orang lain seperti itu.

Lagipula masa karantinaku baru saja dimulai. Bisa saja aku masih mengalami masa inkubasi. Aku terlalu percaya diri jika mengatakan bahwa diriku adalah seorang carrier.

Hanya saja aku merasa malu saat mengalami karantina ini. Seolah aku adalah seorang berpenyakitan yang harus dijauhi. Aku tahu bahwa diriku sendiri yang mengatakan kepada Markus agar jangan merasa demikian terkait hal ini.

Tapi ternyata memang lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Aku sendiri malah memikirkan hal-hal yang telah kukatakan, dan merasa minder karenanya.

Papa dan Mama sudah mengatakan kepadaku bahwa itu tidaklah demikian. Aku hanya perlu mengisolasi diri agar tidak menulari orang lain. Dokter pun berkata hal yang sama.

Tapi tetap, itu tidak membuatku merasa lebih baik. Aku seperti seorang pembawa penyakit. Orang yang harus dijauhi. Orang yang menjijikkan.

Terlebih lagi dengan adanya berita masyarakat yang menolak pemakaman jenasah korban Corona. Itu semakin membuatku merasa sedih.

Sebegitu hinakah menjadi korban Corona?

Bukankah mereka hanya korban?

Tidak ada satu pun orang waras yang menginginkan dirinya tertular virus celaka itu. Tapi banyak oknum masyarakat yang memperlakukan mereka seperti bandit jalanan. Itu semua membuatku sangat sedih.

Hanya Papa dan Mama yang terus membesarkan hatiku. Mereka juga yang selalu mengingatkanku untuk mengonsumsi banyak serat serta vitamin yang cukup. Mereka juga berkata bahwa mereka tidak mempercayai bahwa diriku menjadi carrier. Aku hanya harus mengikuti prosedur, begitu katanya.

Tapi kenyataan bahwa mereka mengatakannya sambil menjaga jarak denganku cukup membuatku kecewa. Ya, aku tahu, mereka juga harus melakukan prosedur. Aku hanya kecewa tanpa alasan. Kecewa karena sedih.

“Sudahlah, kau akan segera kembali ke luar.” Kata Salman saat kuceritakan semua hal tersebut.

“Bisa ya, bisa juga tidak.” Jawabku.

“Jangan pesimis begitu.” Katanya lagi.

“Bagaimana kalau empat belas hari ke depan aku ternyata dinyatakan positif?” aku bertanya gelisah.

“Jangan mengkhawatirkan hal yang belum terjadi.” Ia nampak berusaha menenangkan.

“Tapi hari itu akan segera tiba.” Kataku lagi.

“Kamu akan menjadi paruh baya, tua, dan meninggal. Tapi tidak oleh penyakit ini.” timpalnya.

“Kamu nggak membuatnya jadi lebih baik.” Jawabku.

“Kenapa?” ia nampak heran.

“Ya itu, dengan menyebutku akan meninggal.” Jawabku.

“Tapi kan nanti setelah tua.” Ia mengelak.

Aku tertawa.

“Video call aja yuk?” ajaknya.

“Boleh.” Jawabku.

Saat kami melakukannya, terlihat bahwa Salman sejak tadi chatting denganku sambil berada di teras rumah. Ia lalu berdiri dan mengarahkan layar teleponnya ke sekeliling dirinya.

Salman memperlihatkan halaman rumahnya yang asri. Ternyata ia memiliki rumah dengan halaman yang luas. Semua tanaman ditata dengan begitu rapinya.

Aku jadi malu sendiri. Aku tidak pernah seserius itu dalam mengurus rumah. Jangankan tanaman di halaman, bahkan kamarku sendiri pun tidak setiap hari kubersihkan. Salman seperti seorang antitesis dari diriku.

Ia masuk ke rumah dan menyapa seorang perempuan. Salman memperkenalkan perempuan itu kepadaku sebagai ibunya. Aku cukup kagum, ibunya nampak lebih muda dari usianya.

Usia Salman seharusnya tidak terpaut jauh dariku. Artinya usia ibunya bisa jadi sudah di atas lima puluh tahun. Tapi ia masih nampak seperti awal empat puluhan.

“Ibu sedang masak.” Kata Salman.

“Oh...” hanya itu jawabku.

“Ibu, ini Sari.” Kata Salman.

“Perkenalkan, Tante.” Kataku tersenyum.

“Oh iya, salam kenal ya. Saya Arny.” Ibu Salman menyapa ramah sambil memperkenalkan dirinya.

“Iya, Tante Arny.” Sapaku hormat.

“Ketemu Salman di mana?” tanya Tante Arny.

“Di grup Zoom, Tante.” Jawabku.

“Oh, iya Tante tahu grup itu.” katanya.

“Oh ya, Tante?” aku nampak terkejut.

“Iya, gimana, asyik grupnya?” tanyanya.

Aku melirik Salman sejenak. Salman balas melirik sambil tersenyum dan mengangkat alisnya.

“Asyik, Tante. Orang-orangnya baik.” Jawabku akhirnya.

“Syukurlah. Semoga senang terus ya.” Timpal Tante Arny.

“Iya, Tante.” Aku tersenyum.

“Wah, aku dijadiin kambing congek.” Kata Salman.

Aku tertawa mendengarnya.

“Salman akhirnya harus mau makan serat. Biasanya dia nggak mau tuh makan buah dan sayur.” Kata Tante Arny.

“Begitukah? Karena jadi ODP?” tanyaku tersenyum.

“Iya, memang begitu.” Tegas Tante Arny.

“Waaah, ceritain aja semua, Bu.” Kata Salman.

Aku dan Tante Arny tertawa.

“Aku mau nunjukin ruang makan aja.” Kata Salman.

“Ngapain?” tanyaku.

“Nanti aku mau ngundang kamu makan di sini ketika semua ini berakhir.” Jawab Salman.

“Ih, kok so sweet?” timpal Tante Arny.

“Bukan so sweet, Bu. Tapi beneran sweet.” Kata Salman.

“Gombal.” Kataku.

“Aminkan dong, biar semua ini benar-benar berakhir.” Timpal Salman.

“Iya deh, aamiin.” Kataku.

Tante Arny juga ikut mengaminkan.

Salman menunjukkan dapur dan ruang makan mereka. Seperti yang kuduga, kedua tempat itu sangat bersih dan rapi. Aku bisa menduganya dari cara mereka memperlakukan halaman rumahnya yang tadi kulihat. Dapurnya putih bersih, dan semua peralatan terlihat teratur berada di tempatnya.

Begitu juga dengan ruang makan mereka. Piring, sendok, dan garpu begitu teratur. Demikian juga serbet yang dilipat membuatku merasa sedang melihat sebuah meja makan di hotel berbintang lima.

Kulontarkan pujian kepada dua ruangan itu. Salman menjawab bahwa itu hanyalah kebiasaan mereka. Aku jadi semakin malu.

Usai dari dapur dan ruang makan, Salman lalu membawa ponselnya ke kamarnya. Ia menunjukkan dinding kamarnya yang dipenuhi poster pemain sepakbola. Bahkan di mejanya terdapat beberapa action figure pemain top Eropa.

“Kamu suka bola juga ternyata.” Kataku.

“Iya. Fanatik.” Jawab Salman.

“Pasti suka mainnya juga ‘kan?” aku mencoba menggali.

“Pasti. Sebelum jadi ODP pasti aku dua kali sepekan main futsal.” Jawab Salman.

“Wah, hebat dong.” Pujiku.

“Makanya aku ingin segera main lagi.” Timpalnya.

“Aku juga suka sepakbola.” Kataku memberi tahu.

“Benarkah?” matanya berbinar.

“Ya, aku Milanisti.” Kuberi tahu identitasku.

“Aku Decul.” Jawabnya.

“Barcelona?” tanyaku memastikan.

“Iya.” Jawab Salman.

“Waaah, tapi kamu bukan fans plastik kan?” tanyaku menggodanya.

“Bukanlah. Maksudmu fans Barcelona sejak mereka berjaya doang ‘kan?” ia memastikan.

“Iya.” Jawabku.

“Aku suka Barcelona sejak tahun 90-an.” Terang Salman.

“Walaupun saat itu Madrid lagi berjaya?” pancingku.

“Iya, entah kenapa aku sukanya Barcelona.” Terangnya.

“Hebat dong, setia.” Pujiku lagi.

“Harus. Kamu sendiri sejak kapan suka Milan?” ia balik bertanya.

“Sejak SMA, kira-kira. Waktu mereka juara Eropa lawan Juventus.” Jawabku.

“Kalau waktu itu Juventus yang menang, kamu jangan-jangan jadi Juventini?” goda Salman.

“Mungkin saja.” Jawabku.

Kami tertawa lagi.

“Inilah yang menjadi motivasiku.” Kata Salman sambil memperlihatkan lagi koleksi barang-barang bernuasa sepakbolanya. “Setelah ini aku ingin main futsal lagi, berlarian lagi di sepanjang lapangan, mencetak gol lagi, jadi bintang lapangan lagi.”

“Memangnya kamu bintang lapangan?” godaku lagi.

“Nanti kamu lihat sendiri ya.” Ia menggoda balik.

“Janji, ya?” pintaku.

“Janji.” Jawabnya.

“Berarti motivasi untuk lewat dari krisis ini adalah supaya bisa lihat kamu main ya?” godaku.

“Iya, begitulah.” Jawabnya enteng.

“Aku bukan motivator yang baik, ya?” tanyaku.

“Di antara kita ‘kan nggak ada yang kerja jadi motivator.” Jawab Salman.

“Saling semangatin aja berarti ya.” Kataku.

“Ya. Anggap saja kita sama-sama anak kecil yang harus saling hibur.” Jawabnya lagi.

“Bisa juga seperti itu. Kita sama-sama menunggu masa-masa ini berlalu.” Aku berusaha menghibur.

“This too shall pass.” Timpalnya.

“Benar.” Jawabku.

Harus kuakui bahwa aku mulai menyukai pria ini. Aku menyukai caranya berbicara, optimismenya, keceriaannya, serta bagaimana ia membuat orang di sekitarnya menjadi bahagia.

“Ceritakan tentang dirimu.” Kataku.

“Kamu tahu, aku suka sepakbola, dan aku menjadi ODP gara-gara nonton bola juga.” Jawabnya.

“Oh ya?” aku belum tahu tentang ini.

“Ya, gara-gara aku nonton bola di stadion.” Terang Salman.

“Oh, wah, kamu nonton pertandingan liga di stadion ya berarti?” aku memastikan.

“Iya, dan setelah itu baru diketahui bahwa sebagian orang di sana sudah dinyatakan positif mengidap Corona.” Kisahnya.

“Aku tahu bagaimana rasanya seperti itu.” aku menimpali.

“Iya, nggak jauh beda dari kejadianmu. Tapi ya sudahlah, mau gimana lagi ‘kan? Semua sudah berlalu. Dan sudah terjadi juga.” Salman seperti menghibur diri.

“Iya, sepakat.” Jawabku.

Salman tersenyum.

Aku pun membalas senyumnya.

“Tapi kejadian itu nggak membuatmu berhenti menyukai sepakbola ‘kan?” tanyaku.

“Nggak lah, jelas. Sama sekali nggak, itu hal yang berbeda.” Jawab Salman.

“Syukurlah, aku setuju dengan itu. Kejadian tersebut memang nggak berhubungan dengan sepakbola sebagai olahraga. Itu murni keteledoran.” Tegasku.

“Benar. Ya sama juga dengan kejadianmu. Masa setelah itu jadi nggak boleh ada wisuda sama sekali?” ia mencoba memberi perbandingan.

Kami tertawa berbarengan lagi.

“Selain sepakbola, apa lagi yang kamu suka?” tanyaku.

“Hmm, film.” Jawab Salman.

“Film bioskop? Atau film serial?” tanyaku lagi.

“Dua-duanya. Kamu gimana?” ia bertanya balik.

“Aku nggak pernah melewatkan film-film terbaru. Baik film bioskop maupun film serial.” Jawabku.

“Kalau begitu, kita bisa nonton nanti, setelah semuanya berakhir.” Ajaknya.

“Janji?” aku mengulangi perkataan kami beberapa saat lalu.

“Janji.” Ia juga mengulangi jawabannya tadi.

“Apa film favoritmu?” tanyaku lagi.

“Aku? October Sky.” Jawabnya.

“Pendaratan di Bulan?” aku kurang akrab dengan judul film yang disebutkannya.

Tapi rasanya aku memang pernah mendengar judul film tersebut. Aku masih mencoba mengingat-ingatnya.

“Bukan, pembuatan roket oleh anak-anak sekolah.” Salman mengonfirmasi.

“Ah, ya. Lupa.” Aku tertawa.

“Aku suka perjuangan mereka dalam menggapai mimpi. Walaupun dunia dan sekitar mereka menentang, tapi mereka berjalan terus. Mimpi adalah hal yang membuat mereka hidup. Membuat kita semua hidup.” Terang Salman.

“Aku suka cerita itu. Kapan-kapan aku juga ingin menontonnya. Kau punya filmnya?” tanyaku.

“Dulu punya, tapi dipinjam teman, dan belum kembali.” Jawabnya.

“Wah, sayang sekali, ya.” Aku sedikit kecewa.

“Tapi aku akan nyari lagi.” Katanya.

“Buat apa?” tanyaku lagi.

“Ya buat kamu.” Jawabnya.

“Lho kok buat aku?” aku bingung sendiri.

“Kan kamu bilang tadi bahwa kamu mau nonton.” Jawab Salman lagi.

“Tapi kan filmnya nggak ada.” Kataku.

“Sudah kubilang bahwa akan aku cari.” Ia menegaskan.

“Hanya karena aku mau nonton?” aku penasaran.

“Iya.” Tegasnya lagi.

“Kenapa?” aku masih penasaran.

“Ya, aku pengen aja nyariin buat kamu.” Jawaban Salman seperti tidak menjawab pertanyaanku.

“Kok so sweet sih?” godaku.

“Ah, kamu ngejek, ikut-ikutan Ibu.” Ia menggoda balik.

Aku tertawa.

“Tapi, makasih ya.” Kataku.

“Buat apa?” tanyanya.

“Buat nyariin film itu untukku.” Terangku.

“Kan belum dicariinnya.” Godanya lagi.

“Ya, minimal kan kamu udah niat.” Timpalku.

“Niat doang cukup ya berarti.” Ia masih menggoda.

Aku tertawa lagi.

Setelah kami mengakhiri percakapan hari itu, aku mencari cuplikan film yang dikatakan Salman. Akhirnya ada cuplikan berjudul October Sky yang kutemukan di YouTube.

Dari cuplikannya saja aku sudah merasa sangat tertarik akan film ini. Ia menampilkan kegigihan anak-anak remaja dalam mengejar mimpi mereka.

Mereka adalah anak-anak dari Coalwood, yang secara tidak langsung masa depannya adalah menjadi pekerja tambang. Coalwood yang memprioritaskan pekerjaan dari kecepatan penghasilannya.

Tapi anak-anak remaja ini memiliki mimpi untuk membuat roket. Mereka ingin membuat perjalanan antariksa dilakukan oleh manusia. Hal yang ditertawakan dan dianggap tidak mungkin, namun mereka ingin menerobosnya. Seperti yang dikatakan oleh Salman, bahwa mimpi membuat mereka tetap hidup. Mimpilah yang membuat asa mereka tetap ada walaupun dunia sekitar mereka menghalanginya.

Ini adalah film yang sangat-sangat bagus. Aku ingin segera menontonnya. Karena itu aku ingin masa mencekam ini segera berakhir.

Semoga Salman juga bisa menemukan filmnya. Karena aku ingin menonton October Sky, bersamanya.

Bab terkait

  • Corona Love   5

    Setelah percakapan dengan Salman itu, aku jadi ingin menonton film. Kubuka koleksi DVD di kamarku untuk mencari apabila ada film yang menarik. Pastinya semua film di sana sudah kutonton. Tapi pasti ada juga yang ingin kutonton ulang.Aku menemukan film Vanilla Sky dan kutonton hingga larut malam. Ya, akhiran di judulnya memang sama-sama “Sky”, tapi itu bukan film yang diberikan Salman. Tapi aku sangat menyukai ceritanya.Pada awalnya, film ini terkesan seperti sebuah film bergenre roman biasa. Tapi semua itu berubah saat kusaksikan akhirnya. Vanilla Sky malah bisa disebut sebagai sebuah film thriller psikologis. Aku teringat pertama kali kutonton film ini. Vanilla Sky bisa membuatku memikirkan dan membayangkan terus menerus ceritanya usai film tersebut berakhir. Ya, bagiku ceritanya memang sebagus itu.Walaupun demikian, aku masih menunggu October Sky. Aku menantikan Salman menemukannya.Aku masih menunggu saat itu. Saat ia memb

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-21
  • Corona Love   6

    Malamnya aku menghabiskan waktu untuk menonton Contagion. Salman mengirimiku tautan untuk mengunduh film tersebut. Tidak seperti October Sky yang sulit ditemukan, Contagion ada di mana-mana.Film yang dirilis tahun 2011 ini memang tidak cukup tenar untuk membuatnya masuk ke dalam Box Office pada masa itu, tapi ia cukup laku dan sukses dalam penjualannya. Mungkin tidak cukup banyak orang yang tertarik akan film ini pada tahun tersebut.Bagaimana dengan sekarang?Tentu saja aku yakin pasti banyak orang mencari Contagion. Film ini memuat cerita yang sama persis kejadiannya seperti Corona. Penyebarannya, gejalanya, bahkan tempat asalnya. Ini seperti sebuah film yang meramalkan masa depan.Jika kau mengira bahwa ini adalah sebuah film yang penuh dengan teori konspirasi, maka kau akan kecewa. Film ini murni membahas penyebaran virus akibat sebuah “kecelakaan”.Apakah Corona juga demikian?Entahlah, kuharap juga demikian. Terla

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-21
  • Corona Love   7

    Malamnya, aku makan dengan posisi terpisah dari Mama dan Papa. Mereka makan di meja makan, sementara aku di ruang tengah. Aneh rasanya, social distancing yang juga terjadi di dalam rumah.Tapi itu memang harus aku lakukan. Berkali-kali aku mengingatkan diriku, bahwa sebagai ODP aku tidak memiliki banyak hal untuk dipertanyakan. Bahkan mungkin tidak punya sama sekali.Mama dan Papa memang mempersilakanku untuk makan di meja. Tapi aku tidak mau. Aku tidak ingin mencelakakan mereka. Walaupun hingga saat ini aku tidak merasakan apa pun yang aneh dalam tubuhku.Aku kembali ke kamar dan membuka ponselku. Betapa menyenangkan rasanya saat melihat nama Salman di notifikasi Whatsapp.“Hai, maaf aku baru menghubungi.” Katanya.“Nggak apa-apa. Ke mana saja?” tanyaku.“Aku berusaha nyari October Sky.”“Eh?”“Ya, dan aku masih belum menemukannya.”“Susah ya?”

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-21
  • Corona Love   8

    Aku memeriksa kotak masuk dari surat elektronikku. Ternyata Pak Drajat si pemilik film belum menjawab suratku tentang October Sky. Padahal sudah lebih dari satu hari aku mengirimkannya. Seharusnya sih suratku itu sudah sampai. Bahkan malah seharusnya sudah ia baca. Tapi itu kalau si Bapak itu membuka kotak masuk surat elektroniknya setiap hari.Bisa saja ia lupa membukanya, atau malahan ia sudah lupa sama sekali akan keberadaan akun surat elektronik miliknya tersebut. Atau bisa jadi alamat yang diberikan kepadaku adalah salah, bukan alamat si Pak Drajat itu.Atau bisa jadi juga sebenarnya Pak Drajat tersebut tidak memiliki film yang kucari. Bisa saja informasi yang kudapatkan soal dirinya adalah tidak benar.Tapi ‘kan yang memberikan alamat Pak Drajat adalah Salman. Apakah dia keliru memberikan alamat kepadaku?Atau bisa jadi orang yang memberikan alamat Pak Drajat kepada Salman-lah yang salah. Bisa saja.Atau malah yang namanya Pak Drajat se

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-21
  • Corona Love   9

    Kabar yang mengejutkan datang kepadaku melalui Salman. Ia mengirimkan pesan Whatsapp kepadaku. Semula kukira itu adalah pesan yang seperti biasa dikirimkannya kepadaku setiap waktu-waktu kami mengobrol. Maka aku pun membukanya dengan perasaan berseri. Namun apa yang kubaca di pesan tersebut membuat senyum di wajahku hilang. Bahkan aku sempat tidak percaya dengan apa yang kubaca di sana.“Markus positif Corona.” Begitu katanya di pesan Whatsapp.Aku tertegun membaca pesann tersebut. Tubuhku seperti kehilangan darah. Saat itu aku sedang mengambil air minum di dapur. Gelas di tanganku hampir saja jatuh.Aku lalu duduk di kursi meja makan, dan membaca pesan Salman sekali lagi.Markus positif Corona.Kubaca pesan itu berulang-ulang sambil berharap aku telah salah membacanya. Tapi berapa kali pun aku mengulangnya, tulisan Salman tersebut tetap sama.Ya, Markus memang benar-benar telah dinyatakan positif mengidap Corona. Bagiku jelas in

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-21
  • Corona Love   10

    Esoknya, kabar yang sama sekali tidak kuduga tahu-tahu kuterima. Surat elektronik balasan dari Pak Drajat ternyata telah tiba di kotak masukku. Padahal aku sudah hampir lupa sama sekali akan dirinya. Aku juga sudah tidak berharap bahwa ia akan menanggapi suratku, apalagi setelah sekian lama waktu yang berlalu sejak kukirimkan surat elektronik kepadanya.Namun aku menyadari lagi, bahwa sebenarnya belum terlalu lama sejak surat itu kukirimkan. Baru selang satu hari lebih sedikit sejak aku menulis dan mengirimkannya. Tapi memang waktu terasa lambat dan sangat lama berlalunya di masa karantina ini, sehingga aku merasa seperti sudah berhari-hari bahkan hitungan pekan kulalui sejak aku dikarantina mandiri.Ah, ya, dasar relativitas waktu. Engkau benar-benar membuatku bosan menjalani kewajibanku yang satu ini. Nah, kan, pikiranku mulai terbang ke mana-mana lagi.Aku melihat tanggal surat yang beliau kirim, ternyata Pak Drajat mengirimnya kemarin malam. Aku memang tidak

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-21
  • Corona Love   11

    Tanpa kuduga, ternyata aku tidak berhenti menikmati buku kiriman Salman tersebut. Bahkan aku sampai terlambat tidur demi untuk membacanya. Setelah kubaca lebih jauh, ternyata masih banyak isinya yang bagiku sangat menarik. Antara lain tentang kekuatan cinta yang membuat manusia hidup. Beberapa hal menjadi sorotanku di sana. Selain itu, ada juga bahasan tentang impian. Impian juga yang membuat manusia hidup, serta membedakan manusia dari makhluk lainnya. Semua bahasan itu membuatku terlambat bangun keesokan harinya.Mama dan Papa telah berada di meja makan untuk sarapan saat aku turun. Aku yang masih belum sepenuhnya sadar dari kantukku langsung menuju dapur, mengambil roti di panggangan, dan mulai makan di ruang tengah.“Pagi Ma, Pa.” Sapaku.Mama dan Papa membalas sapaanku.“Ada yang begadang nih.” Kata Mama.“Iya Ma.” Jawabku.“Tumben begadang.” Timpal Papa.“Iya Pa, baca buku.&r

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-30
  • Corona Love   12

    Ketika aku bangun di pagi harinya, aku merasa kurang sehat. Aku batuk tiada henti, dan tenggorokanku sakit. Memang aku telah merasakan gatal di daerah itu kemarinnya, tapi aku memutuskan untuk tidak memedulikannya.Memang, aku terlalu takut untuk mengakuinya. Sebabnya apa lagi kalau bukan ketakutan akan Corona. Bagaimana pun aku masih tidak bisa menghilangkan kecemasanku akan hal ini, walaupun memang sudah sangat berkurang berkat keputusanku menghindari tayangan-tayangan berita tentangnya.Tapi, aku betul-betul khawatir saat mengalami sakit tenggorokan ini.Bagaimana jika aku ternyata benar-benar mengidap Corona?Aku akan diisolasi seperti Markus, tentunya. Lalu aku akan mendapatkan perawatan sepertinya. Membayangkan hal seperti itu saja aku sudah ketakutan sendiri. Padahal aku yang menasihati Markus untuk bisa kuat dan tegar menghadapi cobaan yang tengah ia hadapi. Tapi justru aku sendiri melempem saat terancam akan hal yang sama.Walaupun demikia

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-30

Bab terbaru

  • Corona Love   27

    Paket dari Salman yang kutunggu ternyata sudah datang. Akhirnya aku bisa mengobati rasa penasaranku.Mama membersihkannya dengan disinfektan dan menjemurnya di bawah sinar matahari untuk membunuh virus yang mungkin ada di sana. Baru satu jam kemudian, aku bisa membukanya.Dan di dalamnya kudapati benda yang mengejutkan.Sebuah DVD October Sky.Aku terdiam mematung melihatnya.Ini yang diberikan Salman?Maaf, aku harus mencarinya sampai Pasar Baru. Semoga ini menyenangkannmu. Dan semoga juga ini menjadi penggugur atas hutangku. Janji adalah hutang, bukan?Aku mencintaimu. 

  • Corona Love   26

    Aku banyak bicara dengan Markus setelah itu. Keterlibatannya dalam permainan FIFA bersama kami telah membuatnya sangat tertarik akan dunia sepakbola. Karena itu, Markus banyak bertanya tentang sepakbola kepadaku.“Siapa klub terbaik?” tanyanya.“Milan!” tentu saja itu jawabanku.“Manchester United, bagiku.” timpal Markus.“United sudah hancur. Nggak akan bangkit lagi.” Jawabku.“Bangkit kok, sebentar lagi!” ia masih ngotot.“Sekarang Liverpool yang akan menguasai Inggris.” Balasku.“Memangnya jadi? ‘Kan distop gara-gara Corona.” Markus tetap tidak mau kalah.Aku tertawa miris. Ya, sepertinya Liverpool akan menjadi salah satu pihak yang dirugikan oleh Corona. Jika Liga Inggris dihentikan, penantian mereka selama tiga puluh tahun untuk juara akan terhenti. Padahal tinggal membutuhkan dua kemenangan lagi untuk itu.Aku dan Markus kemud

  • Corona Love   25

    Salman dimakamkan dengan protap Corona. Tidak ada yang boleh menghadiri pemakamannya kecuali orang-orang tertentu.Aku tidak termasuk di dalamnya, karena aku memang bukan siapa-siapa dalam hidup Salman.Namun Tante Arny meneleponku esok hari setelah pemakaman Salman. Ternyata ia memiliki nomor kontakku.Lalu kenapa ia tidak pernah menghubungiku saat Salman sedang berada dalam masa kritis?Apakah karena ia khawatir akan membuatku cemas?Tidakkah ia tahu bahwa aku justru lebih cemas saat tidak kunjung mendapat kabar tentang Salman?Sudahlah, aku tidak ingin memperpanjangnya.Tante Arny menceritakan bahwa Salman sangat sering bercerita tentang diriku. Bahwa aku membawa gairah baru dalam hidup Salman.Aku sangat menghargainya. Tapi kini aku telah kehilangan seseorang yang sangat penting. Seorang teman bicara, seorang sahabat, seorang pendengar, dan juga seorang...kekasih.Ya, kekasih, jika aku boleh menyebutnya demikian.

  • Corona Love   24

    Aku tidak mendengar kabar dari Salman selama sepekan lebih. Selama itu, aku harap-harap cemas menunggu kabar darinya atau dari siapa pun yang bisa memberitahuku tentang keadaannya. Tapi kabar yang kuharapkan tidak kunjung datang.Waktu seperti berjalan begitu lambat. Sepekan ini terasa seperti lebih dari satu bulan bagiku. Pikiranku selalu didominasi oleh Salman.Aku ingin tahu kabarnya, itu saja.Kenapa tidak ada orang yang memberiku hal tersebut barang sedikit?Mana Tante Arny?Mana Rosa?Aku menyesal tidak pernah meminta kontak mereka kepada Salman. Jika tidak, aku pasti bisa bertanya tentangnya.Mama selalu menghibur dan menenangkanku. Aku merasa cukup lebih baik karenanya. Tapi yang bisa membuatku sepenuhnya merasa lebih baik hanyalah kabar dari Salman.Bahkan aku sampai lupa bahwa diriku telah melewati empat belas hari masa karantina. Tanpa gejala apa pun, sehingga aku bisa dikatakan tidak terinfeksi. Tapi karena aku tida

  • Corona Love   23

    Entah kenapa hari ini aku merasa seperti ada yang tidak beres. Perasaanku seperti mengatakan bahwa aku akan mengalami sesuatu yang kurang menyenangkan hari ini. Tapi aku sendiri tidak tahu apa itu.Kucoba untuk menghubungi Salman via Whatsapp, tapi tidak berhasil. Pesannya tidak ada yang dibaca. Bahkan terkirim pun tidak.Lalu aku mencoba panggilan telepon maupun video, dan hasilnya sama. Perasaanku semakin tidak karuan.Aku turun dan mondar-mandir di dapur.“Ada apa, Sari?” tanya Mama dari ruang tengah.“Enggak, Ma. Nggak apa-apa.” Jawabku.Mama tidak bertanya lagi. Tapi aku tetap mondar-mandir gelisah.“Sayang, sebenarnya ada apa?” Mama bertanya lagi.“Hmmm, Ma...” kataku ragu.Aku lalu menceritakan semuanya.“Belum tentu ada yang nggak beres, ‘kan?” kata Mama.“Iya sih, Ma.” Jawabku.“Tunggu saja kabar dari dia.&rd

  • Corona Love   22

    Aku tidak tahu apakah hari ini aku sedang PMS atau bagaimana, tapi rasanya yang ingin kulakukan hanyalah merajuk. Aku memang sudah lama tidak menyaksikan berita tentang Corona. Tapi aku tidak bisa menghilangkan kekesalanku akan virus ini.“Aku mengutuk keberadaan virus ini!” kataku kepada Salman. “Dan juga orang-orang yang menyebarkannya!”“Sayang,” jawab Salman. “Mereka yang menyebarkannya tidaklah berniat demikian. Bahkan itu terjadi tanpa mereka sadari. Kalau mereka punya pilihan, tentu mereka nggak akan melakukannya.”“Tapi mereka menyebarkannya, dan membuat orang lain menderita.” Kataku.“Bagaimana jika kita yang menjadi penyebar?” tanya Salman.Aku terdiam dan merasa seperti tertohok oleh pertanyaannya.“Sudahlah,” Kata Salman. “Pada dasarnya nggak ada orang yang berniat jahat. Bahkan virus ini pun nggak berniat jahat. Dia hanya ingin hidup melalu

  • Corona Love   21

    Batuk Salman belum juga sembuh esok harinya. Aku mendapatinya masih seperti itu saat kami melakukan panggilan video.“Tenanglah, Sari. Dokter sudah bilang bahwa ini hanya batuk biasa.” Katanya.“Dokter? Dokter yang mana?” tanyaku.“Kemarin kami memanggil dokter ke rumah.” Kata Salman. “Dia sudah memeriksaku.”“Lalu apa katanya?” kejarku.“Seperti yang kubilang, ini hanya batuk biasa. Radang tenggorokan.” Jawabnya.“Hanya itu?” tanyaku kurang yakin.“Iya, hanya itu.” ia menegaskan“Syukurlah kalau demikian.” aku merasa lega atas keterangannya.“Ya, kamu nggak perlu khawatir. Hei, dengar, kita akan melewati ini semua, oke?” tanyanya.“Iya.” Aku menjawab singkat.“Jangan nggak semangat gitu dong jawabnya.” Ia berkata lagi.“Terus aku harus jawab gimana?&rd

  • Corona Love   20

    Esok harinya, aku mendengar kabar dari Markus bahwa Salman sedang sakit batuk. Aku langsung menghubunginya dan menanyakan keadaannya. Sejenak kulupakan perasaan sebalku kemarin.“Tenang, ini batuk biasa.” Katanya setelah kukonfirmasi kabar yang kudapat tadi. .“Batuk biasa bagaimana?” tanyaku balik.“Ya, karena aku kemarin begadang nonton film.” Jawabnya enteng.“Jadi kamu kemarin begadang?” tanyaku.“Iya.” Jawabnya singkat.“Bukankah kamu sendiri yang bilang bahwa tidur cukup akan dapat meningkatkan imun kita?” aku bertanya, retoris.“Ya, maaf.” Katanya.“Jangan ulangi lagi.” Timpalku.“Maaf...” ia mengulanginya.“Sekarang gimana keadaanmu?” tanyaku.“Aku baik-baik kok.” Jawabnya singkat.“Suaramu terdengar beda.” Memang demikian kedengarannya bagiku.

  • Corona Love   19

    Kami melanjutkan diskusi di grup ODP seperti biasa, setelah waktu makan siang. Markus secara mengejutkan ikut lagi dalam grup tersebut. Ia nampak agak lebih baik.“Hai, Markus, apa kabar?” tanya Mirka.“Baik, ‘kak. Terima kasih.” Jawab Markus.“Semuanya baik-baik saja?” tanyanya lagi.“Iya, hanya sedikit batuk.” Jawab Markus.“Bagus, ayo teman-teman, sapa Markus.” Kata Mirka kepada semua peserta.Kami semua menyapanya. Markus balik menyapa kami semua. Melihat dirinya, aku merasa lebih baik. Mungkin karena menyaksikan keadaannya yang telah divonis positif mengidap Corona, namun tidak terlihat perubahan pada fisiknya.Semula kukira mereka yang divonis positif akan seperti orang-orang yang menderita HIV. Kenyataannya Markus hanya sedikit batuk. Sepertinya memang tidak semua orang akan menjadi separah yang kukira. Semua tergantung kepada kondisinya masing-masing.Usa

DMCA.com Protection Status