Bima PoV
Kiara memelukku begitu erat. Dia memangkas jarak diantara kami dengan merapatkan tubuh rampingnya ke tubuhku. Wajah ayu itu, dia tenggelamkan dalam-dalam di dadaku. Tanpa disadari, perasaanku tiba-tiba menghangat. Aku reflek melempar senyum ke sembarang arah, baru kali ini Kiara memerlakukanku layaknya seorang kekasih dan itu terasa sangat manis sekali. Aku merenggangkan tanganku, memberi kesempatan kepadanya untuk mencari posisi ternyaman ketika berada di dalam dekapanku.
Tidak lama setelah itu, dadaku basah seketika. Aku melihat ke bawah, ada isak yang keluar dari mulut Kiara. Bahunya naik turun tidak beraturan, sedangkan napasnya sudah mulai tidak beraturan. Dia mendongakan kepalanya, melihat kedua mataku dengan tatapan sendunya. Sebenarnya aku ingin menyeka air yang mengalir dari ujung matanya. Namun, kecantikan wajah Kiara menghipnotisku, aku seperti dibius olehnya hingga pada akhirnya aku hanya bisa memperhatikan luka yang
Kiara PoVKurasakan seseorang sedang menancapkan benda tajam ke dalam punggung tanganku secara berulang. Entah kendalanya apa, tapi jika kuhitung, sudah tiga kali ini benda tersebut dimasukkan ke dalam kulitku dengan kasar. Rasa ngilu bercampur dengan pegal, langsung menyusup ke dalam pembuluh darah. Membuat kesadaranku yang sempat hilang, kini berangsur pulih seperti sebelumnya.Aku ingin tau, apa yang sebenarnya sedang terjadi kepadaku. Badan sakit seperti habis dihajar oleh orang sekampung, punggung tangan sebelah kanan dan juga kiri ditusuk oleh benda tajam berulang kali dan kepalaku pun sakit, rasanya seperti dihantam oleh benda yang sangat keras. Aku mencoba untuk membuka kelopak mataku. Namun, rasa perih mengalahkan segalanya. Akhirnya, aku lebih memilih untuk memejamkan netra dari pada harus menukarnya dengan kesakitan yang belum diketahui ujungnya.Dengan sisa tenaga yang ada, aku coba untuk menggerakkan tanganku pel
"Aduh, gimana ya, Ki?" tanyanya cemas.Dia menggaruk kepalanya sambil mencebikkan bibir, "mau cerita sama Ayah kalau kamu lagi sakit?" Dia menyambung pertanyaannya."Jangan, Pak, jangan dulu. Nanti malah jadi gaduh. Ayah sama Ibu kepikiran, lalu masalahnya malah jadi panjang."Drrttr drrttt drrttttPonsel Pak Bima bergetar, panggilan video dari Ayah.Aku dan Pak Bima saling beradu pandang, meski kami sama-sama diam tapi saling paham apa yang ada dipikiran masing-masing.Aku menaikan pandanganku, duh ... Bagaimana ini? Belum sempat mencari alasan yang tepat untuk menolak, panggilan video call dari Ayah ke nomornya Pak Bima sudah masuk."Gimana, Ki? Kita cerita yang sebenarnya aja, ya. Dari pada harus bohong terus, nanti malah kita yang pusing sendiri," tawarnya, "jujur, saya tuh paling enggak bisa bohongin orang tua, dosa. Lagian kalau nanti terjadi sesuatu, saya yang tanggung jawab secara penuh." Dia meyakinkan kepadaku.
Suasana ruang inap yang saat ini sedang kutempati masih hening. Kami masih tetap saling mendiamkan meski Pak Bima sudah kembali dari kantin beberapa saat yang lalu. Hatiku masih sakit jika teringat bentakan yang keluar dari mulutnya. Rasa pilu yang kurasakan semakin menjadi-jadi, saat dia lebih asik dengan ponselnya dari pada mengajakku bicara dari hati ke hati.Aku sadar, kecanggungan yang terjadi di antara kami, tidak sepenuhnya salah Pak Bima. Dia mungkin tidak akan bicara dengan nada tinggi, ketika aku tidak mendesaknya untuk menjelaskan perihal Brian. Namun, aku sudah tidak bisa menahan rasa penasaranku ini sebab semakin ke sini, ulah kakak iparku itu justru semakin anarkis. Sedangkan aku sendiri tidak paham, apa yang membuat dia memperlakukan aku dan suamiku seburuk ini.Di sisi lain, aku merasa bahwa tidak memiliki arti penting bagi Pak Bima. Bagaimana tidak? Semenjak aku menjadi istrinya, tidak pernah sekalipun dia memberiku ke
Bima PoV"Saya tidak bisa resign dari sana," jawabku tegas dan juga mantap.Kalimat yang baru saja diucapkannya oleh Kiara membuat kebisuan di antara kami melebur.Aku menoleh ke arahnya sambil beranjak dari tempatku duduk. Kutatap kedua bola matanya dengan saksama. Jujur, aku kecewa dengan jawabannya. Aku tidak suka dengan penolakan, tapi aku tidak mungkin mengutarakan rasa tidak sukaku secara terang-terangan kepadanya. Dari dalam bola mata itu, aku berharap ada kebohongan dan rasa gentar yang terpancar dari netranya. Namun, sepertinya aku harus menelan mentah-mentah rasa tidak sukaku atas jawabannya. Matanya menyiratkan sebuah kesungguhan dan keteguhan.Aku mendesah pelan. Dadaku tiba-tiba terasa sesak, baru kali ini ada wanita yang secara tegas menolak permintaan dariku dan lagi wanita itu adalah istriku sendiri."Kenapa, Ki?" Suara terdengar begitu tegas, padahal aku sudah mencoba untuk bicara sepelan m
BRAK!Ayah menggebrak meja yang ada di depanku, sehingga membuat kopi yang tersaji di atas meja tumpah ke mana-mana. Aku yakin, tindakan Ayah barusan mengundang tatapan heran dari beberapa manusia yang ada di caffee ini. Apalagi memasuki jam makan siang, tempat semacam ini memang sedang ramai-ramainya.Tidak puas dengan gebrakan yang ditimbulkan, Ayah lalu membentakku dengan suara menggelegar miliknya. "BIMA, APA MAKSUDMU? APA TUJUANMU MENGAJAK AYAH BERTEMU, HANYA UNTUK MENJELEKKAN KINERJA AYAH, HAH?" Matanya melotot, seolah-olah Ayah memang ingin mengeluarkan kedua bola itu melompat dari rongganya.Aku memundurkan badan kemudian melipat kedua tanganku di depan dada. Dengan tatapan membunuh, aku ledakkan tawa dengan nada setengah mengejek, "hahahaha ... Kenapa marah? Ayah tidak terima? Merasa tersinggung dengan ucapanku?" Aku melengos kembali, tidak mengacuhkan wajah kesal yang dia tujukan kepadaku."Bima, Katakan pada Ayah apa maksud dari ucapanmu! Atau
Bima PoVAyah adalah sosok tegas yang tidak pernah bisa dibantah ketika sudah memutuskan sesuatu. Tidak peduli keputusan yang dia ambil akan merugikan orang lain atau tidak, yang jelas ketika dia sudah memilih, maka tidak ada satu pun orang yang bisa mengganggu gugat, termasuk anak dan juga istrinya.Aku tiba-tiba jadi teringat tentang kejadian beberapa tahun yang lalu. Saat di mana Ayah dengan egoisnya memutuskan sesuatu tanpa melihat dampak buruknya bagi orang lain. Aku kecewa dan bahkan sangat benci dengan Ayah. Dari situlah hubunganku dengan Ayah memburuk. Kami bagaikan kutub utara dan selatan, sama-sama dingin dan tidak bisa untuk dipersatukan kembali.Siang ini, rasa kesalku terhadap Ayah muncul kembali. Setelah sekian lama aku berusaha mati-matian untuk melupakan kekecewaan itu, Ayah datang kembali dengan sebuah penghakiman yang sangat menyesakkan. Mereka (Ayah dan Ibu) ternyata menganggapku sebagai pembangkang yan
"Pak...." Kiara memanggilku, lebih tepatnya dia sedang merengek kepadaku. Tatapan galak yang biasanya melekat pada kedua matanya, sekarang berubah menjadi sendu.Aku menoleh ke samping, tersenyum kaku menanggapi rengekannya. Jujur, aku tidak tahu harus bersikap bagaimana untuk merespon kekhawatiran yang dirasakan oleh Kiara. Meski dulu, aku adalah orang yang paling peka terhadap Ibu dan Binar, tapi bersama Kiara semua kepekaan ini berubah menjadi kegugupan.Aku sengaja menyibukkan tanganku dengan ponsel, ketika bahu kiri Kiara menyenggol-nyenggol punggung tanganku. Bahunya terus bergerak untuk meredakan ketakutannya."Pak Bima ...." Dia kembali merengek, "Pak Hans meminta saya untuk menemui beliau besok, kira-kira apa ya yang ingin beliau sampaikan?" Kiara melirikku lalu mendesah ketika melihatku mengendikkan kedua bahu.Memang saat ini, aku pura-pura tidak tahu dengan apa yang akan diperbincangkan oleh Ayah b
Kiara PovSuara di kamar inapku tiba-tiba saja berubah menjadi hening. Orang yang sedari tadi membercandaiku, kini sedang berdiri diam di samping ranjangku. Matanya menatap kosong pada layar ponsel, sedang ekspresi wajahnya tegang, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. Tidak lama setelah itu, ekspresinya berubah menjadi gusar. Dia meremas ponselnya kuat-kuat kemudian memijat pelipisnya pelan.l"Chat dari siapa, sih, Pak? Tegang amat mukanya?" Aku pura-pura tertawa untuk mencairkan suasana, tapi tawaku langsung padam ketika melihat Pak Bima berlalu begitu saja, tanpa merespon ucapanku. Wajahnya sangat masam, seperti buah jeruk yang belum matang.Aku memajukan badanku untuk mencari tahu apa yang sebenarnya sedang dia lakukan di luar kamar, tapi sial, mataku tidak bisa menangkap bayangannya. Dia hilang dari pandangan begitu saja. Padahal, biasanya, dia hanya berdiri di depan pintu sambil menatap matahari yang akan tenggelam.