Bima PoV
Aku memasukkan laptop ke dalam tas jinjing berwarna coklat milik Bu Bos. Pikiranku sedikit kalut karena belum memberitahukan perihal rapat dadakan ini kepada Kiara. Seharusnya setengah jam yang lalu, aku sudah keluar dari kantor dan bersiap untuk menjemput istriku. Namun karena bos memintaku untuk menemaninya rapat, mau tidak mau, aku harus ikut bersamanya.
"Bim, pulang bareng sama saya, yuk," ajak Bu Bos sambil menenteng tas miliknya, "kebetulan saya mau ke supermarket yang ada di Jalan Tamrin. Searah 'kan sama rumah kamu?" Dia menoleh ke arahku, sepertinya sedang menunggu jawaban dariku.
Aku mengangguk pelan, "terima kasih, Bu, atas tawarannya ... Tapi saya harus menjemputnya istri saya terlebih dahulu."
Bu Bos mengerutkan dahinya, "loh, kamu ternyata sudah menikah, toh? Saya kira masih bujang."
"He-eh. Iya, Bu." Jawabku sedikit canggung. Aku mengusap-usap pipiku untuk meny
PoV BimaMelihat Kiara mencicit ketakutan di balik tubuh Brian, membuat emosiku kian membuncah. Kiara memejamkan mata sedangkan kedua kakinya gemetaran di bawah sana. Dari kejauhan, kulihat Brian mengintimidasinya dengan menekan kuat-kuat tubuhnya ke dalam tubuh Kiara. Wajah mereka begitu dekat, sampai-sampai ujung hidung Brian menyentuh ujung hidung milik Kiara.Aku mendekat ke arah mereka dengan kedua tangan yang mengepal. Kutarik kerah kemejanya dengan kasar hingga tubuhnya terjembab ke lantai. Dia melirikku sinis sambil terkekeh. Tanpa rasa bersalah kepadaku, dia beranjak dari tempatnya kemudian merapikan kembali jasnya yang sedikit kusut."Abbimanyu Nawasena, Tuan Muda yang begitu hebat. Kau tidak pernah salah dalam memilih sesuatu. Termasuk ketika memilih Kiara sebagai istrimu." Suara jumawanya menggaung di ruangan, "wajahnya yang manis dan perangainya yang baik, membuat siapapun yang mengenalnya mudah untuk menjatuhkan hati kepadanya. Untuk itu, bolehkah
Bima PoV Kiara memelukku begitu erat. Dia memangkas jarak diantara kami dengan merapatkan tubuh rampingnya ke tubuhku. Wajah ayu itu, dia tenggelamkan dalam-dalam di dadaku. Tanpa disadari, perasaanku tiba-tiba menghangat. Aku reflek melempar senyum ke sembarang arah, baru kali ini Kiara memerlakukanku layaknya seorang kekasih dan itu terasa sangat manis sekali. Aku merenggangkan tanganku, memberi kesempatan kepadanya untuk mencari posisi ternyaman ketika berada di dalam dekapanku. Tidak lama setelah itu, dadaku basah seketika. Aku melihat ke bawah, ada isak yang keluar dari mulut Kiara. Bahunya naik turun tidak beraturan, sedangkan napasnya sudah mulai tidak beraturan. Dia mendongakan kepalanya, melihat kedua mataku dengan tatapan sendunya. Sebenarnya aku ingin menyeka air yang mengalir dari ujung matanya. Namun, kecantikan wajah Kiara menghipnotisku, aku seperti dibius olehnya hingga pada akhirnya aku hanya bisa memperhatikan luka yang
Kiara PoVKurasakan seseorang sedang menancapkan benda tajam ke dalam punggung tanganku secara berulang. Entah kendalanya apa, tapi jika kuhitung, sudah tiga kali ini benda tersebut dimasukkan ke dalam kulitku dengan kasar. Rasa ngilu bercampur dengan pegal, langsung menyusup ke dalam pembuluh darah. Membuat kesadaranku yang sempat hilang, kini berangsur pulih seperti sebelumnya.Aku ingin tau, apa yang sebenarnya sedang terjadi kepadaku. Badan sakit seperti habis dihajar oleh orang sekampung, punggung tangan sebelah kanan dan juga kiri ditusuk oleh benda tajam berulang kali dan kepalaku pun sakit, rasanya seperti dihantam oleh benda yang sangat keras. Aku mencoba untuk membuka kelopak mataku. Namun, rasa perih mengalahkan segalanya. Akhirnya, aku lebih memilih untuk memejamkan netra dari pada harus menukarnya dengan kesakitan yang belum diketahui ujungnya.Dengan sisa tenaga yang ada, aku coba untuk menggerakkan tanganku pel
"Aduh, gimana ya, Ki?" tanyanya cemas.Dia menggaruk kepalanya sambil mencebikkan bibir, "mau cerita sama Ayah kalau kamu lagi sakit?" Dia menyambung pertanyaannya."Jangan, Pak, jangan dulu. Nanti malah jadi gaduh. Ayah sama Ibu kepikiran, lalu masalahnya malah jadi panjang."Drrttr drrttt drrttttPonsel Pak Bima bergetar, panggilan video dari Ayah.Aku dan Pak Bima saling beradu pandang, meski kami sama-sama diam tapi saling paham apa yang ada dipikiran masing-masing.Aku menaikan pandanganku, duh ... Bagaimana ini? Belum sempat mencari alasan yang tepat untuk menolak, panggilan video call dari Ayah ke nomornya Pak Bima sudah masuk."Gimana, Ki? Kita cerita yang sebenarnya aja, ya. Dari pada harus bohong terus, nanti malah kita yang pusing sendiri," tawarnya, "jujur, saya tuh paling enggak bisa bohongin orang tua, dosa. Lagian kalau nanti terjadi sesuatu, saya yang tanggung jawab secara penuh." Dia meyakinkan kepadaku.
Suasana ruang inap yang saat ini sedang kutempati masih hening. Kami masih tetap saling mendiamkan meski Pak Bima sudah kembali dari kantin beberapa saat yang lalu. Hatiku masih sakit jika teringat bentakan yang keluar dari mulutnya. Rasa pilu yang kurasakan semakin menjadi-jadi, saat dia lebih asik dengan ponselnya dari pada mengajakku bicara dari hati ke hati.Aku sadar, kecanggungan yang terjadi di antara kami, tidak sepenuhnya salah Pak Bima. Dia mungkin tidak akan bicara dengan nada tinggi, ketika aku tidak mendesaknya untuk menjelaskan perihal Brian. Namun, aku sudah tidak bisa menahan rasa penasaranku ini sebab semakin ke sini, ulah kakak iparku itu justru semakin anarkis. Sedangkan aku sendiri tidak paham, apa yang membuat dia memperlakukan aku dan suamiku seburuk ini.Di sisi lain, aku merasa bahwa tidak memiliki arti penting bagi Pak Bima. Bagaimana tidak? Semenjak aku menjadi istrinya, tidak pernah sekalipun dia memberiku ke
Bima PoV"Saya tidak bisa resign dari sana," jawabku tegas dan juga mantap.Kalimat yang baru saja diucapkannya oleh Kiara membuat kebisuan di antara kami melebur.Aku menoleh ke arahnya sambil beranjak dari tempatku duduk. Kutatap kedua bola matanya dengan saksama. Jujur, aku kecewa dengan jawabannya. Aku tidak suka dengan penolakan, tapi aku tidak mungkin mengutarakan rasa tidak sukaku secara terang-terangan kepadanya. Dari dalam bola mata itu, aku berharap ada kebohongan dan rasa gentar yang terpancar dari netranya. Namun, sepertinya aku harus menelan mentah-mentah rasa tidak sukaku atas jawabannya. Matanya menyiratkan sebuah kesungguhan dan keteguhan.Aku mendesah pelan. Dadaku tiba-tiba terasa sesak, baru kali ini ada wanita yang secara tegas menolak permintaan dariku dan lagi wanita itu adalah istriku sendiri."Kenapa, Ki?" Suara terdengar begitu tegas, padahal aku sudah mencoba untuk bicara sepelan m
BRAK!Ayah menggebrak meja yang ada di depanku, sehingga membuat kopi yang tersaji di atas meja tumpah ke mana-mana. Aku yakin, tindakan Ayah barusan mengundang tatapan heran dari beberapa manusia yang ada di caffee ini. Apalagi memasuki jam makan siang, tempat semacam ini memang sedang ramai-ramainya.Tidak puas dengan gebrakan yang ditimbulkan, Ayah lalu membentakku dengan suara menggelegar miliknya. "BIMA, APA MAKSUDMU? APA TUJUANMU MENGAJAK AYAH BERTEMU, HANYA UNTUK MENJELEKKAN KINERJA AYAH, HAH?" Matanya melotot, seolah-olah Ayah memang ingin mengeluarkan kedua bola itu melompat dari rongganya.Aku memundurkan badan kemudian melipat kedua tanganku di depan dada. Dengan tatapan membunuh, aku ledakkan tawa dengan nada setengah mengejek, "hahahaha ... Kenapa marah? Ayah tidak terima? Merasa tersinggung dengan ucapanku?" Aku melengos kembali, tidak mengacuhkan wajah kesal yang dia tujukan kepadaku."Bima, Katakan pada Ayah apa maksud dari ucapanmu! Atau
Bima PoVAyah adalah sosok tegas yang tidak pernah bisa dibantah ketika sudah memutuskan sesuatu. Tidak peduli keputusan yang dia ambil akan merugikan orang lain atau tidak, yang jelas ketika dia sudah memilih, maka tidak ada satu pun orang yang bisa mengganggu gugat, termasuk anak dan juga istrinya.Aku tiba-tiba jadi teringat tentang kejadian beberapa tahun yang lalu. Saat di mana Ayah dengan egoisnya memutuskan sesuatu tanpa melihat dampak buruknya bagi orang lain. Aku kecewa dan bahkan sangat benci dengan Ayah. Dari situlah hubunganku dengan Ayah memburuk. Kami bagaikan kutub utara dan selatan, sama-sama dingin dan tidak bisa untuk dipersatukan kembali.Siang ini, rasa kesalku terhadap Ayah muncul kembali. Setelah sekian lama aku berusaha mati-matian untuk melupakan kekecewaan itu, Ayah datang kembali dengan sebuah penghakiman yang sangat menyesakkan. Mereka (Ayah dan Ibu) ternyata menganggapku sebagai pembangkang yan
"Baik,Ki. Aku akan pergi dari sini."Aku membenamkan kepala ke dalam dekapan Pak Bima. Rasa muak yang sudah kutahan beberapa waktu terakhir ini, akhirnya tumpah setelah melihat batang hidung milik Putri. Aku tidak menyangka bahwa dia memiliki nyali yang besar untk datang ke rumah ini."Duduk dulu, ya. Kamu butuh minum untuk meredakan emosimu."Jika biasanya aku selalu membantah perkataan Pak Bima, kali ini aku turuti semua saran darinya. Hal ini aku lakukan bukan karena aku ingin membuat Putri cemburu, tapi lebih kepada rasa lelah yang mengungkung hati dan juga pikiranku. Jujur, aku sudah capek dengan segalanya. Jika Pak Bima ingin menuntaskan semuanya saat ini juga, maka aku sudah menyiapkan hatiku."Minum dulu, Ki." Dia menyodorkan segelas air bening kepadaku. "Tarik napas dalam-dalam, kemudian keluarkan pelan-pelan."Pak Bima berjalan memutariku, kemudian memposisikan diri tepat di samp
Aku menangis setelah berada di dalam kamar. Setiap kali membahas tentang Putri, rasa sakit akibat cemburu ini tidak bisa dikendalikan. Aku selalu terbayang bagaimana dulu Pak Suami menjamah tubuh Putri dan kini aku pun pernah melakukannya bersama dengan Pak Bima. Rasa-rasanya aku seperti sedang berbagi raga dengan sahabat baikku sendiri dan saat ingatan itu muncul, dadaku terasa begitu sesak."Ki, Kiara, jangan marah. Kita bicarakan baik-baik masalah ini, Ki." Pak Bima mengetuk pintu kamar dengan keras.Aku menutup kedua telingaku menggunakan telapak tangan. Suara dari Pak Bima mengetuk hati. Membuat rasa sakit yang bersemayam di dalam sana, menjalar dengan cepat ke seluruh tubuhku."Kiara, saya minta maaf jika saya selalu mengecewakanku. Saya salah, tapi untuk kali ini biarkan saya menjelaskan semuanya kepadamu." Dia menaikkan ritme ketukan pada pintu kamar ini."Kiara." Dia memanggil namaku dengan suara
Sudah tiga hari ini aku berdiam diri kamar. Rasa sakit dan kecewa akibat kebohongan Pak Bima, masih terpahat rapi di sudut hatiku. Aku sudah berkali-kali menafikkan semua pikiran negatif tentang dia dan juga Putri. Namun, semakin kutolak, pikiran jelek tersebut semakin terpatri di dalam pikiranku.Aku beranjak dari kasur menuju meja rias. Setelah beberapa kali mengamati, ternyata wajahku lebih cocok dikatakan mirip Alien dari pada seorang wanita yang sedang patah hati. Mukaku terlihat sangat kuyu dengan tatapan mata sendu dan manik yang berkantung karena kurang tidur.Aku tidak tahu bagaimana keadaan Pak Bima setelah dia terjatuh dari tangga 3 hari yang lalu. Setelah aku masuk ke dalam kamar, aku tidak lagi mendengar panggilan darinya. Bisa jadi saat ini dia sedang meringis kesakitan, atau justru sedang tertawa karena dirawat oleh Putri. Ah, sial! Pikiranku selalu saja lari ke sana. Sadar atau tidak, ada rasa iri dan kesal ketika teringat akan sosok Putri. Kepolosan ya
Bima PoV'BRAK'Aku mengusap dadaku perlahan, gebrakan pintu di balik sana membuat jantungku melompat dari tempatnya."Telan semua alasan dan juga rahasiamu! Saya tidak butuh dan bahkan tidak peduli dengan segala hal yang berkaitan dengan kehidupanmu!" Kiara kembali berteriak dari dalam kamar tidur. Suara melengkingnya membuat hatiku hancur. Aku tidak menyangka bahwa kesalahpahaman ini ternyata membuat dia semarah ini kepadaku.Dengan dada yang masih berdegub kencang, aku mulai beringsut mundur. Rasanya percuma aku berdiri terpaku di depan kamar seperti ini, sebab sekeras apapun aku berusaha untuk meyakinkan, Kiara tetap tidak akan mempercayaiku.Aku duduk termenung dengan kedua tangan menyangga kepala. Rasa sakit yang tadi bersemayam di dalam hati, kiri merembet naik ke kepalaku. Denyutan demi denyutan menjalar dari pelipis naik ke ubun-ubun. Jika seluruh bagian yang ada di kepalaku ini bisa berteriak, pasti ruangan ini sudah gaduh den
Sejujurnya aku masih tidak menyangka, bahwa ternyata dua orang yang paling aku percaya tega membiarkanku larut dalam ketidaktahuan. Aku kecewa dan tentunya marah kepada mereka. Dulu ketika Putri datang ke rumah dalam keadaan hamil dan meminta perlindungan, aku beserta dengan orang rumah membuka lebar pintu rumah kami, sebagai tempatnya untuk bersandar dan berpulang. Aku tidak tahu siapa orang yang tega memperlakukan Putri dengan cara yang tidak baik, merenggut kesuciannya, lalu meninggalkannya begitu saja tanpa sebuah kejelasan. Putri pun selalu bungkam ketika kami menanyakan siapa orang brengsek yang berani menghamilinya dan tidak mau bertanggung jawab, atas bayi yang ada di dalam kandungannya. Tiga tahun sudah dia memendam semuanya sendirian, dan hari ini semuanya terbongkar. Aku akhirnya tahu bahwa si bejat tidak bertanggung jawab itu adalah Pak Bima, suamiku sendiri. Dengan hati yang sudah terkoyak dan jantung yang detakannya patah-patah, aku mencoba
Aku mengumpulkan seluruh tenagaku yang masih tersisa kemudian mendorong kuat-kuat tubuhnya yang masih mendekapku. Sebelum rasa nyaman menguasaiku, sebelum hatiku mulai melemah lagi, aku harus bisa menjauhkan diriku darinya."SAYA MAU PULANG!" Aku kembali membentaknya."Iya, Ki, iya. Kita pulang sekarang." Pak Bima menjawab bentakanku dengan begitu sabar. Suaranya lembut, seperti seorang Ayah yang sedang menghadapi anaknya yang sedang tantrum.Aku berjalan beberapa langkah di depan Pak Bima. Ku percepat langkahku agar dia tidak bisa menyejajarkan posisi kami. Pak Bima berulang kali menggaungkan namaku di koridor hotel, tapi tidak satupun panggilan darinya yang aku respon. Hatiku sudah terlalu sakit dan juga kecewa, tubuhku juga kembali menggigil. Hal ini bukan karena hawa dingin yang mulai menyusup kulit, tapi lebih kepada amarah yang sudah terlalu susah untuk dikendalikan.Pandangan mataku mengarah lurus ke depan tapi tatapan mataku kosong. Jaket yang tad
Tanganku gemetar tatkala memutar handle pintu kamar. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa Pak Bima dan Putri bisa setega ini kepadaku. Kemarin aku sudah bertanya baik-baik perihal hubungan mereka. Namun, mereka sama-sama mengatakan bahwa sebelumnya tidak saling mengenal. Aku mencoba untuk berlari, menjauh sebisaku dari kamar hotel yang saat ini sedang aku tempati. Kejadian ini mengingatkanku pada keputusan yang dibuat oleh Ervan beberapa tahun yang lalu, sama-sama menyakitkan dan sama-sama mengandung sebuah kebohongan. Ah... Tapi setelah dipikir ulang, aku rasa kebenaran ini berkali-kali lebih menyakitkan dari pada apa yang pernah Ervan lakukan terhadapku. Aku bukanlah orang yang mudah menjatuhkan hati kepada orang lain, begitu pula terhadap Pak Bima. Namun, setelah aku mempercayainya dan menyerahkan seluruhnya kepada Pak Bima, dia tega berbohong bahkan menyembunyikan sesuatu yang sangat penting dariku, dari istrinya sendiri.Benarkah mereka pernah berhubungan? Jika iya, apa
"Ki, jangan lupa bawa jaket yang tebal, kalau perlu yang banyak deh." Pak Bima melirikku sekilas, kemudian fokus kepada benda kotak yang ada di dalam genggamannya. "Lebay amat! Emang kita mau liburan ke kutub?" Aku menjulurkan lidahku. "Dih, dikasih tau malah ngledek! Besok kalau sampai di sana kamu menggigil kedinginan, saya ceburin ke empang sekalian!" Pak Bima menatapku sengit. "Yakin nih mau nglempar saya ke empang?" Aku beranjak dari posisiku, kemudian berjalan mendekat ke arahnya. "Ya iya lah. Biar tau rasa kamu!" Dia melengos, bibirnya mengerucut ke depan. "Ahh ... Yakin?" Aku naik ke atas kasur, kemudian merangkak mendekatinya. Kebetulan siang ini aku sedang memakai kemeja tanpa motif dengan ukuran oversize, sehingga membuat Pak Bima bisa dengan mudahnya melihat isi kaosku. "Masa sih Bapak tega lemparin saya ke empang?" Dengan posisi seperti orang merangkak,
"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq." Suara lantang milik Pak Bima menggema dengan mantap di langit-langit gedung ini. Aku tersenyum simpul ketika melihat raut wajah leganya setelah mengucapkan kalimat sakral itu. Meskipun ini bukan kali pertamanya dia menerima Ijab dari Ayah, tetapi rasa tegang itu tetap saja melekat padanya, ketika dia melafalkan kalimat kabul."Saahhh?" tanya Pak Penghulu"Saahhhhhh." Riuh sahutan dari saksi dan tepuk tangan mereka membuat debaran yang ada di dalam hati kami mereda.Aku mencium tangannya dengan perasaan bahagia, sedangkan dia mengecup keningku dengan perasaan suka cita. Kali ini kami benar-benar menjadi suami istri yang sah, baik sah secara agama ataupun negara.Setelah proses ijab kabul selesai, aku dan Pak Bima duduk di depan para tamu. Sebenarnya tidak ada acara yang 'wah' untuk pernikahan kami, hanya saja Ayah memintaku untuk mengadakan peng