Rasa bersalah dan nyaman datang secara bersamaan ke dalam hatiku. Ketenangan muncul secara perlahan ketika aku berada di dalam dekapan Ervan. Namun, sebagai seorang wanita yang sudah bersuami, hal ini tentu saja tidak bisa dibenarkan. Aku ingin berontak. Tapi pikiranku berkata tidak.
Aku memegang lengan kekar yang sedang melingkar di perutku. Suka atau tidak, sebelum rasa nyaman ini menuntut lebih, aku harus melepaskan pelukannya sesegera mungkin.
"Kiara." Aku menoleh pada sumber suara. Sedikit terkejut ketika tau bahwa orang yang memanggil namaku adalah Pak Bima, suami sahku. Aku menarik tangan Ervan kemudian menjauhkan badanku darinya. Kekakuan lidahku semakin membuat suasana menjadi awkward.
"Kamu ngapain, Ki?" Pak Bima menatap heran kepadaku. Sedangkan aku masih berdiri kaku dengan tangan yang sedikit gemetar. Dengan cara apa aku menjelaskan kepadanya?
Jujur, dari semua ketakutan yang
Suasana tegang di dalam mobil masih belum hilang. Pak Bima melajukan kendaraan beroda empat ini dengan kecepatan penuh. Tanganku mencengkeram erat pegangan yang menempel di dasboard mobil. Aku melirik takut pada orang yang ada di sebelahku. Mata tajamnya fokus mengamati jalanan yang ada di depannya, sedangkan cengkeraman kuat tangannya pada kemudi, membuat buku-buku jarinya terlihat lebih jelas.Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kacaunya suasana di PT Krakatau Jaya setelah kami sampai di sana. Dalam hati hanya bisa berharap, semoga Pak Brian saat ini sedang tidak berada di tempat itu."Pak .... Pak Bima." Disaat kepanikan menguasai akal sehatku, aku mencoba untuk memanggil namanya meskipun dengan perasaan yang begitu gentar.Dia masih tetap fokus pada jalanan yang ada di depannya. Panggilanku sama sekali tidak dia hiraukan, atau mungkin hanya dianggap sebagai angin lalu olehnya. Aku tau bahwa apa yang ter
"JANGAN! JANGAN PERNAH SENTUH DIA! DIA MILIKKU!" Teriakan itu membuatku terperanjat. Meski gema suara itu tidak terlalu jelas. Tapi, aku bisa memastikan bahwa Pak Bima lah yang sedang berteriak penuh amarah."Milikmu? Bukankan selama ini, aku selalu mudah merebut apa saja yang sudah menjadi milikmu, Tuan Bima?" Suara samar itu menggaung pelan di langit-langit rumah. Aku beranjak dari tempat dudukku, berniat mencari tau apa yang sebenarnya sedang terjadi di luar kamar."BERANI KAU SENTUH DIA, MAKA AKU TIDAK AKAN SEGAN UNTUK MEMBUNUHMU!""Membunuh? Wow, setega itu kah kau kepada kakakmu ini, Tuan Muda?"Teriakan demi teriakan saling bersahutan. Bentakan penuh amarah yang keluar dari mulut mereka, juga sangat menggangguku. Aku berlari ke luar dari kamar dengan dada bergemuruh. Rasa takut tiba-tiba membungkus hati, sekujur tubuhku juga telah basah oleh keringat dingin yang terus mengalir. Aku
Aku terbangun ketika kepalaku tiba-tiba berdenyut dengan kencang. Rasa perih di wajah membuat tidurku sangat tidak nyenyak. Jika kuhitung, ini sudah yang ketiga kalinya aku terbangun gara-gara sakit yang bersarang di area kepala.Aku terkejut ketika sadar ada telapak tangan yang menempel dipipiku. Setelah ku perhatikan, ternyata Pak Bima tidur di sebelahku dengan posisi duduk. Aku menurunkan tangannya dari pipi kemudian memperhatikannya dari sisi samping. Wajah tampan Pak Bima semakin terlihat mempesona ketika sedang tertidur. Aku suka memperhatikan muka polos lelaki disebelahku ini. Hidung mancungnya, alis tebalnya, lesung pipinya dan bentuk bibir unik miliknya membentuk lukisan wajah yang begitu sempurna. Aku mengusap pelan telapak tangan besarnya, kemudian mengecup perlahan dengan penuh ketakziman. Entah kenapa kejadian sore tadi membuat perasaanku menjadi aneh. Ada getaran lain yang membuat hatiku menjadi sedikit menghangat. Apa
Ruang kerjaku lenggang sejenak setelah sambungan telepon dari Pak Hans terputus. Kesadaranku juga kembali utuh, ketika beliau memintaku datang ke ruangannya dengan nada yang membentak. Aku diam sejenak, pikiranku melayang pada kejadian kemarin sore, Pak Hans meluapkan amarahnya ketika dua anak lelakinya membuat keributan di dalam rumah. Lalu pagi ini, beliau memaksaku untuk datang ke sana menghadap beliau.Aku meletakkan ganggang telepon pada tempatnya, kemudian segera beranjak dari kubikelku untuk pergi ke ruang kerja Pak Hans. Namun, langkahku dihentikan oleh Brian. Dia sengaja merentangkan kedua tangannya diantara pintu kubikelku. Aku yakin, orang yang ada di depanku ini pasti mendengar dengan jelas, apa yang disampaikan oleh ayahnya kepadaku. Sehingga dia ingin menahan kakiku agar aku tetap berada di ruang kerjaku."Maaf, Pak. Saya harus segera pergi dari sini." Aku menundukkan kepalaku, malas melihat wajah songong milik Brian.&n
Pertanyaan yang dilemparkannya oleh ayah mertuaku ini membuatku terdiam beberapa saat. Beliau memberiku dua pilihan yang sama-sama tidak aku inginkan."Ambil uangnya atau berpisah dengan Bima?" Perkataan itu terus berdengung di telingaku. Mau tidak mau, aku harus mencari alasan yang tepat untuk tidak mengambil kedua pilihan tersebut."Apa yang membuatmu ragu untuk menerima uang ini, Kiara? Bukankah hidup dalam keterbatasan itu tidak mengenakkan?" Pak Hans mulai menekanku dengan pernyataan yang dia lemparkan."Ambillah, jumlah uang yang ada di dalam sini tidak banyak. Jadi, tidak akan membuatmu menjadi milyader tajir melintir dalam waktu yang sekejap," ucapnya angkuh.Aku mendengus kesal mendengar ucapan Pak Hans. Jika dia tahu bahwa anak tengahnya itu tidak suka merepotkan orang lain, kenapa dia memaksaku untuk menerima uang pemberiannya."Tetapi paling tidak, kalian tidak harus berpusing-pusing ria untu
"Masuk atau saya hancurkan benda ini?" Brian menatap tajam pada mataku. Rahangnya yang tegas terlihat mengetat. Dia memegang erat laptopku dan mengangkatnya beberapa cm dari ujung kepalaku.Aku memejamkan mata sembari mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada. "Jangan, Pak, Jangan," pintaku memelas.Aku tidak bisa membayangkan jika benda itu benar-benar dia lemparkan ke sembarang arah. Meskipun laptop itu sudah ketinggalan zaman, tapi semua berkas penting ada di dalam sana."Masuk!" bentaknya.Aku tersentak ketika Brian menggebrak meja kerjaku. Meskipun jantungku hampir lepas dari tempatnya. Namun aku masih belum beranjak dari tempat dudukku. Netraku menatap was-was pada benda yang saat ini berada di dalam genggaman Brian.'tolong jangan banting,' harapku dalam hati"Kiara," geramnya, "kamu jangan membuat amarah saya terpancing!"Giginya gemertak, "Jika dalam hitungan ketiga kamu belum berada di ruangan saya, maka j
Aku butuh pertolongan untuk menjauhkan jemari laknat ini dari wajahku. Dengan tenaga yang masih tersisa, aku mencoba untuk berteriak semampuku, "auk eu ak ... Akh tooo-loongg aaykkk ...."Aku menggertakkan gigi, kesal karena teriakan ini semakin membuatku terlihat tidak berdaya di depan Brian."Ayo, Ki, teruslah berteriak. Kencangkan volumenya, Kiara! Buat semua orang yang ada di luar gedung ini mendengar kesakitan yang kamu rasakan." Brian tersenyum senang melihat ekspresi kesakitan dari wajahku. Mataku kembali terpejam, tidak kuasa menahan perih dan nyeri yang mulai menjalar ke ubun-ubunku."Auk ak euuuuu? Apa, HAH? Kamu sebenarnya mau ngomong apa, Ki? Saya yang dekat saja tidak paham, apalagi orang lain yang ada di luaran sana." Dia menyunggingkan sebelah bibirnya, kemudian menekan rahangku lebih dalam lagi, "coba, Ki, ngomong yang jelas sama saya, kamu mau apa?" ejeknya."Berengsek," umpatku dalam hati. Ceng
Bima PoVAku memasukkan laptop ke dalam tas jinjing berwarna coklat milik Bu Bos. Pikiranku sedikit kalut karena belum memberitahukan perihal rapat dadakan ini kepada Kiara. Seharusnya setengah jam yang lalu, aku sudah keluar dari kantor dan bersiap untuk menjemput istriku. Namun karena bos memintaku untuk menemaninya rapat, mau tidak mau, aku harus ikut bersamanya."Bim, pulang bareng sama saya, yuk," ajak Bu Bos sambil menenteng tas miliknya, "kebetulan saya mau ke supermarket yang ada di Jalan Tamrin. Searah 'kan sama rumah kamu?" Dia menoleh ke arahku, sepertinya sedang menunggu jawaban dariku.Aku mengangguk pelan, "terima kasih, Bu, atas tawarannya ... Tapi saya harus menjemputnya istri saya terlebih dahulu."Bu Bos mengerutkan dahinya, "loh, kamu ternyata sudah menikah, toh? Saya kira masih bujang.""He-eh. Iya, Bu." Jawabku sedikit canggung. Aku mengusap-usap pipiku untuk meny