"Milikmu? Bukankan selama ini, aku selalu mudah merebut apa saja yang sudah menjadi milikmu, Tuan Bima?" Suara samar itu menggaung pelan di langit-langit rumah. Aku beranjak dari tempat dudukku, berniat mencari tau apa yang sebenarnya sedang terjadi di luar kamar.
"BERANI KAU SENTUH DIA, MAKA AKU TIDAK AKAN SEGAN UNTUK MEMBUNUHMU!"
"Membunuh? Wow, setega itu kah kau kepada kakakmu ini, Tuan Muda?"
Teriakan demi teriakan saling bersahutan. Bentakan penuh amarah yang keluar dari mulut mereka, juga sangat menggangguku. Aku berlari ke luar dari kamar dengan dada bergemuruh. Rasa takut tiba-tiba membungkus hati, sekujur tubuhku juga telah basah oleh keringat dingin yang terus mengalir. Aku
Aku terbangun ketika kepalaku tiba-tiba berdenyut dengan kencang. Rasa perih di wajah membuat tidurku sangat tidak nyenyak. Jika kuhitung, ini sudah yang ketiga kalinya aku terbangun gara-gara sakit yang bersarang di area kepala.Aku terkejut ketika sadar ada telapak tangan yang menempel dipipiku. Setelah ku perhatikan, ternyata Pak Bima tidur di sebelahku dengan posisi duduk. Aku menurunkan tangannya dari pipi kemudian memperhatikannya dari sisi samping. Wajah tampan Pak Bima semakin terlihat mempesona ketika sedang tertidur. Aku suka memperhatikan muka polos lelaki disebelahku ini. Hidung mancungnya, alis tebalnya, lesung pipinya dan bentuk bibir unik miliknya membentuk lukisan wajah yang begitu sempurna. Aku mengusap pelan telapak tangan besarnya, kemudian mengecup perlahan dengan penuh ketakziman. Entah kenapa kejadian sore tadi membuat perasaanku menjadi aneh. Ada getaran lain yang membuat hatiku menjadi sedikit menghangat. Apa
Ruang kerjaku lenggang sejenak setelah sambungan telepon dari Pak Hans terputus. Kesadaranku juga kembali utuh, ketika beliau memintaku datang ke ruangannya dengan nada yang membentak. Aku diam sejenak, pikiranku melayang pada kejadian kemarin sore, Pak Hans meluapkan amarahnya ketika dua anak lelakinya membuat keributan di dalam rumah. Lalu pagi ini, beliau memaksaku untuk datang ke sana menghadap beliau.Aku meletakkan ganggang telepon pada tempatnya, kemudian segera beranjak dari kubikelku untuk pergi ke ruang kerja Pak Hans. Namun, langkahku dihentikan oleh Brian. Dia sengaja merentangkan kedua tangannya diantara pintu kubikelku. Aku yakin, orang yang ada di depanku ini pasti mendengar dengan jelas, apa yang disampaikan oleh ayahnya kepadaku. Sehingga dia ingin menahan kakiku agar aku tetap berada di ruang kerjaku."Maaf, Pak. Saya harus segera pergi dari sini." Aku menundukkan kepalaku, malas melihat wajah songong milik Brian.&n
Pertanyaan yang dilemparkannya oleh ayah mertuaku ini membuatku terdiam beberapa saat. Beliau memberiku dua pilihan yang sama-sama tidak aku inginkan."Ambil uangnya atau berpisah dengan Bima?" Perkataan itu terus berdengung di telingaku. Mau tidak mau, aku harus mencari alasan yang tepat untuk tidak mengambil kedua pilihan tersebut."Apa yang membuatmu ragu untuk menerima uang ini, Kiara? Bukankah hidup dalam keterbatasan itu tidak mengenakkan?" Pak Hans mulai menekanku dengan pernyataan yang dia lemparkan."Ambillah, jumlah uang yang ada di dalam sini tidak banyak. Jadi, tidak akan membuatmu menjadi milyader tajir melintir dalam waktu yang sekejap," ucapnya angkuh.Aku mendengus kesal mendengar ucapan Pak Hans. Jika dia tahu bahwa anak tengahnya itu tidak suka merepotkan orang lain, kenapa dia memaksaku untuk menerima uang pemberiannya."Tetapi paling tidak, kalian tidak harus berpusing-pusing ria untu
"Masuk atau saya hancurkan benda ini?" Brian menatap tajam pada mataku. Rahangnya yang tegas terlihat mengetat. Dia memegang erat laptopku dan mengangkatnya beberapa cm dari ujung kepalaku.Aku memejamkan mata sembari mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada. "Jangan, Pak, Jangan," pintaku memelas.Aku tidak bisa membayangkan jika benda itu benar-benar dia lemparkan ke sembarang arah. Meskipun laptop itu sudah ketinggalan zaman, tapi semua berkas penting ada di dalam sana."Masuk!" bentaknya.Aku tersentak ketika Brian menggebrak meja kerjaku. Meskipun jantungku hampir lepas dari tempatnya. Namun aku masih belum beranjak dari tempat dudukku. Netraku menatap was-was pada benda yang saat ini berada di dalam genggaman Brian.'tolong jangan banting,' harapku dalam hati"Kiara," geramnya, "kamu jangan membuat amarah saya terpancing!"Giginya gemertak, "Jika dalam hitungan ketiga kamu belum berada di ruangan saya, maka j
Aku butuh pertolongan untuk menjauhkan jemari laknat ini dari wajahku. Dengan tenaga yang masih tersisa, aku mencoba untuk berteriak semampuku, "auk eu ak ... Akh tooo-loongg aaykkk ...."Aku menggertakkan gigi, kesal karena teriakan ini semakin membuatku terlihat tidak berdaya di depan Brian."Ayo, Ki, teruslah berteriak. Kencangkan volumenya, Kiara! Buat semua orang yang ada di luar gedung ini mendengar kesakitan yang kamu rasakan." Brian tersenyum senang melihat ekspresi kesakitan dari wajahku. Mataku kembali terpejam, tidak kuasa menahan perih dan nyeri yang mulai menjalar ke ubun-ubunku."Auk ak euuuuu? Apa, HAH? Kamu sebenarnya mau ngomong apa, Ki? Saya yang dekat saja tidak paham, apalagi orang lain yang ada di luaran sana." Dia menyunggingkan sebelah bibirnya, kemudian menekan rahangku lebih dalam lagi, "coba, Ki, ngomong yang jelas sama saya, kamu mau apa?" ejeknya."Berengsek," umpatku dalam hati. Ceng
Bima PoVAku memasukkan laptop ke dalam tas jinjing berwarna coklat milik Bu Bos. Pikiranku sedikit kalut karena belum memberitahukan perihal rapat dadakan ini kepada Kiara. Seharusnya setengah jam yang lalu, aku sudah keluar dari kantor dan bersiap untuk menjemput istriku. Namun karena bos memintaku untuk menemaninya rapat, mau tidak mau, aku harus ikut bersamanya."Bim, pulang bareng sama saya, yuk," ajak Bu Bos sambil menenteng tas miliknya, "kebetulan saya mau ke supermarket yang ada di Jalan Tamrin. Searah 'kan sama rumah kamu?" Dia menoleh ke arahku, sepertinya sedang menunggu jawaban dariku.Aku mengangguk pelan, "terima kasih, Bu, atas tawarannya ... Tapi saya harus menjemputnya istri saya terlebih dahulu."Bu Bos mengerutkan dahinya, "loh, kamu ternyata sudah menikah, toh? Saya kira masih bujang.""He-eh. Iya, Bu." Jawabku sedikit canggung. Aku mengusap-usap pipiku untuk meny
PoV BimaMelihat Kiara mencicit ketakutan di balik tubuh Brian, membuat emosiku kian membuncah. Kiara memejamkan mata sedangkan kedua kakinya gemetaran di bawah sana. Dari kejauhan, kulihat Brian mengintimidasinya dengan menekan kuat-kuat tubuhnya ke dalam tubuh Kiara. Wajah mereka begitu dekat, sampai-sampai ujung hidung Brian menyentuh ujung hidung milik Kiara.Aku mendekat ke arah mereka dengan kedua tangan yang mengepal. Kutarik kerah kemejanya dengan kasar hingga tubuhnya terjembab ke lantai. Dia melirikku sinis sambil terkekeh. Tanpa rasa bersalah kepadaku, dia beranjak dari tempatnya kemudian merapikan kembali jasnya yang sedikit kusut."Abbimanyu Nawasena, Tuan Muda yang begitu hebat. Kau tidak pernah salah dalam memilih sesuatu. Termasuk ketika memilih Kiara sebagai istrimu." Suara jumawanya menggaung di ruangan, "wajahnya yang manis dan perangainya yang baik, membuat siapapun yang mengenalnya mudah untuk menjatuhkan hati kepadanya. Untuk itu, bolehkah
Bima PoV Kiara memelukku begitu erat. Dia memangkas jarak diantara kami dengan merapatkan tubuh rampingnya ke tubuhku. Wajah ayu itu, dia tenggelamkan dalam-dalam di dadaku. Tanpa disadari, perasaanku tiba-tiba menghangat. Aku reflek melempar senyum ke sembarang arah, baru kali ini Kiara memerlakukanku layaknya seorang kekasih dan itu terasa sangat manis sekali. Aku merenggangkan tanganku, memberi kesempatan kepadanya untuk mencari posisi ternyaman ketika berada di dalam dekapanku. Tidak lama setelah itu, dadaku basah seketika. Aku melihat ke bawah, ada isak yang keluar dari mulut Kiara. Bahunya naik turun tidak beraturan, sedangkan napasnya sudah mulai tidak beraturan. Dia mendongakan kepalanya, melihat kedua mataku dengan tatapan sendunya. Sebenarnya aku ingin menyeka air yang mengalir dari ujung matanya. Namun, kecantikan wajah Kiara menghipnotisku, aku seperti dibius olehnya hingga pada akhirnya aku hanya bisa memperhatikan luka yang