Pertanyaan yang dilemparkannya oleh ayah mertuaku ini membuatku terdiam beberapa saat. Beliau memberiku dua pilihan yang sama-sama tidak aku inginkan.
"Ambil uangnya atau berpisah dengan Bima?" Perkataan itu terus berdengung di telingaku. Mau tidak mau, aku harus mencari alasan yang tepat untuk tidak mengambil kedua pilihan tersebut.
"Apa yang membuatmu ragu untuk menerima uang ini, Kiara? Bukankah hidup dalam keterbatasan itu tidak mengenakkan?" Pak Hans mulai menekanku dengan pernyataan yang dia lemparkan.
"Ambillah, jumlah uang yang ada di dalam sini tidak banyak. Jadi, tidak akan membuatmu menjadi milyader tajir melintir dalam waktu yang sekejap," ucapnya angkuh.
Aku mendengus kesal mendengar ucapan Pak Hans. Jika dia tahu bahwa anak tengahnya itu tidak suka merepotkan orang lain, kenapa dia memaksaku untuk menerima uang pemberiannya.
"Tetapi paling tidak, kalian tidak harus berpusing-pusing ria untu
"Masuk atau saya hancurkan benda ini?" Brian menatap tajam pada mataku. Rahangnya yang tegas terlihat mengetat. Dia memegang erat laptopku dan mengangkatnya beberapa cm dari ujung kepalaku.Aku memejamkan mata sembari mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada. "Jangan, Pak, Jangan," pintaku memelas.Aku tidak bisa membayangkan jika benda itu benar-benar dia lemparkan ke sembarang arah. Meskipun laptop itu sudah ketinggalan zaman, tapi semua berkas penting ada di dalam sana."Masuk!" bentaknya.Aku tersentak ketika Brian menggebrak meja kerjaku. Meskipun jantungku hampir lepas dari tempatnya. Namun aku masih belum beranjak dari tempat dudukku. Netraku menatap was-was pada benda yang saat ini berada di dalam genggaman Brian.'tolong jangan banting,' harapku dalam hati"Kiara," geramnya, "kamu jangan membuat amarah saya terpancing!"Giginya gemertak, "Jika dalam hitungan ketiga kamu belum berada di ruangan saya, maka j
Aku butuh pertolongan untuk menjauhkan jemari laknat ini dari wajahku. Dengan tenaga yang masih tersisa, aku mencoba untuk berteriak semampuku, "auk eu ak ... Akh tooo-loongg aaykkk ...."Aku menggertakkan gigi, kesal karena teriakan ini semakin membuatku terlihat tidak berdaya di depan Brian."Ayo, Ki, teruslah berteriak. Kencangkan volumenya, Kiara! Buat semua orang yang ada di luar gedung ini mendengar kesakitan yang kamu rasakan." Brian tersenyum senang melihat ekspresi kesakitan dari wajahku. Mataku kembali terpejam, tidak kuasa menahan perih dan nyeri yang mulai menjalar ke ubun-ubunku."Auk ak euuuuu? Apa, HAH? Kamu sebenarnya mau ngomong apa, Ki? Saya yang dekat saja tidak paham, apalagi orang lain yang ada di luaran sana." Dia menyunggingkan sebelah bibirnya, kemudian menekan rahangku lebih dalam lagi, "coba, Ki, ngomong yang jelas sama saya, kamu mau apa?" ejeknya."Berengsek," umpatku dalam hati. Ceng
Bima PoVAku memasukkan laptop ke dalam tas jinjing berwarna coklat milik Bu Bos. Pikiranku sedikit kalut karena belum memberitahukan perihal rapat dadakan ini kepada Kiara. Seharusnya setengah jam yang lalu, aku sudah keluar dari kantor dan bersiap untuk menjemput istriku. Namun karena bos memintaku untuk menemaninya rapat, mau tidak mau, aku harus ikut bersamanya."Bim, pulang bareng sama saya, yuk," ajak Bu Bos sambil menenteng tas miliknya, "kebetulan saya mau ke supermarket yang ada di Jalan Tamrin. Searah 'kan sama rumah kamu?" Dia menoleh ke arahku, sepertinya sedang menunggu jawaban dariku.Aku mengangguk pelan, "terima kasih, Bu, atas tawarannya ... Tapi saya harus menjemputnya istri saya terlebih dahulu."Bu Bos mengerutkan dahinya, "loh, kamu ternyata sudah menikah, toh? Saya kira masih bujang.""He-eh. Iya, Bu." Jawabku sedikit canggung. Aku mengusap-usap pipiku untuk meny
PoV BimaMelihat Kiara mencicit ketakutan di balik tubuh Brian, membuat emosiku kian membuncah. Kiara memejamkan mata sedangkan kedua kakinya gemetaran di bawah sana. Dari kejauhan, kulihat Brian mengintimidasinya dengan menekan kuat-kuat tubuhnya ke dalam tubuh Kiara. Wajah mereka begitu dekat, sampai-sampai ujung hidung Brian menyentuh ujung hidung milik Kiara.Aku mendekat ke arah mereka dengan kedua tangan yang mengepal. Kutarik kerah kemejanya dengan kasar hingga tubuhnya terjembab ke lantai. Dia melirikku sinis sambil terkekeh. Tanpa rasa bersalah kepadaku, dia beranjak dari tempatnya kemudian merapikan kembali jasnya yang sedikit kusut."Abbimanyu Nawasena, Tuan Muda yang begitu hebat. Kau tidak pernah salah dalam memilih sesuatu. Termasuk ketika memilih Kiara sebagai istrimu." Suara jumawanya menggaung di ruangan, "wajahnya yang manis dan perangainya yang baik, membuat siapapun yang mengenalnya mudah untuk menjatuhkan hati kepadanya. Untuk itu, bolehkah
Bima PoV Kiara memelukku begitu erat. Dia memangkas jarak diantara kami dengan merapatkan tubuh rampingnya ke tubuhku. Wajah ayu itu, dia tenggelamkan dalam-dalam di dadaku. Tanpa disadari, perasaanku tiba-tiba menghangat. Aku reflek melempar senyum ke sembarang arah, baru kali ini Kiara memerlakukanku layaknya seorang kekasih dan itu terasa sangat manis sekali. Aku merenggangkan tanganku, memberi kesempatan kepadanya untuk mencari posisi ternyaman ketika berada di dalam dekapanku. Tidak lama setelah itu, dadaku basah seketika. Aku melihat ke bawah, ada isak yang keluar dari mulut Kiara. Bahunya naik turun tidak beraturan, sedangkan napasnya sudah mulai tidak beraturan. Dia mendongakan kepalanya, melihat kedua mataku dengan tatapan sendunya. Sebenarnya aku ingin menyeka air yang mengalir dari ujung matanya. Namun, kecantikan wajah Kiara menghipnotisku, aku seperti dibius olehnya hingga pada akhirnya aku hanya bisa memperhatikan luka yang
Kiara PoVKurasakan seseorang sedang menancapkan benda tajam ke dalam punggung tanganku secara berulang. Entah kendalanya apa, tapi jika kuhitung, sudah tiga kali ini benda tersebut dimasukkan ke dalam kulitku dengan kasar. Rasa ngilu bercampur dengan pegal, langsung menyusup ke dalam pembuluh darah. Membuat kesadaranku yang sempat hilang, kini berangsur pulih seperti sebelumnya.Aku ingin tau, apa yang sebenarnya sedang terjadi kepadaku. Badan sakit seperti habis dihajar oleh orang sekampung, punggung tangan sebelah kanan dan juga kiri ditusuk oleh benda tajam berulang kali dan kepalaku pun sakit, rasanya seperti dihantam oleh benda yang sangat keras. Aku mencoba untuk membuka kelopak mataku. Namun, rasa perih mengalahkan segalanya. Akhirnya, aku lebih memilih untuk memejamkan netra dari pada harus menukarnya dengan kesakitan yang belum diketahui ujungnya.Dengan sisa tenaga yang ada, aku coba untuk menggerakkan tanganku pel
"Aduh, gimana ya, Ki?" tanyanya cemas.Dia menggaruk kepalanya sambil mencebikkan bibir, "mau cerita sama Ayah kalau kamu lagi sakit?" Dia menyambung pertanyaannya."Jangan, Pak, jangan dulu. Nanti malah jadi gaduh. Ayah sama Ibu kepikiran, lalu masalahnya malah jadi panjang."Drrttr drrttt drrttttPonsel Pak Bima bergetar, panggilan video dari Ayah.Aku dan Pak Bima saling beradu pandang, meski kami sama-sama diam tapi saling paham apa yang ada dipikiran masing-masing.Aku menaikan pandanganku, duh ... Bagaimana ini? Belum sempat mencari alasan yang tepat untuk menolak, panggilan video call dari Ayah ke nomornya Pak Bima sudah masuk."Gimana, Ki? Kita cerita yang sebenarnya aja, ya. Dari pada harus bohong terus, nanti malah kita yang pusing sendiri," tawarnya, "jujur, saya tuh paling enggak bisa bohongin orang tua, dosa. Lagian kalau nanti terjadi sesuatu, saya yang tanggung jawab secara penuh." Dia meyakinkan kepadaku.
Suasana ruang inap yang saat ini sedang kutempati masih hening. Kami masih tetap saling mendiamkan meski Pak Bima sudah kembali dari kantin beberapa saat yang lalu. Hatiku masih sakit jika teringat bentakan yang keluar dari mulutnya. Rasa pilu yang kurasakan semakin menjadi-jadi, saat dia lebih asik dengan ponselnya dari pada mengajakku bicara dari hati ke hati.Aku sadar, kecanggungan yang terjadi di antara kami, tidak sepenuhnya salah Pak Bima. Dia mungkin tidak akan bicara dengan nada tinggi, ketika aku tidak mendesaknya untuk menjelaskan perihal Brian. Namun, aku sudah tidak bisa menahan rasa penasaranku ini sebab semakin ke sini, ulah kakak iparku itu justru semakin anarkis. Sedangkan aku sendiri tidak paham, apa yang membuat dia memperlakukan aku dan suamiku seburuk ini.Di sisi lain, aku merasa bahwa tidak memiliki arti penting bagi Pak Bima. Bagaimana tidak? Semenjak aku menjadi istrinya, tidak pernah sekalipun dia memberiku ke