"Besok aku mulai bekerja di perusahaan Papa," ujar Erick bersemangat sewaktu kami pulang dan tiba di dekat rusun. "Oh, bagus lah, Rick! Semoga kamu betah ya, sukses buatmu," harapku tulus dengan senyuman merekah di bibirku. Sebuah berita bagus bahwa Erick bukan lagi seorang mahasiswa yang masih hidup bergantung pada orang tuanya. Memang ia bekerja di perusahaan ayahnya, tapi yang namanya bekerja tetaplah bekerja. Yang penting ia sungguh melakukan tugasnya sebagaimana mestinya, bukan sekadar leha-leha dan memakan gaji buta. "Ya dibetah-betahin lah, mau bagaimana lagi. Jadi aku nggak akan bisa lagi sering-sering nemuin Ricky. Tapi jangan khawatir aku pasti transfer uang bulanan untuk anakku." "Makasih banyak, Rick. Aku sangat menghargai itu." Begitulah seharusnya rumahtangga yang ideal; ada suami dan istri dengan peran masing-masing. Suami bekerja, dan istri mengurus rumah serta anak-anak, bukan seperti situasiku sekarang yang menjadi orang tua tunggal, harus mengurus anak dan menca
"Nak Velo masih ingatkah hari pertama kita berjumpa?" tanya Bu Berta seusai aku duduk di sampingnya. "Nggak akan pernah lupa, Bu!" jawabku mantap. Bahkan setelah sekian tahun aku tak pernah akan melupakan hari itu. Pengalaman pedih di hari itu berubah menjadi memori menghangatkan hati karena aku berjumpa dengan Bu Berta. "Siang itu si Selvi entah kenapa kambuh manjanya, kolokan. Lagi hujan deras begitu dia pingin mie rebus, sementara persediaan mie instan di rumah habis. Lalu dengan bujuk rayunya yang manis di bibir dan sedikit manja, akhirnya Ibu terusir dari rumah saat hujan deras karena harus pergi ke warung," tuturnya serius. Wanita itu tampak tersenyum sambil geleng kepala. "Kesal juga Ibu sebenarnya kala itu, anak kok nyuruh-nyuruh emaknya pergi ke warung pas hujan deras, hah! Tapi demi anak Ibu yang baru sembuh dari sakit, akhirnya Bu Ber pergi juga ke warung buat beli mie. Eh, nggak tahunya Bu Ber malah ketemu Nak Velove yang juga sedang hujan-hujanan," paparnya sembari men
"Mama, Mama ... kue!" Terdengar suara Ricky berseru. Anakku muncul dengan sepotong donat di tangannya, dan dia berada di gendongan si ankel ... lagi-lagi. Di tangan Mas Vincent juga ada sekotak donat dalam tas plastik. "Donat, Ricky, dooonaaat!" Bu Berta memberi tahu anakku nama spesifik dari kue yang sedang dimakannya. "Donat," cicit anakku mencoba menirukan kata baru yang diajarkan oleh sang oma. "Nah, pintar!" puji Bu Berta dengan raut wajah begitu bangga. "Kue, Mama, kue!" seru anakku lagi. "Yah, balik lagi!" sesal Bu Berta. Lucu memang tingkah Ricky. Mau donat kek, lapis legit, tart, bolu, roti mandarin, dll, buat dia semuanya kue, bahkan setelah diberi tahu kata yang tepat untuk itu. Biarlah, yang penting dia tahu itu makanan enak. "Mas, tadi ada paket buatmu, aku yang terima. Nih!" ucapku kepada Mas Vincent seraya menyerahkan paket bersampul coklat itu ke tangannya. "Makasih, Ve. Memang sudah saya tunggu," sahutnya menerima benda berbentuk kotak itu. Sejenak ia mengamat
"Walaupun sampai umur tiga puluh empat tahun ini aku belum menikah, bukan berarti aku tidak mengenal yang namanya cewek," tutur Mas Vincent memulai kisahnya. Aku menggaruk kepalaku, bingung bagaimana harus mengantisipasi penuturan pria ini akan seperti. Katanya mau ngomongin tentang kami berdua, eh, kok sepertinya ia malah akan menceritakan tentang perempuan-perempuan lain? "Cinta monyetku waktu SMP, pas SMA pernah pacaran sekali, terus kuliah aku pernah pacaran dengan ...." Tuh, kan, bener! "Iya, iya, aku percaya banyak cewek yang mau sama kamu, Mas. To the point aja deh," potongku sewot. Kok malah jadi nyeritain sejarah percintaannya dari SMP sih? Nggak sekalian dari SD atau TK? Pria itu nyengir kuda, memamerkan barisan giginya yang rapi dan terawat. Jadi ingat si jeruk mandarin. "Baiklah, yang terakhir saja, ya. Yang terakhir itu sekitar sepuluh tahun lalu, aku kenal dengan seorang perempuan bernama Bella. Orangnya cantik, lembut, penyayang," tutur pria itu mulai serius. Tern
"Tapi pada kenyataannya Mas Vincent tidak berhenti setelah Ricky lahir," ucapku sedikit menuduh. Habis mau bagaimana lagi, kenyataannya memang seperti itu. Ia tak berhenti mengikuti dan memperhatikan kehidupanku. Pria itu menghela napas dalam-dalam. "Benar, Ve. Niat awalku adalah berhenti setelah anakmu lahir. Namun, saat aku melihat bayi Ricky yang tampan tapi tampak lemah dan butuh dilindungi, aku jatuh sayang kepadanya, hingga rasanya aku ingin bisa terus melihatnya, memastikan ia tumbuh dengan baik," tuturnya membuat alasan. Hmm, semua berawal dari Ricky. Sejak dia masih di dalam perutku, saat ia telah lahir, hingga Mas Vincent mulai mendekatiku, Ricky juga yang seolah mengantarkannya untuk mendekatiku. "Apalagi setelah aku tahu kamu bercerai dari suamimu, aku merasa sangat tidak rela jika anak itu mengalami kesulitan di masa awal kehidupannya, jadi aku terus memastikan melalui Bu Berta bahwa kalian dalam kondisi baik, tidak kekurangan apapun." Tetanggaku itu terlihat sangat
Sejak hari itu aku berusaha menghindari tetangga 203. Kuputuskan lebih baik aku tidak berurusan dengannya. "Sudah masak, Ve? Aku buat spaghetti kesukaan Ricky," ucap Mas Vincent riang saat melihatku di depan pintu pada suatu siang. "Aku sudah punya lauk, Mas, makasih. Lagian nggak baik kalau anakku makan mie terus," tolakku seraya beranjak memasuki rumah tanpa memberi pria itu perhatian lebih. "Baiklah," sahutnya pasrah. Aku sempat melihat ekspresinya yang sedikit kecewa sebelum aku menutup pintu. 'Salah nggak sih sikapku ini?' batinku sedikit merasa bahwa sikapku jahat. Aku menyandarkan punggung di pintu. Padahal Mas Vincent bukannya memberikan spaghetti untuk anakku setiap hari. Dia paham anakku butuh nutrisi untuk tumbuh jadi ia tak pernah hanya memberi Ricky karbohidrat, bahkan biasaya ia mencincang sedikit sayuran untuk dicampurkan ke spaghetti yang ia masak itu. Hanya saja kupikir jika aku bersikap kurang ramah padanya, lama-lama pria itu akan sadar juga dan menjauhiku. Da
Berencana untuk meminta maaf dan memperbaiki hubungan dengan seseorang lebih gampang di angan ketimbang di pelaksanaan.Entah gengsi, takut ditolak, atau malu, sering kali menghambat seseorang melakukan niat baik ini.Kalau aku sendiri lebih kepada bingung bagaimana harus memulainya, garing nggak sih kalau aku yang sebelumnya bersikap dingin tau-tau senyam senyum dan berakrab ria dengan Mas Vincent. Sakit hati nggak ya, dia, karena sikapku kemarin?Tapi yang namanya niat baik, jangan cuma disimpan di pikiran, mengendap di hati lalu jadi busuk. Itu mesti dieksekusi sampai sukses dan tujuan tercapai, baru kita bisa bernapas lega dan tersenyum dengan ikhlas.Makanya sedari pagi aku sudah lirak-lirik, celingak-celinguk, kalau-kalau tetangga 203 nampak. Aku sudah menyiapkan senyuman terbaikku dan sederet kata untuk menyapa dan mengajaknya berbicara.Namun, sepertinya niat baik itu masih harus di-pending.Begitu bangun aku sudah membuka pintu dan menilik pintu sebelah. Tapi sampai jam delapa
Tubuh Mas Vincent yang sedari tadi tegang kini mulai rileks. Lengan kirinya melingkar di punggungku, dan tangan kanannya mulai membelai kepalaku. "Kalau harus mati besok pun, aku rela," gumamnya dengan suara rendah, namun cukup keras untuk kudengarkan. Alangkah kagetnya diriku mendengar ucapannya ini. Baru juga ketemu dan dia dalam keadaan baik, malah ngomong hal yang begitu menakutkan. "Mas!" seruku dengan kepala mendongak menatap wajahnya, "Kok malah ngomongin mati sih? Aku masih khawatir kalau kamu kenapa-napa, kamu malah ngomongin mati!" "Hehehe," kekehnya geli. "Iya, iya, Velove-ku sayang, Mas Vincent-mu nggak akan mati sekarang kok, tenang saja. Dan kamu boleh memeluk aku sampai puas, gratis nggak pakai bayar." "Syukurlah," lirihku dengan senyum puas. Leganya setelah mendengar ucapannya barusan. Ah, pelukan gratis lagi! Tapi kali ini aku tidak salah peluk. Aku kembali menyandarkan kepalaku di dadanya. Mataku sempat terpejam menikmati momen ini, bibirku mengulaskan senyuman