"Tapi pada kenyataannya Mas Vincent tidak berhenti setelah Ricky lahir," ucapku sedikit menuduh. Habis mau bagaimana lagi, kenyataannya memang seperti itu. Ia tak berhenti mengikuti dan memperhatikan kehidupanku. Pria itu menghela napas dalam-dalam. "Benar, Ve. Niat awalku adalah berhenti setelah anakmu lahir. Namun, saat aku melihat bayi Ricky yang tampan tapi tampak lemah dan butuh dilindungi, aku jatuh sayang kepadanya, hingga rasanya aku ingin bisa terus melihatnya, memastikan ia tumbuh dengan baik," tuturnya membuat alasan. Hmm, semua berawal dari Ricky. Sejak dia masih di dalam perutku, saat ia telah lahir, hingga Mas Vincent mulai mendekatiku, Ricky juga yang seolah mengantarkannya untuk mendekatiku. "Apalagi setelah aku tahu kamu bercerai dari suamimu, aku merasa sangat tidak rela jika anak itu mengalami kesulitan di masa awal kehidupannya, jadi aku terus memastikan melalui Bu Berta bahwa kalian dalam kondisi baik, tidak kekurangan apapun." Tetanggaku itu terlihat sangat
Sejak hari itu aku berusaha menghindari tetangga 203. Kuputuskan lebih baik aku tidak berurusan dengannya. "Sudah masak, Ve? Aku buat spaghetti kesukaan Ricky," ucap Mas Vincent riang saat melihatku di depan pintu pada suatu siang. "Aku sudah punya lauk, Mas, makasih. Lagian nggak baik kalau anakku makan mie terus," tolakku seraya beranjak memasuki rumah tanpa memberi pria itu perhatian lebih. "Baiklah," sahutnya pasrah. Aku sempat melihat ekspresinya yang sedikit kecewa sebelum aku menutup pintu. 'Salah nggak sih sikapku ini?' batinku sedikit merasa bahwa sikapku jahat. Aku menyandarkan punggung di pintu. Padahal Mas Vincent bukannya memberikan spaghetti untuk anakku setiap hari. Dia paham anakku butuh nutrisi untuk tumbuh jadi ia tak pernah hanya memberi Ricky karbohidrat, bahkan biasaya ia mencincang sedikit sayuran untuk dicampurkan ke spaghetti yang ia masak itu. Hanya saja kupikir jika aku bersikap kurang ramah padanya, lama-lama pria itu akan sadar juga dan menjauhiku. Da
Berencana untuk meminta maaf dan memperbaiki hubungan dengan seseorang lebih gampang di angan ketimbang di pelaksanaan.Entah gengsi, takut ditolak, atau malu, sering kali menghambat seseorang melakukan niat baik ini.Kalau aku sendiri lebih kepada bingung bagaimana harus memulainya, garing nggak sih kalau aku yang sebelumnya bersikap dingin tau-tau senyam senyum dan berakrab ria dengan Mas Vincent. Sakit hati nggak ya, dia, karena sikapku kemarin?Tapi yang namanya niat baik, jangan cuma disimpan di pikiran, mengendap di hati lalu jadi busuk. Itu mesti dieksekusi sampai sukses dan tujuan tercapai, baru kita bisa bernapas lega dan tersenyum dengan ikhlas.Makanya sedari pagi aku sudah lirak-lirik, celingak-celinguk, kalau-kalau tetangga 203 nampak. Aku sudah menyiapkan senyuman terbaikku dan sederet kata untuk menyapa dan mengajaknya berbicara.Namun, sepertinya niat baik itu masih harus di-pending.Begitu bangun aku sudah membuka pintu dan menilik pintu sebelah. Tapi sampai jam delapa
Tubuh Mas Vincent yang sedari tadi tegang kini mulai rileks. Lengan kirinya melingkar di punggungku, dan tangan kanannya mulai membelai kepalaku. "Kalau harus mati besok pun, aku rela," gumamnya dengan suara rendah, namun cukup keras untuk kudengarkan. Alangkah kagetnya diriku mendengar ucapannya ini. Baru juga ketemu dan dia dalam keadaan baik, malah ngomong hal yang begitu menakutkan. "Mas!" seruku dengan kepala mendongak menatap wajahnya, "Kok malah ngomongin mati sih? Aku masih khawatir kalau kamu kenapa-napa, kamu malah ngomongin mati!" "Hehehe," kekehnya geli. "Iya, iya, Velove-ku sayang, Mas Vincent-mu nggak akan mati sekarang kok, tenang saja. Dan kamu boleh memeluk aku sampai puas, gratis nggak pakai bayar." "Syukurlah," lirihku dengan senyum puas. Leganya setelah mendengar ucapannya barusan. Ah, pelukan gratis lagi! Tapi kali ini aku tidak salah peluk. Aku kembali menyandarkan kepalaku di dadanya. Mataku sempat terpejam menikmati momen ini, bibirku mengulaskan senyuman
"Wah, wah, sepertinya ada yang sudah berbaikan nih," lontar Bu Berta saat aku dan Mas Vincent tiba di 201. "Bukan cuma berbaikan, Bu," timpal Mas Vincent dengan cengiran lebar di wajah gantengnya. Aku sendiri hanya bisa tersenyum malu. Perhatian Mas Vincent beralih ke anakku. "Ricky!" panggilnya penuh rasa sayang. Pria itu berjongkok dan merentangkan kedua lengannya lebar-lebar. "Ankel!" pekik Ricky. Bocahku berlari dan menghambur dalam dekapan ankel kesayangannya. "Walaah, ternyata malah sudah ... begini!" Bu Berta membuat kedua jari telunjuknya saling berhadapan, lalu menggerakkan ujungnya naik turun seperti sedang mengait sesuatu. Pacaran maksudnya! "Uh, gerah banget, Bu Ber, haus nih, minta minum ya," seruku seraya ngeloyor ke dapur, mencari air minum, sekaligus menghindari pertanyaan wanita itu. Biar Mas Vincent saja yang jawab, dia kan pria, aku sebagai wanita ikut saja. Kudengar suara tawa mereka berdua dengan obrolan yang terasa seru. Seulas senyum tercipta di bibirku, d
Kehidupan selalu punya dua sisi, positif dan negatif. Termasuk kehidupan di rusun ini. Semua penghuni rusun ini dari lantai bawah hingga lantai atas telah mengetahui hubunganku dan Mas Vincent sekarang. Sebagian besar yang mengenal kami mendukung kelanjutan hubungan kami. Yang nggak kenal cuek saja, tapi tetap merespek. Nah, yang terakhir, beberapa orang yang sedari awal tidak menyukai kedekatan kami, lebih spesifiknya tidak menyukaiku, kembali menggila. Sebenarnya orang-orang nyinyir ini sudah mulai terabaikan dan kehilangan suara mereka beberapa waktu lalu. Akan tetapi setelah tersebar berita bahwa aku dan Mas Vincent jadian, mereka terusik dari hibernasi mereka. Mulut mereka gatal lagi, dan mulai bergosip. "Gue yakin pasti tuh cewek pakai pelet, sampai Bang Vincent tergila-gila," cibir seseorang. "Nggak mungkin dong mereka nggak ngapa-ngapain! Ke kafe aja diantar jemput, pulang malam-malam, kesempatan lah," tambah temannya tak kalah pedas. "Tunggu saja, palingan cuma hitungan
"Aduh, aduh! Pacarku sekarang mulai nakal ya," celetuk Mas Vincent dengan wajah berseri-seri dan pipi sedikit merona. Ia tak berniat menyembunyikan perasaan senangnya. "Enggak lah, Mas. Cuma pingin bilang terima kasih, karena sudah belain aku dan Ricky di depan Jenny," dalihku sambil cengengesan. Memang sedikit gila, seorang Velove berinisiatif untuk mengecup pipi seorang pria. Entahlah, aku spontan saja melakukan itu karena sangat senang dan bersyukur ada Mas Vincent yang membelaku dan Ricky. "Tentu dong, Pipi siap melindungi kalian dari Mak Lampir," sahutnya berapi-api. Wajah seriusnya terlihat menggemaskan. "Hahaha. Lucu banget muka Jenny waktu kamu nyebut Mak Lampir tadi. Perempuan itu memang jahat, tapi aku sama sekali nggak menyangka Mas Vincent berani ngomong gitu, soalnya Jenny kan cewek," cakapku penuh semangat. "Cewek sekalipun, kalau tindakannya salah, cowok juga perlu menegur," timpal Mas Vincent. "Demi calon istri dan anakku, aku nggak rela kalian terus dihina. Mengha
'Mie Pangsit Kangmas', nama yang unik. Semoga rasa pangsitnya enak, sesuai dengan namanya yang terdengar spesial itu. "Selamat siang, Mas Vincent. Selamat siang, Mbak, Dik," seorang pramusaji muda bernama 'Edi' menghampiri dan menyapa kami dengan ramah. Kuperhatikan di rumah makan ini semua pegawainya memakai seragam kaos berwarna hijau, dengan nama masing-masing tertulis rapi dengan bordiran di dada kiri mereka. Nampaknya Mas Vincent sering kemari, pegawai rumah makan ini sampai ingat namanya dengan baik. "Nama mbak cantik ini Velove, Mas Edi," terang Mas Vincent ramah seolah tengah memperkenalkanku kepada temannya. "Oh, Mbak Velove ya. Halo, Mbak Velove, perkenalkan, saya Edi." Kembali pemuda itu menyapaku ramah. Aku sedikit kaget saat si pramusaji mengulurkan tangannya padaku untuk mengajak bersalaman. Siapakah orang ini sebenarnya? "Oh, ya, Mas Edi. Saya Velove," sahutku sembari tersenyum. Walaupun terasa canggung aku membalas uluran tangannya. Mungkin Mas Vincent memang sud
Dear Pembaca, Terima kasih banyak Kakak sudah membaca buku ini sampai selesai. Atau kalaupun Kakak sekadar pingin tahu, apa yang ditulis author di akhir novel, boleh lah, saya tidak akan spoiler isi atau ending cerita Velove di sini. Hehe. Awalnya saya tidak berniat untuk menulis catatan ini, tapi sepertinya perlu juga ya, mengingat novel ini adalah novel galau judul. Haha. Akhirnya judul yang saya gunakan untuk novel ini adalah "Cintaku Terhalang Status". Bahkan covernya saya ganti. Huhu Sedikit sedih, karena saya sebenarnya sangat menyukai gambar wanita berbaju merah yang pertama saya gunakan untuk sampul novel ini. Tapi setelah saya pertimbangkan lagi, melihat background gambar yang cukup gelap, saya berpikir untuk menggantinya dengan gambar yang lebih terang, maka terpilihlah gambar wanita berbaju biru yang saat ini saya gunakan di sampul novel ini. Untung masih cantik ya. Kalau saya pakai foto saya sendiri sebagai sampul, pasti nggak jadi cantik, karena saya kan manis, seper
"Ini serius, Dok?" Aku terpana menyaksikan hasil USG kehamilanku. Rasanya sulit berkata-kata. "Benar, Bu. Selamat ya, bayinya kembar." Dokter Rini, dokter kandungan yang menangani kehamilanku, menyelamati kami. "Pi ..." Aku melirik suamiku yang tersenyum lebar. "Bagus dong, minta satu malah dikasih dua," candanya dengan cengiran lebar. Aku yakin ia memahami perasaanku, makanya ia mencoba menetralkannya dengan gurauan.Ada sedikit keraguan di dalam benakku, karena aku harus membawa dua nyawa lain bersamaku. Apakah aku sanggup melakukannya?Dan demi meyakinkanku bahwa semua bisa berjalan lancar, kami berkonsultasi lebih lanjut dengan Dokter Rini. Ia memastikan bahwa kondisiku dan janinku sehat. "Apakah saya bisa melahirkan secara normal, Dok?" tanyaku, berharap kelahiran anak kembar masih membawa kemungkinan persalinan normal. Bila mungkin, aku tak ingin perutku dibelah."Tentu saja bisa. Yang penting kondisi ibu sehat, bayi sehat, tidak mustahil untuk melahirkan normal. Tapi kalaup
Kami masih tinggal di rumah Papi selama dua minggu, serta bolak balik ke rusun. "Sudah, kalian tinggal di sini saja, biar Mami ada teman," desak Mami suatu kali. Duh, gimana ini? Nggak enak mau nolak, tapi nggak mungkin juga dituruti. Sebaik apapun mertuaku, aku dan mas Vincent pingin tinggal di rumah kami sendiri."Nggak bisa dong, Mi, rumah kami 'kan sudah susah-susah dibangun, masa nggak ditempati?" protes Mas Vincent kepada ibunya. Mami cemberut. "Kami akan sering ke mari kok, Mi, tenang saja ya. Kami nggak akan lupa sama Mami dan Papi," ujarku, barulah Mami tenang.Rumah baru kami dalam proses mendapatkan sentuhan akhir, dan kami mulai mengisinya dengan perabotan. Setelah sebulan semuanya beres, kami pindah dan mulai tinggal di sana. "Kamu suka nggak sama hasil akhirnya, Sayang?" tanya suamiku saat kami bertiga, bersama Ricky tentunya, bercengkrama di halaman belakang. "Suka banget, Mas," jawabku riang, "Ricky juga." Hasil akhirnya rumah kami memang mirip dengan rumah Papi
Ingatanku melayang ke hari sebelumnya. Aku dan Mas Vincent mengucapkan janji suci, bertukar cincin, serta acara resepsi bersama keluarga besar kami yang begitu menghangatkan hati. Aku juga mengingat tentang suamiku yang ternyata tak pandai bernyanyi, foto-foto bersama, hingga aku mengenakan gaun pengantin bak princess pilihan suamiku, dan berdansa bersamanya.Tak lupa pula aku sempat berdansa dengan Papi, dan menemukan bahwa sebenarnya ia adalah bapak mertua yang sangat baik. Lalu .... "Astaga!" pekikku bagai tersambar petir.Secara mendadak aku bangun dan terduduk di ranjang. "Semalam kan ... aaaiiiihh ...." keluhku penuh penyesalan.Semalam aku sudah terlalu lelah untuk berpikir bahwa itu adalah malam pengantin kami. Aku malah tertidur sebelum suamiku sempat bergabung di ranjang, bahkan aku tidur terlalu nyenyak sampai pagi, ah, bukan, sampai siang begini. Saat kulirik jam di dinding sudah sekitar jam delapan pagi. Kesal pada diriku sendiri, aku menghempaskan kembali punggungk
"Kamu lihat di sana ... si tengah ...," ucap suamiku, menarik perhatianku untuk sejenak mengalihkan pandangan dari wajah tampannya. Mas Vincent sedikit menolehkan kepalanya ke kanan. Aku melihat adik iparku, Vina, sedang berdansa bersama suaminya. Kami berdua pun saat ini ada di tengah ruangan, saling memeluk dan menggenggam tangan, berdansa meski gerakan kami tidak jelas, hanya berputar-putar dari tadi. Kami saling memandang sambil cengengesan.Si Papi yang punya ide agar kami mengadakan pesta dansa juga di malam resepsi. Duh, bapak-bapak satu ini ... sudah tidak tahu lagi aku mesti ngomong apa. "Vina?" tanyaku pada Mas Vincent. Ia mengangguk."Mereka sangat serasi bukan?" tanyanya meminta pendapatku."Iya, Mas. Cocok banget, cantik dan ganteng," timpalku menyetujui.Ketiga anak Papi dan Mami berpostur tinggi. Vania, aku sudah tahu sebelumnya. Kalau Vina, baru hari ini kami bertemu. Postur mereka mirip, wajahnya tentu berbeda, dan pembawaan mereka berbeda. Vania bisa tampil tomboy
"Velove, sudah siap?" Satu suara bernada ramah menanyaiku.Ibu mertuaku tampak tersenyum menatapku, sembari menyandarkan sisi tubuhnya ke ambang pintu. Aku tersenyum melihatnya dari pantulan cermin."Kurang sedikit, Tante Mona, sabar ya," sahut Mbak Niken, MuA yang mendandaniku hari ini. "Ciamik benar makeup-nya, Ken, kamu memang juru rias profesional, sudah cucok lah untuk dandanin artis," komentar Mami memuji kerabatnya itu."Menantu Tante yang dasarnya cantik, makeup dikit saja langsung cetar membahana badai halilintar gemuruh ombak di lautan," sahut Mbak Niken sok dramatis. "Hahaha." Kedua wanita itu tertawa kompak. Aku setengah mati menahan diri agar tidak terbahak karena khawatir makeup-ku akan luntur jika terlalu banyak berkeringat. Mbak Niken adalah sepupu Mas Vincent, anak dari kakak tertua Mami. Ia sengaja diminta untuk makeup-in kami. Kata Mami makeup-nya bagus, dan karena masih keluarga sendiri kami bisa dapat diskon.Dasarnya sudah perias profesional sih, mukaku sukses
Meskipun ini bukan kali pertama aku menikah, apa yang aku alami sekarang sangat berbeda dengan apa yang aku lalui sewaktu bersama Erick. Situasi kami saat itu memang hanya memungkin untuk mengadakan acara pernikahan sederhana, yang penting resmi. Maklum lah, kami 'kan kawin lari. Benar-benar nekat! Kadang masih sulit percaya, aku yang polos bisa melakukan hal segila itu. Sedangkan dengan Mas Vincent kali ini, meskipun katanya sederhana dan hanya akan mengundang keluarga, persiapan untuk calon pengantin sama ribetnya dengan mereka yang mengundang banyak orang di hajatan mereka. "Senin, kita fitting baju, Ve." Demikian kata Mas Vincent satu hari sebelumnya. Aku menatapnya keheranan. "Loh kok? Harus fitting baju juga, Mas?" tanyaku sedikit memprotes. "Memangnya kamu mau nikah pakai baju apa? Daster?" tanyanya balik, sedikit meledek. Hmm, iya juga sih. Setidaknya kami harus pakai baju khusus, bukan sekadar kebaya sederhana seperti yang kukenakan di hari pernikahanku dengan Erick dulu
"Pokoknya kita buat acara besar-besaran, lebih besar daripada saat Kangmas batal menikah dulu, dan laksanakan secepatnya saja." Papi mengeluarkan ultimatumnya setelah kami semua berkumpul untuk membicarakan pernikahanku dan Mas Vincent. Bu Berta, serta beberapa orang kepercayaan Papi dan Mas Vincent juga hadir. Awalnya kami berpikir untuk mengajak ibu panti untuk hadir juga, namun Bu Wiwin menolak. "Sudah, kalian saja yang rencanakan. Ibu pokoknya ikut meramaikan dan membantu mengerjakan apapun jika dibutuhkan nanti," kata Bu Wiwin. Kalau dipikir-pikir hal ini bijaksana juga, kasihan Bu Wiwin juga ibu panti yang lain kalau harus terlalu repot dengan urusan kami. Apalagi panti berada di tempat yang cukup jauh dari sini. "Baiklah, yang penting Ibu datang untuk memberikan restu pada kami berdua, ya," pinta Mas Vincent yang datang bersamaku. "Pasti, Mas, jangan khawatir," cakap Bu Wiwin sembari tersenyum ramah. Ia berjanji akan datang bersama ibu panti yang lain, juga beberapa anak.
Dukungan yang kami dapatkan bukan hanya dari Vania. Si anak tengah di keluarga ini, Vina, juga menyatakan siap membantu kami untuk meyakinkan sang ayah. Walau tak bisa datang langsung ke mari, ia menyempatkan diri untuk menelepon dan berbicara dengan ayahnya. "Sorry, ya, Kangmas, Papi masih sulit diyakinkan. Sampaikan ke Mbak Velove, aku akan mencoba bicara dengan Papi lagi nanti," ucap Vina di seberang sambungan telepon, melaporkan hasil pembicaraannya dengan bapaknya. Berbeda dengan Vania yang memanggilku hanya dengan nama, Vina menambahkan embel-embel 'Mbak' di depan namaku. Sebenarnya aku merasa sedikit canggung, karena meskipun aku menjalin hubungan dengan kakak mereka, dan kemungkinan besar akan menjadi kakak ipar mereka juga, mereka sebenarnya lebih tua dariku. Si bungsu saja hanya terpaut tujuh tahun usianya dari Mas Vincent. Sedangkan aku sebelas tahun lebih muda dari calon suamiku. "Mungkin kamu belum terbiasa saja, Ve. Belajarlah menerima kenyataan bahwa kamu akan meni