Sejak hari itu aku berusaha menghindari tetangga 203. Kuputuskan lebih baik aku tidak berurusan dengannya. "Sudah masak, Ve? Aku buat spaghetti kesukaan Ricky," ucap Mas Vincent riang saat melihatku di depan pintu pada suatu siang. "Aku sudah punya lauk, Mas, makasih. Lagian nggak baik kalau anakku makan mie terus," tolakku seraya beranjak memasuki rumah tanpa memberi pria itu perhatian lebih. "Baiklah," sahutnya pasrah. Aku sempat melihat ekspresinya yang sedikit kecewa sebelum aku menutup pintu. 'Salah nggak sih sikapku ini?' batinku sedikit merasa bahwa sikapku jahat. Aku menyandarkan punggung di pintu. Padahal Mas Vincent bukannya memberikan spaghetti untuk anakku setiap hari. Dia paham anakku butuh nutrisi untuk tumbuh jadi ia tak pernah hanya memberi Ricky karbohidrat, bahkan biasaya ia mencincang sedikit sayuran untuk dicampurkan ke spaghetti yang ia masak itu. Hanya saja kupikir jika aku bersikap kurang ramah padanya, lama-lama pria itu akan sadar juga dan menjauhiku. Da
Berencana untuk meminta maaf dan memperbaiki hubungan dengan seseorang lebih gampang di angan ketimbang di pelaksanaan.Entah gengsi, takut ditolak, atau malu, sering kali menghambat seseorang melakukan niat baik ini.Kalau aku sendiri lebih kepada bingung bagaimana harus memulainya, garing nggak sih kalau aku yang sebelumnya bersikap dingin tau-tau senyam senyum dan berakrab ria dengan Mas Vincent. Sakit hati nggak ya, dia, karena sikapku kemarin?Tapi yang namanya niat baik, jangan cuma disimpan di pikiran, mengendap di hati lalu jadi busuk. Itu mesti dieksekusi sampai sukses dan tujuan tercapai, baru kita bisa bernapas lega dan tersenyum dengan ikhlas.Makanya sedari pagi aku sudah lirak-lirik, celingak-celinguk, kalau-kalau tetangga 203 nampak. Aku sudah menyiapkan senyuman terbaikku dan sederet kata untuk menyapa dan mengajaknya berbicara.Namun, sepertinya niat baik itu masih harus di-pending.Begitu bangun aku sudah membuka pintu dan menilik pintu sebelah. Tapi sampai jam delapa
Tubuh Mas Vincent yang sedari tadi tegang kini mulai rileks. Lengan kirinya melingkar di punggungku, dan tangan kanannya mulai membelai kepalaku. "Kalau harus mati besok pun, aku rela," gumamnya dengan suara rendah, namun cukup keras untuk kudengarkan. Alangkah kagetnya diriku mendengar ucapannya ini. Baru juga ketemu dan dia dalam keadaan baik, malah ngomong hal yang begitu menakutkan. "Mas!" seruku dengan kepala mendongak menatap wajahnya, "Kok malah ngomongin mati sih? Aku masih khawatir kalau kamu kenapa-napa, kamu malah ngomongin mati!" "Hehehe," kekehnya geli. "Iya, iya, Velove-ku sayang, Mas Vincent-mu nggak akan mati sekarang kok, tenang saja. Dan kamu boleh memeluk aku sampai puas, gratis nggak pakai bayar." "Syukurlah," lirihku dengan senyum puas. Leganya setelah mendengar ucapannya barusan. Ah, pelukan gratis lagi! Tapi kali ini aku tidak salah peluk. Aku kembali menyandarkan kepalaku di dadanya. Mataku sempat terpejam menikmati momen ini, bibirku mengulaskan senyuman
"Wah, wah, sepertinya ada yang sudah berbaikan nih," lontar Bu Berta saat aku dan Mas Vincent tiba di 201. "Bukan cuma berbaikan, Bu," timpal Mas Vincent dengan cengiran lebar di wajah gantengnya. Aku sendiri hanya bisa tersenyum malu. Perhatian Mas Vincent beralih ke anakku. "Ricky!" panggilnya penuh rasa sayang. Pria itu berjongkok dan merentangkan kedua lengannya lebar-lebar. "Ankel!" pekik Ricky. Bocahku berlari dan menghambur dalam dekapan ankel kesayangannya. "Walaah, ternyata malah sudah ... begini!" Bu Berta membuat kedua jari telunjuknya saling berhadapan, lalu menggerakkan ujungnya naik turun seperti sedang mengait sesuatu. Pacaran maksudnya! "Uh, gerah banget, Bu Ber, haus nih, minta minum ya," seruku seraya ngeloyor ke dapur, mencari air minum, sekaligus menghindari pertanyaan wanita itu. Biar Mas Vincent saja yang jawab, dia kan pria, aku sebagai wanita ikut saja. Kudengar suara tawa mereka berdua dengan obrolan yang terasa seru. Seulas senyum tercipta di bibirku, d
Kehidupan selalu punya dua sisi, positif dan negatif. Termasuk kehidupan di rusun ini. Semua penghuni rusun ini dari lantai bawah hingga lantai atas telah mengetahui hubunganku dan Mas Vincent sekarang. Sebagian besar yang mengenal kami mendukung kelanjutan hubungan kami. Yang nggak kenal cuek saja, tapi tetap merespek. Nah, yang terakhir, beberapa orang yang sedari awal tidak menyukai kedekatan kami, lebih spesifiknya tidak menyukaiku, kembali menggila. Sebenarnya orang-orang nyinyir ini sudah mulai terabaikan dan kehilangan suara mereka beberapa waktu lalu. Akan tetapi setelah tersebar berita bahwa aku dan Mas Vincent jadian, mereka terusik dari hibernasi mereka. Mulut mereka gatal lagi, dan mulai bergosip. "Gue yakin pasti tuh cewek pakai pelet, sampai Bang Vincent tergila-gila," cibir seseorang. "Nggak mungkin dong mereka nggak ngapa-ngapain! Ke kafe aja diantar jemput, pulang malam-malam, kesempatan lah," tambah temannya tak kalah pedas. "Tunggu saja, palingan cuma hitungan
"Aduh, aduh! Pacarku sekarang mulai nakal ya," celetuk Mas Vincent dengan wajah berseri-seri dan pipi sedikit merona. Ia tak berniat menyembunyikan perasaan senangnya. "Enggak lah, Mas. Cuma pingin bilang terima kasih, karena sudah belain aku dan Ricky di depan Jenny," dalihku sambil cengengesan. Memang sedikit gila, seorang Velove berinisiatif untuk mengecup pipi seorang pria. Entahlah, aku spontan saja melakukan itu karena sangat senang dan bersyukur ada Mas Vincent yang membelaku dan Ricky. "Tentu dong, Pipi siap melindungi kalian dari Mak Lampir," sahutnya berapi-api. Wajah seriusnya terlihat menggemaskan. "Hahaha. Lucu banget muka Jenny waktu kamu nyebut Mak Lampir tadi. Perempuan itu memang jahat, tapi aku sama sekali nggak menyangka Mas Vincent berani ngomong gitu, soalnya Jenny kan cewek," cakapku penuh semangat. "Cewek sekalipun, kalau tindakannya salah, cowok juga perlu menegur," timpal Mas Vincent. "Demi calon istri dan anakku, aku nggak rela kalian terus dihina. Mengha
'Mie Pangsit Kangmas', nama yang unik. Semoga rasa pangsitnya enak, sesuai dengan namanya yang terdengar spesial itu. "Selamat siang, Mas Vincent. Selamat siang, Mbak, Dik," seorang pramusaji muda bernama 'Edi' menghampiri dan menyapa kami dengan ramah. Kuperhatikan di rumah makan ini semua pegawainya memakai seragam kaos berwarna hijau, dengan nama masing-masing tertulis rapi dengan bordiran di dada kiri mereka. Nampaknya Mas Vincent sering kemari, pegawai rumah makan ini sampai ingat namanya dengan baik. "Nama mbak cantik ini Velove, Mas Edi," terang Mas Vincent ramah seolah tengah memperkenalkanku kepada temannya. "Oh, Mbak Velove ya. Halo, Mbak Velove, perkenalkan, saya Edi." Kembali pemuda itu menyapaku ramah. Aku sedikit kaget saat si pramusaji mengulurkan tangannya padaku untuk mengajak bersalaman. Siapakah orang ini sebenarnya? "Oh, ya, Mas Edi. Saya Velove," sahutku sembari tersenyum. Walaupun terasa canggung aku membalas uluran tangannya. Mungkin Mas Vincent memang sud
"Kenapa mukamu keruh begitu, Ve?" tanya Mas Vincent sembari melirikku yang duduk di sebelahnya. Sejak berangkat dari rumah makan tadi aku memang dipenuhi kekhawatiran tentang ke mana kekasihku ini hendak membawaku. "Kita mau ke mana sih, Mas?" Pertanyaan itu akhirnya tercetus juga dari mulutku. Aku tak sanggup menahannya lagi. "Ke tempat penting untuk kita. Kenapa memangnya? Ada yang kamu khawatirkan?" tanyanya enteng. Gimana ngomongnya ya? Sebenarnya ini hal sepele, kalau benar kami akan bertemu orang tua Mas Vincent harusnya tidak jadi masalah. Tapi entahlah, ada perasaan yang tidak bisa kujelaskan saat berpikir tentang orang tua dari pria yang akan menjadi suamiku. "Ngomong aja," desaknya mendorongku untuk mengungkapkan unek-unek. "Apakah ... kamu takut ketemu orang tuaku?" "Jadi benar, Mas, kita mau ke rumah orang tuamu?" tanyaku dengan detak jantung yang semakin tidak karuan. Mas Vincent bisa baca pikiranku kah? Kudekap Ricky yang sedang terlelap di pelukanku, berharap mera