"Mama, Mama ... kue!" Terdengar suara Ricky berseru. Anakku muncul dengan sepotong donat di tangannya, dan dia berada di gendongan si ankel ... lagi-lagi. Di tangan Mas Vincent juga ada sekotak donat dalam tas plastik. "Donat, Ricky, dooonaaat!" Bu Berta memberi tahu anakku nama spesifik dari kue yang sedang dimakannya. "Donat," cicit anakku mencoba menirukan kata baru yang diajarkan oleh sang oma. "Nah, pintar!" puji Bu Berta dengan raut wajah begitu bangga. "Kue, Mama, kue!" seru anakku lagi. "Yah, balik lagi!" sesal Bu Berta. Lucu memang tingkah Ricky. Mau donat kek, lapis legit, tart, bolu, roti mandarin, dll, buat dia semuanya kue, bahkan setelah diberi tahu kata yang tepat untuk itu. Biarlah, yang penting dia tahu itu makanan enak. "Mas, tadi ada paket buatmu, aku yang terima. Nih!" ucapku kepada Mas Vincent seraya menyerahkan paket bersampul coklat itu ke tangannya. "Makasih, Ve. Memang sudah saya tunggu," sahutnya menerima benda berbentuk kotak itu. Sejenak ia mengamat
"Walaupun sampai umur tiga puluh empat tahun ini aku belum menikah, bukan berarti aku tidak mengenal yang namanya cewek," tutur Mas Vincent memulai kisahnya. Aku menggaruk kepalaku, bingung bagaimana harus mengantisipasi penuturan pria ini akan seperti. Katanya mau ngomongin tentang kami berdua, eh, kok sepertinya ia malah akan menceritakan tentang perempuan-perempuan lain? "Cinta monyetku waktu SMP, pas SMA pernah pacaran sekali, terus kuliah aku pernah pacaran dengan ...." Tuh, kan, bener! "Iya, iya, aku percaya banyak cewek yang mau sama kamu, Mas. To the point aja deh," potongku sewot. Kok malah jadi nyeritain sejarah percintaannya dari SMP sih? Nggak sekalian dari SD atau TK? Pria itu nyengir kuda, memamerkan barisan giginya yang rapi dan terawat. Jadi ingat si jeruk mandarin. "Baiklah, yang terakhir saja, ya. Yang terakhir itu sekitar sepuluh tahun lalu, aku kenal dengan seorang perempuan bernama Bella. Orangnya cantik, lembut, penyayang," tutur pria itu mulai serius. Tern
"Tapi pada kenyataannya Mas Vincent tidak berhenti setelah Ricky lahir," ucapku sedikit menuduh. Habis mau bagaimana lagi, kenyataannya memang seperti itu. Ia tak berhenti mengikuti dan memperhatikan kehidupanku. Pria itu menghela napas dalam-dalam. "Benar, Ve. Niat awalku adalah berhenti setelah anakmu lahir. Namun, saat aku melihat bayi Ricky yang tampan tapi tampak lemah dan butuh dilindungi, aku jatuh sayang kepadanya, hingga rasanya aku ingin bisa terus melihatnya, memastikan ia tumbuh dengan baik," tuturnya membuat alasan. Hmm, semua berawal dari Ricky. Sejak dia masih di dalam perutku, saat ia telah lahir, hingga Mas Vincent mulai mendekatiku, Ricky juga yang seolah mengantarkannya untuk mendekatiku. "Apalagi setelah aku tahu kamu bercerai dari suamimu, aku merasa sangat tidak rela jika anak itu mengalami kesulitan di masa awal kehidupannya, jadi aku terus memastikan melalui Bu Berta bahwa kalian dalam kondisi baik, tidak kekurangan apapun." Tetanggaku itu terlihat sangat
Sejak hari itu aku berusaha menghindari tetangga 203. Kuputuskan lebih baik aku tidak berurusan dengannya. "Sudah masak, Ve? Aku buat spaghetti kesukaan Ricky," ucap Mas Vincent riang saat melihatku di depan pintu pada suatu siang. "Aku sudah punya lauk, Mas, makasih. Lagian nggak baik kalau anakku makan mie terus," tolakku seraya beranjak memasuki rumah tanpa memberi pria itu perhatian lebih. "Baiklah," sahutnya pasrah. Aku sempat melihat ekspresinya yang sedikit kecewa sebelum aku menutup pintu. 'Salah nggak sih sikapku ini?' batinku sedikit merasa bahwa sikapku jahat. Aku menyandarkan punggung di pintu. Padahal Mas Vincent bukannya memberikan spaghetti untuk anakku setiap hari. Dia paham anakku butuh nutrisi untuk tumbuh jadi ia tak pernah hanya memberi Ricky karbohidrat, bahkan biasaya ia mencincang sedikit sayuran untuk dicampurkan ke spaghetti yang ia masak itu. Hanya saja kupikir jika aku bersikap kurang ramah padanya, lama-lama pria itu akan sadar juga dan menjauhiku. Da
Berencana untuk meminta maaf dan memperbaiki hubungan dengan seseorang lebih gampang di angan ketimbang di pelaksanaan.Entah gengsi, takut ditolak, atau malu, sering kali menghambat seseorang melakukan niat baik ini.Kalau aku sendiri lebih kepada bingung bagaimana harus memulainya, garing nggak sih kalau aku yang sebelumnya bersikap dingin tau-tau senyam senyum dan berakrab ria dengan Mas Vincent. Sakit hati nggak ya, dia, karena sikapku kemarin?Tapi yang namanya niat baik, jangan cuma disimpan di pikiran, mengendap di hati lalu jadi busuk. Itu mesti dieksekusi sampai sukses dan tujuan tercapai, baru kita bisa bernapas lega dan tersenyum dengan ikhlas.Makanya sedari pagi aku sudah lirak-lirik, celingak-celinguk, kalau-kalau tetangga 203 nampak. Aku sudah menyiapkan senyuman terbaikku dan sederet kata untuk menyapa dan mengajaknya berbicara.Namun, sepertinya niat baik itu masih harus di-pending.Begitu bangun aku sudah membuka pintu dan menilik pintu sebelah. Tapi sampai jam delapa
Tubuh Mas Vincent yang sedari tadi tegang kini mulai rileks. Lengan kirinya melingkar di punggungku, dan tangan kanannya mulai membelai kepalaku. "Kalau harus mati besok pun, aku rela," gumamnya dengan suara rendah, namun cukup keras untuk kudengarkan. Alangkah kagetnya diriku mendengar ucapannya ini. Baru juga ketemu dan dia dalam keadaan baik, malah ngomong hal yang begitu menakutkan. "Mas!" seruku dengan kepala mendongak menatap wajahnya, "Kok malah ngomongin mati sih? Aku masih khawatir kalau kamu kenapa-napa, kamu malah ngomongin mati!" "Hehehe," kekehnya geli. "Iya, iya, Velove-ku sayang, Mas Vincent-mu nggak akan mati sekarang kok, tenang saja. Dan kamu boleh memeluk aku sampai puas, gratis nggak pakai bayar." "Syukurlah," lirihku dengan senyum puas. Leganya setelah mendengar ucapannya barusan. Ah, pelukan gratis lagi! Tapi kali ini aku tidak salah peluk. Aku kembali menyandarkan kepalaku di dadanya. Mataku sempat terpejam menikmati momen ini, bibirku mengulaskan senyuman
"Wah, wah, sepertinya ada yang sudah berbaikan nih," lontar Bu Berta saat aku dan Mas Vincent tiba di 201. "Bukan cuma berbaikan, Bu," timpal Mas Vincent dengan cengiran lebar di wajah gantengnya. Aku sendiri hanya bisa tersenyum malu. Perhatian Mas Vincent beralih ke anakku. "Ricky!" panggilnya penuh rasa sayang. Pria itu berjongkok dan merentangkan kedua lengannya lebar-lebar. "Ankel!" pekik Ricky. Bocahku berlari dan menghambur dalam dekapan ankel kesayangannya. "Walaah, ternyata malah sudah ... begini!" Bu Berta membuat kedua jari telunjuknya saling berhadapan, lalu menggerakkan ujungnya naik turun seperti sedang mengait sesuatu. Pacaran maksudnya! "Uh, gerah banget, Bu Ber, haus nih, minta minum ya," seruku seraya ngeloyor ke dapur, mencari air minum, sekaligus menghindari pertanyaan wanita itu. Biar Mas Vincent saja yang jawab, dia kan pria, aku sebagai wanita ikut saja. Kudengar suara tawa mereka berdua dengan obrolan yang terasa seru. Seulas senyum tercipta di bibirku, d
Kehidupan selalu punya dua sisi, positif dan negatif. Termasuk kehidupan di rusun ini. Semua penghuni rusun ini dari lantai bawah hingga lantai atas telah mengetahui hubunganku dan Mas Vincent sekarang. Sebagian besar yang mengenal kami mendukung kelanjutan hubungan kami. Yang nggak kenal cuek saja, tapi tetap merespek. Nah, yang terakhir, beberapa orang yang sedari awal tidak menyukai kedekatan kami, lebih spesifiknya tidak menyukaiku, kembali menggila. Sebenarnya orang-orang nyinyir ini sudah mulai terabaikan dan kehilangan suara mereka beberapa waktu lalu. Akan tetapi setelah tersebar berita bahwa aku dan Mas Vincent jadian, mereka terusik dari hibernasi mereka. Mulut mereka gatal lagi, dan mulai bergosip. "Gue yakin pasti tuh cewek pakai pelet, sampai Bang Vincent tergila-gila," cibir seseorang. "Nggak mungkin dong mereka nggak ngapa-ngapain! Ke kafe aja diantar jemput, pulang malam-malam, kesempatan lah," tambah temannya tak kalah pedas. "Tunggu saja, palingan cuma hitungan